Through The Night

Biru yang sedang duduk di kursi konsultasi lantas mendesis saat Jeva tiba-tiba menghampirinya. Jeva kemudian mencubit gemas kedua pipi Biru hingga kepalanya sedikit bergoyang karena hal itu.

“Lo udah tidur ya, hm? Ditanyain apa jawabnya apa.” Jeva terkekeh.

“Jev, lepasin! Sakit,” keluh Biru.

Tersenyum manis, kedua Ibu jari Jeva pun beralih mengusap pelan pipi Biru yang memerah karena ulahnya. Namun, Biru buru-buru menepis tangan Jeva bersamaan dengan seorang perawat wanita yang berjalan mendekati mereka.

“Eh, Mba Dian. Abis darimana?” tanya Jeva diikuti senyum ramah.

“Abis ngecek bangsal, Jev.” jawab perawat wanita itu, “Kalian udah follow up pasien-pasien di bed?”

“Udah, Mba.”

“Udah, Mba.”

Jeva dan Biru kompak menjawab. Sang perawat pun mengangguk.

“Kalian boleh istirahat sekarang,” katanya, “Di RSJ gak butuh waktu 24 jam pengawasan sebenarnya, cuman ya, kalian pasti udah bisa ngerasain pas nanganin pasien-pasien siang tadi se-capek apa.”

“Aku udah ngajakin si Biru buat masuk ke rest room Koas, Mba. Tapi anaknya malah ngelantur,” cibir Jeva, sedang Biru mendelik.

“Udah, buruan tidur bentar. Kita nggak ada yang tau loh Konsulen bakal visit jam berapa, tiba-tiba.”

Sang Perawat menepuk pundak Jeva juga Biru sambil tersenyum.

“Kalian udah kerja keras hari ini.”

Jeva mengacungkan jempolnya, “Mba Dian juga ya, met istirahat.”

“Oke.”

Selepas Perawat wanita itu pergi, Jeva kembali memandangi Biru.

“Ayo, Bi.”

Biru pun cuma bisa pasrah ketika Jeva mencengkeram pergelangan tangannya sebelum menariknya hingga kini dia berdiri dari kursi.

“Perawat-perawat di RSJ ini pada baik. Ya gak sih, Bi?” tanya Jeva sembari melangkah beriringan dengan Biru menuju rest room untuk Koas. Satu lengannya pun merangkul pundak lebar Biru.

“Mm,” Biru setuju.

“Padahal, kalo denger cerita dari senior kita, mereka bilang Koas tuh kayak kain pel di RS. Nggak ada harga dirinya di mata orang RS lah, bakalan dijulidin Residen, perawat sampe admin-adminnya lah, segala macem,” oceh Jeva.

“Tapi ternyata gak se-nyeremin itu ya di RSJ ini,” timpalnya, “Gue malah berasa diterima di rumah baru yang bikin gue musti kenal sama orang-orang di dalamnya.”

And it makes me happy to know someone else’s life story,” katanya. “Pasien-pasien di sini gak cuma bikin gue belajar lebih soal Ilmu Kejiwaan… Tapi pelajaran hidup juga ada. Menurut elo gimana?”

“Sama,” sahut Biru, “Baru sehari di sini, tapi udah banyak behind story pasien yang bikin gue tuh terdorong buat lebih menghargai hidup dan mati,” jelas Biru yang membuat Jeva mengacak-acak rambut Biru sambil tersenyum.

I’m glad to know that,” kata Jeva. “Gue juga seneng lo mau cerita.”

Biru mendengus pelan diikuti senyum tipis, “Lo ngomong gitu tuh seolah-olah gue gak pernah cerita banyak hal sebelumnya.”

“Justru gue bilang gitu supaya lo tau how much I appreciate every single story you have shared with me, Bi.” kata Jeva, “Gue tau, lo itu anaknya logical thinking banget.”

“Lo kadang gak mau cerita soal hal yang menurut logika lo gak penting-penting amat,” timpal Jeva, “Padahal it means a lot to me, gue seneng lo cerita ke gue.”

Biru menarik napas, “Kita terlalu berbeda buat nyatu jadi temen.”

“Gue suka diem, elo suka bawel. Gue suka tenang, eh lo bar-bar.” katanya, “Makanya lemah sinyal.”

Jeva seketika tergelak di lorong rumah sakit saat mendengarkan ocehan Biru. Sementara teman Koas-nya itu refleks menyikut perut Jeva yang terlalu berisik.

“Lo kalau ketawa pelan-pelan aja dong,” decak Biru, “Orang-orang udah pada tidur. Serem tau gak?”

“Abisnya elo bilang lemah sinyal,” balas Jeva dengan sisa tawanya. “Jadi, kita tuh udah connect as friends tapi low bandwidth gara-gara banyak banget ya bedanya. Kayak gitu kan maksud lo, Bi?”

“Mm,” gumam Biru.

“Pinter juga lo,” puji Jeva.

Biru melirik Jeva, “Emang elo.”

