jaesweats

Suara pintu pagar yang diketuk membuat Dipta seketika bangkit dari posisinya. Ia bergegas keluar dari kamarnya lalu menghampiri sumber suara. Di luar sana Dipta mendapati Dikta, dengan balutan jaket denim, sedang menunggu.

“Kamu ngebut ya?” Dipta lantas menodong Dikta dengan tanya, “Kok cepet banget nyampenya?”

“Gak kok. Tadi emang lagi nggak macet aja,” sahut Dikta sebelum meraih lalu menyodorkan kresek yang ia gantung di motornya tadi pada Dipta. “Nih, Dip. Martabak.”

Dipta tersenyum sambil meraih pemberian si pemilik lesung pipi. Padahal ia tidak meminta apa-apa tadi, namun Dikta seolah sudah biasa membawa sesuatu untuknya saat datang ke rumah.

“Makasih ya, Sayang.” ucap Dipta, “Hayu masuk, mulai gerimis lagi.”

Dipta kemudian masuk terlebih dahulu, disusul oleh Dikta yang kembali menaiki motornya. Dikta memarkirkan kendaraan roda dua itu di halaman depan rumah Dipta. Setelahnya, Dikta lantas mengekori Dipta masuk ke dalam rumah. Tepatnya di ruang tamu.

“Kok rumah sepi banget, Dip?”

“Mama sama Papa lagi ke rumah Uwa,” kata Dipta lalu menutup pintu rumah. “Ada syukuran.”

“Terus kenapa kamu gak ikut?” tanya Dikta lagi yang berdiri di belakang Dipta, “Jangan-jangan karena aku mau dateng ke sini?”

Berbalik, Dipta pun menggeleng sebagai awal responnya. “Gak. Aku emang males ikut ke sana.”

“Males kenapa?”

“Males ditanyain kapan wisuda,” Dipta mencebik, “Bikin stress.”

Dipta kemudian menatap wajah Dikta lamat sambil tersenyum tipis, “Mending aku di rumah, sama kamu. Nggak bikin stress.”

Ikut tersenyum tipis, Dikta lalu mengacak-acak rambut Dipta. “Bentar lagi kita bakal wisuda kok. Gak usah diambil hati ya kalau ada yang nanyain mulu.”

“Mm,” gumam Dipta, “Ya udah. Aku ke belakang bentar ya, Ta. Mau mindahin martabak dulu, sekalian bikin kopi buat kamu.”

“Oke, Dip.”

Dipta beranjak, meninggalkan Dikta di ruang tamu. Namun ia menghentikan langkah ketika teringat akan sesuatu. Alhasil, Dikta yang baru saja duduk di sofa pun mengangkat alis heran. Terlebih saat pacarnya menoleh.

“Kenapa, Dip?”

Dipta cengar-cengir, “Aku baru inget kalau kopi di dapur abis.”

Sang empu rumah pun kembali menghampiri Dikta sebelum meletakkan kresek martabak di atas meja. “Aku ke warung dulu.”

Baru saja Dipta hendak bergegas menjauhi sofa, dimana kini Dikta sedang duduk, tangannya justru tiba-tiba dijegal. Dalam sekejap mata saja, Dipta bisa merasakan bagaimana sang pacar menarik tangannya hingga ia berakhir duduk di atas pangkuan Dikta. Lengannya pun refleks memeluk leher Dikta agar ia tidak terjatuh.

Sontak mata Dipta melotot kala dia bersitatap dengan si pujaan hati dalam jarak minim. Pipinya seketika memanas, sebab Dikta menatapnya lamat. Belum lagi lengan kokoh sang pacar yang telah melingkari pinggangnya.

“Di luar gerimis, Dip.” tutur sang pemilik lesung pipi amat lembut.

“Warungnya deket kok, Ta.” cicit Dipta yang sudah salah tingkah.

Dikta menggeleng pelan, “Kamu sendiri loh yang bilang tadi, kalo sekarang lagi musim sakit. Kan?”

“Gak usah ke warung buat beli kopi, Dip. Bikin aja apa yang ada di dapur,” timpalnya. “Air putih juga gak masalah kok. Beneran.”

“Di luar dingin banget,” lanjutnya. “Kalo kena air ujan bisa demam.”

Atensi Dipta terkunci. Matanya tidak bisa lepas dari wajah Dikta yang selalu ia kagumi. Pahatan nyaris sempurna di hadapannya ini terasa tidak nyata bagi Dipta.

