Wait A Little More
Jeva menunggu Biru di ruang Koas dengan merebahkan kepala pada kedua lengannya yang dia lipat di atas meja. Sesekali Jeva menghela napas berat sembari memeriksa gawainya. Tidak ada pesan balasan dari temannya itu.
Sampai tak lama berselang, pintu ruangan Koas terbuka. Jeva yang mendengar suara dentuman itu pun mengangkat kepalanya lalu menoleh ke arah pintu. Saat itu pula dia mendapati Biru berjalan menghampiri sambil memicing.
“Lo belum makan?” tanya Biru saat melihat dua kotak berisi nasi campur masih tertutup rapat di atas meja. Jeva pun mengangguk.
“Gue kan bilang mau nungguin lo, Bi. Biar kita makan bareng.”
Biru menghela napas pasrahnya sebelum duduk di seberang Jeva. Kotak kue yang dibawanya dari luar tadi pun dia taruh di meja.
“Lo kenapa sih nggak bisa banget dibilangin?” Biru mengambil satu kotak nasi itu lalu membukanya.
Namun, bukannya memakan nasi campur dalam kotak itu, ia justru menyodorkannya kepada Jeva.
“Entar malem kita jaga,” omelnya. “Udah lo telat makan, terus entar malem kurang tidur, lo mau mati sebelum jadi Dokter? Gak kan?”
Entah kini Jeva harus berbahagia karena Biru menunjukkan atensi padanya, atau justru harus tetap cemburu. Sebab, Biru membawa satu kotak kue kesukaannya saat datang tadi. Jeva pun yakin kalau kue itu pemberian mantan Biru.
Mereka flashback ke masa-masa bucin nggak ya tadi? Batin Jeva.
Dia sampai bela-belain bawa kue kesukaan Biru lagi, batinnya lagi.
Sementara itu, Biru yang melihat Jeva hanya terdiam mendengus.
“Kenapa cuma diliatin nasinya? Makan. Ini udah jam berapa, Jev.”
Jeva mengangguk lalu melahap satu sendok nasi di hadapannya. Setelahnya, Biru pun ikut makan.
Namun, Biru yang sadar jika Jeva sedari tadi terus-terusan melihat ke arahnya sambil mengunyah lantas mendongak. Biru hendak mempertemukan netra mereka, tapi temannya itu justru dengan sigap membuang pandangannya.
Menggeleng heran, Biru lantas kembali melanjutkan makannya. Tapi hal yang sama terulang lagi. Dia memergoki Jeva menatapnya lekat-lekat dari ekor matanya. Namun, saat dia mencoba untuk membalas pandangan temannya itu, Jeva justru pura-pura tidak melihat. Biru menghela napas.
“Apa?”
Jeva melirik Biru, “Kenapa?”
“Lo yang kenapa,” kata Biru. “Lo dari tadi enggak banyak ngoceh, terus ngeliatin gue mulu. Lo lagi mikirin sesuatu kan? Bilang aja.”
“Itu…” Jeva berdeham, “Mantan lo gimana, Bi?” tanyanya refleks.
Biru menautkan alis keheranan lalu mendengus. “Kan yang abis dioperasi itu Papi dia, kenapa lo malah nanyain mantan gue sih?”
“Maksud gue gitu,” elak Jeva lalu kembali menghindari sorot mata Biru yang memandanginya lamat.
Menahan senyum di sudut bibir, Biru kemudian menarik napas.
“Lo mikir kalau gue cuma modus jengukin Papinya mantan gue buat ketemuan sama dia?” tebak Biru. “Atau lo ngira kalau gue ini masih ada rasa sama dia? Gitu?”
Bibir Jeva mengerucut, sedang matanya masih enggan menatap ke arah Biru. Dia lebih memilih memandangi nasi campur sambil mengaduknya tidak berselera.
“Bukan gitu,” gumam Jeva. “Tapi lo kan tau kalo gue suka sama lo.”
“Terus elo tiba-tiba ketemu lagi sama seseorang yang pernah lo sayang,” jelasnya. “Mana lo nggak mau ditemenin buat ketemu dia.”
“Lo juga keliatan masih perhatian sama dia terus deket sama orang tuanya,” Jeva melirik Biru. sekilas “Bohong kalau gue baik-baik aja.”
“Gue… Cemburu,” katanya. “Tapi gue sadar kok kalau gue enggak berhak buat ngerasa kayak gini.”
“Kita gak ada hubungan apa-apa, apalagi komitmen. Jadi lo berhak buat ketemu sama mantan lo itu, bahkan lo bisa balikan sama dia kalau emang elo mau.” cicit Jeva.
