Like A Movie

Biru menatap lurus ke layar lebar di depan sana dengan sorot mata kosong. Semenjak membaca chat Salsa sebelum penayangan film dimulai tadi, pikiran Biru kacau.

Bahkan hingga film yang diputar sudah nyaris selesai, Biru tidak begitu memerhatikan satu demi satu adegan. Biru terlalu sibuk akan hal yang mengganggunya.

Sampai tidak lama berselang, lampu bioskop kembali menyala. Menandakan bahwa pemutaran film juga telah usai. Saat itu pula Biru lantas sadar dari dunianya.

“Gimana film pilihan gue, Bi?”

Biru lalu menoleh pada Jeva yang tiba-tiba bertanya. Dia menelan ludah diikuti anggukan lamban.

“Bagus,” jawab Biru singkat.

Jeva tersenyum, namun tarikan bibirnya terkesan meledek. Biru pun paham akan hal itu. Namun, entah kenapa Biru justru kembali merasa gelisah—bahkan bersalah kepada Jeva yang ada di sisinya.

Biru berpikir kalau Jeva mungkin akan mengira bahwa dia benar-benar tidak ingin jalan bersama. Mengingat sebelum berangkat ke bioskop tadi, Biru terkesan malas untuk sekedar bersiap-siap saja.

Lalu sekarang, Biru pun terkesan tidak menikmati film yang dipilih oleh Jeva. Jelas jika Jeva tau kalau pikiran dan raganya tak bersama.

“Pulang yuk,” ajak Jeva sebelum bangkit dari kursi, diikuti Biru.

Biru yang mengekor di belakang Jeva tidak henti-henti meremas jemarinya. Terlebih melihat Jeva hanya berjalan di depannya dan tidak berceloteh lagi kepadanya.

“Jev…”

Langkah Jeva terhenti ketika Biru memanggilnya. Dia lalu berbalik.

“Mm?” Jeva mengangkat alisnya.

“Lo udah mau langsung pulang?”

“Kenapa, Bi?” Jeva balik bertanya, “Kalau lo mau mampir ke suatu tempat bilang aja, gue anterin.”

Biru menghela napas, “Gue mau jalan kaki di luar bentaran. Elo bisa nemenin gue nggak, Jev?”

“Boleh,” jawab Jeva, “Mampir di taman aja mau gak? Rame sih, tapi entar kita bisa nyari spot yang agak sepi biar lo tenang.”

Biru mengangguk, “Oke.”


Seperti yang telah Biru dan Jeva sepakati, usai meninggalkan area bioskop yang berada di mall tadi, kini mereka telah sampai di salah satu taman Ibukota. Pengunjung yang berdatangan pun terbilang ramai, mengingat saat ini adalah akhir pekan. Namun, Jeva lantas membawa Biru ke sudut taman yang cukup sepi. Meski masih ada beberapa orang yang sibuk berolahraga di sana, tapi Jeva yakin hal itu tidak mengganggu.

“Ada apa?” Jeva membuka suara, “Gue perhatiin, lo kayaknya lagi banyak pikiran banget sekarang.”

“Gue kepikiran soal Dara,” sahut Biru sambil berjalan beriringan dengan Jeva, “Ternyata si Salsa suka sama dia, terus gue tegur.”

Jeva menoleh ke Biru, “Terus?”

“Salsa tetep ngotot mau deketin Dara,” jelas Biru, “Padahal gue udah bilang, hubungan sejenis itu gak bakal bisa Dara terima.”

“Dia malah bawa-bawa lo tadi. Katanya lo aja bisa ngasih gue perhatian, masa dia nggak bisa gitu juga ke Dara?” timpalnya.

Jeva tertawa hambar sebelum memasukkan kedua tangannya yang tiba-tiba dingin ke saku jaketnya, “Kenapa jadi gue sih?”

“Tau tuh,” Biru lalu melirik Jeva sekilas, “Dia ngira lo naksir gue.”

“Padahal selama ini elo emang cuma perhatian ke gue sebagai sohib lo kan, Jev?” tanya Biru.

Jeva tersenyum miring, “Mhm.”

“Gara-gara mikirin si Salsa, gue jadi gak fokus nonton film tadi.” Biru mendengus, “Gue jadi gak enak banget sama lo sekarang.”

Ucapan Biru itu sekaligus jadi ajang minta maafnya ke Jeva.

“Lo gak enak sama gue?” kekeh Jeva lalu merangkul bahu Biru. “Gue temen lo, Biii. Gue ngerti banget kok lo orangnya gimana.”

