jaesweats

Biru kembali ke ruang istirahat bagi Koas setelah mengantarkan obat yang diminta oleh Residen. Namun, sesampainya dia di sana, alis Biru seketika bertautan kala mendapati Jeva duduk di depan meja dengan dua kantong plastik di hadapanya; bisa Biru tebak jika itu adalah makan siang mereka.

Jeva emang batu banget, pikirnya.

“Bi!” Jeva melambai-lambaikan tangannya, “Duduk sini, buruan.”

“Kan gue udah bilang, lo duluan aja makannya.” Biru menghela napas sesaat sebelum ikut duduk di samping Jeva, “Gak laper apa?”

“Laper. Makanya gue nyuruh elo cepetan duduk. Biar bisa makan.”

Biru cuma geleng-geleng kepala sebelum membuka plastik berisi soto dalam paper bowl yang dia yakini telah dingin. Pun Jeva yang tadi memesan nasi campur.

“Enak gak sotonya?”

“Gue belum makan,” decak Biru.

Jeva terkekeh pelan melihat raut kesal bercampur lelah di wajah Biru. Satu tangan Jeva kemudian bergerak lalu mengusap lembut puncak kepala Biru, membuat si empu menoleh ke temannya itu.

Biru sempat ingin protes, namun entah kenapa usapan-usapan yang diberikan Jeva membuatnya merasa lebih tenang. Seperti ada obat yang meredakan penatnya.

“Capek ya, Bi?” tanya Jeva masih sambil mengusap kepala Biru.

“Emang muka gue belum bisa ngejelasin jawabannya ya, Jev?”

Jeva tersenyum lembut, “Mama gue selalu ngusap kepala gue kek gini kalau ngeliat gue lagi capek.”

Biru terdiam. Tatapan lamat Biru pun lantas larut ke dalam netra madu Jeva. Pun pikirannya yang kembali pada potongan kejadian dimana Jeva menolongnya saat nyaris ditonjok oleh pasien tadi.

Jeva dengan sigap memeluknya erat hingga dialah yang dipukuli. Bahkan Jeva harus rela mendapat omelan dari Konsulen setelahnya karena dia memilih menolongnya lebih dahulu ketimbang si pasien.

Biru sadar, selama ini Jeva selalu menolongnya dan hadir di saat- saat susahnya. Namun, baru kali ini Biru mengakui mantan pacar Dara itu memang begitu tulus.

“Makasih ya, Jev.”

Jeva nampak terkejut mendengar penuturan Biru. Namun, setelah itu, Jeva justru mengacak-acak pelan rambut hitam milik Biru.

“Iyaaa, ice bear.” kekeh Jeva

“Eh?”

Baik itu Jeva maupun Biru lantas menoleh ke arah pintu; dimana gumaman yang baru saja mereka dengarkan berasal. Saat itu pula Jeva dan Biru mendapati Julian bersama Rayhan berdiri di sana.

Sorry ganggu,” seringai Julian.

Sadar kalau tangan Jeva masih di atas kepalanya, buru-buru Biru menepisnya. Dia lalu berdeham sebelum memusatkan atensinya ke soto yang ada di hadapannya.

“Ganggu apaan?” balas Jeva lalu tersenyum ramah, “Lo pada udah free? Gue baru mau makan nih.”

“Makan, Jev.” kata Rayhan sambil berjalan ke arah Jeva dan Biru, “Sebelum pasien lo datang lagi.”

“Nggak usah ngomong macem-macem deh lo, Ray. Mules gue.”

Rayhan ikut duduk di seberang Biru, sementara Julian di sisinya. Dia kemudian memandangi Biru.

“Gimana, Bi? Lo masih kuat jaga sampe besok kan?” kata Rayhan.

Biru yang baru menyantap satu sendok sotonya itu mengangguk. Sementara itu, Julian yang sedari tadi memilih untuk diam justru tidak henti-hentinya tersenyum dengan raut meledek pada Jeva.

“Kenapa lo, Jul? Senyam-senyum sendiri,” mata Jeva memicing.

“Gak apa-apa, Jev. Makan aja.”

Julian menahan tawa sebelum menyikut pelan lengan Rayhan. Sang pacar yang sudah paham pun hanya mengulum bibirnya.

Ya, Jeva dan Biru mencurigakan.


“Bi, lo mau ke mana?”

Biru mendesis pelan lalu melirik Jeva yang nyatanya ikut berjalan di sampingnya. Sekarang sudah malam, jadwal jaga mereka pun terus berlanjut hingga esok pagi.

Alhasil, Jeva dan Biru yang juga menjadi partner jaga lantas tidak pernah berjauhan satu sama lain terlalu lama. Apalagi dengan Jeva yang dikit-dikit ngekorin si Biru.

“Gue mau ke toilet,” jawab Biru. “Udah, lo balik ke meja sana, Jev.”

“Gue juga mau ke toilet,” balas Jeva santai, tampangnya tengil.

Biru pun pasrah. Energinya udah cukup kekuras karena pasiennya yang sejak pagi tadi amat banyak.

Dan Jeva adalah definisi manusia yang bisa bikin energinya habis.

“Bi, lo takut sama hantu gak?”

“Jev, lo bisa diem bentar aja gak?” Biru menghela napas, terlebih saat Jeva justru tiba-tiba berjalan mundur tepat di hadapannya.

“Daripada kita berantem karena lo bikin gue kesel pas capek gini,” lanjut Biru, “Gue cuma pengen tenang, sebentaaaar aja. Please?”

“Okee,” kata Jeva lalu melakukan gerakan seperti menarik sebuah resleting tepat di depan bibirnya.

Setelahnya, Jeva lantas kembali berjalan normal. Kini dia yang memimpin jalan menuju toilet.

Namun, baru saja Jeva masuk ke toilet—dimana sebuah wastafel berada tepat di depan empat bilik berbeda—dia seketika menghentikan langkah. Pasalnya, Jeva tidak sengaja melihat Julian dan Rayhan—yang entah sejak kapan—ada di sudut kiri wastafel.

Jeva melihat kedua teman Koas-nya itu berciuman amat intens.

Alhasil, buru-buru Jeva berbalik lalu menahan langkah Biru. Dia mencengkeram pundak Biru lalu mendorong pelan temannya itu agar tidak masuk ke dalam toilet.

Biru yang bingung akan tingkah Jeva saat ini pun berakhir kesal. Ditepisnya tangan Jeva bersama raut kesal. Biru udah gak tahan.

“Mau lo apa sih, Jev?” suara Biru meninggi, membuat Jeva kaget.

Tidak ingin Biru curiga, Jeva pun cengengesan sebelum bersuara.

“Gak,” katanya, “Gue cuma mau becandain lo, Bi. Biar ga tegang.”

“Gak lucu tau gak?” kata Biru lalu mendorong pelan tubuh bongsor Jeva sebelum masuk ke toilet itu. Jeva pun kembali mengekorinya.

Di dalam sana, Biru mendapati Julian dan Rayhan berdiri tepat di depan wastafel. Kedua teman kelompoknya itu sama-sama sedang mencuci tangan mereka.

“Eh, Bi. Mau pake wastafel ya?” tanya Rayhan sambil mencuri-curi pandang ke arah Jeva yang sedang berdiri di belakang Biru.

“Nggak, gue mau pake toilet.”

Biru hanya menjawab singkat sebelum masuk ke dalam bilik toilet. Sementara Jeva juga Julian dan Rayhan yang diserang rasa canggung hanya saling berbagi pandang sesaat. Jeva kemudian menepuk pelan pundak Rayhan sebelum ikut masuk ke bilik lain.

Biru yang sedari tadi rebahan di atas ranjang di dalam kamarnya sambil membalas pesan Jeva pun refleks mendengus pelan. Gawai dilempar sembarangan, matanya lantas dia pejamkan. Bodo amat dengan Jeva yang nyatanya telah ada di depan rumah. Kalau capek juga bakal pergi sendiri, pikirnya.

Namun, pikiran Biru terpatahkan ketika dia mendengar derit pagar dari bawah sana. Biru buru-buru bangkit lalu berlari ke arah pintu yang jadi penghubung ke balkon.

Di sana pula Biru melihat bahwa sang adik lah yang membukakan pintu pagar untuk Jeva. Alhasil, Biru kemudian bergegas turun dari kamarnya yang berada di lantai dua rumah menuju pagar.

“Dara!”

Biru seketika memanggil adiknya sesaat setelah sampai di halaman depan rumah. Dara pun terkejut.

Tatapan Biru kemudian bergulir ke Jeva yang kini justru senyam- senyum. Biru pun membalasnya dengan death glare sebelum dia kembali memandangi Dara kesal.

“Masuk,” titah Biru.

“Tapi, Kak—”

“Nggak ada tapi-tapian.”

Biru lantas memotong perkataan Dara sambil meraih pergelangan tangannya. Dia lalu menyeretnya untuk kembali masuk ke rumah.

“Kak, dengerin gue dulu.”

“Lo mau ngomong apa lagi sih?” sela Biru sesampainya di teras, “Lo mau balikan sama dia? Iya?”

“Lo udah gak inget gimana lo dibikin nangis sama dia, Dar?”

Dara menggeleng lemah, “Kak…Apa yang terjadi dua minggu lalu itu udah berlalu. I’m doing fine.”

“Lo juga gak harus bersikap kek gini sama Kak Jeva, dia temen lo.” jelas Dara, “Kan yang putus juga cuma hubungan gue sama dia, kita berdua masih baik-baik aja.”

Biru menatap si adik perempuan dengan tampang tidak percaya.

“Dar… Lo tau enggak sih gimana kecewanya gue sama dia karena udah bikin lo nangis?” kata Biru.

“Orang yang udah gue percaya bakalan jagain lo justru bikin lo sedih,” timpalnya, “Lo pikir gue enggak sedih juga mikirin elo?”

“Lo tau kan kalau gue nggak suka ngeliat lo nangis karena orang lain? Apalagi karena temen gue yang jelas juga udah tau gimana sayangnya gue sama lo,” jelasnya.

“Kak Jeva udah jagain gue selama ini, the way you did,” balas Dara.

“Tapi emang hubungan gue sama dia udah gak bisa dipertahanin…” lirih yang lebih muda, “Wajar kan kalau gue sedih sampai nangis?Apalagi dengan banyak kenangan manis sama dia, gak cuma pahit.”

“Lo sendiri yang selalu bilang ke gue supaya gue gak memendam kesedihan, that’s why.” kata Dara.

“Dan gue pisah sama dia juga for our own good, Kak.” tambahnya.

“Banyak perbedaan di antara kita berdua yang justru bikin kita ada keinginan buat ngubah pasangan seperti apa yang kita mau,” tutur Dara, “Dan itu udah nggak sehat.”

“Gue sedih karena belum bisa jadi pacar yang baik, gitu juga sama dia.” Dara meraih kedua tangan kakaknya, “Jadi maafin Kak Jeva ya, Kak? He is not the only one to blame here, but me.”

“Justru gue lebih sedih lagi kalau ngeliat pertemanan kalian rusak gara-gara gue, so please? Yaaa?”

Pinta Dara membuat Biru lantas menghela napasnya panjang lalu menoleh ke arah pagar. Di sana masih ada Jeva yang berdiri tepat di samping mobilnya; menunggu.

“Lo masuk duluan,” titah Biru. “Gue mau ngomong sama dia.”

“Tapi baikan ya?” Dara memelas.

Biru hanya memutar bola mata sebelum mendorong pelan sang adik agar segera masuk ke dalam rumah. Sementara itu, dia lantas berjalan amat malas ke arah Jeva.

“Ngapain lo masih di sini?”

“Kan gue belum ngasih jurnal ini ke lo,” Jeva cengar-cengir, “Tadi lo juga bilang ke Dara kalau mau ngomong sama gue kan? Ayo!”

Biru menahan dada bidang Jeva yang hendak menerobos begitu saja untuk masuk ke rumahnya. Mata Biru pun memicing murka.

Temennya itu emang gak tau diri.

“Bi…” bahu Jeva jatuh, “Kayaknya gue gak perlu ngulangin ucapan Dara. She explained everything.”

Biru membuang muka.

“Bi, stase pertama kita pas koas nanti di Psikiatri loh.” Jeva tidak diam saja, “Kalau lo masih marah gini sama gue, kayaknya gue deh yang bakalan jadi pasien pertama lo. Udah tekanan batin nih gue.”

“Ya kan elo emang udah gila dari sononya,” cibir Biru lalu meraih map berisi jurnal yang dipegang oleh Jeva, “Udah gue ambil kan?”

Jeva pun tersenyum sumringah.

“Jadi kita udah baikan kan, Bi?”

Biru tidak menjawab. Dia justru berbalik, hendak masuk ke dalam rumah guna meninggalkan Jeva.

Sebab sampai kapan pun, Jeva gak akan pernah bisa untuk gak ngoceh saat bersamanya. Biru aja kadang sampai pusing dibuatnya.

Sifat extrovert Jeva amat kontras dengan sifat introvert miliknya. Biru hanya selalu ingin diam dan tenang, but there’s Jeva; yang jadi pemecah ketentraman hidupnya.

“Bi, tungguin.”

“Gue nggak bilang kalau lo boleh masuk, Jeva.” Biru mendesis saat Jeva justru hendak mengikutinya.

“Pulang sana,” titahnya.

“Ya udah,” Jeva pasrah, “Tapi lo tunggu di sini bentar, gue lupa ngasih lo sesuatu selain jurnal.”

Apa lagi sih maunya ni bocah?

Biru menggerutu dalam hatinya sambil memerhatikan Jeva yang berlari ke mobilnya. Nampak Jeva mengambil sesuatu—tepatnya sih kantong kresek—yang bikin Biru langsung memikirkan satu hal.

“Lu kalo bawa mixue lagi—”

“Udah, buruan diminum. Noh, ice cream di atasnya udah meleleh.” potong Jeva diikuti tawa ringan.

Ya, nggak cuma soal kepribadian. Bahkan selera minuman mereka yang berbeda pun membuat Jeva senang menggoda temannya itu.

“Gue pulang dulu ya, ice bear!”

Biru hanya menghela napasnya sambil memandangi Jeva hingga masuk ke dalam mobilnya. Biru pun sudah maklum ketika Jeva mengeluarkan satu tangannya di jendela mobil untuk membentuk pola hati kecil dengan jemarinya.

Jeva is such a tease.

“Deva…”

“Sayang…”

Deva terbangun dari tidurnya saat mendengar suara Arga. Ia kemudian membuka mata lalu menoleh ke sang suami yang berbaring tepat di sisi kanannya.

Meski saat ini kamar mereka hanya diterangi dengan lampu tidur yang remang, namun Deva masih bisa melihat Arga sedang membalut tubuhnya dengan selimut. Deva pun heran kenapa sang Alpha tiba-tiba terbangun.

“Iya, Mas?”

“Bisa minta tolong kecilin AC?” Pinta Arga, “Aku kedinginan.”

Deva sejujurnya kaget. Pasalnya, suhu AC di kamar tidak berbeda dari malam-malam sebelumnya. Namun, kali ini suaminya justru merasa kedinginan. Jelas kalau ada yang gak beres, pikir Deva.

Terlebih, sudah beberapa hari terakhir Arga mengeluh merasa tidak enak badan. Suaminya itu pun mengaku amat kelelahan.

“Bentar ya, Mas.”

Deva buru-buru bangkit sebelum meraih remote AC di atas nakas. Ia kemudian menaikkan suhu AC beberapa derajat dan menunggu sebentar lalu menoleh ke Arga.

“Segini udah cukup?”

“Mm,” gumam Arga, “Makasih ya.”

Sang Alpha lalu menepuk pelan sisi kosong dimana Deva tidur tadi, “Kamu balik bobo lagi sini.”

“Peluk aku,” titah Arga.

Mengangguk patuh, Deva lantas menyanggupi keinginan Arga. Ia ikut berbaring menyamping di sisi Arga lalu mendekap tubuh kekar nan berotot suaminya.

Namun, hanya persekian sekon berselang, Deva dibuat terkejut saat merasakan betapa panas suhu tubuh Arga. Deva lantas mendongak, menatap wajah si pujaan hati sambil meletakkan satu tangannya di kening Arga.

“Ya ampun, Mas.” Deva semakin terkejut, “Kamu demam tinggi.”

“Aku mau nyalain lampu bentar, boleh ya, Mas?” tanya si Omega.

“Kamu mau ngapain?” Arga lalu melirik jam digital di atas nakas, “Sekarang masih jam dua pagi.”

“Aku mau ngambil paracetamol.”

