Gone Wrong
Elian memeriksa pesannya pada Arvin beberapa kali, tapi belum juga ada balasan. Pun saat dia menelpon, pacarnya itu sama sekali tidak menjawabnya. Elian gelisah, perasannya tidak enak.
Sampai tidak lama berselang, suara ketukan di pintu kamar Elian lantas menggema. Buru-buru Elian bangkit dari tempat tidurnya lalu membuka pintu.
Saat itu pula detak jantung Elian seakan berhenti beberapa detik.
Pasalnya, ia mendapati Arvin kini berdiri tepat di hadapannya. Satu tangan pacarnya itu menenteng kresek yang menguarkan aroma mie ayam, sementara tangannya yang lain justru dibalut perban; tepatnya pada bagian siku Arvin.
“Ar, itu tangan kamu kenapa?”
Arvin mendesis pelan, “Tadi aku keserempet mobil di jalan, Lian.”
Mata doe Elian kian membesar, sementara mulutnya setengah terbuka. Firasatnya tidak salah. Alasan mengapa Elian merasa gelisah bahkan resah sedari tadi nyatanya karena sesuatu yang buruk telah terjadi kepada Arvin.
“Terus kenapa kamu gak ngechat aku, Ar?” Nada khawatir di suara Elian bercampur dengan kesal.
“Kan aku bisa nyusulin kamu ke sana,” katanya, “Jadi siapa yang nganterin kamu pulang ke kos?”
“Aku nggak mau kamu khawatir kalau tau aku abis kecelakaan.” jawab Arvin, “Lagian lukanya gak parah kok. Tadi aku dibantuin ke RS sama orang-orang di sana.”
“Aku juga dianterin pulang sama mereka,” jelas si pemilik lesung pipi, namun Elian mendengus.
“Terus kamu pikir aku bakalan baik-baik aja kalau ngeliat kamu pulang dalam keadaan kek gini?”
“Emang kenapa sih kalau aku khawatir? Aku pacar kamu, Ar.”
“Aku pasti khawatir kalau kamu kenapa-kenapa,” timpal Elian.
“Aku teh pengen selalu ada buat kamu, mau itu kamu lagi dalam keadaan susah atau senang.” kata Elian, “Atau aku nyusahin kamu ya kalau lagi khawatir? Apa aku ngeselin? Bilang weh sama aku.”
“Biar besok-besok aku enggak ngulangin lagi kalau emang cara aku nge-khawatirin kamu salah.”
Suara Elian memang masih amat lembut di telinga Arvin, dia sama sekali tak meninggikan intonasi suaranya. Elian nampak tenang. Namun, Arvin bisa membaca raut kecewa dari sorot mata Elian.
“Bukan gitu, Lian. Tapi aku teh paham, kamu kalau khawatir pasti bakalan datengin aku…”
“Padahal aku kan pengen kamu istirahat aja,” jelas Arvin, “Apalagi kamu juga kesusahan buat jalan gara-gara yang semalam, aku tau kamu bakalan maksain diri kamu buat nyusulin aku kalo kamu tau.”
“Belum lagi kamu teh masih suka buta arah,” Arvin tersenyum tipis.
“Aku gak mau kalau sampai kamu nyasar lagi. Kalo di jalan ada yang jahatin kamu gimana? Aku takut.”
Elian lantas membuang muka.
“Ya kan kamu bisa jelasin gini ke aku tadi, tapi kamu malah nggak balesin chat aku.” sela Elian lirih.
“Aku minta maaf, Lian. Pas kamu nge-chat, luka aku baru dijahit.”
“Kamu udah dua kali kayak gini,” cebik Elian. “Kamu pas digebukin sama orang dulu juga gak bilang.”
Arvin menipiskan bibirnya sesaat sebelum mencondongkan badan hingga ia mencium pipi kiri Elian.
“Aku minta maaf ya,” ulang Arvin.
“Aku gak bakalan ngulangin lagi kalau kamu nggak suka,” katanya.
“Aku cuma khawatir kalau kamu juga kenapa-kenapa di jalan. Aku juga nggak mau kamu kepikiran mulu sambil nunggu aku pulang.”
“Tapi aku juga gak mau bohongin kamu, jadi aku nggak bales chat kamu pas ini udah selesai dijahit.”
Elian tidak mengatakan apa-apa sebelum berbalik dan masuk ke kamarnya. Sementara Arvin yang masih berdiri di ambang pintu seketika bergegas mengikutinya.
