“Deva…”
“Sayang…”
Deva terbangun dari tidurnya saat mendengar suara Arga. Ia kemudian membuka mata lalu menoleh ke sang suami yang berbaring tepat di sisi kanannya.
Meski saat ini kamar mereka hanya diterangi dengan lampu tidur yang remang, namun Deva masih bisa melihat Arga sedang membalut tubuhnya dengan selimut. Deva pun heran kenapa sang Alpha tiba-tiba terbangun.
“Iya, Mas?”
“Bisa minta tolong kecilin AC?” Pinta Arga, “Aku kedinginan.”
Deva sejujurnya kaget. Pasalnya, suhu AC di kamar tidak berbeda dari malam-malam sebelumnya. Namun, kali ini suaminya justru merasa kedinginan. Jelas kalau ada yang gak beres, pikir Deva.
Terlebih, sudah beberapa hari terakhir Arga mengeluh merasa tidak enak badan. Suaminya itu pun mengaku amat kelelahan.
“Bentar ya, Mas.”
Deva buru-buru bangkit sebelum meraih remote AC di atas nakas. Ia kemudian menaikkan suhu AC beberapa derajat dan menunggu sebentar lalu menoleh ke Arga.
“Segini udah cukup?”
“Mm,” gumam Arga, “Makasih ya.”
Sang Alpha lalu menepuk pelan sisi kosong dimana Deva tidur tadi, “Kamu balik bobo lagi sini.”
“Peluk aku,” titah Arga.
Mengangguk patuh, Deva lantas menyanggupi keinginan Arga. Ia ikut berbaring menyamping di sisi Arga lalu mendekap tubuh kekar nan berotot suaminya.
Namun, hanya persekian sekon berselang, Deva dibuat terkejut saat merasakan betapa panas suhu tubuh Arga. Deva lantas mendongak, menatap wajah si pujaan hati sambil meletakkan satu tangannya di kening Arga.
“Ya ampun, Mas.” Deva semakin terkejut, “Kamu demam tinggi.”
“Aku mau nyalain lampu bentar, boleh ya, Mas?” tanya si Omega.
“Kamu mau ngapain?” Arga lalu melirik jam digital di atas nakas, “Sekarang masih jam dua pagi.”
“Aku mau ngambil paracetamol.”
“Gak usah,” Arga lantas menahan lengan Omeganya, “Kamu tidur lagi aja. Paling besok udah reda.”
“Aku gak bisa tidur kalau badan kamu panas kayak gini, Mas…”
Raut wajah Deva amat khawatir. Sesekali ia mengusap pipi Arga.
“Badan kamu ada yang sakit gak, Mas?” tanya Deva, “Aku ambilin paracetamol ya? Jadi kalau besok pagi demam kamu gak reda, aku bisa langsung telepon Dokter.”
Arga menghela napasnya sambil menahan senyum, “Kamu kalau mau nanya, satu-satu dong. Ck!”
“Aku khawatir, Mas.”
“Aku cuma kedinginan,” Arga mencoba menenangkan Deva.
“Badan aku agak nyeri sih, tapi masih bisa aku tahan kok. Sakit kepala aku yang semalem juga udah mendingan,” jelas si Alpha.
“Dari kemarin aku udah bilang, kita ke dokter aja buat meriksa kondisi kamu.” lirih Deva, “Kalau udah kayak gini gimana? Bisa-bisa kamu musti diopname, Mas.”
“Kamu kok ngomelin aku?” balas Arga, “Aku lagi sakit. Bukannya disayang-sayang, ini aku malah diomelin. Kamu ini gimana sih?”
“Ya abisnya, Mas Arga gak mau dibilangin.” cebik Deva, “Kamu malah nunggu sampai kamu gak bisa lagi nahan sakitnya. Terus nanti kalau udah parah gimana?”
“Kamu bawel banget deh,” Arga mencubit gemas hidung Deva.
“Aku bawel karena aku sayang sama kamu, Mas.” lirih Deva.
Arga tersenyum, “Iya, aku tau.”
Menghela napas, Deva kemudian meraih satu tangan Arga. Ia lalu menciumi punggung tangan si Alpha sejenak sebelum bersuara.