“Gak usah,” Arga lantas menahan lengan Omeganya, “Kamu tidur lagi aja. Paling besok udah reda.”

“Aku gak bisa tidur kalau badan kamu panas kayak gini, Mas…”

Raut wajah Deva amat khawatir. Sesekali ia mengusap pipi Arga.

“Badan kamu ada yang sakit gak, Mas?” tanya Deva, “Aku ambilin paracetamol ya? Jadi kalau besok pagi demam kamu gak reda, aku bisa langsung telepon Dokter.”

Arga menghela napasnya sambil menahan senyum, “Kamu kalau mau nanya, satu-satu dong. Ck!”

“Aku khawatir, Mas.”

“Aku cuma kedinginan,” Arga mencoba menenangkan Deva.

“Badan aku agak nyeri sih, tapi masih bisa aku tahan kok. Sakit kepala aku yang semalem juga udah mendingan,” jelas si Alpha.

“Dari kemarin aku udah bilang, kita ke dokter aja buat meriksa kondisi kamu.” lirih Deva, “Kalau udah kayak gini gimana? Bisa-bisa kamu musti diopname, Mas.”

“Kamu kok ngomelin aku?” balas Arga, “Aku lagi sakit. Bukannya disayang-sayang, ini aku malah diomelin. Kamu ini gimana sih?”

“Ya abisnya, Mas Arga gak mau dibilangin.” cebik Deva, “Kamu malah nunggu sampai kamu gak bisa lagi nahan sakitnya. Terus nanti kalau udah parah gimana?”

“Kamu bawel banget deh,” Arga mencubit gemas hidung Deva.

“Aku bawel karena aku sayang sama kamu, Mas.” lirih Deva.

Arga tersenyum, “Iya, aku tau.”

Menghela napas, Deva kemudian meraih satu tangan Arga. Ia lalu menciumi punggung tangan si Alpha sejenak sebelum bersuara.

“Aku ambilin kamu paracetamol dulu ya, Mas? Sama air mineral.”

Arga memberi respon anggukan, membuat Deva tersenyum lega.

“Tapi jangan lama ya, Sayang?”

“Iya.”

Senyum kemenangan terpatri dengan jelas di bibir Arga ketika Deva bangkit, menyalakan lampu utama kamar dengan remot lalu menyempatkan dirinya untuk menciumi pipi sang Alpha sesaat.

“Mas merem aja dulu,” kata Deva sambil menarik selimut hingga menutupi tubuh Arga sebatas leher, “Aku ke bawah bentar ya.”

“Sepuluh menit,” gumam Arga, “Kalo kamu balik ke kamar lewat dari sepuluh menit, aku cium.”

Deva pasrah, “Iya, Mas.”

Pandangan Arga pun tak pernah lepas dari Deva yang kini berjalan dan hendak keluar dari kamar. Bahkan sampai saat Omeganya itu telah hilang dari pandangan, Arga masih saja memandangi objek yang sama; pintu. Seolah tidak ingin melewatkan sedetik pun ketika Deva kembali nanti.

Lantas, apa Arga masangin timer untuk ngitung sepuluh menit itu?

Tentu tidak. Arga hanya senang melihat raut wajah pasrah Deva. Sama seperti ketika Omega itu takluk di bawahnya saat mereka bercinta. Mengusili Deva adalah hal yang ia sukai akhir-akhir ini.

Tidak lama berselang, Deva pun kembali ke kamar. Ia membawa nampan yang di atasnya terdapat mangkuk, segelas air mineral dan satu tablet obat penurun panas.

Deva kemudian duduk di tepi ranjang setelah meletakkan nampan yang ia bawa di atas nakas. Sementara itu, Arga yang mendapati uap menguar dari mangkuk di atas nakas lantas memicingkan mata penasaran.

“Itu kamu bawa apa?”

“Aku abis manasin sup, Mas.” kata Deva, “Kamu makan dikit dulu ya sebelum minum obat? Biar badan kamu juga anget,” jelas si Omega.

“Disuapin gak?” Arga memicing.

Deva mengangguk, “Iya, Mas.”

Menahan senyumnya, Arga lalu merentangkan kedua tangan ke arah Deva. Si Omega yang telah paham pun dengan sigap meraih lengan Arga dan membantunya untuk bangun. Kini Arga duduk sambil bersandar di headboard.

Sementara itu, Deva lalu meraih mangkuk sup dari atas nakas. Ia menyendoknya, meniup sejenak sebelum menyodorkan ke Arga.

“Pelan-pelan, Mas.” kata Deva.

Arga pun melahapnya, namun di suapan pertama itu alis si Alpha tiba-tiba saling bertaut. Alhasil, Deva yang melihatnya bertanya.

“Kenapa, Mas?”

“Kok pait sih?” protes Arga.

“Lidah kamu pasti pahit gara-gara kamu demam tinggi, Mas.” Deva kembali menyendok sup, “Tapi kamu harus tetep makan ya, Mas? Biar kamu gak lemes.”

Arga menggeleng, “Aku udah gak bisa nelen, Dev. Pengen muntah.”

“Ya udah,” Deva meletakkan sup kembali ke nampan di atas nakas, “Tapi besok pagi makan ya, Mas.”

“Ck!”

Mendengar Arga berdecak pelan membuat Deva menatap wajah suaminya itu lekat-lekat. Arga yang merasa terintimidasi pun menghela napas lalu bersuara.

“Iya,” katanya, “Tapi disuapin.”

“Mas Arga kenapa tiba-tiba manja gini deh?” Deva heran.

“Aku gak manja, tapi aku tuh mau diperhatiin sama kamu.” jawab si Alpha, “Biar aku bisa nunjukin ke Danu kalau bukan cuma dia yang bisa disuapin sampai dipuk-puk.”

Arga kemudian terkekeh renyah, namun Deva justru sebaliknya. Ia menatap sang suami dengan raut sedu, membuat Arga yang sadar akan hal itu memicingkan mata.

“Kamu kenapa natap aku kayak gitu sih?” Arga mencubit pelan pipi kanan Deva, “Jangan bilang kamu udah mikir yang gak-gak?”

“Kamu mikir kalau aku bakalan mati ya? Ngaku,” timpal Arga.

Deva menggeleng sambil meraih kedua tangan suaminya. Ia lantas mengenggamnya, masih dengan tatapan yang amat lamat ke Arga.

“Mas Arga, aku minta maaf.” Deva menunduk sesaat, “Kayaknya aku terlalu sibuk merhatiin anak kita, sampai-sampai aku luput dengan tugas aku sebagai suami kamu…”

“Kamu ngomong apa sih?” Sela si Alpha sembari mengangkat dagu Omeganya agar tatapan mereka kembali berjumpa, “Emang aku ada bilang tadi, kalau kamu gak ngejalanin tugas sebagai suami?”

“Gak kok, Mas.” kata Deva, “Tapi aku ngerasa kalau perhatian aku yang terbagi buat kamu sama Danu justru bikin aku enggak merhatiin kamu dengan baik.”

“Kayak sekarang…” timpal Deva, “Kamu sakit gini juga karena aku gak memperlakukan kamu kayak Danu, yang kalau dia udah males makan bakalan aku bujuk sambil aku suapin. Sementara kamu?”

“Gak jarang aku cuma nyiapin makanan buat kamu, ngingetin kamu makan, terus aku tinggal buat ngurusin Danu pas rewel.”

Mata Deva berkaca-kaca. Sedang Arga yang sedari tadi menyimak ucapan Omeganya itu seketika menarik Deva ke pelukan hangat.

“Kan emang harus gini proses buat jadi orang tua, Dev.” kata Arga, “Perhatian kita buat anak sama suami pasti bakal terbagi.”

“Cara kamu memperlakukan aku sama Danu juga gak harus selalu sama kok,” timpalnya, “Aku udah dewasa, aku ngerti cara ngurus diri aku sendiri, aku bisa mikir.”

“Aku cuma seneng aja sih—kalau kamu nge-treat aku the way you did to Danu.” Arga lalu terkekeh.

“Soalnya aku gak mau kalah dari Danu kalau lagi rebutan kamu,” jelasnya lalu beralih menangkup wajah Deva. Membelai pipi sang Omega sejenak dengan ibu jari.

“Aku sakit ya karena setiap yang sehat bakalan sakit, udah hukum alam.” kata Arga, “Bukan karena kamu. Kamu udah jadi Papa sama suami yang terbaik buat aku dan Danu. You’ve done your best, Dev.”

Mendengar Arga menenangkan dirinya dengan nada suara yang amat lembut lantas membuat si Omega terharu. Deva tersenyum tipis sesaat sebelum mengecup singkat bibir suaminya. Namun, Deva heran saat Arga menjauh; suaminya memundurkan kepala.

“Kamu kok nyium aku sih? Ck!”

“Emang kenapa, Mas?” tanya Deva, “Tadi aja kamu bilang pengen nyium aku kalau aku telat balik ke kamar. Iya kan?”

“Ya itu kan bercanda,” kata Arga, “Jangan cium bibir dulu ah, entar kamu malah ketularan sakit lagi.”

“Jadi kita nggak bakalan ciuman selama kamu sakit dong, Mas?” tanya Deva dengan nada jenaka.

“Ck!”

Deva tersenyum sambil meraih obat penurun panas dari atas nakas. Ia mengeluarkannya dari kemasan sebelum menyodorkan tablet itu ke suami tercintanya.

“Mau aku kasih air sekarang gak, Mas?” tanya Deva kepada Arga.

“Gak, tahun depan.” decak Arga, “Ya iya lah, obatnya pahit gini.”

Deva terkekeh, “Ini airnya, Mas.”

Tanpa menunda-nunda, Arga kemudian meminum obatnya. Gelas yang semula terisi penuh dengan air pun kini sudah habis.

“Kamu bobo lagi ya, Mas.” titah Deva sambil meraih gelas dari tangan Arga, “Aku mau balikin mangkuk sama gelas ini dulu.”

“Besok aja,” kata Arga. “Kamu juga balik tidur lagi sini, Dev.”

“Aku nggak bawa tutup mangkok sup tadi, Mas.” Kata Deva, “Kalau wangi kaldu sama pengharum ruangan nyampur, terus tidur kamu keganggu lagi gimana?”

“Ya udah,” Arga mengalah.

Mengecup pipi Arga, Deva lalu berucap. “Cepet sembuh, Mas.”


“Demam kamu masih tinggi nih, Mas.” kata Deva yang baru saja kembali memeriksa suhu tubuh Arga, “Abis ini aku telpon Dokter buat dateng meriksa kamu ya?”

Sang Alpha mengangguk, “Mm.”

“Kalau gitu, aku ke dapur dulu ya? Mau bikinin kamu bubur.”

Arga mendengus. Ia kemudian menahan pergelangan tangan Deva yang masih duduk di sisi kanannya; di atas tempat tidur.

“Minta dibikinin sama Bi Yati aja,” katanya, “Aku tau semalem kamu dikit-dikit kebangun buat ngecek demam aku. Tidur kamu jadi gak cukup. Kalo kamu sakit gimana?”

“Sakit gak enak tau,” timpal Arga.

“Bikin bubur gak lama kok, Mas. Aku juga sekalian mau ngecek Danu udah bangun apa belum,” kata Deva, “Entar aku ajakin dia makan di sini juga, sama kamu.”

“Kamu kalau dibilangin kenapa ngeyel banget sih?” omel Arga, “Kalau sampai kamu kecapean terus sakit, aku ogah ya nemenin kamu. Siapa suruh nggak mau—”

Ancaman Arga terhenti saat Deva tiba-tiba membekap mulut sang Alpha dengan telapak tangannya. Arga yang kaget dengan tingkah Omeganya itu lantas terbelalak.

“Mas, kamu boleh ngomelin aku sepuasnya kalau udah sembuh.” tegas Deva, “Tapi sekarang kamu istirahat aja ya? Gak usah mikirin aku dulu deh, pikirin kesehatan kamu. Aku ngeliat kamu sakit aja udah ikutan sakit juga tau gak?”

Arga melepas tangan Deva dari atas bibirnya, “Kok jadi kamu sih yang ngomel? Aku lagi sakit loh.”

“Aku nggak ngomel, Mas.” tutur Deva dengan nada suaranya yang amat tenang “Aku ke dapur dulu.”

“Jangan lama,” decak Arga.

“Iyaaa.”

Arga hanya menghela napasnya pasrah ketika Deva keluar dari kamar mereka. Setelahnya, Arga memejamkan mata. Sebab, nyeri di kepala juga badannya kambuh.

Saat Arga dalam kondisi antara sadar dan tidak—karena digoda rasa kantuk—ia justru membuka mata. Pasalnya, sebuah telapak tangan kecil nan dingin tiba-tiba mendarat tepat di atas dahinya.

Saat itu pula si Alpha mendapati Danu—yang entah sejak kapan—telah duduk di tepi ranjangnya. Anak lelakinya itu nampak panik.

“Danu bangunin Papi ya?”

Arga tersenyum, “Mm.”

“Maafin Danu ya, Papi.”

“Gak apa-apa, Sayang.” kata Arga,

“Danu kenapa pegang-pegangin keningnya Papi tadi?” tanyanya.

“Kata Papa, Papi lagi sakit.”

Arga tersenyum, “Kening Papi panas gak pas Danu pegang?”

“Iya, Papi.”

Danu kemudian terlihat tengah berpikir sejenak, “Tapi kenapa Papi bisa sakit? Kan Papi suka makan sayur juga kayak Danu.”

Pertanyaan sang anak memang sangat sederhana, namun Arga tidak ingin asal menjawab yang bisa berakibat fatal. Ia tidak ingin Danu beranggapan bahwa makan sayur tidak ada gunanya, seperti menangkal sakit; sesuai dengan yang selalu ia dan Deva ajarkan.

“Papi emang suka makan sayur, tapi akhir-akhir ini Papi jarang olahraga.” jawab Arga, “Papi juga suka jajan sembarangan pas Papi kerja jauh dari Papa sama Danu.”

“Nggak rajin olahraga sama suka jajan sembarangan itu bisa bikin sakit,” timpalnya, “Walaupun Papi suka makan sayur, tapi kan sayur gak bisa jaga tubuh Papi sendiri.”

“Sayur harus punya temen,” jelas Arga, “Temennya itu ya, olahraga sama enggak jajan sembarangan.”

“Danu inget gak pas kita main perang-perangan sama Papa?”

Danu yang sedari tadi menyimak ucapan Papinya itu mengangguk.

“Papa kalah kan kemarin?”

“Iya, Papi.” Danu tertawa ringan sejenak, jelas jika ia mengingat bagaimana Deva kalah darinya dan sang Papi. “Kasian ya Papa.”

“Mm,” Arga terkekeh, “Kemarin Papa mainnya sendiri, makanya gampang kalah dari Danu sama Papi. Soalnya kan Papa gak kuat ngejar kita berdua. Sama kayak sayur tadi. Dia kalah karena gak punya temen, kayak Papa kan?”

Danu kembali mengangguk, tapi persekian sekon setelahnya, dia tiba-tiba membungkuk sebelum memeluk Papinya. Sementara si Alpha yang kini masih terbaring di atas ranjang pun tersenyum.

“Papi kapan sembuh?” gumam si kecil, “Danu gak suka Papi sakit.”

“Kenapa Danu nggak suka kalau Papi sakit?” Arga lalu mengusap rambut hitam anaknya, “Kan kalo Papi lagi sakit, Papa buat Danu.”

“Tapi Papi gak bisa bangun. Gak bisa main sama Danu,” lirih Danu.

“Loh, kan ada Mba Ais, ada Papa juga.” balas Arga, “Emang Danu mainnya harus sama Papi ya?”

Danu lalu kembali duduk tegak di sisi Arga, “Iya, Papi. Danu enggak mau main perang-perangan kalo bukan sama Papi, sama Papa.”

“Danu gak boleh gitu ya, Sayang.” Arga membelai pipi Danu dengan ibu jarinya, “Danu bisa kok main sama siapa aja, nggak harus Papi.”

“Kalau Papi udah pergi, masa sih Danu mau berhenti main? Papa pasti sedih liatnya,” timpal Arga.

Alis Danu pun bertautan, “Emang Papi mau pergi? Mau ke mana?”

“Papi gak mau pergi kok, tapi kan Papi ciptaan Tuhan. Danu inget gak, kalau ciptaan Tuhan itu bisa sakit, bisa sehat, bisa hidup dan bisa mati? Jadi kalau Papi mati nanti, Papi bakal pergi ke Surga.”

Arga pun dibuat kaget kala Danu tiba-tiba merengek. Raut wajah Danu memelas, seperti tak rela.