“Tapi gue malah gelisah bayangin lo sama dia ketemu terus nginget masa-masa bucin kalian. Gak ada yang tau kan, mana tau lo CLBK.”
Jeva menggulirkan bola matanya ke Biru yang masih menatapnya lamat. Jeva menipiskan bibirnya.
“Tapi gue juga gak bisa ngontrol perasaan gue, Bi. I tried to not feel this way, tapi tetep aja—”
“Siapa bilang kalo lo gak berhak cemburu?” potong Biru. “Lo juga tau kalau gue suka sama lo, dan gue udah setuju jadi gebetan lo.”
“Kita sepakat bakalan jadian kalo gue udah siap,” jelasnya. “Emang itu gak termasuk komitmen ya?”
Jeva refleks menahan senyum dengan memanyunkan bibirnya.
“Terus kenapa tadi lo gak mau ditemenin sama gue ke CVCU?” tanya Jeva yang lebih terdengar seperti dirinya sedang merajuk.
“Kan gue udah bilang, gue gak mau lo telat makan gara-gara nemenin gue lagi.” jawab Biru.
“Lagian percuma juga kalau lo nemenin gue, penjenguk yang boleh masuk ke CVCU selain mantan gue, Dokter sama Koas yang jaga kan cuma satu orang.”
“Masa gue tega sih ninggalin lo nunggu sendirian di luar CVCU?” jelas Biru. “Mungkin elo bakalan lebih cemberut lagi daripada ini.”
“Dan yang lebih penting…” kata Biru, “Gue gak mau ngenalin lo ke mantan gue sebagai temen.”
“Ya kali dia udah ngenalin pacar barunya ke gue, terus gue malah ngenalin temen gue yang baru jadi gebetan gue?” timpal Biru.
“Entar gue malah kelihatan gak bisa move on lagi,” timpalnya.
Penjelasan Biru membuat Jeva mengulum bibirnya. Meskipun dia berusaha sangat keras untuk menyembunyikan senyumannya, tapi cekungan di kedua pipinya itu lantas tidak bisa berbohong.
“Terus soal kenapa gue keliatan masih perhatian sama dia dan deket sama orang tuanya, lo gak usah overthinking lagi soal itu.”
Biru tidak melewatkan satu pun kekhawatiran yang tadi telah Jeva jelaskan dengan amat jujur.
“Gue gak jengukin Papinya demi dia, tapi karena gue tuh ngerasa punya utang budi sama Papi dia.”
“Papinya orang baik,” lanjut Biru. “Waktu gue ikut lomba dulu, dan Papa Adit sama Mama nggak bisa ninggalin jadwal operasinya, Papi dia yang dateng ngedukung gue.”
“And it means a lot to me, Jev.”
Jeva mengangguk paham. Masih sambil mengulum senyumnya. Namun, saat matanya melirik ke kue jenis cheese cake yang ada di meja, Jeva kembali berceloteh.
“Tapi… Mantan lo perhatian juga ya, bawain kue kesukaan lo,” Jeva melipat lengan, membuang muka ke arah lain. “Lo berdebar gak?”
“Siapa bilang kue itu dari mantan gue?” decak Biru. “Itu gue yang nge-gofood tadi. Buat kita makan terus bagiin ke yang lain entar.”
“Ooh,” Jeva berdeham. Dia diam-diam malu karena salah mengira.
Dia kemudian menatap Biru. “Ya udah. Lanjutin makan lo lagi, Bi.”
Biru tersenyum tipis, sementara Jeva buru-buru melahap nasinya guna meredam senyum di bibir.
“Jev.”
Jeva melirik Biru. “Hm?”
“Just wait a little more ya?” tutur Biru. “Kalau gue udah siap, gue bakal ngenalin lo sebagai pacar, enggak ke mantan gue doang…”
“Tapi ke semua orang,” katanya.
Jeva seharusnya terharu setelah mendengar tekad Biru untuk bisa sembuh dan siap menerimanya. Namun, kini Jeva justru berakhir tersipu. Dia salah tingkah hanya dengan mendengar temannya itu menyebut dirinya sebagai pacar.
“Oke,” jawab Jeva lalu menunjuk nasi milik Biru. “Udah, makan.”
Biru terkekeh lalu geleng-geleng kepala. Setelahnya, kedua Koas itu pun melanjutkan makan siang mereka hingga habis tak tersisa.
Melihat bahwa masih ada waktu untuk istirahat, serta belum ada panggilan untuk kembali jaga di ruang rawat, Biru lantas bangkit dari kursi. Dia membawa cheese cake yang telah dibelinya tadi ke hadapan Jeva. Ia lalu menggeser kursi ke samping temannya itu.