Padahal hubungannya dengan si pujaan hati sudah berjalan satu tahun lebih, namun Dipta masih saja salah tingkah kala pacarnya itu bersikap manis. Ia masih saja memuja Dikta-nya seperti saat mereka pertama bertemu dulu.

Dipta is down so bad for Dikta.

“Dip?”

Mata Dipta berkedip cepat, “Ha?”

“Kamu ngelamun?” kekeh Dikta.

“Ng… Gak kok,” Dipta gelagapan. “Kalo gitu aku ke dapur dulu ya.”

Dikta tersenyum hingga lesung pipinya kian curam, tapi ia malah tak bergerak sama sekali. Alhasil, Dipta masih di pangku olehnya.

“Posisinya udah pas, Dip.”

“Hah?” lagi, Dipta membeo.

Dikta berbisik, “Can I kiss you?”

Dipta menelan ludah sebelum mengangguk kecil. Mendapat lampu hijau, tatapan Dikta pun turun ke bibir tipis pacarnya.

Kedua anak manusia itu lalu menempelkan bibir mereka, seperti ada daya magnet. Saling mengecup sayang nan lembut sejenak sebelum Dipta membuka mulutnya, memberi jalan untuk lidah Dikta menjilati miliknya.

Ciuman intens Dipta dan Dikta pun menjadi awal dari decak lidah yang bersahut-sahutan di ruang tamu. Sesekali Dipta juga Dikta melenguh ketika mereka hanyut dalam pagutan mesra.

Satu tangan Dipta kemudian refleks menarik helai rambut Dikta saat si pemilik lesung pipi menghisap kuat bibir bawahnya. Puas dengan aksinya itu, Dikta pun kembali mengajak pacarnya berperang lidah hingga air liur nyaris menetes ke dagu Dipta.

Namun, Dikta dengan sigap menjilat saliva yang entah milik siapa itu seperti es krim. Dipta pun mati-matian menahan desah karena ulah Dikta. Matanya kian sayu, Dikta membuatnya mabuk.

Menit berlalu, Dipta dan Dikta yang nyaris kehabisan napas lantas memutuskan untuk mengakhiri lumatan mereka. Dikta kemudian memberi kecup lembut sejenak di tahi lalat yang menghiasi bibir Dipta sebagai sentuhan akhirnya; seperti biasa.

Menyadari hal itu, Dipta seketika tersenyum. Setelah sekian lama mendapat kecupan Dikta di akhir ciuman mereka, baru kali ini dia tahu bahwa Dikta tidak sekedar mengecup bibirnya; namun juga tai lalatnya. Dipta’s favorite mole.

“Cantik,” puji Dikta lalu mengelus titik hitam di bibir pacarnya itu dengan Ibu jarinya. Satu lengan Dikta pun masih menahan tubuh Dipta agar tidak terjatuh. “Kayak kamu, Dip. Kamu cantik banget.”

Menahan senyumnya, Dipta lalu menepuk pelan pundak Dikta. “Udah, aku mau ke dapur dulu.”

Terkekeh pelan, Dikta akhirnya melepaskan tautannya dengan Dipta. Ia membiarkan pacarnya itu berdiri, mengambil martabak di meja lalu melenggang pergi ke arah Dapur. Tatapan Dikta pun tidak pernah terlepas dari Dipta hingga hilang dari pandangan.

Namun tanpa Dikta ketahui, di balik tembok pemisah antara ruang tamu dan ruang tengah, Dipta sedang membekap mulut dengan satu tangan. Dipta mati-matian menahan pekikannya. Ia semakin salah tingkah sekarang.

Begitu juga sebaliknya, Dipta pun tidak tahu bahwa di ruang tamu sana, Dikta kini senyam-senyum seperti orang gila. Bahkan Dikta dengan gelagat salah tingkahnya meraih bantal sofa lalu memeluk benda empuk itu sangat erat.

“Nasinya diabisin ya, Sayang.”

“Iya, Papa.”

Deva juga Bu Ririn tersenyum melihat Danu mulai melahap makanan di atas meja. Dengan bantuan kursi makan tingginya, Danu pun leluasa menambah lauk tanpa bantuan Papanya.

Melihat bagaimana sang anak mulai mandiri membuat Deva merasa terharu. Meski tidak mudah merawat seorang anak, namun Deva sangat menikmati setiap momen yang ia dan Arga lewati hingga kini Danu sudah berusia tiga tahun. Time flies.

