Coming Out

Usai makan siang bersama Jeva, giliran Biru yang menyetir lalu mengantarkan teman Koasnya itu pulang ke rumah. Sampai saat laju mobilnya telah berhenti di depan rumah Jeva, Biru lantas menghela napas berat sebelum menoleh ke Jeva. Raut wajahnya pun menunjukkan kekhawatiran.

“Lo yakin udah mau coming out ke Mama Papa lo?” tanya Biru.

“Yakin,” Jeva tersenyum lembut. “Kan gue udah bilang ke lo kalau gue bakal ngasih tau mereka soal ini sebelum kita jadian nantinya.”

“Gue gak ada alasan buat nunda-nunda, Bi. Mana tau besok atau lusa lo udah siap jadi pacar gue kan?” timpalnya diikuti kekehan.

“Kalau Mama Papa lo nggak bisa nerima, gimana?” tanya Biru lagi.

I will fight for you,” sahut Jeva.

Kedua netra legam Biru masih menyelami mata Jeva, sedang bibirnya tak mampu lagi untuk berucap. Dia benar-benar takut dan khawatir pada Jeva saat ini.

Jeva yang paham akan ekspresi Biru pun menyodorkan tangan dengan posisi menengadah. Dia lalu menggerak-gerakkan jarinya, menginstruksikan agar Biru meletakkan telapak tangannya sebelum saling menggenggam.

Namun, bukannya melakukan apa yang Jeva isyaratkan, Biru justru beralih memeluk Jeva. Kedua lengan Biru melingkar erat di tenguk temannya itu.

Sejenak Biru memejamkan mata, berusaha menenangkan pikiran di kepalanya yang mulai kacau. Biru diam-diam takut sesuatu yang buruk menimpa Jeva. Biru pun diam-diam takut kalau dia harus melepaskan Jeva bahkan sebelum Jeva bisa menggapainya.

“Bi,” Jeva berbisik. “We’ll be okay.”

Biru mengangguk kecil sebelum menarik dirinya dari Jeva yang tadi juga membalas dekapannya. Biru pun kembali menatap lamat wajah Jeva dengan raut sedunya.

“Jangan natap gue kayak gitu, Bi.” tutur Jeva. “Gue takut kelepasan nyium lo lagi, kayak yang di RS.”

Mendengus, Biru lantas menoyor pelan kepala Jeva diikuti senyum.

“Masuk gih,” titah Biru.

“Mm,” Jeva mengacak-acak pelan rambut Biru. “Entar malem gue kabarin ya kalau udah mau balik ke kos-an, terus nge-jemput lo.”

“Oke.”

“Lo pulangnya hati-hati.” kata Jeva, “Jangan ngebut-ngebut. Jangan sampe ngelamun juga.”

“Iya, bawel.”

Jeva mengacungkan jempolnya.

“Gue masuk sekarang ya, Bi.”

Biru mengangguk. Setelahnya, Jeva pun keluar dari mobil lalu berdiri di samping kendaraan roda empat milik Biru itu. Jeva melambai-lambaikan tangannya, mengisyaratkan agar Biru pulang lebih dahulu sebelum dia masuk.

Biru—dengan hati yang masih berat—kemudian menurutinya. Dia melajukan mobilnya hingga meninggalkan area rumah Jeva.


Waktu yang sejak sore tadi Jeva nantikan akhirnya tiba. Kini dia, Papa dan Mamanya telah duduk bersama di meja makan. Mereka pun mulai menikmati hidangan yang Jeva lantas sadari adalah beberapa makanan kesukaannya.

“Makan yang banyak, Dek. Mama perhatiin… Kamu agak kurusan.”

Jeva mengangguk kaku. “Iya, Ma.”

“Koas di Kardiologi bikin kamu stress banget ya, Dek?” timpal si wanita paruh baya, sedang Papa yang sedari tadi menyimak pun seketika menatap serius ke Jeva.

“Gak kok,” jawab Jeva. “Kelompok aku orang-orangnya bisa diajak kerja sama, jadi gak begitu kerasa stress-nya kalau lagi ada tugas.”

“Residen sama konsulen aku di Harkit juga pada baik,” timpalnya.

Mama mengangguk lega. Namun matanya masih tertuju pada Jeva.