“Aku ambilin kamu paracetamol dulu ya, Mas? Sama air mineral.”
Arga memberi respon anggukan, membuat Deva tersenyum lega.
“Tapi jangan lama ya, Sayang?”
“Iya.”
Senyum kemenangan terpatri dengan jelas di bibir Arga ketika Deva bangkit, menyalakan lampu utama kamar dengan remot lalu menyempatkan dirinya untuk menciumi pipi sang Alpha sesaat.
“Mas merem aja dulu,” kata Deva sambil menarik selimut hingga menutupi tubuh Arga sebatas leher, “Aku ke bawah bentar ya.”
“Sepuluh menit,” gumam Arga, “Kalo kamu balik ke kamar lewat dari sepuluh menit, aku cium.”
Deva pasrah, “Iya, Mas.”
Pandangan Arga pun tak pernah lepas dari Deva yang kini berjalan dan hendak keluar dari kamar. Bahkan sampai saat Omeganya itu telah hilang dari pandangan, Arga masih saja memandangi objek yang sama; pintu. Seolah tidak ingin melewatkan sedetik pun ketika Deva kembali nanti.
Lantas, apa Arga masangin timer untuk ngitung sepuluh menit itu?
Tentu tidak. Arga hanya senang melihat raut wajah pasrah Deva. Sama seperti ketika Omega itu takluk di bawahnya saat mereka bercinta. Mengusili Deva adalah hal yang ia sukai akhir-akhir ini.
Tidak lama berselang, Deva pun kembali ke kamar. Ia membawa nampan yang di atasnya terdapat mangkuk, segelas air mineral dan satu tablet obat penurun panas.
Deva kemudian duduk di tepi ranjang setelah meletakkan nampan yang ia bawa di atas nakas. Sementara itu, Arga yang mendapati uap menguar dari mangkuk di atas nakas lantas memicingkan mata penasaran.
“Itu kamu bawa apa?”
“Aku abis manasin sup, Mas.” kata Deva, “Kamu makan dikit dulu ya sebelum minum obat? Biar badan kamu juga anget,” jelas si Omega.
“Disuapin gak?” Arga memicing.
Deva mengangguk, “Iya, Mas.”
Menahan senyumnya, Arga lalu merentangkan kedua tangan ke arah Deva. Si Omega yang telah paham pun dengan sigap meraih lengan Arga dan membantunya untuk bangun. Kini Arga duduk sambil bersandar di headboard.
Sementara itu, Deva lalu meraih mangkuk sup dari atas nakas. Ia menyendoknya, meniup sejenak sebelum menyodorkan ke Arga.
“Pelan-pelan, Mas.” kata Deva.
Arga pun melahapnya, namun di suapan pertama itu alis si Alpha tiba-tiba saling bertaut. Alhasil, Deva yang melihatnya bertanya.
“Kenapa, Mas?”
“Kok pait sih?” protes Arga.
“Lidah kamu pasti pahit gara-gara kamu demam tinggi, Mas.” Deva kembali menyendok sup, “Tapi kamu harus tetep makan ya, Mas? Biar kamu gak lemes.”
Arga menggeleng, “Aku udah gak bisa nelen, Dev. Pengen muntah.”
“Ya udah,” Deva meletakkan sup kembali ke nampan di atas nakas, “Tapi besok pagi makan ya, Mas.”
“Ck!”
Mendengar Arga berdecak pelan membuat Deva menatap wajah suaminya itu lekat-lekat. Arga yang merasa terintimidasi pun menghela napas lalu bersuara.
“Iya,” katanya, “Tapi disuapin.”
“Mas Arga kenapa tiba-tiba manja gini deh?” Deva heran.
“Aku gak manja, tapi aku tuh mau diperhatiin sama kamu.” jawab si Alpha, “Biar aku bisa nunjukin ke Danu kalau bukan cuma dia yang bisa disuapin sampai dipuk-puk.”
Arga kemudian terkekeh renyah, namun Deva justru sebaliknya. Ia menatap sang suami dengan raut sedu, membuat Arga yang sadar akan hal itu memicingkan mata.
“Kamu kenapa natap aku kayak gitu sih?” Arga mencubit pelan pipi kanan Deva, “Jangan bilang kamu udah mikir yang gak-gak?”