“Papa kenapa gak makan?” tanya Danu sambil menatap Papanya.

“Papa mau ngeliatin Danu dulu.” Deva tersenyum tipis, “Papa suka lihat Danu makan, apalagi pakai sayur gini. Papa jadi seneng deh.”

“Sayurnya enak ya, Sayang?”

Danu menggeleng, “Gak enak. Tapi kata Papi, kalau Danu gak makan sayur, nanti Danu sakit.”

“Anak Papa emang pinter banget. Pasti Papi juga seneng lihat Danu makan sayur,” kata Deva memuji.

Persekian detik berselang, suara bel rumah tiba-tiba menggema. Deva dan Bu Ririn pun berbagi tatap sejenak sambil menerka siapa gerangan yang bertamu.

“Bi Yati sama Ais lagi ngapain ya di belakang, Dev?” Bu Ririn pun menanyakan sang asisten rumah tangga juga pengasuh cucunya.

“Biar Deva aja yang bukain pintu, Ma. Kayaknya Bi Yati sama Mba Ais lagi makan,” Deva pun berdiri.

“Danu lanjutin makannya ya.”

“Oke, Papa.” sahut Danu patuh.

Sementara itu, Deva melenggang ke arah pintu utama rumah. Kala membukanya, Deva pun terkejut.

“Loh? Mas?”

Arga yang berdiri di hadapan si Omega seketika mendengus, “Kamu ini gimana sih? Ck! Suami baru pulang bukannya dipeluk, malah kaget kayak liat rentenir.”

Tersenyum tipis, Deva kemudian berhambur mendekap suaminya. Arga pun dengan sigap memeluk pinggang Deva sembari mencium pundak sang Omega. Menghirup aroma manis yang dia rindukan.

“Mas kok nggak bilang bakalan pulang malam ini?” tanya Deva.

Kembali menyejajarkan wajahnya dengan sang Omega, Arga lantas mengecup singkat bibir Deva.

“Tadinya aku mau ngusilin kamu, mau nyuruh Bi Yati bilang kalau aku dipulangin karena sakit. Eh, tau-tau kamu yang bukain pintu.”

Arga terkekeh, “Gagal deh.”

“Mas Arga jangan gitu ah,” cebik Deva, “Ucapan itu doa tau, Mas.”

“Kan becanda, Sayang.” kata Arga lalu mencium kedua pipi Deva. “Si Bapao udah bobo belum?”

“Belum, Mas. Danu lagi makan di dalem sama Mama,” sahut Deva. “Kamu udah makan?” tanyanya.

“Udah, tadi mampir di rest area.”

“Ya udah. Kita masuk yuk, Mas. Pasti Danu seneng ngeliat kamu pulang malam ini,” tutur Deva.

Arga mengangguk. Meraih paper bag di atas koper yang ia bawa lalu menyodorkannya ke Deva.

“Nih, aku beliin kue kesukaan kamu. Ada batagor frozen juga di situ.” kata Arga, “Pagi tadi kamu bilang pengen batagor Bandung.”

“Makasih ya, Mas.”

“Mm,” gumam sang Alpha.

Arga lalu menarik koper sambil mengikuti langkah Deva yang masuk ke rumah lebih dahulu. Mereka berjalan ke ruang makan.

“Danu,” panggil Deva setibanya ia di ruang makan, “Liat deh Papa dateng bareng siapa.” katanya.

Danu menghentikan suapannya sejenak untuk melihat siapa yang dimaksud Papanya. Sampai saat Danu mendapati Arga berjalan di belakang Deva, ia pun terbelalak.

“Papi!” Seru Danu riang.

Tidak hanya Danu, Bu Ririn pun kaget melihat Arga telah kembali.

“Loh, Ga. Kirain kamu pulangnya besok pagi?” tanya si paruh baya.

“Acara di Bandung udah selesai sore tadi, Ma. Sisa gala dinner doang, jadi Arga pulang duluan.” jawab sang CEO lalu duduk di sisi kanan kursi Danu, “Soalnya ada yang kangen Papi sampai nangis.”

Deva juga Bu Ririn pun terkekeh. Sudah sangat biasa melihat Arga menggoda dan mengusili Danu.

Sementara itu, Danu seketika mencebik. Kedua lengan kecilnya ia lipat di atas meja, sedang mata bulatnya terfokus kepada Arga.

“Kan Papi pernah bilang, kalau Danu sedih, nangis aja. Papi lupa ya?” Mata Danu memicing, “Papi gimana sih?” Ia menirukan Arga.

