“Lu kenapa malah kayak cewek yang lagi PMS sih?” oceh Dimas sambil menyodorkan botol kaca berisi air hangat kepada iparnya.
Deva yang kini tengah berbaring menyamping di atas ranjangnya pun meraih botol itu. Buru-buru ia meletakkannya di depan perut guna mengurangi rasa nyerinya. Deva mendesis pelan, sementara Dimas juga Davis yang berada di kamarnya memicing keheranan.
“Pokoknya besok kita ke dokter spesialis penyakit dalam,” tegas Davis, “Biar lu di-USG sekalian.”
Deva diam-diam gugup. Nampak jika Davis dan Dimas curiga akan rasa sakit akibat heat-nya. Kalau pun ia ke dokter, tidak akan ada alasan logis mengapa ia merasa kesakitan, pikir Deva. Dan hal itu akan mengundang asumsi lain dari orang tua, Abang dan Dimas.
“Perut gue emang sensitif gini, Bang. Abis salah makan langsung nyeri,” jelas Deva, “Gue juga udah periksa USG kemaren, tapi kaga ada apa-apa,” ia cengar-cengir.
“Tapi perut lu gak kayak gini dari dulu,” sela Davis, ia tetap kekeh.
Deva menelan ludah, “Mungkin gara-gara faktor U tau, Bang.”
“Faktor U apaan?” tanya Dimas.
“Faktor usia, tolol.” gumam Deva.
“Yang, dengerin Deva tuh. Masa dia ngatain aku tolol?” Dimas mengadu pada Davis, sedang sang suami hanya menggeleng pelan sambil mengulas senyum.
Persekian detik kemudian, atensi ketiga pria yang berada di dalam kamar Deva lantas tertuju pada suara mobil. Jelas jika kendaraan roda empat itu terparkir tepat di depan rumah. Membuat Dimas, Davis dan Deva menerka-nerka siapa yang bertamu malam ini.
Deva pun seketika memikirkan Arga, namun suaminya itu tidak membalas chat terakhirnya tadi. Arga juga tidak mengatakan apa-apa termasuk kapan sang Alpha ada waktu untuk menemuinya.
“Aku liat dulu ya,” tutur Davis lalu bangkit dari tempat tidur Deva.
Dimas dan sang empu kamar pun hanya memerhatikan yang lebih tua berjalan ke luar dari kamar. Sedang Davis lantas meneruskan langkah kakinya hingga ke pintu utama lalu membukanya lebar. Saat itu pula ia mendapati Arga keluar dari mobil, menghampiri presensi Davis di teras rumah.
“Ada perlu apa lu ke sini?” sengit Davis ketika Arga berdiri tepat di hadapannya. Tapi yang membuat Davis sedikit heran adalah sorot mata Arga yang nampak kosong. Iparnya itu bahkan terlihat lebih tenang, tidak banyak oceh dan protes. Beda dari yang ia kenali.
“Saya mau ketemu Deva,” sahut Arga, sedang Davis mendengus.
“Kenapa?” Davis melipat lengan di depan dada, “Kolega lu udah nanyain di mana suami lu? Atau wartawan udah gosipin lu karena gak ada Deva di samping lu?”
Arga diam. Melihat dari sorot mata Davis, Arga paham bahwa kakak dari suaminya itu marah.
“Gitu kan Deva di mata lu?” Davis melanjutkan, “Lu cuma jadiin dia suami di depan orang, padahal lu sendiri gak nerima adek gue jadi suami. Gue tau kok masalahnya.”
Satu tangan Davis mengacung, menunjuk tepat di wajah Arga.
“Udah sejak awal gue gak pernah percaya sama lu. Gue tau lu gak serius sama Deva yang waktu itu baru lu kenal sebulan lebih buat lu jadiin suami,” Davis berapi-api.
“Tapi lu ngeracunin Deva sama orang tua gue dengan komitmen sampah lu itu!” ia menekankan.
“Sekarang yang gue takutin dari dulu udah terjadi. Lu cuma bikin Deva sedih sampai nangis karena dia ngerasa gak diterima sebagai suami sama lu,” Davis menimpali.
Arga masih menyimak, namun bola matanya telah memerah.
“Gue paham sama luka lu, Arga. Gue tau di sini lu sama sekali gak ada niat buruk ke Deva. Bahkan adek gue selalu bilang kalau dia bahagia nikah sama lu,” tuturnya lalu menghela napas kasar, “Tapi yang gue anggap salah total dari tindakan lu itu adalah keputusan lu buat nikahin Deva sebelum lu berdamai sama sakit lu sendiri.”
“Saya minta maaf.”
Gumaman lirih Arga membuat Davis seketika membuang muka ke arah lain. Ia mengatur napas.