“Minggu depannya lagi udah pindah stase ke Neuro kan?”

Kini si Papa yang bersuara. Jeva membalasnya dengan anggukan.

“Papa sama Mama sebenarnya mau bicarain ini sama kamu.”

Jeva mengernyit, “Soal apa, Pa?”

“Bentar lagi kamu Koas di RSCM,” sahut pria paruh baya itu. “Jadi... Papa sama Mama mikir, apa gak sebaiknya kita ngasih tau orang-orang RS kalau kamu anak Papa.”

Jeva menghela napas gusar.

“Papa kan tau alasan kenapa aku gak mau orang-orang sampai tau kalau aku ini anak Papa sebelum Koas aku selesai,” katanya. “Aku gak mau dibanding-bandingin. Aku juga gak mau dibilang bisa survive karena privilege Papa.”

“Aku pengen Mama sama Papa ngeliat usaha aku, ngeliat kalau aku juga bisa.” Jeva menimpali.

“Terus sekarang, Papa pengen bilang ke publik kalau aku ini anak Papa pas aku Koas di RS Papa?” lanjut Jeva. “Yang ada, orang-orang malah mikir kalo aku pengen di-spesialin di RS.”

“Kamu gak akan di-spesialin kok, Dek...” Mama ikut angkat bicara. “Papa bakal bilang ke Dokter lain supaya nggak menganggap kamu sebagai anak Papa sama Mama.”

Jeva menggeleng tidak terima.

“Sekarang biar aku nanya sama Mama Papa,” dia menatap orang tuanya itu bergantian. “Kenapa Mama sama Papa pengen orang RS tau aku ini anak Mama Papa?”

“Apa Papa sama Mama rencanain ini supaya Dokter lain segan buat ngasih aku nilai jelek?” tanyanya.

“Mama sama Papa takut nilai aku bakalan anjlok terus malu-maluin kalau aja nanti orang lain tau aku ternyata anak Papa sama Mama?”

“Kalau itu yang Papa sama Mama takutin, gampang kok solusinya.” tenggorokan Jeva tiba-tiba sakit.

“Papa sama Mama enggak perlu ngakuin aku sebagai anak untuk selamanya. Toh aku emang gak pernah diinginkan kan?” lanjut Jeva. “Aku taunya malu-maluin doang, gak kayak kakak-kak—”

“Jeva,” Mama memotong ucapan anak bungsunya dengan suara yang dia tekankan. “Mau sampai kapan kamu berpikir kalau Mama sama Papa se-tega itu ke kamu?”

“Kamu pikir, selama kamu gak ada di rumah bertahun-tahun, Mama sama Papa seneng?” lirih si wanita paruh baya. “Enggak.”

“Mama sama Papa sadar kalau cara didik kita berdua ke kamu dulu bawa impact yang gak baik buat diri kamu, Dek.” lanjutnya.

“Mama sama Papa pun sadar kalo tekanan-tekanan yang dulu datang dari orang luar soal gimana kamu yang gak bisa kayak kakak-kakak kamu itu seharusnya enggak bikin Mama sama Papa malah nge-push kamu dengan cara banding-bandingin kamu sama kedua kakak kamu.”

“Mama sama Papa salah karena gak mikirin mental kamu waktu itu,” jelasnya. “Tapi Mama sama Papa kayak gitu karena enggak mau kalau kamu terus-terusan direndahkan sama orang lain.”

“Hati Mama tuh juga sakit banget kalau denger saudara-saudara kita ngatain kamu beda sendiri lah, malu-maluin lah.” katanya.

“Makanya Mama Papa pengen kamu terus belajar sampai kamu bisa nge-buktiin kalau kamu gak kayak gitu. Mama sama Papa pun terkesan nggak pernah puas juga supaya kamu terus bersungguh-sungguh. Gak cepet puas juga.”

Melihat air mata si Mama yang tiba-tiba menetes membuat Jeva refleks menunduk. Sedang Papa dengan sigap mengusap bahu istrinya sesaat sebelum kembali memusatkan atensi kepada Jeva.

“Papa sama Mama pengen orang lain tau kalau kamu itu anak Papa sebelum pindah stase ke Neuro, karena Papa gak pengen kamu dengerin omongan-omongan gak baik di RS.” jelas si pria paruh baya. “Kamu tau sendiri gimana orang-orang mulai nyari tau soal kamu dan bikin spekulasi aneh.”