“Kamu mikir kalau aku bakalan mati ya? Ngaku,” timpal Arga.
Deva menggeleng sambil meraih kedua tangan suaminya. Ia lantas mengenggamnya, masih dengan tatapan yang amat lamat ke Arga.
“Mas Arga, aku minta maaf.” Deva menunduk sesaat, “Kayaknya aku terlalu sibuk merhatiin anak kita, sampai-sampai aku luput dengan tugas aku sebagai suami kamu…”
“Kamu ngomong apa sih?” Sela si Alpha sembari mengangkat dagu Omeganya agar tatapan mereka kembali berjumpa, “Emang aku ada bilang tadi, kalau kamu gak ngejalanin tugas sebagai suami?”
“Gak kok, Mas.” kata Deva, “Tapi aku ngerasa kalau perhatian aku yang terbagi buat kamu sama Danu justru bikin aku enggak merhatiin kamu dengan baik.”
“Kayak sekarang…” timpal Deva, “Kamu sakit gini juga karena aku gak memperlakukan kamu kayak Danu, yang kalau dia udah males makan bakalan aku bujuk sambil aku suapin. Sementara kamu?”
“Gak jarang aku cuma nyiapin makanan buat kamu, ngingetin kamu makan, terus aku tinggal buat ngurusin Danu pas rewel.”
Mata Deva berkaca-kaca. Sedang Arga yang sedari tadi menyimak ucapan Omeganya itu seketika menarik Deva ke pelukan hangat.
“Kan emang harus gini proses buat jadi orang tua, Dev.” kata Arga, “Perhatian kita buat anak sama suami pasti bakal terbagi.”
“Cara kamu memperlakukan aku sama Danu juga gak harus selalu sama kok,” timpalnya, “Aku udah dewasa, aku ngerti cara ngurus diri aku sendiri, aku bisa mikir.”
“Aku cuma seneng aja sih—kalau kamu nge-treat aku the way you did to Danu.” Arga lalu terkekeh.
“Soalnya aku gak mau kalah dari Danu kalau lagi rebutan kamu,” jelasnya lalu beralih menangkup wajah Deva. Membelai pipi sang Omega sejenak dengan ibu jari.
“Aku sakit ya karena setiap yang sehat bakalan sakit, udah hukum alam.” kata Arga, “Bukan karena kamu. Kamu udah jadi Papa sama suami yang terbaik buat aku dan Danu. You’ve done your best, Dev.”
Mendengar Arga menenangkan dirinya dengan nada suara yang amat lembut lantas membuat si Omega terharu. Deva tersenyum tipis sesaat sebelum mengecup singkat bibir suaminya. Namun, Deva heran saat Arga menjauh; suaminya memundurkan kepala.
“Kamu kok nyium aku sih? Ck!”
“Emang kenapa, Mas?” tanya Deva, “Tadi aja kamu bilang pengen nyium aku kalau aku telat balik ke kamar. Iya kan?”
“Ya itu kan bercanda,” kata Arga, “Jangan cium bibir dulu ah, entar kamu malah ketularan sakit lagi.”
“Jadi kita nggak bakalan ciuman selama kamu sakit dong, Mas?” tanya Deva dengan nada jenaka.
“Ck!”
Deva tersenyum sambil meraih obat penurun panas dari atas nakas. Ia mengeluarkannya dari kemasan sebelum menyodorkan tablet itu ke suami tercintanya.
“Mau aku kasih air sekarang gak, Mas?” tanya Deva kepada Arga.
“Gak, tahun depan.” decak Arga, “Ya iya lah, obatnya pahit gini.”
Deva terkekeh, “Ini airnya, Mas.”
Tanpa menunda-nunda, Arga kemudian meminum obatnya. Gelas yang semula terisi penuh dengan air pun kini sudah habis.
“Kamu bobo lagi ya, Mas.” titah Deva sambil meraih gelas dari tangan Arga, “Aku mau balikin mangkuk sama gelas ini dulu.”
“Besok aja,” kata Arga. “Kamu juga balik tidur lagi sini, Dev.”
“Aku nggak bawa tutup mangkok sup tadi, Mas.” Kata Deva, “Kalau wangi kaldu sama pengharum ruangan nyampur, terus tidur kamu keganggu lagi gimana?”