“Dulu gue udah pernah ngasih peringatan kan sama lu? Kalau sampai gue denger Deva sedih karena lu, jangan harap ada pintu maaf buat lu,” Davis menegaskan.
“Tolong izinin saya ketemu Deva. Sebentar aja. Deva juga bilang mau ketemu saya,” pinta Arga.
“Gak malam ini,” kata Davis. “Gue gak ngizinin. Deva lagi sakit di kamarnya, yang ada adek gue malah makin sakit gara-gara lu.”
Arga menghela napas pelan lalu berjongkok hingga ia berakhir bersimpuh di depan kaki Davis.
“Saya mohon,” pinta Arga yang membuat Davis lantas tersentak.
Sosok Arga yang Davis kenal tak ingin dianggap rendah kini justru nyaris bersujud untuk menemui Deva. Arga yang selalu ia anggap sombong seolah tidak lagi peduli jika tempatnya bersimpuh adalah lantai dari rumah sederhananya.
Bersamaan dengan itu, Dimas dan Deva yang datang dari arah ruang tamu terbelalak. Sebab mereka menyaksikan bagaimana Arga mendongak dengan tatapan memohon kepada Davis di teras.
“Mas Arga!”
Deva lantas berlari menghampiri sang suami. Ia kemudian buru-buru menuntun Arga tuk berdiri. Setelahnya, ia lalu memandangi wajah sendu Alpha-nya itu. Deva bisa melihat betapa kacau figur yang kini berdiri di sampingnya.
“Ada apa sih, Bang?” tanya Deva, “Kenapa Mas Arga dibiarin gini?”
“Biar dia bisa mikirin kesalahan dia,” Davis memberi penekanan.
“Kak, udah dong. Kamu tenang dulu. Jangan emosi,” Dimas pun menarik lengan suaminya, “Kita masuk sekarang. Biarin mereka ngobrol berdua,” Dimas melirik Arga sebelum berakhir ke Deva.
“Gue duluan,” pamit Dimas.
Deva mengangguk. Ia kemudian mendongak pada sang suami.
“Maafin Abang aku ya, Mas.”
Arga tidak menjawabnya dengan frasa, namun ia mendekap erat tubuh Deva yang lantas terdiam. Saat itu pula rasa nyeri di perut Deva mereda. Sayangnya, sesak di dadanya justru tiba-tiba hadir.
“Saya minta maaf, Deva.”
Deva mengusap pelan punggung Arga, “Kita ngobrol di mobil ya?”
Arga mengangguk, membiarkan Deva menarik diri dari pelukan yang ia berikan. Setelahnya, Arga pun berjalan ke arah mobil. Tidak lupa membuka pintu mobil untuk Deva terlebih dahulu lalu masuk.
Ketika kedua anak manusia itu berakhir duduk bersisian di jok depan, keheningan memenuhi atmosfer untuk beberapa saat. Sampai ketika Deva merasakan bagaimana jemarinya tiba-tiba digenggam oleh Arga, ia lantas menoleh. Menatap lamat Arga.
“Saya minta maaf udah marah kayak kemarin sama kamu...”
“Saya neriakin kamu, saya bikin kamu sedih, bikin kamu nangis.”
Arga menelan ludahnya sekuat tenaga, “Saya juga minta maaf karena udah bikin kamu merasa kalau saya belum nerima kamu.”
Deva lantas mengangguk pelan, “Aku juga minta maaf ya, Mas.”
“Maaf udah bikin kamu ngingat lagi luka yang bikin kamu sakit.”
Mata Deva berkaca-kaca, “Maaf juga karena aku ternyata belum ngertiin kamu lebih jauh, Mas.”
Arga menggeleng pelan, “Saya yang gak ngertiin kamu, Dev.”
Air mata seketika mengalir deras di pipi Deva. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara, membuat dadanya seperti dipukuli baja. Arga dengan sigap menyeka air mata Deva. Ia pun merasakan hal serupa, dadanya semakin sesak.
“Kita pulang ya?” pinta Arga lirih, Ibu jarinya masih membelai pipi Deva, “Kita jalanin pernikahan ini sama-sama lagi ya, Dev? Supaya saya bisa lebih ngertiin kamu...”
“Saya juga pengen jadi suami yang baik buat kamu,” katanya.
“Mas, kamu udah jadi suami yang baik buat aku.” Deva lalu meraih tangan Arga di pipinya, beralih menggenggamnya. “Kamu udah ngasih aku waktu kamu, atensi kamu, dan itu bikin aku bahagia.”
“Kamu benar-benar melakukan tanggung jawab kamu sebagai suami kayak yang kamu bilang sebelum kita nikah dulu,” timpal Deva, “Tapi aku gak bisa bohong kalau kemarin aku sedih banget, karena ternyata ada luka besar yang kamu simpan sendirian dan kamu gak pernah bilang ke aku.”