“Kalo sampai omongan itu masuk ke telinga kamu secara langsung, Papa Mama khawatir hal itu bisa bikin kamu risih dan terganggu selama lagi Koas di Rumah Sakit.”

“Omongan soal aku yang dikira anak hasil hubungan gelap ya?” mata Jeva bergulir ke Papanya.

I can take it, Pa.” sambungnya. “Aku udah biasa kok dengerin omongan gak baik sejenis itu. Bahkan sejak aku kecil dulu.”

“Bagi aku, itu enggak ada apa-apanya daripada dibanding-bandingin dan usaha aku gak dihargain hanya karena aku punya privilege.” lirih Jeva.

“Aku justru bakal lebih risih dan terganggu kalau harus hidup dari ekspektasi orang lain yang selalu pengen ngeliat aku kayak kakak-kakak aku—yang pinter dan bisa nge-banggain Mama sama Papa.”

“Makasih udah khawatir. Tapi aku bakalan baik-baik aja, Pa.”

“Dek…” Mama kembali bersuara dengan suaranya yang sumbang.

“Mama sama Papa udah liat kok usaha kamu,” katanya. “Kamu udah ngelakuin yang terbaik...”

“Dan Mama sama Papa bangga banget sama kamu,” lanjut Mama.

“Kamu gak perlu kayak kakak-kakak kamu supaya bisa bikin Mama sama Papa bangga,” Mama meraih tangan Jeva. “Kamu udah bikin Mama sama Papa bangga dengan cara kamu sendiri, Dek.”

“Apapun ekspektasi orang lain di luar sana tentang kamu, gak usah kamu dengerin lagi. Ya?” katanya. “Mereka gak ada hak untuk itu.”

“Mama Papa udah jadi orang tua yang buruk buat kamu sejak kecil dulu.” mata Mama berkaca-kaca. “Sekarang, tolong izinin Mama dan Papa buat memperbaiki itu.”

“Mama sama Papa juga mau jadi orang tua yang baik buat kamu, yang gak ngeliat anaknya harus jadi bahan pergunjingan karena kesalahan cara mendidik Mama Papa sendiri di masa lalu, Dek.”

“Mama sama Papa pengen orang lain tau kalau kamu udah sampai sejauh ini karena usaha sendiri, bukan karena status kamu ini.”

Mata Jeva pun berkaca-kaca saat mendengar penuturan si Mama.

“Aku cuma pengen denger itu kok, Ma.” Jeva menelan ludah sekuat tenaga. “Aku cuma mau Mama sama Papa bilang kalo aku udah ngelakuin yang terbaik.”

“Mama sama Papa tau nggak, hal apa yang selalu bikin aku sedih?” katanya. “Bukan karena omongan orang lain. Aku bisa bodoh amat mereka mau bilang apa soal aku.”

“Tapi aku sedih karena Mama sama Papa gak pernah ngasih apresiasi atas usaha aku buat bikin Mama sama Papa bangga.”

“Aku sedih kalau orang-orang di luar sana mulai nge-bandingin aku, terus Papa sama Mama juga malah ngomongin hal yang sama, bukannya ngasih support ke aku.”

Tepat saat Jeva meneteskan air mata, sang Mama lantas berdiri dari kursinya. Wanita paruh baya itu kemudian memeluk si anak bungsu sebelum ikut menangis bersama Jeva. Papa menunduk.

“Maafin Mama ya.”

Jeva membalas pelukan si Mama.

“Mama sama Papa sedih banget karena ngerasa jauh sama kamu, Dek.” katanya. “Jangan tinggalin Mama lagi ya? Kalau kamu ada kesulitan juga cerita ke Mama, jangan malah pergi dari rumah.”

“Atau apapun itu, cerita aja. Ya?”

Jeva mengangguk lalu mengusap kasar air matanya. Dia kemudian mendongak kepada Mama lalu bergantian menoleh pada si Papa yang juga diam-diam menangis.

“Aku boleh cerita sesuatu sama Papa Mama sekarang gak?” tanya Jeva yang membuat sang Mama seketika duduk di sampingnya. Pun Papa yang juga langsung mengangguk kepada anaknya.

“Ini… Soal orang yang aku suka.”