“Iya, iya, gue kalah kali ini.” Jeva menarik pelan daun telinga Biru. “Jadi lo udah gak kesel lagi kan sama gue, Bi?” tanyanya, sedang Biru hanya mengangguk singkat.

Kedua anak Koas itu kemudian menghentikan langkah di depan pintu rest room untuk membuka pintu. Namun, saat Jeva dan Biru telah masuk, alangkah kagetnya mereka ketika mendapati bahwa beberapa ranjang yang dibuat menempel dan berjejer telah dipenuhi oleh Koas lain yang sudah berlabuh ke alam mimpi.

Sebenarnya, jika Koas lain tidur dengan posisi yang lebih rapi, Biru dan Jeva masih mendapat ruang untuk merebahkan tubuh mereka sejenak. Sayangnya, kaki Koas lain telah melebar ke mana-mana. Ada yang mengangkang, ada yang tidur seperti bayi di dalam kandungan, adapula yang kakinya telah membentuk arah jam sembilan. Amat berantakan.

“Bi, kayaknya di pinggir sana tuh masih bisa buat satu orang deh,” Jeva menunjuk sisi kosong yang berada tidak jauh dari tembok.

“Lo rebahan di sana aja,” katanya.

Biru mengernyit, “Lo gimana?”

“Gue di lantai, gak apa-apa.”

Jeva pun menarik lengan Biru agar segera menghampiri sisi ranjang yang kosong. Sedang Jeva sendiri hendak duduk di samping ranjang tipe single bed yang tidak terlalu tinggi itu; bahkan buat masuk ke kolongnya aja, badan Jeva nggak akan muat.

Namun, baru saja Jeva ingin mendaratkan pantat di lantai, Biru tiba-tiba saja menahan pergerakannya. Temannya itu mencengkeram lengan kirinya.

“Biar gue aja yang di lantai,” kata Biru sebelum duduk melantai.

Jeva lantas tidak mengindahkan. Dia justru berjongkok di depan Biru sambi melipat lengan di atas lututnya. Jeva senyam-senyum.

“Kok lo perhatian banget sih, Bi?”

Biru menghela napas, “Minggir. Gue mau istirahat, stop ngoceh.”

“Lo kalo udah perhatian gini tuh, bikin gue berasa diperhatiin ama pacar deh. Mana tadi kita juga—”

Ucapan Jeva terhenti. Pasalnya, dia refleks mengulum bibirnya sambil menahan tawanya saat Biru tiba-tiba bangkit sebelum naik ke atas ranjang di sisinya.

Good night, Bi.”

Biru yang telah terlentang di atas sisi kosong ranjang tadi sembari memejamkan matanya pun tidak menjawab. Sementara Jeva yang kini duduk melantai di samping Biru pun melipat dua lengannya di atas ranjang; tepat di sebelah pinggang Biru. Jeva tersenyum.

“Jangan nendang kepala gue ya, Bi.” tutur Jeva setengah berbisik sebelum merebahkan kepalanya di atas lengan yang dia lipat tadi. Jeva kemudian ikut memejamkan matanya, bersiap untuk tidur.

Menit demi menit pun berlalu, hanya suara jarum jam di dalam ruangan yang mengisi sunyinya malam di Rumah Sakit Jiwa itu. Namun, Biru yang sedari tadi memejamkan mata nyatanya tak bisa tertidur. Padahal, kondisinya saat ini sedang amat kelelahan.

Sekarang, Biru malah membuka mata lalu menoleh ke arah Jeva. Cukup lama memandangi sang teman, satu tangan Biru lantas bergerak. Dia mengusap lembut puncak kepala Jeva, seperti yang Jeva lakukan padanya siang tadi.

Biru tau, Jeva juga sama lelahnya kayak dia. Entah kebetulan atau tidak, mereka emang bau hari ini.

Usapan-usapan lembut yang dia berikan kepada Jeva kemudian terhenti saat temannya itu tiba-tiba membuka mata. Dan sialnya, Biru yang terkejut justru refleks menarik tangannya dari kepala Jeva dan meletakkannya di atas perut. Alhasil, saat ini dia seperti maling yang baru saja kepergok.

Biru pun dibuat semakin terkejut kala Jeva meraih tangannya tadi. Jeva menuntun tangan Biru agar berada di atas kepalanya—lagi.

“Biarin gini, Bi.” gumam Jeva.

Biru gak menolak, tapi juga gak menjawab. Biru hanya kembali memejamkan mata dengan satu tangan memegangi kepala Jeva.

“Bi?”

“Mm,” jawab Biru, masih sambil memejamkan mata rapat-rapat.

Namun karena Jeva tak kunjung bersuara selama beberapa saat setelah dia merespon, Biru pun membuka matanya. Dia menoleh ke Jeva yang nyatanya sedang sibuk menatapnya lekat-lekat.

“Apa?” tanya Biru.

“Gue gak mau balikan sama adek lo,” sahut Jeva sebelum kembali menutup kedua matanya, sedang Biru beralih menatap ke langit-langit ruangan istirahat mereka.