Sontak hal itu membuat tawa lepas Arga menggema, diikuti Deva juga Bu Ririn yang gemas akan tingkah Danu. Setelahnya, Arga mengacak-acak surai hitam Danu lalu mengecup kepalanya.

“Emang Danu sedih kalau nggak ada Papi?” Arga lantas bertanya.

“Iyaa,” lirih anak tiga tahun itu. “Papi jangan pergi lama-lama.”

“Papi gak lama kok,” balas Arga, “Nih, Papi udah di rumah kan?”

Danu mengangguk kecil, sedang Arga melirik piring anaknya itu.

“Danu lagi makan ya?” tanyanya.

“Iya, Papi. Danu lagi makan sayur biar gak sakit,” tutur Danu riang.

Good,” Arga mencubit pelan pipi kiri Danu. “Dilanjutin makannya. Abis makan, Papi temenin main.”

“Oke!” Danu bersemangat.


“Papi.”

Danu berkacak pinggang dengan tampang tak terima. Ia duduk di depan meja kecil yang ada dalam kamarnya bersama Papa Papinya.

“Kenapa kudanya warna hijau?” protes Danu sambil menunjuk gambar yang diwarnai oleh Arga.

“Emang kuda warna apa?” Arga bertanya, “Bukannya hijau ya?”

“Bukan, Papiii.” Danu berceloteh, “Kuda warnanya cokelat. Ini nih.”

Deva menahan senyum melihat Danu menyodorkan pensil warna cokelat kepada Arga. Begitu juga Arga yang sedari tadi mengamati pengetahuan anak tiga tahun itu.

“Oh iya, Papi lupa. Kan yang hijau itu rumput ya?” Arga mendesis. “Aduh, maaf. Papi nih, pake lupa.”

Danu tertawa lalu menepuk paha sang Papi di sisinya, “Nggak apa-apa, Papiii. Kan bisa belajar lagi.”

Arga tersenyum lalu melirik Deva yang duduk di sisi kanan Danu. Si Omega mengusap sayang kepala Danu sebelum ikut melirik Arga.

“Sekarang udah jam berapa?”

Deva memeriksa jam di gawainya sejenak. “Dua puluh menit lagi udah jam delapan malam, Mas.”

“Ya udah, sekarang Danu siap-siap tidur. Besok baru dilanjutin lagi mewarnainya,” titah Arga.

“Kamu juga ke kamar gih, Mas. Bersih-bersih dulu,” ujar Deva.

Arga mengangguk setuju lalu menciumi kening putranya, “Tidur yang nyenyak, Sayang.”

Danu mengangguk. “Iya, Papi.”

“Love you.”

“Love you, Papi.”

Setelah Arga pamit keluar dari kamar sang anak, Deva lantas membiarkan Danu membereskan alat tulisnya sendiri. Namun, kala melihat Danu sedikit kesusahan memasukkan buku gambarnya ke dalam tas, Deva pun bertanya.

“Danu mau dibantu gak, sayang?”

“Gak usah, Papa.” jawab si kecil masih sambil berusaha membuat buku gambarnya masuk ke tas.

Mendengar jawaban sang anak, Deva lantas membiarkan Danu melakukan apa yang ia inginkan hingga akhirnya berhasil. Deva pun memberi dua jempol pada anaknya sebelum menemani si buah hati menaruh tas kecilnya.

“Danu tunggu di tempat tidur sebentar ya, mau Papa bikinin susu dulu di bawah.” kata Deva.

“Iya, Papa.”

Sepeninggal Papanya ke dapur, Danu pun berjalan ke ranjangnya. Namun, saat ia baru saja hendak duduk, atensi Danu terdistraksi kala matanya bertemu pandang dengan robot pemberian Davis.

Alhasil, Danu kembali turun dari tempat tidurnya. Ia berlari kecil ke arah mainan dari sang Paman, mengambilnya lalu membawanya ikut ke tempat tidur. Di sana pula Danu bermain dengan robotnya.

Tidak lama berselang, Deva pun kembali. Ia lalu terkejut melihat sang anak justru asik bermain.

“Danu, kok main lagi?” Deva menghampiri Danu, “Udah hampir jam delapan loh ini.”

“Sebentar aja, Papa.”

“Ya udah,” katanya. “Tapi sambil diminum ya susunya, Sayang.”

Danu mengangguk patuh lalu menenggak segelas susu yang disodorkan oleh Papanya. Saat minuman berwarna putih itu telah habis, Deva pun berkata.