“Ya udah,” Arga mengalah.
Mengecup pipi Arga, Deva lalu berucap. “Cepet sembuh, Mas.”
“Demam kamu masih tinggi nih, Mas.” kata Deva yang baru saja kembali memeriksa suhu tubuh Arga, “Abis ini aku telpon Dokter buat dateng meriksa kamu ya?”
Sang Alpha mengangguk, “Mm.”
“Kalau gitu, aku ke dapur dulu ya? Mau bikinin kamu bubur.”
Arga mendengus. Ia kemudian menahan pergelangan tangan Deva yang masih duduk di sisi kanannya; di atas tempat tidur.
“Minta dibikinin sama Bi Yati aja,” katanya, “Aku tau semalem kamu dikit-dikit kebangun buat ngecek demam aku. Tidur kamu jadi gak cukup. Kalo kamu sakit gimana?”
“Sakit gak enak tau,” timpal Arga.
“Bikin bubur gak lama kok, Mas. Aku juga sekalian mau ngecek Danu udah bangun apa belum,” kata Deva, “Entar aku ajakin dia makan di sini juga, sama kamu.”
“Kamu kalau dibilangin kenapa ngeyel banget sih?” omel Arga, “Kalau sampai kamu kecapean terus sakit, aku ogah ya nemenin kamu. Siapa suruh nggak mau—”
Ancaman Arga terhenti saat Deva tiba-tiba membekap mulut sang Alpha dengan telapak tangannya. Arga yang kaget dengan tingkah Omeganya itu lantas terbelalak.
“Mas, kamu boleh ngomelin aku sepuasnya kalau udah sembuh.” tegas Deva, “Tapi sekarang kamu istirahat aja ya? Gak usah mikirin aku dulu deh, pikirin kesehatan kamu. Aku ngeliat kamu sakit aja udah ikutan sakit juga tau gak?”
Arga melepas tangan Deva dari atas bibirnya, “Kok jadi kamu sih yang ngomel? Aku lagi sakit loh.”
“Aku nggak ngomel, Mas.” tutur Deva dengan nada suaranya yang amat tenang “Aku ke dapur dulu.”
“Jangan lama,” decak Arga.
“Iyaaa.”
Arga hanya menghela napasnya pasrah ketika Deva keluar dari kamar mereka. Setelahnya, Arga memejamkan mata. Sebab, nyeri di kepala juga badannya kambuh.
Saat Arga dalam kondisi antara sadar dan tidak—karena digoda rasa kantuk—ia justru membuka mata. Pasalnya, sebuah telapak tangan kecil nan dingin tiba-tiba mendarat tepat di atas dahinya.
Saat itu pula si Alpha mendapati Danu—yang entah sejak kapan—telah duduk di tepi ranjangnya. Anak lelakinya itu nampak panik.
“Danu bangunin Papi ya?”
Arga tersenyum, “Mm.”
“Maafin Danu ya, Papi.”
“Gak apa-apa, Sayang.” kata Arga,
“Danu kenapa pegang-pegangin keningnya Papi tadi?” tanyanya.
“Kata Papa, Papi lagi sakit.”
Arga tersenyum, “Kening Papi panas gak pas Danu pegang?”
“Iya, Papi.”
Danu kemudian terlihat tengah berpikir sejenak, “Tapi kenapa Papi bisa sakit? Kan Papi suka makan sayur juga kayak Danu.”
Pertanyaan sang anak memang sangat sederhana, namun Arga tidak ingin asal menjawab yang bisa berakibat fatal. Ia tidak ingin Danu beranggapan bahwa makan sayur tidak ada gunanya, seperti menangkal sakit; sesuai dengan yang selalu ia dan Deva ajarkan.
“Papi emang suka makan sayur, tapi akhir-akhir ini Papi jarang olahraga.” jawab Arga, “Papi juga suka jajan sembarangan pas Papi kerja jauh dari Papa sama Danu.”
“Nggak rajin olahraga sama suka jajan sembarangan itu bisa bikin sakit,” timpalnya, “Walaupun Papi suka makan sayur, tapi kan sayur gak bisa jaga tubuh Papi sendiri.”