“Makanya aku jadi ngerasa kalau kamu belum nerima aku,” Deva mengulum bibirnya sejenak guna meredam isaknya, “Tapi selama tiga hari ini aku mikirin soal kita sambil bayangin di posisi kamu.”
Deva tersenyum hambar, masih dengan pipinya yang dibanjiri air mata. “Sejak awal, kita nikahnya karena status Alpha dan Omega, tanpa adanya perasaan apa-apa. Bahkan baru kenal satu bulanan lebih sebelum mutusin nikah…”
“Aku paham nggak mudah buat kamu ngasih tau aku tentang hal yang secara gak langsung udah jadi trauma kamu.” jelasnya, “Jadi kamu memilih buat nge-jalanin peran kamu sebagai suami aku dengan ngasih yang terbaik demi keseriusan pernikahan kita ini.”
Arga setia menyimak, sementara Deva mulai terisak. Begitu pilu.
“Rasanya egois kalau aku minta kamu buat berbagi sakit yang belum bisa kamu terima. Aku kayak ngasih kamu luka baru, padahal yang lama aja belum sembuh.” suara Deva bergetar.
“Tapi di saat yang sama, aku juga bakal ngelukain diri aku sendiri kalau menyangkal perasaan aku. Karena rasa gak diterima bahkan dianggap orang asing pasti ada,” katanya, “Kamu juga selalu bilang kan, gak suka orang pura-pura?”
Deva lalu menunduk, menarik tangan Arga yang ia genggam lalu menciuminya sejenak sambil menangis. Sedang Arga terdiam.
“Mas,” panggil Deva saat kembali menatap wajah Arga, “Aku nggak pengen egois dengan bikin kamu merasa terbebani untuk terbuka ke aku cuma buat ngertiin aku.”
“Aku juga gak mau kalau aja kamu melakukan tanggung jawab kamu sebagai suami cuma buat mikirin kenyamanan aku,” ia menimpali, “Itu bakal nyiksa diri kamu, Mas.”
“Tapi aku juga gak bisa ngeliat orang yang aku cintai masih dibayang-bayangi sama masa lalu,” tutur Deva yang secara tidak langsung mengutarakan perasaannya. Arga pun tercekat.
“Kalau aku pulang dengan luka kita yang masing-masing masih ada, bakal banyak yang berubah dari hubungan kita, bahkan bisa ber-efek sama pernikahan kita.”
“Gak menutup kemungkinan juga kita bakal berantem lagi kayak kemarin untuk hal yang sama.” jelas Deva di sela tangisnya, “Kita cuma bakal saling nyakitin nanti.”
“Jadi aku bakal biarin kamu buat berdamai dulu sama sakit dari luka masa lalu kamu,” lirih Deva.
“Karena kamu enggak akan bisa berbagi rasa sakit sama aku kalau kamu sendiri belum bisa nerima rasa sakit itu,” terang si Omega.
“Aku bakal nunggu kamu, Mas.” Deva membelai lembut pipi kiri Arga, “Aku selalu nunggu sampai kamu benar-benar nerima aku untuk berbagi suka dan duka.”
“Kamu gak perlu cinta sama aku,” Deva tersenyum di tengah tangis tertahannya, “Aku tau, perasaan gak bisa dipaksa. Aku cuma mau kamu bisa menerima aku kok.”
“Kalau emang ternyata nanti kamu ngerasa kalau aku bukan orang yang tepat buat dijadiin tempat berbagi dan nggak bisa kamu terima untuk ngerasain suka dan duka sama-sama…”
“Bahagia kamu mungkin bukan di aku, Mas.” Deva tersengguk-sengguk, “Dan aku siap kalau pada akhirnya kamu pengen memilih buat pisah dari aku.”
Deva kembali menggenggam tangan Arga sambil menunduk, memandangi jemari mereka yang bertautan. Sebab ia melihat Arga juga telah menitikkan air mata.
“Mungkin dengan gitu juga aku bisa nunjukin ke kamu cinta itu beneran ada,” tutur Deva, “Aku akan merelakan kamu bahagia meski bukan dengan aku, Mas.”
“Aku cuma pengen kamu bahagia dan merasa you’re worth to love. Aku gak mau kamu sakit, Mas.”
“Jadi aku gak akan biarin kamu tersiksa dengan mengemban tanggung jawab sebagai suami untuk orang yang nggak kamu terima dari hati,” pungkas Deva.
“Karena sebesar apapun usaha aku buat bikin kamu ngerasain cinta itu, kalau hati kamu masih tertutup juga gak akan mungkin.”
Deva menghela napas panjang lalu menyeka kedua pipinya. Ia kemudian kembali memandangi Arga sambil mengusap bahunya.
“Sekarang kamu pulang ya, Mas. Udah malem nih,” Deva berusaha menghentikan tangisnya, “Mama juga bilang kemarin—kalau kamu tuh lemes. Jangan begadang lagi.”