Jeva menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan.

“Aku mau Mama sama Papa tau kalau aku…” Jeva menundukkan kepalanya. “Aku suka laki-laki.”

Mama dan Papa terdiam. Jeva pun belum berani mendongak untuk melihat ekspresi mereka.

“Laki-laki yang nge-jemput kamu pagi tadi?” Papa lantas bersuara.

“Iya, Pa.” cicit Jeva.

Jeva menautkan jemarinya yang telah membeku di bawah meja.

Mama kemudian menggenggam jemari Jeva yang tidak luput dari pandangannya. Membuat Jeva seketika menoleh pada si Mama.

“Ingat, kenalin sama Mama kalau kalian udah jadian.” tutur Mama.

“Hah?”

Jeva refleks membeo atas respon Mamanya. Setelahnya, dia lantas berdeham pelan lalu bersuara.

“Mama… Gak marah?”

Mama menggeleng. “Mama harus marah sama siapa, Dek? Kamu?”

“Kan bukan kamu yang minta buat punya seksualitas kayak gini,” timpalnya. “Mau nyalahin lingkungan pun, apa gunanya?”

“Mama sendiri bahkan gagal bikin kamu ada di lingkungan keluarga yang baik-baik aja.”

“Kalau ada yang harus disalahin, itu Mama.” timpal si paruh baya. “Mama salah karena gak ngasih kamu kasih sayang yang kamu harapkan sejak kecil dulu, sampai kamu nemuin itu di orang lain.”

“Dan kebetulan kasih sayang dari orang lain itu adanya di laki-laki.”

“Jadi… Mama gak apa-apa kalau aku kayak gini?” tanya Jeva hati-hati. Mama lantas mengangguk.

Jeva tersenyum tipis dengan raut harunya sebelum menoleh pada sang Papa. Jeva seolah meminta respon dari pria paruh baya itu.

Si pria paruh baya pun menghela napas panjang, menatap kopinya lalu menyeruput minuman itu sejenak. Membuat Jeva diam-diam gugup karena menunggu jawaban dari pria paruh baya itu.

“Pantes tadi pagi kalian berdua keliatan gugup pas Papa ajakin ngobrol,” Papa bersuara, masih sambil menatap cangkir kopinya.

Sampai ketika si pria paruh baya akhirnya kembali memandangi wajah anak bungsunya, Jeva pun menahan napas. Terlebih sorot mata Papanya itu nampak datar.

“Dek, kamu tau kan kalau orang-orang dengan orientasi seksual kayak gitu masih jadi minoritas?”

Jeva mengangguk lemah.

“Itu artinya kamu juga udah tau kalau akan ada banyak halang rintang yang harus kamu lewati.”

“Mulai dari penolakan dari orang yang anti, status kalian nanti gak diakui, dan sebagainya. Apalagi… Kamu calon praktisi kesehatan, omongan nggak baik dari orang luar pasti bakalan terus datang.”

Jeva kembali menunduk. Sebab, perasaannya mulai tidak enak.

“Papa gak bisa terima kalau kamu dijelek-jelekin sama orang,” tutur Papa. “Tapi Papa lebih nggak bisa terima kalau kamu harus bohong soal seksualitas kamu dan hidup sebagai orang lain hanya karena takut buat menerima penolakan.”

Jeva refleks menatap sang Papa dengan matanya yang berbinar.

Life your life,” lanjut pria paruh baya itu. “Ini hidup kamu, pilihan kamu. Tapi… Ingat untuk selalu hati-hati, Dek. Papa yakin, kamu udah bisa jaga diri kamu sendiri.”

“Udah cukup Papa nge-hancurin mental kamu sejak masih kecil dulu, yang terkesan gak pernah ngasih kamu dukungan.” timpal Papa. “Sekarang, Papa mau jadi orang terdepan yang akan selalu mendukung keputusan kamu.”

Jeva kembali tersenyum sebelum bergumam lirih, “Makasih, Pa.”

Papa ikut tersenyum. “Papa juga minta maaf ya untuk semuanya.”

Pria paruh baya itu kemudian merentangan kedua lengannya.

“Papa boleh minta peluk juga?”

Jeva mengangguk cepat. Dia lalu berdiri dan menghampiri si Papa dan berakhir memeluknya erat.