“Danu nggak mau Papi mati.”

Melihat tingkah Danu membuat otak usil Arga bekerja. Ia mati-matian menahan senyum sambil berpikir tentang apa yang akan ia katakan untuk membuat si kecil menunjukkan ekspresi lucunya.

“Tapi kalau Tuhan udah pengen Papi mati gimana?” desis Arga, “Apalagi Papi sekarang lagi sakit.”

“Gak boleh!” sela Danu, “Tuhan enggak boleh bikin Papi mati.”

“Kenapa Papi nggak boleh mati sih?” decak Arga, “Padahal Papi capek rebutan Papa sama Danu.”

Danu kembali merengek, kali ini sambil memegang tangan kanan Arga. Wajah Danu kian memelas.

“Terus nanti kalau Papi mati nih, kayaknya Papa bakal nikah lagi.” Arga melanjutkan, “Terus Danu punya Papi baru, kayak dongeng Cinderella yang punya Ibu baru.”

Arga mendesis sambil memicing, “Ibu baru Cinderella jahat kan?”

Danu mengangguk dengan amat polosnya, membuat Arga nyaris tertawa. Namun, ia menahannya.

“Jangan-jangan Papi baru Danu nanti juga jahat? Hayolo,” Arga kemudian tertawa seperti tokoh jahat dalam kartun anak-anak.

Danu tidak mengatakan apa-apa, tapi mata anak lelaki itu tiba-tiba berkaca-kaca. Pada waktu yang sama, bibir Danu melengkung ke bawah. Danu menahan tangis.

“Papi gak boleh mati…”

Tepat setelah Danu berucap dengan suara parau, tangisnya seketika pecah. Anak lelaki itu menangis sejadi-jadinya masih sambil memegang lengan Arga.

Arga yang mulanya berpikir jika sang anak hanya akan menangis seperti biasanya pun mendadak panik. Pasalnya, kini Danu justru histeris. Arga bahkan baru kali ini melihat Danu menangis seperti sekarang. Alhasil, ia buru-buru bangun, menenangkan anaknya.

“Papi bercanda, Sayang. Papi gak bakalan mati kok. Ya? Papi minta maaf,” katanya sambil mengusap bahu sang anak, “Papi gak pergi.”

Tangisan histeris Danu nyatanya didengar pula oleh Deva juga Bu Ririn. Membuat keduanya lantas datang ke kamar Arga dan Deva.

“Loh, Sayang.” Deva bergegas menghampiri anak lelakinya, “Danu kenapa nangis, Nak?”

Bu Ririn ikut menghampiri, “Ini anak kamu abis kamu apain, Ga?”

Si wanita paruh baya kemudian mengusap punggung Danu yang kini telah digendong oleh Deva.

“Anaknya sampai sesenggukan gini loh,” katanya lalu memberi tatapan sengit ke Arga, “Jangan-jangan kamu nyubit Danu ya?”

“Aku becandain doang tadi, Ma.”

“Kalau cuma dibecandain kenapa Danu sampai nangis kayak gini?” Bu Ririn masih menuduh si anak semata wayang, “Awas ya kamu kalau cucu Mama diapa-apain.”

Tatapan Arga berubah menjadi datar, “Itu cucu Mama bisa lahir juga karena sperma anak Mama.”

“Mas…”

Deva menatap sang Alpha lamat sebelum menoleh ke mertuanya. Arga yang paham akan tatapan serius Deva pun seketika diam.

“Mas Arga gak mungkin nyubit Danu kok, Ma.” kata si Omega, “Mama gak usah khawatir, ini Danu udah mulai tenang kok.”

“Tuh, Deva aja tau. Mama yang ngelahirin Arga masa gak kenal sih sama anak sendiri?” Protes CEO Hardiyata Group itu, namun Bu Ririn seketika membalasnya dengan tatapan tajam nan kesal.

Sementara itu, Deva yang masih berusaha membuat Danu tenang lantas tak henti-henti mengusap punggung anaknya. Sampai saat Deva merasa Danu sudah bisa berbicara, ia kembali bertanya.

“Danu kenapa, Sayang? Hm?”

“Danu… Nggak mau… Papi mati,” jawab Danu masih sesenggukan.

Mendengar jawaban sang anak membuat Deva melirik si Alpha dengan tatapan menuntutnya. Deva ingin tau apa yang telah Arga katakan pada Danu sampai anak mereka berkata demikian.

“Tadi aku bilang, kalau aku mati, kamu bakal nikah lagi. Eh tau-tau Danu nangis,” Arga menjelaskan.

“Lagian kamu ngapain sih ngasih tau Danu kayak gitu?” Bu Ririn nyatanya belum puas mengomeli Arga, “Mama nyuruh Deva nikah lagi beneran tau rasa ya kamu.”

“Suruh aja, dikira Deva bakal mau apa?” Arga meledek Mamanya.

Bu Ririn yang kepalang kesal pun menghampiri Arga. Ia duduk di samping Arga sebelum mencubit pelan lengan sang anak hingga ia merasakan betapa tinggi demam dari putra semata wayangnya itu.

“Badan kamu lagi panas banget kayak gini tapi kamu masih aja banyak tingkah, pake ngusilin Danu segala.” Bu Ririn menepuk bantal di belakang Arga, “Sini, rebahan. Jangan gerak mulu.”

Arga pun menuruti titah Bu Ririn setelahnya. Ia berbaring dengan posisi terlentang di atas ranjang.

Meski umur Arga telah kepala tiga, namun seorang anak tetap lah anak di mata Ibunya. Seperti Bu Ririn yang kini memeriksa demam Arga dengan menyentuh keningnya. Setelahnya, wanita paruh baya itu mengusap sayang kepala Arga lalu kembali berdiri.

“Mau Mama bikinin jus nggak?” tanya Bu Ririn, “Entar sekalian Mama bawain sama bubur yang udah dibikin sama Deva tadi.”

“Boleh deh,” jawab Arga.

Bu Ririn beralih menatap Deva juga Danu yang masih berada di gendongan menantunya, “Dev, Mama ke bawah dulu ya, Sayang.”

“Kamu mau nitip sesuatu gak?”

Deva menggeleng, “Gak ada kok, Ma. Minta Bi Yati aja buat bantu Mama bawain bubur Mas Arga sama sarapan buat Danu ke sini.”

“Minta Bi Yati bawain sarapan juga buat Deva, Ma.” Arga ikut bersuara, “Entar dia malah telat sarapannya kalau nungguin aku sama Danu kelar makan duluan.”

Bu Ririn mengangguk paham lalu mengecup lembut pipi sang cucu yang kini telah nampak tenang.

“Oma ambilin Danu susu dulu ya,” katanya, “Kalau Papi bikin Danu nangis lagi, bilang sama Oma. Biar Oma yang marahin.”

“Kalau Oma marahin Papi, entar Papi mati loh.” Arga menyeletuk. Alhasil, Danu kembali memelas.

“Mas, udah ih.” tegur Deva.

Selepas Bu Ririn keluar dari kamar anaknya, Deva yang masih menggendong Danu pun duduk di tepi ranjang. Deva menghapus jejak air mata anaknya itu lalu mengecup puncak kepala Danu.

“Papa.”

“Iya, Sayang?”

“Papi gak mati kan?”

Deva mengangguk pelan, “Iya, nggak. Papa kan udah nelpon Dokter tadi, buat ngasih obat, biar Papi cepet sembuh nanti.”

“Tapi… Danu juga harus selalu doain Papi ya? Danu minta sama Tuhan supaya Papi sehat terus, umurnya panjang,” timpal Deva.

“Kan cuma Tuhan yang tau Papi hidup sama matinya itu kapan.”

Danu mengangguk lalu menoleh ke Arga yang terbaring di sisinya. Sementara itu, sang Papi lantas mengusap puncak kepala Danu.

“Papi minta maaf ya,” ucap Arga.

“Papi.”

“Iya, Sayang?”

“Danu gak mau punya Papi baru,” lirihnya, “Cuma Papi yang baik.”

Arga menahan senyumnya lalu melirik Deva, “Dengerin, Dev.”

“Emang kamu pikir aku bakalan bisa nikah lagi kalau suatu saat nanti kamu pergi?” balas Deva.

“Ya kan kali aja,” ledek Arga.

“Pas kita nikah dulu, aku udah bilang loh kalau kamu itu yang pertama dan terakhir buat aku,” Deva mencebik, “Mas pikir aku bilang itu buat omong kosong?”

Arga terkekeh sambil meraih jemari Deva, “Aku bercandaa.”

“Tapi kalau aja aku mati duluan, kamu boleh kok nikah lagi. Asal dapet izin Danu,” timpalnya, “Aku pengen ada yang jagain kamu di sini soalnya. Yaa, walaupun aku yakin sih, gak ada yang bisa bikin kamu jatuh cinta kayak ke aku.”

“Gak boleh,” celetuk Danu.

Arga dan Deva sontak tertawa kecil sebelum memeluk Danu. Mereka nyaris lupa jika anaknya itu sangat mudah paham dengan obrolan tentang orang dewasa.

“Iya, Papa juga nggak mau.” kata Deva, “Cuma Papi yang terbaik.”

“Kamu gombalin aku, hm?” Arga mencolek pinggang suaminya.

“Siapa yang ngegombal?” kekeh Deva, “Emang Mas Arga salting?”

“Gak sih. Biasa aja,” elak Arga.

Deva tersenyum tipis sebelum beralih memandangi anaknya.

“Danu mau bantuin Papa mijitin Papi gak?” tanyanya, Danu setuju.

“Danu pijit tangan Papi ya, Papa.”

“Oke, Sayang.”

Arga tidak mampu lagi menahan senyum harunya ketika Deva dan anaknya masing-masing memijat kaki juga tangannya. Meski tubuh Arga terasa sangat panas, namun hatinya justru sejuk karena Danu dan Deva berada di sampingnya.

Danu dan Deva adalah obat yang tidak akan pernah ada duanya.

“Deva…”

“Sayang…”

Deva terbangun dari tidurnya saat mendengar suara Arga. Ia kemudian membuka mata lalu menoleh ke sang suami yang berbaring di sisi kanannya.

Meski saat ini kamar mereka hanya diterangi dengan lampu tidur yang remang, namun Deva masih bisa melihat Arga sedang membalut tubuhnya dengan selimut. Deva pun heran kenapa sang Alpha tiba-tiba terbangun.

“Iya, Mas?”

“Bisa minta tolong kecilin AC?” Pinta Arga, “Aku kedinginan.”

Deva sejujurnya kaget. Pasalnya, suhu AC di kamar tidak berbeda dari malam-malam sebelumnya. Namun, kali ini suaminya justru merasa kedinginan. Jelas kalau ada yang gak beres, pikir Deva.

Terlebih, sudah beberapa hari terakhir Arga mengeluh merasa tidak enak badan. Suaminya itu pun mengaku amat kelelahan.

“Bentar ya, Mas.”

Deva buru-buru bangkit sebelum meraih remote AC di atas nakas. Ia kemudian menaikkan suhu AC beberapa derajat dan menunggu sebentar lalu menoleh ke Arga.

“Segini udah cukup?”

“Mm,” gumam Arga, “Makasih ya.”

Sang Alpha lalu menepuk pelan sisi kosong dimana Deva tidur tadi, “Kamu balik bobo lagi sini.”

“Peluk aku,” titah Arga.

Mengangguk patuh, Deva lantas menyanggupi keinginan Arga. Ia ikut berbaring menyamping di sisi Arga lalu mendekap tubuh kekar nan berotot suaminya.

Namun, hanya persekian sekon berselang, Deva dibuat terkejut saat merasakan betapa panas suhu tubuh Arga. Deva lantas mendongak, menatap wajah si pujaan hati sambil meletakkan satu tangannya di kening Arga.

“Ya ampun, Mas.” Deva semakin terkejut, “Kamu demam tinggi.”

“Aku mau nyalain lampu bentar, boleh ya, Mas?” tanya si Omega.

“Kamu mau ngapain?” Arga lalu melirik jam digital di atas nakas, “Sekarang masih jam dua pagi.”

“Aku mau ngambil termometer,” sahut Deva, “Sekalian ngambilin kamu air minum. Boleh ya, Mas?”

“Gak usah,” Arga lantas menahan lengan Omeganya, “Kamu tidur lagi aja. Paling besok udah reda.”

“Aku gak bisa tidur kalau badan kamu panas kayak gini, Mas…”

Raut wajah Deva amat khawatir. Sesekali ia mengusap pipi Arga.

“Badan kamu ada yang sakit gak, Mas?” tanya Deva, “Aku ambilin paracetamol ya? Jadi kalau besok pagi demam kamu gak reda, aku bisa langsung telepon Dokter.”

Arga menghela napasnya sambil menahan senyum, “Kamu kalau mau nanya, satu-satu dong. Ck!”

“Aku khawatir, Mas.”

“Aku cuma kedinginan,” Arga mencoba menenangkan Deva.

“Badan aku agak nyeri sih, tapi masih bisa aku tahan kok. Sakit kepala aku yang semalem juga udah mendingan,” jelas si Alpha.

“Dari kemarin aku udah bilang, kita ke dokter aja buat meriksa kondisi kamu.” lirih Deva, “Kalau udah kayak gini gimana? Bisa-bisa kamu tuh musti diopname.”

“Kamu kok ngomelin aku?” balas Arga, “Aku lagi sakit. Bukannya disayang-sayang, ini aku malah diomelin. Kamu ini gimana sih?”

“Ya abisnya, Mas Arga gak mau dibilangin.” cebik Deva, “Kamu malah nunggu sampai kamu gak bisa lagi nahan sakitnya. Terus kalau udah parah gimana, Mas?”

“Kamu bawel banget deh,” Arga mencubit gemas hidung Deva.

“Aku bawel karena aku sayang sama kamu,” balas Deva lirih.

Arga tersenyum, “Iya, aku tau.”

Menghela napas, Deva kemudian meraih satu tangan Arga. Ia lalu menciumi punggung tangan si Alpha sejenak sebelum bersuara.

“Aku ambilin kamu paracetamol dulu ya, Mas? Sama termometer.”

Arga memberi respon anggukan, membuat Deva tersenyum lega. Tapi tetap, bukan Arga namanya kalau gak ingin bermanja-manja.

Atau lebih tepatnya sih ngambil kesempatan dalam kesempitan.

“Tapi jangan lama ya, Sayang?”

“Iya,” Deva tersenyum maklum.

Senyum kemenangan terpatri dengan jelas di bibir Arga ketika Deva bangkit, menyalakan lampu utama kamar dengan remot lalu menyempatkan dirinya untuk menciumi pipi sang Alpha sesaat.

“Mas merem aja dulu,” kata Deva sambil menarik selimut hingga menutupi tubuh Arga sebatas leher, “Aku ke bawah dulu ya.”

“Sepuluh menit,” seringai Arga, “Kalau kamu baliknya lewat dari sepuluh menit, kamu aku cium.”

Deva pasrah, “Iya, Mas.”

Pandangan Arga pun tak pernah lepas dari Deva yang kini berjalan dan hendak keluar dari kamar. Bahkan sampai saat Omeganya itu telah hilang dari pandangan, Arga masih saja memandangi objek yang sama; pintu. Seolah tidak ingin melewatkan sedetik pun ketika Deva kembali nanti.

Lantas, apa Arga masangin timer untuk ngitung sepuluh menit itu?

Tentu tidak. Arga hanya senang melihat raut wajah pasrah Deva. Sama seperti ketika Omega itu takluk di bawahnya saat mereka bercinta. Ia amat menikmatinya.

Tidak lama berselang, Deva pun kembali. Deva membawa nampan yang di atasnya ada mangkuk, paracetamol dan termometer.

“Gara-gara lu nih, anjing!”

“Kalau kita gak dapet proyek ini, jangan harap gue bakal ngasih lu jatah weekly meeting-nya kenan.”

Mendengar penuturan Athaya barusan bikin Rayyan menelan ludah. Sejak sampai di gedung Hardiyata Group beberapa menit silam, sampai sekarang mereka udah di lift menuju kantor Arga, suami cantiknya itu emang udah ngomel dengan raut frustasinya.

Rayyan pun paham kekhawatiran Athaya. Dia juga mengaku lalai karena enggak merhatiin kondisi mobil sebelum berangkat tadi.

Alhasil, waktu mereka yang semula emang udah terkikis—gara-gara meeting sama direksi molor—buat ketemu sama Arga pun makin sedikit. Pasalnya, di jalan, ban mobil Rayyan pecah.

Belum lagi taksi online yang mereka pesan lantas terjebak macet. Mesen ojek pun, Athaya dan Rayyan tetep aja telat buat sampai sepuluh menit lebih awal.