“Sayur harus punya temen,” jelas Arga, “Temennya itu ya, olahraga sama enggak jajan sembarangan.”
“Danu inget gak pas kita main perang-perangan sama Papa?”
Danu yang sedari tadi menyimak ucapan Papinya itu mengangguk.
“Papa kalah kan kemarin?”
“Iya, Papi.” Danu tertawa ringan sejenak, jelas jika ia mengingat bagaimana Deva kalah darinya dan sang Papi. “Kasian ya Papa.”
“Mm,” Arga terkekeh, “Kemarin Papa mainnya sendiri, makanya gampang kalah dari Danu sama Papi. Soalnya kan Papa gak kuat ngejar kita berdua. Sama kayak sayur tadi. Dia kalah karena gak punya temen, kayak Papa kan?”
Danu kembali mengangguk, tapi persekian sekon setelahnya, dia tiba-tiba membungkuk sebelum memeluk Papinya. Sementara si Alpha yang kini masih terbaring di atas ranjang pun tersenyum.
“Papi kapan sembuh?” gumam si kecil, “Danu gak suka Papi sakit.”
“Kenapa Danu nggak suka kalau Papi sakit?” Arga lalu mengusap rambut hitam anaknya, “Kan kalo Papi lagi sakit, Papa buat Danu.”
“Tapi Papi gak bisa bangun. Gak bisa main sama Danu,” lirih Danu.
“Loh, kan ada Mba Ais, ada Papa juga.” balas Arga, “Emang Danu mainnya harus sama Papi ya?”
Danu lalu kembali duduk tegak di sisi Arga, “Iya, Papi. Danu enggak mau main perang-perangan kalo bukan sama Papi, sama Papa.”
“Danu gak boleh gitu ya, Sayang.” Arga membelai pipi Danu dengan ibu jarinya, “Danu bisa kok main sama siapa aja, nggak harus Papi.”
“Kalau Papi udah pergi, masa sih Danu mau berhenti main? Papa pasti sedih liatnya,” timpal Arga.
Alis Danu pun bertautan, “Emang Papi mau pergi? Mau ke mana?”
“Papi gak mau pergi kok, tapi kan Papi ciptaan Tuhan. Danu inget gak, kalau ciptaan Tuhan itu bisa sakit, bisa sehat, bisa hidup dan bisa mati? Jadi kalau Papi mati nanti, Papi bakal pergi ke Surga.”
Arga pun dibuat kaget kala Danu tiba-tiba merengek. Raut wajah Danu memelas, seperti tak rela.
“Danu nggak mau Papi mati.”
Melihat tingkah Danu membuat otak usil Arga bekerja. Ia mati-matian menahan senyum sambil berpikir tentang apa yang akan ia katakan untuk membuat si kecil menunjukkan ekspresi lucunya.
“Tapi kalau Tuhan udah pengen Papi mati gimana?” desis Arga, “Apalagi Papi sekarang lagi sakit.”
“Gak boleh!” sela Danu, “Tuhan enggak boleh bikin Papi mati.”
“Kenapa Papi nggak boleh mati sih?” decak Arga, “Padahal Papi capek rebutan Papa sama Danu.”
Danu kembali merengek, kali ini sambil memegang tangan kanan Arga. Wajah Danu kian memelas.
“Terus nanti kalau Papi mati nih, kayaknya Papa bakal nikah lagi.” Arga melanjutkan, “Terus Danu punya Papi baru, kayak dongeng Cinderella yang punya Ibu baru.”
Arga mendesis sambil memicing, “Ibu baru Cinderella jahat kan?”
Danu mengangguk dengan amat polosnya, membuat Arga nyaris tertawa. Namun, ia menahannya.
“Jangan-jangan Papi baru Danu nanti juga jahat? Hayolo,” Arga kemudian tertawa seperti tokoh jahat dalam kartun anak-anak.
Danu tidak mengatakan apa-apa, tapi mata anak lelaki itu tiba-tiba berkaca-kaca. Pada waktu yang sama, bibir Danu melengkung ke bawah. Danu menahan tangis.
“Papi gak boleh mati…”
Tepat setelah Danu berucap dengan suara parau, tangisnya seketika pecah. Anak lelaki itu menangis sejadi-jadinya masih sambil memegang lengan Arga.