“Jujur, gue juga sempet ngerasa gak enak sama lo sih tadi.” lanjut Jeva, “Gue malah bawa lo jalan, padahal lo mungkin butuh waktu di rumah buat nenangin diri lo.”

“Lo gak enak sama gue?” balas Biru, meniru ucapan Jeva tadi. “Gue temen lo, Jev. Gue ngerti.”

Kedua anak manusia itu tertawa ringan sebelum kembali menatap kosong ke arah jalan di hadapan mereka. Mereka jelas sama-sama berkutik dengan isi di kepalanya.

Persekian detik berselang, Jeva lantas menarik tubuh Biru saat beberapa pesepeda berdatangan dan menguasai jalan. Jeva takut jika saja Biru terserempet nanti.

Namun tarikannya yang cukup kuat membuat Biru kini justru berakhir di dalam dekapannya. Jeva dan Biru nampak seperti pasangan yang berpelukan di tepi jalan dalam taman kota itu.

Sejenak, keduanya hanya terdiam dalam keterkejutan. Baik itu Jeva maupun Biru seketika menahan napasnya. Terlebih saat mereka merasakan hangat dari tubuh satu sama lain. Pun degupan jantung yang menggila di dada.

“Bi?” Jeva berdeham, “You okay?”

Sadar dari apa yang baru saja terjadi, Biru lantas buru-buru menarik dirinya dari pelukan Jeva. Dia kemudian mengangguk.

Sorry, tadi gue ngelamun pas jalan.” katanya, “Makasih, Jev.”

“Oke,” Jeva menepuk bahu Biru.

Biru dan Jeva kembali berjalan mengitari taman. Namun, kali ini Biru bahkan merasa terganggu hanya dengan melihat wajah Jeva saat dia menoleh. Biru gelisah.

“Lo haus lagi gak, Bi?” tanya Jeva.

“Kita pulang aja.”

Biru yang sudah kepalang pusing hanya ingin cepat-cepat pulang. Sementara Jeva hanya melongo mendengar ajakan tiba-tiba Biru. Terlebih saat Biru lantas berjalan maju ke depan dengan tergesa.

“Bi! Biru!” teriak Jeva.

“Cepetan! Gue mau pulang!” kata Biru tanpa menoleh ke Jeva yang masih tertinggal di belakangnya.

“Tapi arah pulang bukan ke sana, Bi! Ke sini, woy!” balas Jeva yang membuat Biru mengacak-acak rambutnya frustasi sebelum berbalik ke Jeva yang menunggu.

“Ayo!” seru Biru sebelum kembali melewati Jeva yang keheranan.

“Lo kenapa sih, Bi?”

“Jangan ngajak gue ngobrol!”

Jeva melotot lalu mengejar Biru. Ia menyamakan langkah mereka.

“Lo gak kesambet kan, Bi?”

“Gak.”

Jeva mendesis, menunduk sekilas ke kaki Biru yang langkahnya kini seperti orang yang dikejar-kejar oleh hantu. Biru mendadak aneh.

“Bi, lo berhenti dulu deh. Tali sepatu lo lepas, entar lo jatuh.”

Biru tidak peduli. Dia tetap tidak menghiraukan Jeva yang terus saja membayang-bayanginya.

Sejak tidak sengaja berpelukan tadi, Biru merasa dirinya aneh.

Sementara itu, Jeva yang tidak kunjung mendapat perhatian Biru seketika menghadang jalan si pemilik mata belo. Jeva berdiri tepat di hadapan Biru sembari menahan pundak temannya itu.

“Gue gak tau lo kenapa tiba-tiba kayak gini,” Jeva menatap lamat wajah Biru yang kini membuang muka ke arah lain, “Kalau gue salah, gue beneran minta maaf.”

But please, Bi…” Jeva menghela napas pelan, “Diem dulu. Oke?”

Biru menelan ludah saat ekor matanya menangkap pergerakan Jeva. Temannya itu berjongkok di hadapannya lalu mengikat tali sepatu ya yang memang terlepas.

Rasanya semakin aneh sekarang.

Kala Jeva telah kembali berdiri tegak di hadapannya, Biru pun melewati teman Koas-nya itu. Biru memimpin jalan ke parkiran.

“Bi, seriously… Lo kenapa?!”

Biru bisa mendengar suara Jeva yang amat frustasi di belakang sana. Namun dia pun sama. Biru juga sama frustasinya sekarang.