“Tenang dong, Ya. Kalau emang udah rejeki kita, Pak Arga nggak bakalan nolak kok.” tutur Rayyan.

“Lu daritadi ngomong tenang tenang mulu. Tapi otak lu gak jalan,” kesal Athaya. “Coba dari awal lu ngabarin kalau meeting sama direksi bakal molor kayak tadi, kan gue bisa jelasin sama Mas Deva. Emang ngeselin lu.”

“Iya, gue salah. Tapi kan gue juga gak tau bakal kayak gini, botak.”

“Ya makanya gue bilang, kalau lu mau ngelakuin sesuatu, dipikir dulu mateng-mateng.” Athaya gak mau kalah, “Elu juga kalau udah tau Mas Heri bakal ngambil cuti pas kita mau ketemu sama Pak Arga kenapa gak mikirin—”

Omelan Athaya pun terhenti pas Rayyan tiba-tiba narik pinggang dia sebelum nyium bibir tipisnya. Sontak Athaya makin berang, dia lalu ngedorong tubuh suaminya sebelum mukul bahu Rayyan.

“Anjing lu!” teriak Athaya, “Lu pikir gue lagi bercanda, Yan?”

Rayyan ngehela napas, “Ya, gue tanya lu deh sekarang. Kalau lu ngomel kayak gini, emang bakal bisa ngubah keadaan? Gak kan?”

“Kita lagi apes, Athaya. Mau gue nyiapin segala sesuatunya dari awal juga kalau hari ini nasib kita harus apes ya bakalan apes juga.”

I’ll try my best,” timpal Rayyan, “Gue juga gak bakalan ngulangin kesalahan yang sama lagi. Clear?”

Athaya mendengus. Dia ngelipat lengannya di depan dada dengan raut cemberut. Sementara sang suami yang ngeliat tingkahnya itu lantas berusaha mencairkan suasana. Rayyan nyenggol pelan bahu Athaya sambil tersenyum.

Bukan Athaya pula kalau dia gak ngebales perlakuan suaminya. Dia ikut nyenggol bahu Rayyan, tapi lebih keras dari yang Rayyan lakukan. Sampai-sampai Rayyan lantas nyaris nubruk dinding lift.

“Oh, gitu ya cara mainnya.” kata Rayyan lalu menipiskan bibirnya.

Athaya yang udah terbiasa sama serangan balik Rayyan pun lantas ngambil ancang-ancang untuk memberi perlawanan. Bahkan, sebelum Rayyan kembali ngasih dorongan ke tubuhnya, Athaya udah lebih dulu nabok suaminya.

“Aduh! Kok lu malah nabok gue sih, botak?” protes Rayyan.

Athaya menyeringai, “Rasain.”

“Apa? Lu bilang rasain, hm? Oke,” Rayyan lalu ngehimpit tubuh si pemilik mata belo di dinding lift.

Gak mau kalah, Athaya pun ikut memberi dorongan supaya sang suami gak ngehimpit tubuhnya. Sibuk bertikai lantas bikin Athaya maupun Rayyan gak sadar kalau mereka berdua udah sampai di lantai tujuan; pintu lift terbuka.

“Anjing! Minggir! Gue sesek!”

“Masih berani lu ngelawan gue, botak. Hm?” Rayyan ketawa puas.

“Kalian ngapain di situ?”

Sontak Rayyan dan Athaya kaget pas ada suara dari luar lift yang menggema. Saat itu pula mereka kompak sedikit nundukin kepala, pasalnya sosok di balik suara tadi nyatanya Arga. CEO Hardiyata Group itu natap mereka heran.

“Siang, Pak Arga.” sapa Rayyan.

“Kamu Rayyan kan?” balas Arga.

Rayyan senyum, “Benar, Pak.”

“Pergi,” ucap Arga datar sebelum berbalik, ninggalin Rayyan sama Athaya yang masih berdiri di lift.

“Mampus gue, Ya.”

Rayyan bergumam sebelum ikut melangkah, mengekori si CEO. Rayyan nggak mau nyerah dulu sebelum memberi penjelasannya.

Athaya pun tetap setia ngikutin sang suami yang sekarang lagi ngejar Arga. Athaya deg-degan.

“Pak Arga, mohon maaf saya dan Athaya datang sedikit terlambat dari jam yang Pak Arga saran—”

“Kamu ngapain sih ngikutin saya kek anak ayam? Ck!” Protes Arga, “Saya bilang pergi, ya pergi. Saya nggak suka orang lelet, gak tepat waktu dan enggak bisa manfaatin kesempatan, kayak kamu ini nih.”

“Saya salah karena lalai sebelum berangkat ke sini, Pak. Tapi saya mohon, kasih saya kesempatan untuk menjelaskan ke Pak Arga.”

Rayyan nyoba ngebujuk Arga.

“Gak perlu,” kata Arga sebelum menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruang kerjanya. Sebab, Deva tiba-tiba keluar dari sana. Alhasil mereka berpapasan.

“Eh? Mas,” Deva tersenyum lalu melirik Rayyan dan Athaya yang berdiri di belakang sang Alpha.

“Mau ke mana kamu, Dev?”

“Tadi Mas Aya ngabarin aku kalo dia sama Mas Ayyan udah di lift, jadi mau aku samperin sebelum bawa mereka ke meeting room.”

“Ngapain?” Arga melirik Rayyan sejenak, “Aku gak mau meeting sama mereka. Udah, cancel aja.”

“Kan saya udah bilang dari awal, datang 10 menit sebelum jam meeting. Ini udah jam berapa?” Ada penekanan di suara Arga.

Deva natap Arga kaget, “Mas…”

“Pak Arga, saya mohon. Beri saya satu kesempatan, Pak. Sekali ini saja,” pinta Rayyan, “Hari ini saya tiba-tiba diminta ikut meeting—”

“Saya gak peduli,” potong Arga. “Kamu pikir tamu saya hari ini cuma kamu doang apa? Nggak.”

“Udah bagus saya ngasih kamu kesempatan, tapi malah kamu sia-siain. Ya itu resiko kamu,” timpal Arga lalu masukin dua tangannya masing-masing di saku celana kanan dan kirinya.

“Gak peduli apapun alasan kamu sampai bisa telat dari waktu yang udah kita janjiin, tetap aja salah. Professional dong,” protes Arga.

“Kamu tuh seolah-olah nyepelein kesempatan dari saya, kamu gak mau merjuangin apa yang udah berusaha kamu tawarin ke saya.”

“Orang-orang kayak kamu ini pasti gak bisa berjuang,” jelas si CEO, “Kamu dapet posisi tinggi di kantor kamu pake cara apa?”

Rayyan nunduk, sedang Athaya nautin kedua alis dengerin Arga.

“Berjuang dari bawah dulu gak?” sambung Arga, “Kalau ngeliat dari tingkah kamu hari ini sih, kamu ini tipikal yang bisanya cuma ngandelin koneksi dari orang tua. Bener apa bener?”

“Maksud Bapak ngomong gini apa ya?” Athaya menyela Arga.

“Maksud, maksud,” omel si CEO, “Makanya dengerin baik-baik kalau orang lagi ngomong, biar paham. Kamu ini gimana sih?”

Athaya ngepalin kedua tangan di samping paha, “Saya paham kok kalau suami saya salah. Saya juga paham betul gimana Pak Arga ini memegang prinsip tepat waktu.”

“Tapi yang saya gak paham, apa Pak Arga harus bawa-bawa soal kehidupan pribadi suami saya?” kata Athaya, “Pak Arga gak kenal suami saya lebih dari sekedar nama sama jabatan, rasanya gak etis kalau Bapak ngomong gini.”

Arga micingin mata sambil liatin Athaya dari atas sampai bawah.

“Santai aja dong kalau ngomong, itu mata kamu udah gede jadinya makin gede gara-gara melototin saya. Kelilipan tau rasa,” katanya.

“Bapak tuh yang santai aja kalau ngomong!” Athaya tancap gas.

“Aya, sayang, udah.” Rayyan pun nenangin suaminya lalu kembali noleh ke Arga, “Maaf, Pak Arga. Suami saya agak sensitif hari ini.”

“Sensitif, sensitif, emang suami kamu ini lagi heat?” balas Arga.

“Maaf, Pak?” Rayyan gak ngerti.

Sementara itu, Deva yang denger ucapan Arga barusan seketika balikin badan si CEO ke arahnya.

“Mas,” Deva setengah berbisik. “Kamu kok marah-marah gini? Tenang dong, tarik napas dulu.”

Arga, yang lengannya juga udah ditahan Deva, kembali noleh ke Athaya. Ada api di antara mereka.

“Apa kamu liat-liat?” kata Arga.

“Bapak yang kenapa liat-liat!”

“Athaya, udah.” tegas Rayyan lalu nuntun sang suami buat berdiri di belakang tubuhnya, sementara dia sendiri menghadap ke Arga.

“Pak Arga, sekali lagi saya mohon maaf atas kesan buruk yang saya berikan hari ini.” katanya, “Tapi saya harap Pak Arga nggak akan menganggap hal ini sebuah cacat dari kantor saya. Apa yang terjadi ini murni karena kelalaian saya.”

“Saya akan belajar dari kesalahan hari ini, Pak. Saya mohon maaf.” ucapnya, “Saya berharap besar agar kita bisa menjalin kerjasama di kesempatan lain, Pak Arga.”

“Ya emang harusnya gitu kan? Masa saya sih yang harus belajar dari kesalahan kamu?” kata Arga. “Pergi sana. Tuh, liat suami kamu udah kek banteng lagi ngamuk.”

“Terima kasih sudah menerima kedatangan kami, Pak. Mas Deva. Saya permisi,” Rayyan pamitan.

“Ayo, Ya.”

“Bentar, Ayyan. Gue masih mau ngomong sama dia,” kata Athaya.

“Ya, jangan bikin masalah kita makin gede deh di sini. Ayo,” Rayyan narik lengan suaminya.

“Gue cuma pengen ngomong, anjing. Lepasin!” sergah Athaya lalu nepis cengkeraman Rayyan.

“Aya, dengerin aku.” Rayyan lalu nangkup wajah Athaya sambil setengah berbisik, “Pak Arga tuh relasinya luas, power-nya gede, kalau kita macem-macem sama dia, yang ada kita bisa dipecat dari kantor tau gak? Kamu mau?”

“Biarin,” mata Athaya berkaca-kaca, “Gue gak suka ya kalau lu direndahin kayak tadi sama dia.”

“Udah, gak apa-apa.” kata Rayyan sambil nuntun suaminya itu buat ngelanjutin langkah mereka agar segera pergi dari kantor Arga.

“Hei!” Arga neriakin Athaya, “Mau ngomong apa kamu sama saya?”

Rayyan noleh ke Arga, senyum ramah dia sunggingkan. “Gak ada kok, Pak. Tadi suami saya cum—”

Belum sempat Rayyan selesai menjawab pertanyaan Arga, si pemilik mata belo udah lebih dulu jalan ke arah Arga. Dia pun berusaha buat hentiin Athaya, tapi suaminya itu malah nabok kepalanya—lagi. Rayyan pasrah.

Sementara Arga juga Deva yang melihat rekan kerja sekaligus pasangan suami itu bertingkah seperti pegulat pun menganga. Ada yang aneh dari keduanya.

Pasalnya, belum beberapa menit Arga dan Deva melihat Rayyan bersikap manis ke Athaya dengan menangkup wajah suaminya itu. Namun, kini justru mereka yang saling bertikai dan tarik menarik.

Ketika Athaya akhirnya berdiri di hadapan Arga, sang CEO lantas kembali menunjukkan ekspresi dinginnya. Arga ngangkat dagu.

“Apa?”

“Tadi Bapak bilang kalau suami saya gak bisa berjuang kan?” kata Athaya, “Kalau aja Rayyan nggak bisa dan gak mau, sekarang kami gak bakalan ada di kantor anda.”

“Karena saya sama Rayyan tau betul Pak Arga itu kalau udah marah dan gak suka sesuatu itu bakal kayak apa,” lanjut Athaya.

“Tapi Rayyan mau, Pak. Dia gak nyerah buat tetap ketemu sama Pak Arga,” jelasnya. “Bahkan pas saya udah maki-maki dia di jalan tadi buat pulang ke kantor kami aja, dia masih mau nyoba ke sini.”

“Dia bilang ke saya kalau he will try his best supaya Pak Arga bisa mengerti.” Athaya ngatur napas.

“Dan di luar perjuangan Rayyan buat ketemu Bapak, ada banyak perjuangan lain yang pernah dia lakuin. Nggak perlu saya sebutin satu-satu, toh anda gak peduli.”

“Tapi saya ngomong di sini sama Bapak sebagai suaminya Rayyan,” tegas Athaya, “Saya gak suka kalo suami saya ini disebut nggak bisa berjuang. Apalagi sama Pak Arga yang gak tau soal hal-hal yang udah pernah dia lalui selama ini.”

“Saya permisi,” pamit Athaya lalu narik lengan Rayyan, “Ayo, njing.”

Rayyan cuma bisa nurutin sang suami sambil sesekali ngelirik ke Arga juga Deva. Bahkan Rayyan pun takut ngeliat Athaya saat ini.

“Kalau emang suami kamu itu bisa berjuang, kenapa sekarang dia gak masuk ke meeting room terus nunjukin kemampuan dia?”

Langkah Athaya juga Rayyan pun terhenti pas Arga bersuara. Baik itu Athaya maupun Rayyan lantas berbalik, natap sang CEO heran.

Sementara itu, Deva yang sedari tadi nahan napas lantas ngasih kode ke Athaya juga Rayyan agar mereka buru-buru ke meeting room. Tapi keduanya bingung.

“Gak bisa kan? Makanya saya bilang, datang lebih awal. Ck!” dumel Arga, “Kalau waktu udah mepet gini, yang ada cara kamu presentasi kayak kumur-kumur.”

“Saya bisa, Pak.” sahut Rayyan.

“Lu mau ngapain, sih anjing?” Athaya lantas gak habis pikir.

“Ayo, botak. We can do it,” ajak Rayyan sambil narik lengan suaminya sampai akhirnya mereka kembali ke depan Arga.

“Kok malah berdiri di sini? Saya kan bilang di meeting room, ck!” Protes sang CEO, “Tunggu saya di sana, saya mau ciuman dulu.”

Rayyan dan Athaya kaget, sedang Deva refleks narik jas suaminya.

“Ish, Mas Arga.” bisik Deva kesal sebelum senyumin Athaya sama Rayyan yang masih shock berat.

“Ayo, Mas Rayyan, Mas Athaya, saya anterin ke meeting room.”

Arga berdecak sambil ngeraih tangan Deva, “Kamu mau aku cium di depan mereka? Atau pengen duet ciuman sama mereka di meeting room?”

“Mas, kan kamu sendiri yang bilang kalau waktunya udah mepet.” Deva berusaha tetap tenang meski dia sebenarnya malu gara-gara ucapan Arga.

“Ya kan mepetnya buat mereka. Kalau waktunya udah abis, aku gak bakal dengerin dia ngomong lagi soal project-nya. Siapa suruh datang telat,” Arga mendengus.

“Mas…”

Deva natap lurus ke dalam mata Arga dengan tatapan seriusnya, bikin sang CEO ngehela napas pasrah. Daripada Deva ngambek.

“Iya, iya,” cebik Arga sebelum ngasih death glare ke Athaya sama Rayyan yang nahan tawa.

“Ayo, Mas Ayyan, Mas Aya,” Deva mempersilakan kedua tamunya itu untuk berjalan ngikutin arah tangannya, “Di sebelah sini, Mas.”

“Sayang,” Arga nyolek pinggang Deva yang jalan di sampingnya.

“Apa sih, Mas?”

“Cium.”

Deva geleng-gelengin kepalanya pasrah, “Iya, Mas. Abis meeting.”

“Sepuluh menit ya,” gumam Arga.

“Kok gitu?” Deva nyaris memekik pas dengerin gumaman Arga itu.

“Ya udah, dua puluh menit.”

“Ish!”

Deva mendesis sebelum nahan senyum pas Arga terkekeh pelan sambil ngerangkul pinggangnya. Sementara Athaya dan Rayyan yang sedari tadi diam-diam nguping pembicaraan pasangan itu saling berbagai tatap sejenak.

“Dia bisa ketawa ya ternyata,” bisik Athaya pada suaminya.

“Iya,” Rayyan setuju, “Dia hangat banget ke Mas Deva, kek bukan Pak Arga yang tadi ngomelin lu.”