Arga yang mulanya berpikir jika sang anak hanya akan menangis seperti biasanya pun mendadak panik. Pasalnya, kini Danu justru histeris. Arga bahkan baru kali ini melihat Danu menangis seperti sekarang. Alhasil, ia buru-buru bangun, menenangkan anaknya.
“Papi bercanda, Sayang. Papi gak bakalan mati kok. Ya? Papi minta maaf,” katanya sambil mengusap bahu sang anak, “Papi gak pergi.”
Tangisan histeris Danu nyatanya didengar pula oleh Deva juga Bu Ririn. Membuat keduanya lantas datang ke kamar Arga dan Deva.
“Loh, Sayang.” Deva bergegas menghampiri anak lelakinya, “Danu kenapa nangis, Nak?”
Bu Ririn ikut menghampiri, “Ini anak kamu abis kamu apain, Ga?”
Si wanita paruh baya kemudian mengusap punggung Danu yang kini telah digendong oleh Deva.
“Anaknya sampai sesenggukan gini loh,” katanya lalu memberi tatapan sengit ke Arga, “Jangan-jangan kamu nyubit Danu ya?”
“Aku becandain doang tadi, Ma.”
“Kalau cuma dibecandain kenapa Danu sampai nangis kayak gini?” Bu Ririn masih menuduh si anak semata wayang, “Awas ya kamu kalau cucu Mama diapa-apain.”
Tatapan Arga berubah menjadi datar, “Itu cucu Mama bisa lahir juga karena sperma anak Mama.”
“Mas…”
Deva menatap sang Alpha lamat sebelum menoleh ke mertuanya. Arga yang paham akan tatapan serius Deva pun seketika diam.
“Mas Arga gak mungkin nyubit Danu kok, Ma.” kata si Omega, “Mama gak usah khawatir, ini Danu udah mulai tenang kok.”
“Tuh, Deva aja tau. Mama yang ngelahirin Arga masa gak kenal sih sama anak sendiri?” Protes CEO Hardiyata Group itu, namun Bu Ririn seketika membalasnya dengan tatapan tajam nan kesal.
Sementara itu, Deva yang masih berusaha membuat Danu tenang lantas tak henti-henti mengusap punggung anaknya. Sampai saat Deva merasa Danu sudah bisa berbicara, ia kembali bertanya.
“Danu kenapa, Sayang? Hm?”
“Danu… Nggak mau… Papi mati,” jawab Danu masih sesenggukan.
Mendengar jawaban sang anak membuat Deva melirik si Alpha dengan tatapan menuntutnya. Deva ingin tau apa yang telah Arga katakan pada Danu sampai anak mereka berkata demikian.
“Tadi aku bilang, kalau aku mati, kamu bakal nikah lagi. Eh tau-tau Danu nangis,” Arga menjelaskan.
“Lagian kamu ngapain sih ngasih tau Danu kayak gitu?” Bu Ririn nyatanya belum puas mengomeli Arga, “Mama nyuruh Deva nikah lagi beneran tau rasa ya kamu.”
“Suruh aja, dikira Deva bakal mau apa?” Arga meledek Mamanya.
Bu Ririn yang kepalang kesal pun menghampiri Arga. Ia duduk di samping Arga sebelum mencubit pelan lengan sang anak hingga ia merasakan betapa tinggi demam dari putra semata wayangnya itu.
“Badan kamu lagi panas banget kayak gini tapi kamu masih aja banyak tingkah, pake ngusilin Danu segala.” Bu Ririn menepuk bantal di belakang Arga, “Sini, rebahan. Jangan gerak mulu.”
Arga pun menuruti titah Bu Ririn setelahnya. Ia berbaring dengan posisi terlentang di atas ranjang.
Meski umur Arga telah kepala tiga, namun seorang anak tetap lah anak di mata Ibunya. Seperti Bu Ririn yang kini memeriksa demam Arga dengan menyentuh keningnya. Setelahnya, wanita paruh baya itu mengusap sayang kepala Arga lalu kembali berdiri.
“Mau Mama bikinin jus nggak?” tanya Bu Ririn, “Entar sekalian Mama bawain sama bubur yang udah dibikin sama Deva tadi.”