“Sekarang udah waktunya bobo, Sayang. Mainannya disimpen ya.”

Sang anak pun memelas, “Danu belum ngantuk, Papa. Mau main.”

“Emang siang tadi Danu ngapain aja sama Mba Ais? Kok tumben jam segini Danu belum ngantuk?”

“Danu sama Mba Ais main, tapi robot dari Om Davis belum Danu mainin. Kasian robotnya. Kasian Om Davis juga, Papa.” kata Danu.

Celotehan Danu nyaris membuat Deva tertawa. “Oke, Papa kasih waktu lima menit buat mainin robotnya. Tapi abis ini, Danu udah harus bobo ya, Sayang?”

“Entar Papi ngomel loh kalau Danu gak bobo,” timpal Deva sambil berbisik kepada Danu.

“Oke, Papa.”

Mengusap surai hitam anaknya, Deva pun memerhatikan Danu yang kembali bermain peran dengan robot pemberian Davis. Namun beberapa saat kemudian, pintu kamar Danu pun terbuka.

“Kok Danu belum tidur?”

Deva melirik Danu sejenak lalu kembali memandangi Arga yang berdiri di ambang pintu, “Danu belum ngantuk katanya, Mas.”

“Tapi lima menit lagi bakal bobo kok,” lanjut Deva, “Kan, sayang?”

Danu mengangguk. Matanya tak pernah lepas dari Arga yang kini menatapnya dengan raut datar.

“Ck! Sekarang udah jam delapan,” kata Arga, “Kalau Danu gak bobo, mainannya Papi ambil. Gak Papi balikin sampai besok malam.”

“Jangan, Papi.” gumam Danu.

Arga mendengus lalu menatap Deva, “Kamu tunggu di kamar.”

Mengangguk kecil, Deva lantas bangkit. Tidak lupa mengecup puncak kepala Danu sebelum ia melenggang pergi dari kamar itu.

Setelahnya, Arga menghampiri Danu. Arga meraih mainan Danu lalu meletakkannya di atas nakas.

“Danu udah tau kan, kalau anak-anak yang tidurnya lewat dari jam delapan malam itu juga bisa gampang sakit?” Arga mencoba memberi pemahaman sambil duduk di sisi kanan Danu, “Papi nggak mau lihat Danu sakit lagi.”

“Jadi daripada nanti Papi ngeliat Danu sakit karena main sampai malem, mainannya mending Papi ambil aja.” timpal Arga, “Oke?”

Danu menggeleng lalu memeluk lengan Papinya, “Danu mau bobo sekarang, Papi. Jangan diambil.”

“Iya, gak Papi ambil kalau Danu mau bobo sekarang.” tutur Arga sambil mengusap kepala Danu. “Danu udah baca doa belum?”

“Belum,” jawab si kecil.

“Ya udah, baca doa dulu.”

Arga lantas memerhatikan Danu yang mulai memeragakan cara orang berdoa. Setelahnya, sang anak pun mendaratkan kepala di bantalnya. Arga ikut berbaring.

“Papi mau bobo di sini?” tanya Danu dengan mata berbinar.

“Enggak, kan Danu udah gede. Bobonya udah harus sendiri,” sahut Arga, “Tapi malam ini bakal Papi temenin deh sampai bobo.”

Arga menepuk-nepuk punggung anaknya yang sedang berbaring menyamping ke arahnya, “Papi kangen sama anak Papi soalnya.”

Beralih mengusap pipi anaknya, Arga pun bertanya. “Danu mau Papi ceritain dongeng nggak?”

“Gak mau.”

Jawaban Danu sontak membuat Arga kaget, “Kok gak mau sih?”

“Kalau gitu Danu deh yang cerita sama Papi, hari ini abis ngapain?” lanjutnya, tapi Danu menggeleng.

Danu mendekatkan tubuhnya ke Arga hingga dada mereka saling menempel, “Danu mau Papi yang cerita, hari ini abis ngapain aja?”

Arga mengusap belakang kepala putranya. Danu membuat Arga merasa tidak sedang berbicara dengan anak berusia tiga tahun. Meski begitu, tetap saja ia akan selalu dibuat gemas dengan aksi juga tutur kata polos sang anak.

“Hari ini Papi video call-an sama Danu, abis itu Papi sarapan terus mandi. Beres sarapan, Papi kerja deh sampai sore.” jelas sang CEO.