“Elu yang diomelin, anjing.”

“Lu juga diomelin, botak.”

“Apa kalian bisik-bisik?” sergah Arga, “Lagi gosipin siapa? Saya?”

Rayyan senyum, “Gak kok, Pak.”

Sesaat setelahnya, mereka pun sampai di depan meeting room. Saat itu pula Rayyan menghela napas lega, sebab sebentar lagi dia bakal nunjukin kemampuan presentasinya di hadapan Arga.

Dan semua itu berkat Athaya.

Athaya is truly his luck.

Dipta markirin motornya tepat di halaman depan kos-an Dikta. Dia pun buru-buru ngeraih kantong belanja yang sedari tadi dia bawa sebelum bergegas ke kamar kos pacarnya itu. Dipta deg-degan.

Pas dapat chat dari Dikta soal dia yang dikira jalan sama Mahesa—juga fakta kalau Dikta udah ada di rumahnya—bikin Dipta panik bukan main. Setelahnya, dia pun pulang ke rumah, berharap sang pacar masih di sana. Tapi Dikta nyatanya udah balik ke kos-an.

Dan di sini lah Dipta sekarang.

Dia udah berdiri di ruang tamu kos-an Dikta—yang berhadapan langsung sama kamar pacarnya—sambil narik napas dalam-dalam. Dipta kemudian naroh kantong belanja yang dia tenteng di atas meja sebelum berjalan ke pintu kamar Dikta. Dipta udah siap.

“Taa,” Dipta manggil Dikta sekali sambil ngetuk pintu di depannya.

Tanpa nunggu jawaban Dikta, dia langsung ngebuka pintu kamar si doi. Saat itu juga Dipta langsung ngeliat Dikta lagi duduk di tepi tempat tidurnya. Pas Dikta noleh ke arahnya, Dipta nelan ludah.

Dipta makin gugup sekarang.

Gimana gak?

Mata Dikta jelas-jelas memerah, entah pacarnya itu abis nangis atau justru lagi marah banget sekarang. Dipta pun beraniin dirinya buat deketin Dikta yang juga udah berdiri, sampai mereka kini akhirnya saling berhadapan.

“Kamu abis dari mana sih?” nada suara Dikta tetap tenang, tapi raut wajah kecewa dan marah di wajahnya gak bisa bersembunyi.

“Aku abis belanja, Ta.” cicit Dipta.

Dia tiba-tiba lemes ngeliat sorot mata Dikta yang terlihat frustasi.

“Tapi aku beneran nggak belanja sama si Mahesa. Tadi aku cuma papasan sama dia, kebetulan dia juga nyari saus spaghetti. Jadi ya udah aku barengan jalannya, Ta.”

Dipta berusaha buat ngejelasin.

“Terus kenapa kamu bohongin aku, Dip?” Dikta masih tenang.

“Aku gak bermaksud bohongin kamu, Ta. Tadi aku tuh cuma—”

“Ya tapi kamu bohong,” Dikta motong ucapan Dipta dengan tatapan kecewa dan sedihnya.

“Apa selama ini aku jadi pacar yang terlalu posesif ya sama kamu? Sampai-sampai kamu nggak mau terus terang sama aku?” lanjut Dikta tanpa biarin Dipta ngejawab dia lebih dulu.

“Dikta, kamu ngomong apa sih?” Dipta menghela napasnya gusar.

“Aku belanja sendiri, gak bilang sama kamu, ya karena aku tuh cuma mau bikin surprise buat kamu. Aku pengen masak di kos sebelum kamu pulang dari RS.” jelas Dipta lalu ngeraih tangan Dikta, tapi pacarnya itu tiba-tiba ngelepasin tautan jemari mereka.

“Buat apa, Dip?” Dikta geleng-geleng kepala, “Gak ada bedanya kalau kamu jujur aja sama aku.”

“Kamu tinggal bilang kalau kamu mau masak buat aku,” lanjutnya. “Gitu aja aku udah seneng kok. Gak perlu bohong kayak gini.”

Dipta refleks ngepalin tangannya di samping paha. Ucapan Dikta barusan agak nyentil perasaan dia. Dikta seolah gak ngehargai usaha Dipta buat bikin sesuatu yang sedikit spesial menurutnya.

Padahal, bagi Dipta, dia juga punya caranya sendiri buat mengekspresikan rasa sayang ke pacarnya. Jujur aja, Dipta sedih.

“Oke kalau kamu gak suka cara aku,” mata Dipta berkaca-kaca.

“Aku pikir kamu bakal seneng terus terharu kalau tiba-tiba ngeliat aku udah masak buat kamu di kos-an, apalagi hari ini kamu abis sidang. Tapi ternyata apa yang aku anggap spesial itu nggak ada bedanya buat kamu.”

Dipta ngangguk sambil senyum miring, “Besok-besok gak bakal aku ulangin lagi kok. Maaf, Ta.”

“Ekspektasi aku aja emang yang ketinggian,” gumam Dipta sambil buang muka ke arah lain, sedang Dikta tiba-tiba meluk tubuhnya.

“Dip, aku tuh pengen kamu jujur kalau mau pergi ke suatu tempat karena aku gak mau kalau sampai kamu tuh kenapa-kenapa di jalan dan aku enggak tau.” tutur Dikta.

“Kamu tau gak sih gimana takut dan khawatirnya aku tadi, Dip?” Dikta makin ngeratin pelukannya di pinggang Dipta, “Pas si Nada bilang kalau dia ngeliat kamu lagi jalan sama Mahesa, aku gak ada pikiran yang aneh-aneh ke kamu sedikit pun. Aku percaya kamu.”

Dipta refleks ngerasin rahang pas denger ucapan Dikta tadi. Ternyata si Nada biangnya.

“Aku bahkan sempet mikir kok kalau kamu mungkin emang lagi belanja sama si Mama, tapi kamu tiba-tiba ketemu Mahesa di sana terus Nada liat kalian barengan.”

“Tapi tetap aja aku nggak tenang. Aku cemburu, Dip.” lanjut Dikta.

“Apalagi aku tau, dia juga pernah deketin kamu. Jadi ya udah, aku pulang dari RS terus langsung ke rumah kamu. Mau nunggu kamu sampai pulang. Tapi aku malah ketemu sama Mama dan dikasih tau kalau Mama gak belanja sama kamu. Kamu bohongin aku, Dip.”

“Dari situ aku makin gak tenang, aku mikir apa sikap aku ke kamu selama ini terlalu posesif sampai kamu bohongin aku? Atau aku udah bikin kamu capek?” Dikta lalu beralih nangkup wajah Dipta.

“Pikiran aku kacau, Dip. Apalagi pas aku liat kabar kalau di area tempat kamu belanja ada insiden kecelakaan. Aku mikirin kamu,” kata Dikta. “Aku ketakutan, jadi aku ke sana lagi buat liat siapa yang jadi korban. Aku gak bisa bayangin kalau itu kamu, Dipta.”

“Kamu gak bisa bayangin kalau liat pacar kamu kecelakaan pas lagi selingkuh? Gitu kan maksud kamu?” Kini giliran Dipta yang nepis tangan Dikta dari pipinya. “Kamu udah gak percaya sama aku? Apa emang gak pernah?”

“Kamu ngomong apa sih, Dip?” suara Dikta tetep tenang, “Aku takut kamu yang kenapa-kenapa di sana. Aku takut kamu beneran ninggalin aku, gak cuma karena kamu berpaling sama orang lain, tapi karena kamu nggak bisa aku liat lagi di sini. Aku takut, Dipta.”

“Dengan kamu punya ketakutan kalau aku berpaling ke orang lain sama aja kalau kamu gak percaya sama aku, Ta.” suara Dipta lirih.

“Seharusnya sekarang aku yang nanya, apa aku udah bikin kamu capek?” timpalnya, “Bukan aku yang capek, Ta. Tapi kamu kan?”

“Dip, justru aku takut kalo kamu berpaling karena aku selalu mikir apa aku ini udah jadi pacar yang baik buat kamu? Gimana kalau ternyata aku bikin kamu capek?”

Dikta frustasi, “Pikiran kayak gitu gak bisa aku hindari, Dip. Bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi aku yang gak percaya sama diri aku. Aku pikir kamu ngerti.”

“Kamu pengen aku ngerti, tapi kamu sendiri gak ngerti aku,” balas Dipta, “Kamu tau gak sih gimana excited-nya aku tadi buat bikin kamu terkesan? Tapi apa?”

“Kamu bilang semua itu gak ada bedanya, seolah kamu tuh nggak ngehargain effort aku buat kamu. Aku sedih tau gak?” jujur Dipta.

Dikta ngusap wajahnya sejenak, “Oke, aku minta maaf. Aku gak bermaksud nyinggung perasaan kamu. Aku cuma khawatir, Dip.”

Dipta kembali buang muka, “Aku tau, jalan bareng-bareng kadang bikin capek. Kalau kamu pengen istirahat, i’m fine. Daripada kita maksain buat jalan sama-sama terus, tapi ternyata ada satu dari kita yang gak bisa, it won’t work.”

“Maksud kamu ngomong gini apa sih?” Dikta narik dagu pacarnya supaya natap dia, “Liat aku, Dip.”

“Aku gak bakal gangguin kamu,” balas Dipta. “Kamu juga enggak perlu nyari kabar aku dulu, Ta.”

Dipta balikin badannya, hendak pergi dari kamar Dikta. Tapi si pemilik lesung pipi nyegat dia.

“Kamu sadar gak sih kamu abis bilang apa, Dip?” tanya Dikta. “Kalau kamu marah sama aku, marah aja. Biar kelar sekarang.”

“Aku nggak mau ngomong sama kamu. Aku pengen sendiri dulu.”

Dipta ngelepasin tangan Dikta, matanya udah memerah. Dia lalu bergumam, “Aku mau pulang...”

Suara Dipta yang terdengar agak merengek di telinga Dikta bikin dia gak bisa biarin pacaranya itu pergi sendiri. Meskipun dia—saat ini—sejujurnya cukup kesel sama ucapan Dipta tadi, tapi tetep aja dia lemah kalau Dipta lucu gini.

“Ya udah, aku anterin.”

“Gak usah. Aku bawa motor,” kata Dipta sebelum ninggalin kamar pacarnya, tapi Dikta tetap setia ngekor di belakangnya. Langkah Dipta kemudian berhenti tepat di ruang tamu, dia ngambil kantong belanjanya sebelum nyodorin itu ke Dikta yang berdiri di sisinya.

“Kamu masak sendiri aja kalau mau makan,” kata Dipta dengan mulutnya yang mencebik kesal.

Dia cemberut, Dikta paham itu.

Dikta pun naroh kantongan dari Dipta di kamar sejenak sebelum berlari ke arah halaman depan kos-an. Dia takut Dipta pulang duluan. Beruntung Dikta masih dapetin Dipta lagi nyalain motor.

Buru-buru Dikta nyabut kunci motor Dipta, bikin empunya noleh terus natap dia dengan mata sembab. Dipta mencebik.

“Kamu apa-apaan sih? Balikin kunci motor aku,” protes Dipta.

“Kan aku udah bilang, aku mau nganterin kamu pulang, Dipta.”

“Kan aku juga udah bilang, gak usah, Dikta.” balas Dipta serupa.

“Ya udah, kunci motornya gak aku balikin.” Dikta buang muka.

Decakin lidahnya kesal, Dipta lalu turun dari motornya sambil hentak-hentakin kakinya pelan. Dikta yang sadar kalau pacarnya itu udah berdiri lantas bergegas ngambil helm dari motornya sebelum naik ke motor Dipta.

“Ayo,” ucap Dikta setelah nyalain motor Dipta, tapi pacarnya itu masih aja berdiri di sisi motor.

Ngehela napasnya panjang, Dikta kemudian ngubah posisi parkir motor Dipta jadi standar tengah. Setelahnya, dia pun berdiri, dan tanpa aba-aba Dikta langsung ngegendong Dipta supaya naik ke atas motor; buat dia bonceng.

Dipta kaget, of course, tapi dia tetap pura-pura tenang sambil noleh ke arah lain. Gak mau liat Dikta yang sekarang lagi siap-siap masangin helm buat dia.

Pas Dikta udah selesai masangin helm, Dipta buru-buru nurunin kaca helmnya yang berawarna hitam. Tapi, Dikta justru naikin kaca helmnya itu kayak semula.

“Jangan diturunin,” titah Dikta sebelum ikut naik ke motor.

Sayangnya, Dipta yang lagi mode ngambek lagi-lagi nurunin kaca helmnya. Alhasil, Dikta yang baru aja mau nyalain mesin motor pun noleh sebelum naikin kaca helm Dipta lagi kayak sebelumnya.

“Kamu kenapa sih?” protes Dipta.

“Kamu yang kenapa, Dip?” balas Dikta, “Kamu nurunin kaca helm buat nangis di jalan? Kenapa gak sekarang aja di depan aku? Biar kita gak kek gini. Aku dengerin.”

“Siapa juga yang mau nangis?” Dipta ngelak, “Orang aku nggak mau mata aku kemasukan debu.”

Dipta kembali nurunin kaca helm dia, tapi lagi-lagi Dikta ngelakuin hal sebaliknya. Dipta pun berang.

“Mau kamu apa sih, Ta?”

“Aku mau liat muka kamu di kaca spion, jadi jangan ditutupin, Dip.”

Dipta merenggut. Dia lagi kesel sama Dikta, tapi sekarang dia malah salah tingkah abis denger ucapan pacarnya. Dipta, sadar!

Ngehela napas pelan, Dikta lalu nyalain mesin motor Dipta. Dia pun nurunin standar tengahnya dan siap-siap buat tancap gas.

Sadar kalau Dipta malah asik ngelipat lengan, Dikta kemudian nuntun kedua tangan Dipta buat pegangan di pinggangnya. Dikta noleh ke Dipta yang lagi manyun.

“Kenapa? Mau aku cium?” ucap Dikta santai, sedang Dipta lantas buang muka. “Pegangan yang kenceng, entar kamu jatoh.”

“Biarin,” gumam Dipta.

Dikta yang masih bisa dengerin gumaman Dipta dengan jelas pun nurunin standar motor sebelum balikin badannya ke pacarnya. Dia lalu megang helm Dipta pake dua tangannya; posisinya kayak lagi nangkup wajah Dipta. Dalam waktu sekejap mata, Dikta lantas ngecup bibir Dipta cukup lama.

“Kamu kalau masih rewel bakal aku bawa pulang ke rumah aku, mau?” kata Dikta pas abis nyium bibir pacarnya, Dipta cuma diam.

Ngeliat Dipta udah mulai anteng, Dikta pun kembali bersiap-siap buat nancap gas motor. Sampai akhirnya, Dikta pun bener-bener nganter Dipta pulang ke rumah.

Dikara yang udah nunggu Aksa di halaman parkir kantor suaminya itu refleks tersenyum sumringah pas pujaan hatinya datang. Aksa dengan muka lesunya nyamperin Dikara sambil nyeret kopernya.

“Sini, aku bantu.” tawar Dikara.

Aksa mendengus, “Daritadi kek.”

Dikara ketawa ringan, sementara Aksa buru-buru buka pintu mobil suaminya. Badan Aksa yang udah terasa remuk, usai dinas tiga hari di Medan, bener-bener butuh empuknya ranjang setelah ini.

Gak lama berselang, Dikara pun ikut masuk ke dalam mobil. Dia duduk di belakang kemudi, tepat di samping Aksa. Tapi bukannya nyalain mesin, si pemilik lesung pipi justru sibuk ngeliatin Aksa. Alhasil, Aksa yang sadar akan hal itu seketika decakin lidah kesal.

“Kenapa gak jalan sih? Aku udah capek banget nih, pengen bobo.”

Dikara pun senyum tipis sebelum meluk Aksa. Sesekali dia ngecup pundak juga belakang telinga si pujaan hati sambil ngusap pelan punggung Aksa. Dia lalu berbisik.

“Iya, abis ini kamu bobo ya.”

Aksa cuma manyunin bibirnya dan nurut-nurut aja pas Dikara mundurin lalu nurunin sedikit sandaran jok mobilnya. Supaya Aksa bisa rebahan di perjalanan.

“Bangunin aku kalau kita udah nyampe,” gumam Aksa sebelum nutup matanya. Dikara senyum.

Mobil yang dikemudikan Dikara pun perlahan melaju. Membelah jalan raya Kota Bandung yang mulai padat; karena saat ini lagi jam pulang kantor. Meski harus terkena macet di beberapa titik, tapi Dikara bersyukur karena dia bisa bawa Aksa ke tempat tujuan sebelum jam tujuh malam. Gak lama, tapi cukup makan waktu.