“Kabarin aku kalau kamu udah nyampe di rumah,” tutur Deva, “Aku masuk sekarang ya, Mas. Kamu hati-hati, jangan ngebut.”
Deva berbalik badan, sementara satu tangannya meraih handle pintu mobil. Ia bersiap untuk segera keluar sekaligus melepas tangis yang kembali ingin bebas. Namun hanya persekian sekon setelahnya, pergerakan Deva terhenti kala Arga memeluknya. Dekapan sang suami begitu erat, bersamaan dengan isakan Arga yang tiba-tiba menggema keras.
Arga menumpahkan tangis yang sedari tadi ditahannya. Ia tidak mampu lagi membentengi diri untuk tetap terlihat tegar saat ini. Arga telah menunjukkan sisi lemahnya di hadapan si Omega.
Tangis pilu Arga membuat Deva lantas membalas dekapan sang Alpha. Hatinya kemudian makin tersayat ketika mendengar Arga bergumam di dekat telinganya.
“Deva... Saya… Sakit…”
Arga tersengguk-sengguk hingga nyaris tidak mampu berbicara lagi dengan semestinya, “Saya… Nerima… Kamu… Sejak awal…”
“Saya gak terbebani melakukan tanggung jawab saya,” katanya, “Saya melakukan itu dari hati.”
“Jangan pergi… Saya… Sakit…”
“Saya sakit kamu pergi, Dev.”
“Mas...” Deva kian mengeratkan pelukannya di tubuh suaminya. Ia ikut menangis sambil berkata, “Aku di sini, Mas. Aku gak pergi.”
“Saya… Mau pulang sama kamu,” kata Arga di sela isak tangisnya.
“Kamu pernah bilang bakal selalu nemenin saya sampai saya ngaku percaya cinta,” wajah sang Alpha semakin tenggelam di leher Deva hingga suaranya nyaris teredam.
“Temenin saya… Jangan pergi…”
Deva hanya mampu mengangguk pelan. Sebab frasa tidak bisa lagi terucap karena terkalahkan oleh jerit kesedihan. Begitu juga Arga. Alhasil, keduanya menghabiskan waktu puluhan menit di dalam mobil hanya dengan berpelukan dengan pipi dibanjiri air mata.
Sampai saat isakan mereka pun mulai mereda, suara perut yang keroncongan justru menggema. Membuat Deva tersentak hingga menarik dirinya dari sang Alpha.
“Mas? Kamu belum makan sejak ngabarin aku di chat tadi?” raut khawatir menghiasi wajah Deva.
Arga mengangguk. Setelahnya, ia bersandar di badan kursi sambil memijat kening. Sementara Deva yang melihatnya lantas terkekeh. Nampak jika suaminya itu malu.
“Ayo, kamu makan dulu di dalem. Sekalian sambil nunggu Ibu sama Bapak dateng dari rumah Tante, buat izin pulang ke Mama nanti.”
Penuturan Deva membuat netra cokelat Arga berbinar bahagia, “Kamu mau pulang sama saya?”
“Mm,” gumam Deva, “Aku udah bilang kan gak mau kamu sakit?”
“Saya juga gak mau kamu sakit,” Arga meraih tangan Deva lalu menciuminya, “Cukup kemarin saya nyakitin kamu, Dev. Maaf.”
Deva tersenyum, “Udah. Perut kamu sakit nanti kalau makan malemnya telat banget, Mas.”
“Deva,” Arga menatapnya lamat.
Alis Deva terangkat, “Apa?”
“Makasih.”
“Karena aku mau pulang sama kamu?” Deva senyum meledek.
Arga menggeleng pelan, “Karena kamu udah cinta sama saya, Dev.”
“Emang Mas Arga udah percaya cinta?” tanya Deva, ia berdebar.
“Saya gak percaya cinta,” sahut Arga, “Tapi saya percaya kamu.”
Deva menghela napas pelan lalu tersenyum tipis diikuti gelengan. Namun ketika Arga membingkai wajahnya, tubuh Deva memanas. Tidak seperti respon yang biasa ia rasakan ketika terangsang, tapi Deva justru merasakan panas itu menjalar dari tubuh Arga. Seperti ada energi yang memasukinya.
Sampai saat Arga mendaratkan kecupan di keningnya, panas di tubuh Deva berganti jadi hangat. Sementara rongga dadanya di dalam sana justru terasa sejuk. Aneh, namun ia menikmatinya.
“Kamu bikin saya lemes kalau lagi marah,” kata Arga setelah mengecup kening Omeganya.
Deva tertawa ringan, “Gimana? Masih pengen liat aku marah?”
“Gak,” sahut Arga, “Saya pengen makan aja di dalem. Saya laper.”
“Ya udah. Ayo, Mas.”