Danu terlihat berpikir, “Papi?”

“Mm?”

“Kenapa Papi suka kerja?”

Arga tersenyum tipis, “Karena Papi juga suka liat orang yang kerja sama Papi di kantor bisa makan, bisa beliin anak-anaknya mainan. Kalau Papi nggak kerja, nanti mereka nggak kerja juga.”

“Papi gak capek?” tanya Danu lagi. Alhasil, Arga tersenyum.

“Capek,” jawabnya, “Tapi capek Papi langsung hilang kalau liat Papa Deva sama Danu di rumah.”

“Apalagi kalau Danu sama Papa mainnya sambil ketawa-ketawa,” sambung si Alpha, “Papi seneng.”

Danu mengangguk, “Papi.”

“Iya, Sayang?”

“Danu udah ngantuk.”

“Ya udah, sekarang Danu bobo.”

Arga menepuk-nepuk bokong Danu sejenak sambil melihat bagaimana putranya itu mulai memejamkan mata. Sampai tak lama berselang, Danu akhirnya berlabuh jua ke alam mimpinya.

“Si bapao nennya mau sambil rebahan apa duduk, Sayang?”

Arga bertanya pada Deva tepat setelah mereka masuk ke kamar. Ruangan yang telah dilengkapi dengan box bayi itu akhirnya akan mereka tempati lagi setelah ditinggal lima hari. Sebab, Deva harus dirawat di rumah sakit setelah menjalani operasi caesar.

“Duduk aja, Mas. Biar nanti lebih gampang mindahin ke box bayi,” jawab Deva yang menggendong baby Pao, sedang Arga seketika bergegas mengambil dua bantal.

Setelahnya, Deva duduk di tepi ranjang—dengan punggung yang bersandar di headboard—diikuti Arga yang meletakkan bantal di atas paha Omeganya. Deva pun merebahkan baby Pao di atas bantal tadi. Dengan posisi itu pula si buah hati bisa dengan mudah menemukan putingnya. Dan Deva tidak akan merasakan sakit di bekas sayatan operasinya karena tak perlu membungkuk.

Arga kemudian menyamankan posisi di hadapan Deva. Ia lalu membuka tiga kancing teratas piyama yang dipakai Deva hingga si bayi menyusu pada Papanya.

“Makasih ya, Mas.”

Alis Arga bertautan, “Buat apa?”

“Karena kamu udah ngurusin aku sejak lahiran, Mas.” jawab Deva, “Bahkan untuk hal kecil sekali pun, kamu selalu ada buat aku.”

“Itu kan emang udah tugas aku sebagai suami kamu.” decak Arga.

“Masa aku tega sih ngeliat kamu yang perutnya abis dibelah, yang sakitnya pasti bukan main, harus ngelakuin apa-apa sendiri, Dev?”

“Tapi tetep aja, Mas.” sahut Deva, “Aku bersyukur banget tau nggak punya suami kayak kamu, yang perhatian sama aku, sama baby.”

“Mama bilang ke aku tadi, kalau semalem kamu yang ngasih baby susu pas kebangun. Kamu juga puk-pukin baby ampe bobo lagi.”

“Aku terharu banget dengernya,” katanya diikuti senyum, “Kenapa kamu nggak bangunin aku, Mas?”

Arga menghela napas, “Semalem kamu tidurnya lelap banget. Aku tau, kamu pasti lagi capek, Dev.”

“Mana si bapao juga dikit-dikit kebangun buat minta nen, tidur kamu jadi gak cukup. Gak baik.” jelas Arga, “Aku pengen kamu sama si baby tetep sehat. Jadi kalau aku bisa bantu kamu biar nggak kecapean, ya, why not?”

Senyum manis Deva pun kembali merekah di bibirnya, “Tapi kamu juga harus sehat-sehat ya, Mas?”

“Kamu pengen aku sehat?”

Deva mengangguk kecil, “Mm.”

“Aku bakal sehat kalau dicium.”

Tutur Arga lantas membuat si Omega menahan senyumnya, sementara Arga menyeringai. Ketika wajah Arga mulai condong ke arahnya, Deva pun berpasrah untuk menerima ciuman dari suaminya. He’s so ready for that.

Sayangnya, sebelum bibir kedua anak manusia itu berpadu dalam kecup mesra, baby Pao tiba-tiba bergumam. Bayi berpipi gembul itu seolah berbicara, tapi masih sambil menyusu pada Papanya. Arga dan Deva lantas bersitatap.