Setelah markirin mobil, Dikara kembali natap wajah damai Aksa lekat-lekat. Satu tangannya pun refleks ngusap pipi sang suami yang jelas lagi kehabisan energi.

Dikara rasanya gak tega kalau harus bangunin Aksa saat ini. Tapi kasian juga kalau Aksa kelamaan tidur di jok, pikirnya.

“Sayang,” Dikara bangunin Aksa.

“Hng?”

“Kita udah nyampe, Sa.”

Aksa lantas melenguh pelan lalu membuka mata. Tapi pas ngeliat kalau pemandangan di sekitar dia cukup asing; gak di halaman rumah, Aksa otomatis melotot.

“Kita di mana, anjing?”

Aksa langsung bangun sebelum meriksa keadaan di luar mobil. Sejenak dia narik napas dalam-dalam lalu natap Dikara tajam.

“Ngapain lu bawa gue ke hotel?”

Dikara ngeraih jemari si pujaan hati. Dia lalu ngusap punggung tangan Aksa dengan ibu jarinya.

“Aku pengen kamu full istirahat malam ini sampai besok,” sahut Dikara. “Kalo di rumah, kamu tuh gak bisa tenang. Liat debu dikit, langsung nyapu. Baju di lemari warnanya gak sesuai, dirombak.”

“Aku juga yakin nih, kalau aja kita di rumah, kamu mungkin bilang pengen langsung tidur. Tau-tau kamu malah masak sama Mama. Abis itu ngotot mau cuci piring.”

Dikara ngecup punggung tangan Aksa sesaat, “Maaf aku gak bilang ke kamu sebelum booking hotel. I just want you to take it as a little surprise and gift from me. Thats’s it. Kita masuk sekarang ya, Sa?”

Aksa gak nyaut, tapi Dikara tiba-tiba dibuat kaget pas suaminya itu narik tengkuknya sebelum nyium bibirnya. Ciuman Aksa yang lembut sukses bikin Dikara nutup mata dan nahan senyum.

“Kamu nyebelin,” gumam Aksa di akhir ciumannya dengan Dikara.

“Kalau nyebelin bisa bikin kamu nyium aku mulu, aku bakal lebih nyebelin lagi besok-besok.” kata Dikara diikuti kekehan merdu.

Aksa mendelik, “Kamu pasti abis bikin kamar berantakan kan, Ka? Makanya kamu bawa aku ke sini.”

“Gak berantakan kalau menurut aku mah,” Dikara nyubit pipi kiri Aksa, “Tapi nggak tau sama kamu yang kalau sprei kusut dikit udah dibilang berantakan banget, Sa.”

“Emang berantakan kalau kamu yang rapiin,” kata Aksa ngeledek.

“Ya udah, kita masuk yuk.” ajak Dikara, “Aku juga udah booking spa buat kamu. Enak loh, dipijat pas badan lagi berasa remuk, Sa.”

“Kenapa bukan kamu aja sih yang mijitin aku?” balas Aksa, sedang Dikara bukain seatbelt buat dia.

“Kalo aku yang mijit kamu, entar malah jadi pijat plus-plus.” kekeh Dikara, “Yang ada kamu tuh jadi makin capek, gak full istirahat.”

Aksa nahan senyum sambil natap Dikara yang sekarang udah siap-buka pintu. Gak lama setelahnya, Dikara pun langsung turun dari mobil. Dia ngebuka bagasi buat ngambilin koper Aksa; sekalian sama backpack yang dia bawa.

Setelah dirasa kalo semua barang bawaan udah keluar, Dikara lalu ngebuka pintu mobil buat Aksa. Tanpa Dikara tau, sedari tadi si pujaan hati diam-diam ngeliatin dia dengan tatapan memuja dari dalam mobil. Tapi bukan Aksa kalau dia gak sedikit gengsi buat nunjukin perasaannya, bahkan ke Dikara; sahabatnya sejak kecil.

“Ayo, Sa.” ajak Dikara.

Aksa ngangguk lalu ikut keluar dari mobil. Setelahnya, Aksa pun meraih gagang koper yang saat ini lagi digenggam sama Dikara.

“Biar aku aja,” katanya.

“Gak usah, Sayang.” balas Dikara, “Kamu jalan aja sini, di samping kiri aku. Pegang tangan aku nih.”

“Apaan sih,” gumam Aksa sambil nahan senyum malu-malu pas ngeliat Dikara nyodorin tangan.

“Kamu kenapa sih gengsi banget ampe gak mau gandengan sama suami sendiri hm?” protes Dikara sambil meraih jemari lentik Aksa.

“Aku malu,” cicit Aksa.

Mata Dikara pun menyipit, “Malu sama siapa sih? Sama aku lagi?”

Dikara kemudian nuntun suami cantiknya berjalan ke lobi hotel. Mereka melangkah beriringan sambil berpegangan tangan erat.

“Mm,” Aksa mencebik, “Abisnya… Aku kalo dialusin sama kamu tuh bawaannya salting sampai muka aku jadi merah. Terus diledekin sama kamu abis itu. Ngeselin.”

Dikara ketawa denger celotehan Aksa. Bikin Aksa makin nyebik.

“Lagian kenapa juga ya, aku pake salting segala kalau dialusin, Ka? Perasaan dulu-dulunya gak gini.”

“Kan kamu udah cinta sama aku,” jawab Dikara enteng, “Lagian aku suka tau liat kamu kalau salting.”

“Tapi aku gak suka,” desis Aksa.

Persekian sekon kemudian, Aksa dibuat bingung pas Dikara tiba-tiba berhenti melangkah. Mereka masih di area lobi padahal, belum tiba di depan meja resepsionis.

“Kenapa, Ka?” tanya Aksa sambil mendongak ke Dikara yang lebih tinggi beberapa senti darinya itu.

Dikara gak menjawab, tapi dia justru balik natap Aksa sebelum ngecup kening suaminya. Sontak Aksa kaget sekaligus panik, sebab di lobi enggak cuma ada mereka.

“Ih, kamu ngapain sih?” kata Aksa lalu menghindari tatapan Dikara.

“Aku nyium kening suami aku,” sahut Dikara. “Gak salah kan?”

“Ya salah lah, kamu ngecupnya di sini. Kita diliatin orang tau gak?”

Dikara nahan senyumnya sambil nyubit pipi Aksa yang udah kayak ditimpa blush on; bersemu. Aksa sendiri sibuk noleh ke arah lain sambil ngulum bibir rapat-rapat.

“Gak usah ditahan senyumnya.”

“Siapa juga yang nahan senyum,” Aksa mendelik, “Orang aku lagi nahan supaya gak ngomel di sini.”

“Ya udah, entar pas kita di kamar omelin aku aja. Jangan ditahan.”

“Sinting lu,” cibir Aksa sebelum kembali ngikutin langkah Dikara ke meja resepsionis. Sementara suaminya itu cuma senyum tipis.


“Kamu suka kamarnya gak?”

Aksa yang lagi asik ngecek kamar hotel sesaat setelah Dikara buka pintu buat dia tadi mengangguk.

“Habis berapa lagi kamu?” tanya Aksa sebelum berbalik. Ngeliat Dikara yang lagi nyeret koper ke sudut lain kamar; gak jauh dari sofa yang bersisian sama pintu penghubung ke balkon hotel.

“Gak nyampe sejuta kok, Sa.”

“Boong banget lu,” Aksa melipat lengan, “Dikira gue bego, apa? Kamar di sini mana ada yang di bawah satu juta. Belum juga spa.”

“Kamarnya beneran gak nyampe satu juta, aku pake kode promo.” kata Dikara lalu nyamperin Aksa yang masih berdiri di sisi ranjang kamar hotel, “Kalo spa beda lagi.”

Aksa ngehela napas panjang sebelum meluk tubuh Dikara.

“Kamu ngapain pake ngeluarin duit segala sih buat nyuruh aku istirahat doang, Ka?” tanya Aksa.

“Aku menghargai apa pun yang kamu kasih ke aku kok,” Aksa lalu ngecup ceruk leher Dikara, “Tapi sayang aja gitu, Ka. Duitnya bisa kamu pake atau tabung buat hal-hal yang lebih penting padahal…”

Narik dirinya dari dekapan Aksa, si pemilik lesung pipi pun beralih membingkai wajah suaminya. Dia ngecup kening, pipi sampai bibir Aksa sejenak sebelum bersuara.

“Gak ada yang lebih penting buat aku selain kamu, Sa.” kata Dikara. “Duit bisa dicari lagi, tapi kalau kamu… Aku gak bisa nyari yang kayak kamu di mana pun tau.”

“Jadi selama kamu masih di sisi aku dan aku bisa ngasih yang terbaik, aku bakal ngelakuin itu. I’ll give you anything,” timpalnya.

“Kamu ngomongnya udah kayak mau aku tinggal mati aja besok.”

“Hush, kamu ngomong apa sih?” Dikara nyubit hidung Aksa, “Tapi yang namanya umur enggak ada yang tau kan? Bisa aja aku yang lebih dulu mati ninggalin kamu.”

“Kamu juga ngomong apaan sih?” Aksa manyunin bibirnya, “Jangan bikin aku takut ah. Aku gak suka.”

Dikara lantas kembali meluk erat Aksa sambil ketawa, “Kamu takut bakalan dihantuin sama aku ya?”

Aksa geleng-geleng kepala di dalam dekapan hangat Dikara.

“Aku takut gak bisa liat kamu lagi terus meluk kamu kayak gini, Ka. Aku takut kamu pergi dan nggak bisa kembali lagi,” kata Aksa lirih.

Penuturan Aksa barusan bikin Dikara terenyuh. Meski suaminya itu sering gengsi ngungkapin isi hatinya, tapi pas Aksa udah jujur dan terbuka kayak gini, Dikara rasanya pengen nangis aja.

Aksa, his first love, the love of his life, his everything; is down bad for him like he does all this time.

“Kamu kalau lagi berdoa jangan lupa minta umur yang panjang makanya,” Dikara ngusap sayang belakang kepala Aksa, “Biar kita bisa kayak gini sampai tua nanti.”

“Aku pengen jagain kamu sampai rambut kita udah putih,” Dikara terkekeh, “Kan katanya, kalo kita udah tua nih, kita bakalan rewel lagi kayak anak kecil. Aku tuh jadi excited pengen direwelin kamu.”

Aksa yang diam-diam nahan air mata sedari tadi tersenyum lalu kembali ngecup sayang ceruk leher suaminya. Dia kemudian mendongak, beralih menciumi bibir Dikara sambil nutup mata.

Dikara pun gak nolak pas Aksa minta akses supaya bisa nyesap lidahnya. Dia membuka mulut, membiarkan Aksa nenggak saliva mereka yang udah bercampur.

Ciuman itu semakin intens saat Aksa nuntun Dikara buat gantian mendominasi. Sebab, Aksa yang sedari tadi muas-muasin buat mengabsen isi mulut suaminya.

Aksa pun dibuat melenguh pelan ketika Dikara melumat bibirnya dengan begitu bernafsu. Dikara nampak seperti orang yang haus karena gak minum berhari-hari.

“Ngh! Ka… Ada telepon,” gumam Aksa pas denger kalau telepon hotel di atas nakas berdering. Tapi Dikara justru masih sibuk gerakin kepala ke kanan dan ke kiri buat nyari posisi ciuman yang lebih enak dari sebelumnya.

Sadar kalau napas Aksa juga udah ngos-ngosan, Dikara akhirnya mengakhiri ciuman panas itu dengan satu kecupan lembut di bibir basah suaminya. Dia lalu ngusap lembut pipi Aksa sejenak.

“Aku angkat dulu ya.”

Aksa ngangguk. Merhatiin Dikara yang jalan ke arah nakas kamar sebelum ngeraih gagang telepon.

“Halo?”

“Oh, iya.”

“Saya booking jam delapan.”

“Oke, terima kasih ya.”

Aksa cuma nautin alis dengerin Dikara yang jelas lagi ngobrol sama pihak hotel. Setelahnya, Dikara kembali nyamperin dia sambil ngusap puncak kepalanya.

“Orang hotel udah konfirmasi soal spa,” kata Dikara sebelum Aksa nanya, “Kamu mandi gih.”

“Abis mandi kita nyari makan dulu sebelum spa,” timpalnya. “Makanan room service di sini gak enak tau kata Yuda. Jadi mending kita ke restonya aja.”

“Kamu lama-lama ketularan julidnya Yuda deh,” kata Aksa.

“Aku gak julid, Sayang. Cuman antisipasi aja, apalagi Yuda juga udah ngasih tau.” kekeh Dikara.

“Ka, tapi baju yang aku bawa ke Medan kemaren belum dicuci. Masa aku pake lagi?” cebik Aksa.

“Tenang,” Dikara lalu nyubit pipi suaminya, “Aku udah bawain baju buat kamu kok dari rumah. Ada di tas aku, entar aku keluarin ya.”

Aksa ngangguk, tapi bukannya bergegas ke kamar mandi, dia justru mainin jarinya di atas dada bidang Dikara. Jari telunjuk Aksa membentuk pola abstrak di sana.

“Kamu gak mau ikutan mandi?”

Pertanyaan Aksa sukses bikin Dikara nelan ludah. Belum lagi suara Aksa yang begitu lembut.

Dikara suddenly has butterflies in his stomach. Tentu karena Aksa.

“Kamu duluan aja, Sayang.” jawab Dikara, “Entar aku malah khilaf kalau ikut mandi bareng kamu.”

Aksa senyum, “Gak apa-apa. Aku juga kangen disentuh kamu, Ka.”

“Kamu serius?” Dikara mastiin.

Aksa ngangguk, “Mm.”

“Ya udah. Kamu masuk ke kamar mandi duluan gih, Sa. Entar aku nyusul,” titah Arga yang dibalas senyuman menggoda oleh Aksa.

Dikara mati-matian nahan diri buat gak nyerang Aksa saat itu juga. Apalagi pas Aksa nyempetin diri ngecup bibir Dikara sebelum ngambil bathrobe di lemari lalu melenggang ke kamar mandi.

Tenang, Dika.

Be gentle to Aksa, okay?

Dikara nyugesti dirinya sendiri sebelum mutusin buat masuk ke kamar mandi nanti. Dia gak mau sampai lupa kalau sekarang Aksa masih capek; cuma buat nurutin nafsunya yang mungkin meledak. Apalagi udah tiga hari semenjak Dikara sama Aksa pisah ranjang karena tuntutan pekerjaan.

“Sayang?”

Dikara yang semula sibuk sama pikiran dan dunianya sendiri pun refleks noleh ke sumber suara. Di sana, Dikara ngeliat Aksa udah berganti pakaian. Aksa memakai bathrobe hotel dari lemari tadi.

Aksa is so damn pretty.

“Ayo,” Aksa setengah merengek.

Dikara lalu mendesis pelan, “Saa, kamu jangan gemes-gemes dong. Aku gak mau bikin kamu tambah capek loh kalo abis mandi nanti.”

“Ya udah, cepetaaan.”

“Iya, sayang.”

Dikara pun nyamperin Aksa yang berdiri di ambang pintu kamar mandi. Dia natap Aksa—yang lagi senyum manis ke arahnya—lamat sebelum nyium pipi kanan Aksa.

Setelahnya, Aksa seketika dibuat terkekeh pas Dikara ngegendong dia brydal. Mereka pun masuk ke kamar mandi guna menuntaskan kerinduan setelah pisah tiga hari.

“Papi! Papa!”

Arga membuka mata saat suara Danu dari luar kamar menggema. Ia lalu menoleh, mendapati Deva masih tertidur pulas di sisinya.

Mengecup kening Deva sejenak, Arga kemudian bangkit sebelum menghampiri sumber suara. Arga sedikit heran, sebab Danu justru terbangun di pagi buta. Seperti sekarang, dimana jarum jam masih menunjuk ke angka lima pagi. Bahkan Deva yang biasanya bangun lebih awal saja masih setia berlabuh di alam mimpi.

Usai membuka pintu kamarnya, Arga pun mendapati sang anak berdiri di hadapannya. Danu mengenakan setelan kaos merah dengan celana pendek sambil membawa topi baseball khaki.

“Danu kok bangun jam segini?” tanya Arga lalu berjongkok di depan Danu, “Ada yang sakit?”

Danu menggeleng, “Nggak, Papi.”

“Terus?”

“Kan kemarin Papi bilang kalau pagi ini kita tuh mau main bulu tangkis sama Papa,” sahut Danu,

“Papi lupa lagi ya?” timpalnya sambil melipat lengan di dada.