Setelahnya, Biru membuka kotak cheese cake itu. Biru kemudian menyodorkan satu sendok pada Jeva. Dengan senang hati, Jeva pun menerima diikuti senyum.
“Tokonya gak ngasih pisau kue,” kata Biru. “Potong pake ini aja.”
“It’s okay.” Jeva terkekeh pelan. “Btw, lo lagi BM banget ya, Bi?”
“Mm,” gumam Biru sambil mulai menyendok kue kesukaannya itu.
“Gue juga BM banget,” kata Jeva.
Biru menoleh, “BM cheese cake?”
“BM ngeliat senyum manis lo,” sahut Jeva yang membuat Biru lantas menoyor pelan kepalanya.
Jeva sendiri hanya tertawa kecil, sedang Biru lantas geleng-geleng kepala. Biru kemudian kembali melahap satu suapan kue lalu menyandarkan punggungnya ke badan kursi. Kedua tangan Biru diluruskan ke meja, membuatnya sedikit bisa meregangkan otot.
Jeva yang sedari tadi diam-diam memerhatikan Biru tersenyum. Melihat wajah Biru dalam jarak yang sangat dekat membuatnya berdebar. Jeva bahkan merasa gugup untuk sekedar bertemu pandang dengan netra Biru.
Namun, entah datang dari mana keberanian Jeva untuk mencoba menggenggam jemari lentik Biru. Sebab kini, pandangan Jeva telah turun ke jemari Biru di atas meja.
Meski begitu, Jeva tetap berhati-hati. Dia tidak ingin membuat si pujaan hati merasa tidak nyaman atau bahkan mengingat hal yang cukup sensitif baginya. Alhasil, Jeva tak langsung menggenggam tangan Biru—melainkan hanya meletakkan kelingkingnya di atas jari kelingking temannya itu. Dia bermaksud meminta persetujuan dan respon dari Biru lebih dulu.
Sayangnya, Biru yang menyadari perlakuan Jeva justru tiba-tiba menggeser tangannya. Membuat tautan kelingking mereka lepas.
Jeva pun menipiskan bibirnya. Ia sangat menghargai respon Biru. Jeva juga mengerti bahwa Biru masih butuh waktu untuk bisa melakukan sentuhan semacam tadi dengan laki-laki, pikir Jeva.
Namun, pikiran Jeva seketika buyar ketika melihat Biru justru menengadahkan tangan tepat di depannya. Jeva yang heran pun hanya menoleh dengan tampang bingungnya. Sementara itu, Biru lalu menunjuk tangannya dengan dagu. Dia menginstruksikan Jeva agar meletakkan tangan di sana.
Jeva yang telah mengerti maksud Biru lantas meletakkan telapak tangannya di atas milik Biru. Dia mati-matian menahan senyum saat Biru menggenggamnya erat. Jeva pun semakin tidak sanggup untuk terus menatap wajah Biru.
Pada akhirnya Jeva membuang muka ke arah lain, sebab kini dia telah salah tingkah. Tapi ketika Jeva merasa bahwa kepala Biru tiba-tiba bersandar di bahunya, dia refleks melirik temannya itu.
Tangan Jeva yang terbebas pun refleks mengusap puncak kepala Biru. Bibirnya mengukir senyum.
“Gue bisa dengerin detak jantung lo dari sini, Jev.” gumam Biru.
Jeva terkekeh, “Normal gak?”
Biru tersenyum tipis sebelum mendongak, membuat tatapan matanya dengan Jeva bertemu.
“Lebih cepet dikit dari batas normal,” jawab Biru seolah memeriksa seorang pasien.
Jeva tersenyum. “Gue juga bisa dengerin detak jantung lo. Kok bisa ya seirama kek punya gue?”
“Paduan suara kali,” canda Biru.
Kekehan terbebas dari celah bibir Jeva. Setelahnya, dia lalu beralih menatap tangannya dan Biru yang saling menggenggam.
“Tangan lo keringetan, Bi.” Jeva mendadak khawatir. “You okay?”
“Lo bisa nge-lepasin tangan gue kalau lo gak nyaman atau nginget hal yang bikin lo takut.” katanya.
“Tangan lo juga keringetan, Jev.” balas Biru. “Lagian, ini tau, yang dibilang Dokter Kat Van Kirk soal efek dari stimulasi adrenalin dan norepinephrin kalau kita bareng orang yang bikin kita jatuh cinta.”
“Jadi lo udah jatuh cinta sama gue ya, Bi?” tanya Jeva serius.
Biru tidak menjawab. Dia hanya menahan senyumnya sebelum memperbaiki posisi kepalanya di bahu Jeva lalu menutup matanya. Sementara Jeva tersenyum tipis sebelum dia ikut menyandarkan kepalanya di puncak kepala Biru.