“Si baby ngelarang kamu nyium aku,” Deva menggoda Arga lalu terkekeh, “Dia ngomel loh, Mas.”

Menghela napasnya, Arga lantas menatap baby Pao lalu menekan-nekan pipi kiri anaknya dengan telunjuk. Ia kemudian mendesis.

“Kamu nih, masih segede pentil Papi, tapi udah posesif gini. Ck!”

“Ya posesifnya nurun dari siapa coba?” canda Deva diikuti tawa.

“Tapi kan aku posesifnya karena pengen jagain kamu,” sela Arga lalu kembali menatap baby Pao.

“Ya udah, kalau Papi gak boleh nyium Papa, biar baby aja yang dicium.” Arga pun membungkuk, mencium gemas pipi kiri si bayi.

“Mhm, wangi banget anak Papi.” gumam sang Alpha lalu memberi kecupan lain di kening anaknya sebelum kembali menatap wajah baby Pao, “Sekarang baby tidur ya? Biar Papa juga bisa istirahat.”

Melihat bagaimana Arga selalu mencoba berbicara dengan si buah hati memicu kesejukan di dalam benak Deva. Padahal, saat anak mereka baru lahir lima hari lalu, Arga terlihat masih bingung bahkan kaku ketika berhadapan dengan anaknya di rumah sakit.

“Bobo juga si bapao,” bisik Arga lalu kembali duduk tegak saat mendapati jika anaknya telah menutup mata dengan damai.

“Kamu bersih-bersih gih, Mas. Di jalan pulang tadi katanya gerah.”

Arga menggeleng, “Entaran aja.”

Deva mengangguk paham lalu memandangi wajah baby Pao. Ia ingin menunggu hingga si buah hati semakin lelap sebelum nanti dipindahkan ke box bayi yang tidak jauh dari ranjang. Namun saat Deva melirik sekilas ke arah suaminya, ia justru mendapati Arga menatap wajahnya lamat.

“Kamu kenapa liatin aku kayak gitu, Mas?” Deva salah tingkah.

Sang Alpha tidak menjawab. Arga justru mengecup pipi kanan dan kiri Omeganya itu bergantian sebelum kembali menatap Deva.

“Kamu abis lahiran kok makin cantik aja sih?” Arga akhirnya buka suara, “Nyebelin banget.”

Deva tersentak, “Kok nyebelin?”

“Ya karena aku gak bisa nyentuh kamu sembarangan, ck!” wajah Arga tertekuk, “Aku mau meluk kamu aja musti hati-hati banget biar bekas operasinya gak sakit.”

“Padahal aku tuh pengen meluk kamu kenceeeng banget sambil cium-cium pipi kamu,” keluhnya.

“Mana kita nggak boleh ngewe dua bulanan lebih lagi,” katanya. “Tetek kamu semenjak diisep si bapao juga makin berisi, kan—”

“Ish, Mas Arga!” Deva memotong ucapan suaminya dengan suara pelan, “Jangan ngomong jorok di depan baby,” ia memperingati.

Melihat wajah kesal Omeganya membuat perut Arga tergelitik. Sementara Deva geleng-geleng kepala lalu ikut tersenyum tipis.

Detik berlalu, dua pasang mata yang saling beradu itu perlahan mengikuti naluri untuk membuat bibir mereka bertemu. Arga pun memulainya dengan mengecup bibir Deva sebelum melumatnya.

Diterimanya ciuman sang Alpha dengan senang hati oleh Deva. Ia membuka mulutnya, memberi akses lebih untuk Arga agar kian leluasa menyesap isi mulutnya.

Dengan kondisi dimana baby Pao masih menyusu padanya, sedang sang suami aktif memagut habis bibirnya memicu lenguhan Deva. Sensasi hisapan Arga di bibirnya, juga hisapan baby Pao di puting berisinya amat memabukannya.

Cukup lama saling berbagi saliva, Arga pun mendaratkan kecupan lembut di bibir Deva; sekaligus menjadi akhir ciuman mereka. Ya, setidaknya untuk saat ini saja.

“Si bapao udah anteng kayaknya,” suara Arga amat pelan, “Biar aku pindahin ke box bayi. Kamu bobo juga, sebelum baby bangun lagi.”

Deva berpikir sejenak. “Aku mau buka kado dari Nua dulu, Mas.”

“Ya udah, abis mindahin si baby, aku ambilin.” ujar Arga sebelum bangkit, meraih baby Pao dari pangkuan Deva amat hati-hati.