Menghela napas pelan, Arga lalu menggendong Danu. Semalam, ia dan Deva memang sepakat untuk bermain bulu tangkis di pagi hari sambil mengajak Danu. Pasalnya, sejak mengenalkan olahraga itu pada sang buah hati pekan lalu—saat mereka liburan di Bogor—Danu terlihat amat menyukainya.

“Papi nggak lupa, tapi sekarang masih jam lima subuh.” katanya. “Main bulu tangkis itu bagusnya jam tujuh pagi, biar lebih sehat.”

“Tapi kan Papi sama Papa harus kerja,” Danu menatap wajah sang Papi dengan tatapan khawatir.

Mengecup pipi kanan dan kiri Danu sejenak, Arga kemudian memandangi putranya lamat. Meski Danu terkadang meminta waktu agar Papa dan Papinya di rumah saja secara tiba-tiba hingga menangis saat dia dan Deva akan berangkat ke kantor, namun tidak jarang pula Danu begitu perhatian seperti saat ini.

“Hari ini Papa sama Papi kerja di rumah, soalnya kantor Papi lagi dibersihin dulu dari virus.” jelas Arga, “Kemarin itu ada yang sakit gara-gara di tubuhnya ada virus.”

“Makanya Papi sama Papa bisa main bulu tangkis sama Danu hari ini di rumah,” timpalnya.

Alis Danu mengernyit prihatin, “Kasian ya, Papi? Pasti yang sakit itu enggak suka makan sayur.”

“Mm, makanya Danu rajin makan sayur sama buah ya?” balas Arga.

“Oke, Papi!” Dani berseru riang.

“Ssh…” Arga meletakkan telunjuk di depan bibirnya sejenak, “Danu ngomongnya pelan-pelan dong. Kasian Papa masih tidur di sana.”

Danu mengangguk kecil sebelum menurunkan pandangannya ke arah tubuh sang Alpha, “Papi.”

“Apa?” tanya Arga sambil berjalan ke arah ranjang dengan Danu yang berada di gendongannya.

“Kok Papi gak pakai baju?” bisik Danu, “Emang Papi gak dingin?”

“Semalem Papi ketiduran pas Papa mijitin punggung Papi,” jawab Arga, “Jadi enggak pake baju sampai Danu dateng tadi.”

“Papi gak dingin kok, soalnya diselimutin sama Papa sambil dipeluk.” Arga tersenyum lalu menurunkan Danu di ranjang.

“Papi,” Danu yang duduk di sisi kanan Deva menekankan sedikit suaranya, “Papi itu udah besaar, nggak boleh dipeluk Papa terus.”

“Siapa yang bilang gak boleh?”

“Danu,” jawab si kecil enteng.

Arga pun nyaris menyemburkan tawa, “Kenapa Danu mikir kalau orang besar gak boleh dipeluk?”

“Karena orang besar gak minta susu lagi kalau nangis, Papi. Jadi nggak usah dipeluk,” kata Danu.

Mata Arga memicing, “Tapi Papa minta susu tuh kalau nangis, jadi boleh dong Papi peluk-peluk?”

“Jangaaan,” protes Danu.

“Jangan meluk Papa?” tanya Arga. “Kasian dong kalau Papa nangis?”

“Papi jangan bikin Papa nangis, biar Papa nggak minta susu lagi kayak Danu. Papa udah besar,” jelas Danu, “Papi udah paham?”

Arga terkekeh mendengar Danu berceloteh. Apalagi saat anaknya itu menirukan caranya bertanya setelah memberitahu sesuatu pada Danu. Like father like son.

“Iya, Papi paham. Papi gak bakal bikin Papa nangis,” tutur Arga. “Tapi Papi mau meluk Papa ah, soalnya Papi sayang sama Papa.”

“Iiih, Papi. Gak boleh,” ujar Danu sembari menghadang Arga yang hendak memeluk Deva, “No! No!

“Curang banget,” protes Arga saat Danu ikut berbaring di sisi Deva lalu memeluk erat tubuh Papanya yang masih tidur itu dari samping, “Papi juga mau.”

“Papi kan udah,” sela Danu. “Papi nggak boleh serakah ya. Paham?”

Menyipitkan mata, Arga lantas beranjak ke sisi lain sebelum ikut berbaring di samping Deva. Arga lalu memeluk sang Omega, sama seperti yang dilakukan anaknya.

“Iiih, Papi curaaang.” suara Danu masih pelan, takut Deva bangun.

Arga pun hanya tersenyum usil sebelum mengecup pipi Deva. Membuat Danu yang melihatnya seketika bangkit dari posisinya lalu ikut menghujani wajah sang Papa dengan kecupan ringannya.

Sampai ketika Deva tiba-tiba melenguh, Arga juga Danu saling berbagi tatapan sejenak dengan bola mata yang membesar kaget. Deva kemudian membuka mata, tersentak mendapati sang anak duduk di sisi kanannya. Sedang sang suami di sisi berlawanan.

“Loh, Sayang?”

“Danu bangunin Papa ya?” Danu mencebik sesal, “Maaf ya, Papa.”

“Gak kok, Sayang. Tapi kenapa Danu ada di sini?” tanya Deva seraya mengusap pipi Danu.

“Danu mau main bulu tangkis,” jawab anak lelaki itu. “Tapi kata Papi, kita mainnya jam tujuh.”

“Terus ini yang pakein Danu baju kek gini siapa?” tanya Deva lagi.

“Danu sendiri, Papa.”

“Pintarnyaa,” Deva membingkai wajah Danu lalu memberi kecup sayang di pipinya. “Anak Papa sama Papi semangat banget ya?”

“Iya, Papa.” senyum Danu kian cerah, “Danu mau kalahin Papi.”

“Papa, nanti bantuin Danu yaaa?” Danu berbisik, “Kita lawan Papi.”

“Nanti Danu juga mau telepon Om Nua kalau Papi kalah,” timpal Danu lalu tergelak meledek Arga.

“Berani ya kamu ngelawan Papi, hm?” tantang Arga lalu memberi satu kecupan di pipi kanan Deva.

Tak ingin kalah, Danu seketika naik ke atas perut Papanya. Ia lantas tengkurap di sana sambil memeluk erat leher Deva. Danu lalu mencium pipi kiri Papanya.

“Heh! Heh! Heh!” Arga berdecak, “Kok Danu naik ke perut Papa?”

“Emang perut Papa kenapa?” Danu memandangi Deva serius.

Deva menggeleng pelan, “Perut Papa gak apa-apa kok, Sayang.”

“Yang boleh di atas Papa itu cuma Papi, Danu gak boleh.”

“Mas,” Deva mengedipkan mata memperingati pada suaminya. Takut Arga kelepasan berkata jorok di depan putra mereka.

“Kenapa Papi mau di atas Papa?” Danu menatap sang Papi aneh, “Papi kan berat, gak kayak Danu.”

“Udah, udah,” Deva menengahi diikuti kekehan ringan, “Danu udah minum susu gak, Sayang?”

“Belum, Papa.”

“Ya udah, Papa bikinin dulu. Mau ikut ke dapur gak?” tanya Deva.

Danu mengangguk, “Mauuu, tapi Danu digendong boleh ya, Papa?”

“Sini, biar Papi yang gendong.” tawar Arga pada putranya itu.

“Nggak mau,” balas Danu, “Danu mau digendong Papa. Kan sama Papi udah tadi. Papi gimana sih?”

Deva tidak bisa menahan senyum ketika melihat Danu dan Arga berceloteh seperti sekarang. Ia merasa kehidupan pernikahan antara dirinya dan Arga semakin berwarna semenjak kehadiran Danu. Namun, hal itu kian terasa saat anaknya sudah amat lancar berbicara hingga kerap mengajak Papinya bercanda hingga bertikai kecil; mengusili satu sama lain.

Time flies so fast.

Tak pernah sekali pun terbayang oleh Deva bahwa bahtera rumah tangganya dan Arga bisa sampai ke titik ini. Bahkan, ia yang dulu sempat skeptis menerima Arga sebagai suami kini justru benar-benar bersyukur karena takdir mereka saling terikat seperti ini.

Sebab, Deva tidak tau apa jadinya dia apabila bukan Arga di sisinya. Arga yang selalu setia menemani di saat senang juga susah hingga pada titik dimana mereka paham naik turunnya menjadi orang tua.

Semua kesialan yang dulu selalu Deva keluhkan seperti terbayar ketika menemukan cinta dalam dirinya untuk Arga. Setiap tangis yang pernah Deva lewati kini telah menjadi kenangan dan berganti menjadi tawa bahagia.

“Sayang?”

Lamunan singkat Deva buyar kala Arga mengusap pipi kirinya. Saat itu pula ia tersadar jika sang anak juga suaminya telah duduk di atas tempat tidur; menunggu.

“Katanya mau ke dapur. Yuk.”

“Ayo, Mas.” ucap Deva sebelum bangkit dari ranjang, “Sayang, sini. Katanya mau digendong.”

Danu pun berseru, “Oke, Papa!”

Deva melenguh saat merasakan sensasi geli di pusat ereksinya, bersamaan dengan wangi yang sangat ia kenali. Feromon Arga. Ketika membuka mata, Deva pun mendapati mentari telah muncul dari tempatnya bersembunyi.

Masih teringat jelas di kepala Deva bagaimana sang suami membuatnya berdesah erotis hingga berteriak semalaman. Mereka bercinta tidak hanya di dalam mobil, namun dilanjutkan lagi di kamar; dimana kini Deva tengah berbaring terlentang.

Menundukkan kepalanya guna melihat apa yang terjadi dengan kejantanannya, Deva pun nyaris memekik. Pasalnya, wajah sang suami ada di sana. Arga tengah sibuk melahap penis Deva yang mengacung tegak karenanya.

“Mas?”

Arga mendongak lalu tersenyum manis ketika netranya bertemu pandang dengan Deva. Ia lantas merangkak, beralih mengecup bibir Omeganya sejenak sebelum kembali menatapi wajah Deva.

“Pagi, Sayang.”

Suara berat nan manis si Alpha yang berada di atas tubuhnya sukses membuat bulu tengkuk Deva berdiri. Terlebih saat Arga mengusap perut Deva sensual.

“Sekarang udah jam berapa, Mas?” suara Deva masih serak.

“Baru jam tujuh,” sahut Arga lalu mengecup pipi Deva bergantian. “Gimana tidur kamu? Nyenyak?”

Deva mengangguk, “Mm, saking nyenyaknya aku jadi kesiangan.”

“Ngomong-ngomong… Wangi feromon kamu kuat banget, Mas.” katanya, “Rut-nya baru pagi ini?”

“Iya kayaknya,” jawab Arga, “Aku pas bangun tadi langsung horny soalnya. Mana kamu tidurnya sambil telanjang gini. You’re hot.”

Menjilati bibir bawahnya, Arga kemudian mencubit pelan puting Deva. “Quick sex before breakfast sounds good, Dev. Wanna try?”

“Mau sambil mandi?” balas Deva.

“Di sini aja. Sekarang.” jelas Arga, “Lubang kamu juga udah aku basahin kok tadi, sisa dimasukin.”

Mata Deva pun seketika melotot. Tidurnya tadi benar-benar amat nyenyak hingga ia bahkan tidak merasakan apa-apa sebelumnya.

“Kalau gitu masukin sekarang, Mas. Keburu kita dicariin nanti,” ucap Deva yang menjadi lampu hijau bagi Arga di atas tubuhnya.

Tanpa membuang waktu lebih lama, Arga lantas memposisikan kepala penisnya depan lubang Deva. Memasukkannya perlahan, hingga tenggelam seutuhnya.

“Papaaa!”

Belum sempat Arga menggenjot lubang Deva yang selalu menjadi candunya, pekikan juga ketukan Danu pada pintu dari luar kamar justru menggema. Alhasil, Deva maupun Arga lantas diam sambil saling berbagi tatapan panik.

“Papa belum bangun?”

Lagi. Teriakan Danu menyentuh gendang telinga Arga dan Deva.

“Udah, Sayang!” Deva menyahut.

“Katanya Papa mau bikinin Danu Pasta. Kok di meja belum ada?”

Mulut Deva menganga. Benar, ia belum menepati janjinya ke Danu untuk membuat pasta. Pasalnya, semalam Danu sibuk bermain dan berceloteh kepada Nua.

“Bentar ya, Sayang! Abis ini kita bikin sama-sama!” balas Deva.

“Ayo, Papaaa!”

“Iya! Iya! Papa cuci muka dulu!” kata Deva lalu memandangi Arga.

“Mas, kita lanjutin di kantor aja ya nanti?” bujuk Deva, “Ya, Mas?”

Arga pun memelas, namun pada akhirnya ia lantas bangkit hingga tautan di titik penyatuan mereka terlepas. Arga mendengus pelan.

Sementara itu, Deva buru-buru memunguti pakaiannya yang tercecer di samping ranjang lalu memakainya. Sembari memasang baju, Deva pun menoleh ke Arga.

“Mas, kamu mandi duluan gih. Entar kita telat loh,” titah Deva.

“Ck!”

Mendengar decakan sang Alpha, Deva yang telah selesai memakai bajunya pun menghampiri Arga. Ia mengecup sayang pipi suami tercintanya itu sejenak sebelum berlari kamar mandi. Tak lama berselang, Deva pun kembali dengan membawa bathrobe Arga.

“Ini, Mas.” Deva menyodorkan baju mandi itu pada suaminya, “Aku nemenin Danu dulu ya.”

Sang Omega kembali membanjiri wajah Arga dengan kecupannya. Deva paham, suasana hati Arga saat ini sedang mendung. Jelas terlihat dari raut murung Arga.

I love you, Mas.”

“Kalau kamu cinta sama aku, kenapa aku gak dipeluk sih?” balas Arga, “Aku mau dipeluk.”

Arga mencebik, “Kan kamu tau, aku lemes kalau lagi rut kayak—”

“Iya, Mas. Maaf ya,” potong Deva sambil mendekap erat suaminya.

“Papaaaa!”

Danu yang masih menunggu di luar kamar kembali memanggil Papanya. Membuat Deva yang seperti menjaga dua bayi lantas melepas tautannya dengan Arga.

“Mas, aku ke dapur sekarang ya.” pamit Deva, “Kamu mandi gih.”

“Kalau aku mandi, bakal dikasih apa sama kamu?” Arga tiba-tiba ingin membuat kesepakatan.

I’ll give you anything you want,” jawab Deva tanpa pikir panjang.

“Oke,” Arga pun tersenyum puas sambil memandangi Deva yang telah berlari keluar dari kamar.

Meriahnya acara peringatan hari ulang tahun Hardiyata Group ditutup dengan hiburan sambil menikmati jamuan makan siang. Namun, Arga dan Deva—yang notabenenya sang bintang utama dalam perhelatan tahunan itu—justru sibuk memandangi tamu yang berlalu lalang di dalam aula. Jelas mereka mencari seseorang.

“Eren ke mana sih?” gumam Arga kesal, “Tadi dia bilang kembaran si Nua ada di lobi. Kok lama? Ck!”

“Sabar, Mas. Bentar lagi paling.”

Deva yang duduk di samping kiri suaminya pun mengusap lembut lengan Arga. Deva amat paham dengan apa yang dirasakan Arga saat ini. Pasalnya, semenjak tahu bahwa sosok Aster yang sering Eren ceritakan padanya ternyata serupa dengan Nua, Deva lantas memberitahu Arga. Membuatnya dan sang Alpha tidak sabar untuk bertemu Aster saat di Indonesia.

Persekian menit berselang, Eren pun kembali ke aula. Ia berjalan beriringan dengan Aster, sesekali berbincang lalu berbagi senyum.

“Mas,” Deva menarik-narik pelan lengan Arga, “Eren udah balik.”

Mengikuti pandangan Deva, sang CEO Hardiyata Group seketika terdiam—pun Deva. Pasangan itu seolah kompak menahan napas karena mendapati jika Aster dan Nua benar-benar sangat mirip.

Sesampainya Eren di meja sang atasan, ia pun tersenyum cerah. Arga dan Deva kemudian berdiri.

“Aster, kenalin ini Pak Arga sama suaminya, Mas Deva.” tutur Eren.

Aster mengulas senyum ramah, menjulurkan satu tangan ke arah Arga guna berjabat tangan. “Pagi, Pak Arga. Senang bisa bertemu dengan anda hari ini. Saya Aster.”