“Boleh deh,” jawab Arga.
Bu Ririn beralih menatap Deva juga Danu yang masih berada di gendongan menantunya, “Dev, Mama ke bawah dulu ya, Sayang.”
“Kamu mau nitip sesuatu gak?”
Deva menggeleng, “Gak ada kok, Ma. Minta Bi Yati aja buat bantu Mama bawain bubur Mas Arga sama sarapan buat Danu ke sini.”
“Minta Bi Yati bawain sarapan juga buat Deva, Ma.” Arga ikut bersuara, “Entar dia malah telat sarapannya kalau nungguin aku sama Danu kelar makan duluan.”
Bu Ririn mengangguk paham lalu mengecup lembut pipi sang cucu yang kini telah nampak tenang.
“Oma ambilin Danu susu dulu ya,” katanya, “Kalau Papi bikin Danu nangis lagi, bilang sama Oma. Biar Oma yang marahin.”
“Kalau Oma marahin Papi, entar Papi mati loh.” Arga menyeletuk. Alhasil, Danu kembali memelas.
“Mas, udah ih.” tegur Deva.
Selepas Bu Ririn keluar dari kamar anaknya, Deva yang masih menggendong Danu pun duduk di tepi ranjang. Deva menghapus jejak air mata anaknya itu lalu mengecup puncak kepala Danu.
“Papa.”
“Iya, Sayang?”
“Papi gak mati kan?”
Deva mengangguk pelan, “Iya, nggak. Papa kan udah nelpon Dokter tadi, buat ngasih obat, biar Papi cepet sembuh nanti.”
“Tapi… Danu juga harus selalu doain Papi ya? Danu minta sama Tuhan supaya Papi sehat terus, umurnya panjang,” timpal Deva.
“Kan cuma Tuhan yang tau Papi hidup sama matinya itu kapan.”
Danu mengangguk lalu menoleh ke Arga yang terbaring di sisinya. Sementara itu, sang Papi lantas mengusap puncak kepala Danu.
“Papi minta maaf ya,” ucap Arga.
“Papi.”
“Iya, Sayang?”
“Danu gak mau punya Papi baru,” lirihnya, “Cuma Papi yang baik.”
Arga menahan senyumnya lalu melirik Deva, “Dengerin, Dev.”
“Emang kamu pikir aku bakalan bisa nikah lagi kalau suatu saat nanti kamu pergi?” balas Deva.
“Ya kan kali aja,” ledek Arga.
“Pas kita nikah dulu, aku udah bilang loh kalau kamu itu yang pertama dan terakhir buat aku,” Deva mencebik, “Mas pikir aku bilang itu buat omong kosong?”
Arga terkekeh sambil meraih jemari Deva, “Aku bercandaa.”
“Tapi kalau aja aku mati duluan, kamu boleh kok nikah lagi. Asal dapet izin Danu,” timpalnya, “Aku pengen ada yang jagain kamu di sini soalnya. Yaa, walaupun aku yakin sih, gak ada yang bisa bikin kamu jatuh cinta kayak ke aku.”
“Gak boleh,” celetuk Danu.
Arga dan Deva sontak tertawa kecil sebelum memeluk Danu. Mereka nyaris lupa jika anaknya itu sangat mudah paham dengan obrolan tentang orang dewasa.
“Iya, Papa juga nggak mau.” kata Deva, “Cuma Papi yang terbaik.”
“Kamu gombalin aku, hm?” Arga mencolek pinggang suaminya.
“Siapa yang ngegombal?” kekeh Deva, “Emang Mas Arga salting?”
“Gak sih. Biasa aja,” elak Arga.
Deva tersenyum tipis sebelum beralih memandangi anaknya.
“Danu mau bantuin Papa mijitin Papi gak?” tanyanya, Danu setuju.
“Danu pijit tangan Papi ya, Papa.”
“Oke, Sayang.”
Arga tidak mampu lagi menahan senyum harunya ketika Deva dan anaknya masing-masing memijat kaki juga tangannya. Meski tubuh Arga terasa sangat panas, namun hatinya justru sejuk karena Danu dan Deva berada di sampingnya.
Danu dan Deva adalah obat yang tidak akan pernah ada duanya.