“Ini aku udah beliin mie ayam,” bujuk Arvin yang paham bahwa saat ini Elian sedang merajuk.
Melihat Elian justru berbaring di atas tempat tidur dengan posisi membelakanginya, Arvin lantas menghela napas pelan. Dia lalu meletakkan mie ayam di atas meja kecil yang tidak jauh dari ranjang Elian sebelum duduk melantai di sisi tempat tidur itu.
“Lian, kamu marah?” tanya Arvin.
“Enggak,” jawab Elian.
“Tapi aku mau diemin kamu dulu lima belas menit,” sambungnya.
Arvin tersenyum tipis, sedang satu tangannya yang tidak sakit perlahan mengelus rambut Elian.
“Aku jadi inget Ami kalau lagi bikin adonan kue,” kata Arvin.
“Musti didiemin lima belas menit juga, biar ngembang,” candanya.
“Emang aku kayak kue ya, Lian?”
Elian menoleh ke Arvin dengan tampang datarnya, “Gak lucu.”
“Aku gak ngelucu,” balas Arvin.
“Aku beneran nanya, soalnya kan yang didiemin lima belas menit itu biasanya cuma adonan kue.”
“Aku kayak adonan kue ya, Lian?”
Senyum Elian tertahan di ujung bibirnya, “Kamu roti, bukan kue.”
“Aku diemin kamu, biar kita satu sama.” timpalnya, “Tadi kan kamu diemin chat aku pas di RS. Lebih dari lima belas menit malahan.”
“Sekarang giliran kamu,” jelas Elian lalu kembali berbaring menyamping, membelakangi Arvin yang duduk melantai.
Arvin pun hanya tersenyum tipis lalu meraih gawai di sakunya. Ia lalu menyalakan timer yang kini telah menghitung mundur waktu lima belas menit. Setelahnya, ia meletakkan gawai di sisi Elian.
Sementara itu, Elian diam-diam tersenyum tipis saat merasakan telunjuk Arvin bermain-main di punggungnya. Mulanya, Arvin hanya membentuk pola abstrak.
Namun, setelahnya, Elian dapat merasakan bagaimana si pacar menulis huruf ‘I’ diikuti gambar simbol hati, dan diakhiri dengan huruf ‘U’ yang jika digabungkan akan membentuk kata “I love u.”
Tak hanya berhenti di situ, Arvin lantas kembali menulis kalimat lain. Elian bisa membaca bahwa pacarnya itu baru saja menulis, “Aku minta maaf,” dengan jarinya.
Tidak tahan dengan tingkah lucu Arvin, Elian lantas berbalik. Kini ia berbaring menyamping dalam posisi wajah yang berhadapan dengan Arvin. Elian tersenyum.
“Kamu—”
Baru saja Elian hendak bicara, tapi Arvin sudah lebih dahulu memotongnya. Pacarnya itu meletakkan jari telunjuk tepat di atas bibir Elian, yang membuat dia tak melanjutkan ucapannya.
“Belum cukup lima belas menit,” tutur Arvin, “Biarin aku ngomong sendiri. Ini hukuman aku karena nge-diemin chat kamu dari tadi.”
Elian mengulum senyumnya, sementara jemari Arvin beralih membelai lembut pipi pacarnya.
“Pas di jalan pulang tadi, aku teh kepikiran mau beli mawar buat kamu. Apalagi, akhir-akhir ini aku ngeliat kamu suka senyum bahagia gitu kalau lagi bantuin si Ami nyiram bunganya di rumah.”
“Sekalian buat ngasih surprise romantis di anniversary kita.”
Arvin tersenyum, “Jadi aku pergi ke toko bunga dulu, beliin mawar buat kamu. Pas di jalan pulang ke Cipaganti, eh aku kecelakaan…”
Wajah Arvin mendadak murung.
“Bunga yang udah aku beli buat kamu hancur di jalan,” lirihnya.
“Aku udah ngasih kamu surprise, bukan bunga, tapi jahitan di siku.” cebik Arvin, “Gak jadi romantis.”
Elian terkekeh pelan sebelum menarik tengkuk Arvin dengan satu tangannya. Alhasil, jarak wajah Arvin dan Elian kini hanya terpaut beberapa centimeter.
Sampai saat Elian sudah bisa merasakan deru napas hangat Arvin, dia lantas memejamkan mata. Arvin yang telah paham dengan alur ciptaan Elian pun seketika membuka mulutnya.