Melihat gelagat Aster membuat Deva menatap lelaki itu sendu. Entah Aster adalah wujud lain dari Nua—sama sepertinya juga Arga—yang lahir kembali dari masa lalu dan tidak mengingat apa-apa, atau justru sosok Aster hanya memiliki kemiripan wajah dengan Nua. Sebab nampak jika Aster bersikap formal pada Arga. Aster terlihat tidak tau apa-apa tentang ia dan Arga, pikir Deva.

“Arga,” balas Arga singkat sambil meraih jabatan tangan Aster tadi.

Setelah bersalaman dengan Arga, Aster pun beralih meraih tangan Deva. “Halo, Mas. Salam kenal.”

“Salam kenal,” Deva tersenyum miring, “Panggil saya Deva aja.”

Aster mengangguk paham sambil tersenyum sebelum melepaskan tautan tangannya dengan Deva.

“Silakan dinikmati ya jamuannya,” Deva mempersilakan, “Ren, ajak Aster makan gih. Sekarang udah masuk jamnya makan siang loh.”

“Oke,” Eren lantas memandangi Aster penuh cinta, “Yuk, Ster.”

Aster mengangguk lalu kembali menatap pasangan di depannya bergantian, “Selamat ulang tahun untuk Hardiyata Group ya, Pak Arga. Semoga kedepannya makin sukses, kerja sama dengan grup keluarga saya juga makin lancar.”

“Terima kasih,” ucap Arga.

“Saya permisi sebentar, Pak.”

Arga mengangguk, “Silakan.”

Sepeninggal Aster, sang Alpha lantas beralih mengusap kepala Deva. Arga paham, suaminya itu amat merindukan Nua. Namun, sosok Aster yang mereka kira Nua terlihat tidak mengenali mereka berdua sebelumnya.

“Kamu sedih?” tanya Arga.

Deva menoleh, tersenyum tipis pada suaminya lalu menggeleng. “Gak kok, Mas. Aku cuma mikir aja, apa Aster sama kayak kita ya? Dia lahir kembali terus gak inget apa-apa soal kejadian masa lalu.”

“Mungkin aja di masa lalu itu dia Nua yang kita kenal,” timpalnya.

Arga menarik napasnya sejenak, “Mm, gak ada yang gak mungkin. Kan kata Nua dulu, nggak semua hal harus bisa masuk di akal kita.”

“Sekarang kita emang harus bisa menerima kepergian Nua,” jelas Arga, “Kalau pun ternyata Aster itu wujud lain Nua, good for him. Akhirnya dia udah banyak uang.”

“Jadi gak bakal minta makan lagi sama aku,” katanya lalu terkekeh.

Deva ikut terkekeh, “Iya, Mas. Kalau Aster itu wujud lain Nua, berarti sekarang dia juga udah ketemu sama titik bahagianya.”

“Mhm,” Arga bergumam setuju, “Kita makan sekarang yuk. Aku udah laper banget nih daritadi.”

Deva tersenyum, “Iya, Mas.”


Waktu pulang kantor sudah lewat beberapa jam yang lalu, namun Arga dan Deva baru bisa keluar dari gedung Hardiyata Group kala langit telah kelam. Pasalnya, mereka harus hadir dalam meeting dadakan dengan para jajaran eksekutif di kantor.

“Danu udah nanya mulu sama Mba Ais katanya, Mas.” gumam Deva setelah membaca pesan dari pengasuh anaknya. Ia lalu memasukkan gawai ke dalam saku jas sebelum memeluk erat lengan sang suami yang berjalan di sampingnya menuju basemen.

“Pasti entar kita diinterogasi lagi sama dia gara-gara pulang telat,” decak Arga lalu geleng-geleng.

“Kalau Danu ngambek gimana ya, Mas?” Deva cemas, “Apalagi aku udah janji bakal masakin pasta.”

“Ya kamu masakin aja entar,” kata Arga lalu membuka pintu mobil, “Yang penting kamu tepat janji. Sekalian nanti kita bujukin lagi.”

Deva mengangguk lalu masuk lebih dulu ke dalam kendaraan roda empat itu. Disusul oleh Arga yang duduk di balik kemudi.

Namun, bukannya menyalakan mesin mobil, sang Alpha justru mencium lembut pipi kanan Deva. Membuat Deva menoleh lalu menatap wajah Arga heran.

“Kamu kenapa, Mas?”

Arga memelas, “Seharian ini kita gak pernah ciuman di kantor, ck.”

“Aku juga tiba-tiba lemes banget sekarang, Dev.” timpal Arga, “Aku telpon Pak Agus aja kali ya buat jemput kita? Aku mau dipeluk.”

Deva menahan senyum. Entah kenapa, tiap kali jadwal rut sang Alpha kian dekat, Arga seketika menjadi sangat clingy padanya.

Menarik tengkuk sang suami, Deva kemudian menciumi bibir Arga. Ia melumat lembut titik candunya itu sejenak sebelum mendekap erat tubuh suaminya.

“Masih lemes gak, Mas?”

Membalas pelukan si Omega tak kalah erat, Arga lantas berbisik. “Satu ronde di mobil mau gak?”

“Ish!” Deva menarik dirinya dari pelukan Arga, “Katanya lemes, kok malah minta satu ronde sih?”

“Kebelet, Sayang.” rengek Arga.

Deva menggeleng, “Entar ada yang liat, Mas. Di rumah aja.”

“Ck! Liat aja,” gumam Arga lalu mengecup bibir Deva singkat.

“Kamu gak bakal tidur malam ini,” timpalnya diikuti seringai.

Arga kemudian berbalik badan ke arah stir, namun persekian detik berikutnya, ia seketika berteriak. Begitu pula Deva yang terkejut.

Seperti De Javu, Arga dan Deva mendapati seseorang sedang merayap di kap mobil. Namun ketika sadar jika sosok itu mirip dengan Nua, keduanya terdiam.

Bahkan saat si laki-laki berambut hitam turun dari kap mobil Arga sambil tertawa lalu membuka pintu di jok belakang, Arga dan Deva masih mencoba mencerna apa yang saat ini sedang terjadi.

“Kok kalian malah diem sih?”

Tak ada jawaban. Arga dan Deva masih diam dalam keterkejutan sambil menoleh pada sosok yang kini telah duduk di jok belakang.

“Ga, Dev. Ini gue, Nua.” katanya.

Mata Deva berkedip, “Terus yang siang tadi datang sama Eren itu?”

“Iya, itu gue!” Nua tertawa.

Namun, tawa Nua seketika hilang kala melihat tatapan datar Arga. Sementara Deva berkaca-kaca.

“Terus kenapa kamu pura-pura jadi Aster tadi?” Arga mengomel, “Kamu pikir lucu pas kamu pura-pura gak kenal saya sama Deva?”

“Suami saya kangen sama kamu. Deva udah berharap kamu bakal ngenalin dia. Tapi kamu malah—”

“Mas…” Deva pun menghentikan Arga, “Udah, Mas. Tenang dong.”

“Ya abisnya dia ngeselin sih!”

“Dengerin Nua dulu, Mas. Ya?” Deva mengusap lengan Arga.

Nua yang sedari tadi menahan napas seketika menelan ludah. Ia kemudian cengar-cengir melihat Arga masih menatapnya tajam.

“Iya, gue minta maaf.” sesal Nua, “Gue emang mau bikin surprise buat kalian pas ketemu hari ini, eh tapi malah bikin kalian kesel.”

“Gue juga udah kangeeen banget sama kalian berdua. Bahkan tiga bulan terakhir, gue nahan-nahan buat enggak nekat minta kontak kalian biar orang lain gak curiga gue tau kalian berdua dari mana.”

“Sampai akhirnya, kemarin Mami gue ngasih izin kalau gue boleh pulang ke Indonesia,” jelas Nua, “Gue beneran seneng banget bisa ketemu sama kalian lagi.”

Bibir Nua mencebik, sementara jemarinya bertautan di atas paha.

“Siang tadi, gue mau nyamperin kalian lagi tau, buat bilang kalau gue ini Nua.” timpalnya, “Tapi si Eren ngintilin gue mulu pas mau ngobrol sama lo berdua di aula.”

“Abis acara kalian juga sibuk lagi, jadi gue mikirnya mau ngomong pas pulang kantor aja.” jelas Nua.

“Dan gue enggak pura-pura jadi Aster kok, Ga. Di Singapore, gue dipanggil Aster. Nama lengkap gue itu, Nua Aster Hara Malik.”

“Sebenarnya ada apa sih, Nu?” heran Deva, “Kenapa lu ngilang tiga tahun lalu dan baru balik?”

Nua menghela napas, “Ceritanya panjang, Dev. Mending gue cerita sambil Arga nyetir, buat efisiensi waktu.” katanya lalu memelas, “Gue udah nggak sabar banget mau ketemu si bapao soalnya.”

“Saya kok malah kayak jadi supir kamu sih? Ck!” decak Arga, “Saya juga gak bilang ngizinin kamu ke rumah saya ya. Enak aja kamu.”

“Mas,” panggil Deva amat lembut, “Udah yuk, kita pulang sekarang. Danu udah nungguin di rumah.”

Memicingkan mata ke arah Nua sejenak, Arga kemudian berbalik lalu menyalakan mesin mobilnya. Sementara atensi Deva kembali tertuju pada Nua di jok belakang.

“Jadi gimana ceritanya, Nu?” tanya Deva bersamaan dengan mobil Arga yang telah melaju.

“Gue sampe bingung mau cerita darimana tau gak?” pundak Nua jatuh, “Yang jelas… Tubuh sama jiwa gue udah terpisah sebelum gue ketemu sama kalian berdua.”

“Hah?”

“Hah?”

Arga dan Deva kompak membeo.

“Nua yang dulu selalu tau pikiran kalian itu jiwa gue,” timpal Nua. “Sedangkan tubuh gue ada di RS Singapore dalam keadaan koma.”

“Kamu koma karena apa?” Kali ini Arga yang bertanya pada Nua.

Nua tersenyum miring, “Karena gue selalu nolak kodrat gue buat ngawasin Alpha dan Omega yang harus bersatu lagi di kehidupan sekarang. Gue gak mau percaya kalau bayangan yang selalu gue anggap halusinasi itu bagian dari tugas gue sebagai watcher.”

Watcher?” alis Deva berkerut.

Nua mengangguk, “Kalau kalian pernah baca kisah werewolf, gue ini termasuk watcher. Manusia biasa yang dipercaya sama kaum werewolf buat urusan mereka di dunia manusia. Watcher ini tau segala sesuatu tentang werewolf.”

“Bedanya, watcher di werewolf itu jadi asisten kaum werewolf. Kalo gue, ya, jadi asisten Alpha dan Omega yang kena karma dari masa lalu; kalian berdua.”

Nua menipiskan bibirnya sejenak dengan sorot mata sesal, “Gue tuh udah tau kalau gue ini ‘beda’ sejak kecil. Gue sering ngeliat bayangan yang gak pengen gue liat, sampai-sampai gue sempet ke psikiater karena gue pikir kalau gue ini udah gila,” tuturnya.

“Tapi tetap aja, bayangan soal lu berdua selalu datang. Bahkan ada suara yang udah mulai bilang ke gue kalau gue harus ngawasin lu berdua secepatnya,” jelas Nua.

“Sampai suatu waktu, gue ngeliat bayangan gimana Deva ketiban sial mulu. Mulai dari dilecehin, dipecat, sampai nabrak gerobak.” lanjut Nua, “Gue juga liat Arga disuruh nikah sama Bu Ririn.”

“Gue bener-bener udah capek sampai gue mikir buat bunuh diri,” jujur Nua. “Jadi gue ngide ke pantai, terus nenggelamin diri gue sendiri. Dengan pikiran kalo gue mati, ‘kegilaan’ gue berakhir.”

“Tapi ternyata enggak,” kata Nua. “Justru gue bangun dalam wujud dimana gue bisa liat tubuh gue sendiri terbaring di rumah sakit.”

“Mami gue, Daddy gue, gak ada yang bisa ngeliat gue saat itu.” Nua menghela napas, “Dan gue pun akhirnya sadar, kalau mati itu ternyata bukan sebuah jalan buat mengakhiri hal yang kita anggap masalah dalam hidup.”

“Jadi, setelah wujud gue berubah, gue mutusin buat ketemu kalian.” Nua tersenyum, “Gue nyamperin kalian ke Indonesia deh abis itu, karena kalian yang bisa liat gue.”

“Jadi… Pas tugas lu udah selesai waktu itu, jiwa lu udah balik lagi ke tubuh lu di Singapura, Nu?”

Nua mengangguk, “Iya, Dev. Gue masih dikasih kesempatan buat hidup. Tapi, pas gue bangun saat itu, gue udah gak inget apa-apa soal kalian. Hal terakhir yang gue ingat itu cuma pas tenggelam.”

“Bahkan ingatan soal bayangan Alpha dan Omega yang pernah gue liat dulu juga gak gue inget lagi tau.” jelas jika Nua pun heran.

“Semua tweet, sampai chat kita di WhatsApp juga udah lenyap pas gue sadar dari koma dulu.”

“Terus kenapa sekarang kamu bisa inget saya sama Deva?” Arga melirik Nua dari spion tengah.

“Eren. Dia yang bikin ingatan gue soal kalian balik lagi tiga bulan lalu,” Nua lantas mendesis tak yakin, “Kayaknya ada sesuatu antara gue sama si Eren deh di kehidupan gue sebelumnya, Ga.”

“Soalnya, pas dia sama Bu Ririn datang ke kantor Mami gue, dia tuh tiba-tiba narik lengan gue.” Nua bercerita, “Pas tangannya nyentuh gue, di detik itu juga gue langsung inget semuanya.”

“Bahkan gue juga inget gimana si Eren bisa ngeliat wujud jiwa gue pas acara tujuh bulanan baby Pao terus ngejar gue,” Nua bergidik. “Gue inget banget kalau waktu itu gue panik sekaligus heran.”

“Bentar,” Arga menginterupsi. “Kayaknya saya inget deh yang pas Eren cerita kalau dia salah orang, terus Eren ngira kalau orang yang dia liat itu orang yang juga pernah gangguin dia.”

“Emang kamu pernah gangguin Eren sebelumnya?” tanya Arga.

“Gak pernah, Ga.” sahut Nua, “Makanya gue heran pas dia ngeliat gue terus ngejar gue sampai di depan rumah lo.”

“Terus tau gak sih?” lanjut Nua, “Pas Eren narik tangan gue di kantor Mami, dia tuh sempet nanya gue ini sebenarnya siapa.”

“Berarti dia emang pernah liat lu sebelumnya, Nu.” kata Deva.

“Apa mungkin Eren itu pasangan lu di masa lalu juga—kayak gue sama Mas Arga ya?” tambahnya.

Nua menggeleng, “Gue juga gak tau, Dev. Makanya sejak ketemu si Eren gue selalu ngobrol sama dia buat tau sejak kapan dia bisa ngeliat wujud jiwa gue dulu.”

“Tapi, sampai hari ini, gue belum dapat informasi apa-apa. Si Eren ngakunya juga cuma salah orang pas narik tangan gue,” katanya.

Deva menipiskan bibirnya, “Eren kayaknya nyembunyiin sesuatu.”

“Dia juga nggak pernah cerita ke gue loh, Nu.” sambungnya heran.

Nua mengangguk setuju, “Bener.”

“Nanti biar saya yang ngomong sama Eren,” usul Arga. Nua juga Deva yang mendengarnya lantas tersenyum lalu mengangguk.

“Oh iya, Nu.” Deva penasaran akan sesuatu, “Jadi sekarang lu masih bisa tau pikiran gue sama Mas Arga, apa udah nggak sih?”

“Gue udah gak bisa,” jawab Nua. “Semua bayangan itu udah ilang.”

“Bagus deh,” celetuk Arga, “Saya sama Deva jadi punya privasi. Enggak berasa dipantau mulu sama kamu kayak waktu itu.”

Lagi, Nua tergelak. Namun, Deva justru mengerutkan keningnya.

“Terus kenapa tadi elu bisa tau kalau gue sama Mas Arga ada di basemen, Nu?” Deva penasaran.

“Gue tau dari Eren kalau kalian masih di kantor,” pundak Nua terangkat sejenak, “Jadi ya udah, gue nungguin kalian di basemen. Eh, gak lama, lo berdua dateng.”

Nua kemudian senyam-senyum dengan mata memicing, “Terus karena kalian sibuk ciuman, gue ngide ngagetin kalian kek dulu.”

“Coba aja tadi kita lanjut ngewe di mobil, Sayang. Kayaknya yang kaget bukan kita, tapi dia.” ujar Arga santai, sedang Deva dan Nua seketika terdiam sejenak sebelum kompak memekik.

“Mas Arga!”

“Arga!”