Arvin menangkap lalu melumat celah ranum Elian amat lembut. Pun Elian yang membalas setiap pergerakannya dengan telaten.
Keduanya sama-sama larut ke dalam pagutan mesra itu. Baik Elian maupun Arvin bahkan tak ragu lagi untuk bermain lidah.
Meski tak ada kata yang terucap, namun mereka telah memahami satu sama lain. Pun di perjalanan kisah asmara mereka yang masih terkadang menimbulkan sebuah perbedaan argumen, tapi Elian dan Arvin mampu mengatasinya.
Terlalu larut dalam ciuman itu, Arvin dan Elian akhirnya dibuat sadar oleh suara notifikasi timer. Keduanya kemudian mengakhiri pagutan itu dengan satu kecupan lembut sebelum berbagi senyum.
“Udah lima belas menit, Lian.”
Elian mengangguk, “Tapi lain kali langsung kabarin aku kalau kamu ada apa-apa di jalan ya? Tolong.”
“Iya, Lian.” sahut Arvin. “Tapi kamu juga harus bisa mikirin diri kamu sendiri ya? Karena aku gak mau kamu ikut kenapa-kenapa.”
Elian tersenyum, “Iya, Sayang.”
“Mie ayam kita udah dingin,” kata Arvin, “Kita makan sekarang ya?”
“Mm,” gumam Elian lalu bangkit dari posisinya. “Biar aku pindahin ke mangkuk dulu ya di dapur, Ar.”
Arvin menyetujui dan hanya membiarkan Elian membawa kresek berisi mie ayam tadi ke dapur. Tak lama setelahnya, Elian lantas kembali ke kamar dengan membawa nampan berisi dua mangkok mie ayam favorite-nya.
Elian kemudian meletakkannya di atas meja kecil yang ada dalam kamarnya. Elian dan Arvin pun duduk lesehan di depan meja itu dengan posisi saling bersisian.
Melihat Arvin hendak meraih sendok dengan tangan kirinya—sebab tangan kanannya terluka—pun membuat Elian dengan sigap menahan pergerakan pacarnya.
“Biar aku yang nyuapin kamu.”
“Aku bisa makan pakai tangan kiri kok, Lian.” Arvin tersenyum. “Kamu makan aja, kamu udah nunggu mie ayam dari tadi kan?”
Elian menghela napas, “Selama tangan kanan kamu masih sakit, biar tangan aku yang ngegantiin.”
“Apa gak mau disuapin aku?”
“Mau,” jawab Arvin malu-malu.
Arvin lalu mengulum senyumnya sambil memerhatikan Elian yang kini telah menyendok mie ayam dengan bantuan garpu. Elian lalu menyodorkan makanan itu tepat di depan mulut Arvin. Alhasil, si pemilik lesung pipi pun melahap mie ayam itu. Elian tersenyum.
“Kamu juga makan, Lian.”
Elian mengangguk paham lalu melahap mie ayamnya sendiri. Arvin yang melihat sang pacar begitu menikmati makanannya pun terkekeh sebelum bersuara.
“Enak?”
Elian melirik Arvin.
“Mie ayamnya?” ia bertanya balik sebelum membuang pandangan pada meja, “Apa yang semalem?”
“Mie ayamnya, Lian.” kata Arvin.
“Oh…” Elian menahan senyum dengan pipinya yang memanas.
“Enak kok,” katanya, “Mie ayam ini mana pernah enggak enak.”
“Kalau yang semalem?”
Pertanyaan Arvin membuat Elian kembali menoleh pada pacarnya.
“Enak juga,” sahut Elian sebelum menghindari tatapan pacarnya.
“Gak pernah gak enak,” cicitnya lalu mendesis, “Udah, aku malu.”
“Tadi kamu yang mulai ih,” kekeh Arvin lalu mencubit pipi Elian.
“Soalnya semalem aku kayaknya lupa muji kamu gara-gara udah ketiduran duluan,” kata Elian.
“That was great,” timpalnya. “Kamu makin jago sekarang.”
“Ai kamu,” Arvin menunduk lalu terkekeh, “Aku juga malu, Lian.”
“Ya udah, lanjut weh makan mie ayamnya. Buka mulut kamu, Ar.”
Arvin tersenyum lembut lalu mengindahkan titah Elian yang kemudian kembali menyuapinya.