Deva tak melepas pandangannya dari Arga yang berjalan ke arah box bayi. Suaminya itu kemudian merebahkan si buah hati di sana.

Arga pun tak lupa memerhatikan wajah baby Pao sejenak sebelum kembali berdiri di sisi ranjang. Ia mengusap puncak kepala Deva.

“Kado Nua ada di mana, Sayang?”

“Aku taroh di laci meja rias yang di walk in closet, Mas.” kata Deva.

Mengangguk paham, Arga lantas melenggang ke tempat dimana kado itu berada. Sementara itu, Deva mulai meremas jemarinya. Ia tiba-tiba gugup memikirkan Nua yang telah hilang kontak.

“Ini kan, Dev?”

Deva menoleh ketika Arga telah kembali dari walk in closet dalam kamar mereka. Ia mengangguk.

Arga pun duduk di sisi Deva lalu meletakkan kado Nua di atas paha sang Omega. Deva lantas membukanya dengan hati-hati.

Tepat setelah kotak berwarna pink pemberian Nua itu terbuka, Deva mendapati sepucuk surat di atas tumpukan guntingan kertas kraft putih. Dengan sigap Deva meraih lalu membacanya, pun Arga yang setia menemaninya.

Dev, kalau lo udah baca surat ini, berarti lo abis lahiran. Dan artinya lo sama Arga juga udah resmi jadi orang tua Baby Pao.

Selamat ya buat kalian. Baby Pao akhirnya brojol. Pasti si bapao gemesin banget yaa? Cubit pipinya buat gue please!

Deva, maaf ya karena gue gak ada di tengah-tengah lo sama Arga pas lo lahiran. Beberapa hari terakhir, tubuh gue jadi lemah banget. Dan gue yakin kondisi gue bakal makin buruk pas lo mau lahiran. Makanya gue nulis surat ini, sekalian buat pamitan sama kalian.

Walaupun gue gak ada di sisi lo, tapi gue bisa ngerasain kok detik-detik pas baby Pao bakal lahir. Karena pada saat itu juga wujud gue yang sekarang akan perlahan hilang, sekaligus jadi tanda kalau tugas gue buat ngawasin kalian udah selesai.

Pasti lo sama si Arga pengen nanya lagi kan apa hubungan tugas gue sama kelahiran Baby Pao? Gue udah hapal wkwkw!

Jawabannya ada di ucapan gue dalam mimpi Arga waktu itu. Tugas gue cuma ngawasin lo berdua sampai kalian terikat kembali. Dan Baby Pao yang bisa bikin lo sama Arga terikat.

Eksistensi anak gak cuma buat lengkapin kebahagiaan orang tua, tapi juga sebagai pengikat. Karena sejatinya, anak itu tuh hasil dari dua orang yang udah tau hati mereka gimana; yang saling mencintai. Anak adalah wujud nyata dari hati kalian yang dititipin sama Tuhan, jadi harus kalian jaga sama-sama.

Makanya orang modern juga ngasih istilah ‘buah hati’ buat anak dari sebuah hubungan, bukan buah ngewe. Mana tau si Arga udah siap-siap protes.

Jadi, secara gak langsung, gue bisa ngeliat gimana lo lahiran. Berarti gue udah nepatin janji gue kan? Hehe. Gue udah liat lo lahiran sebelum pergi, Dev.

Oh iya! Gue ada kado buat lo sama si Baby Pao nih, Dev.

Kado dari gue buat baby Pao gak seberapa, tapi tolong lo simpen baik-baik ya? Pakein kalau dia udah gedean dikit. Biar gue bisa tetep deket sama si bapao meskipun wujud gue udah ga ada di antara kalian.

Terus, kado gue buat lo, cuma lo sih yang bisa pake. Tapi gue yakin, Arga bakal ikut seneng kalau ngeliat lo pake kado dari gue ini. Jadi imbang kan? Satu kado buat lo berdua hahaha!

Deva, Arga, di kehidupan yang sekarang, mungkin kita emang gak bakal bisa ketemu lagi. Ini kesempatan terakhir gue buat bilang makasih karena udah menganggap gue bagian dari kisah kalian. Tapi gue janji kok, di kehidupan berikutnya, gue bakal nyari kalian berdua lagi. Gue bakal jadi sahabat kalian lagi. Tunggu gue ya, Dev? Ga?

It’s not a goodbye, it’s a see you later. So please, be happy.

With love, Nua

Air mata Deva menetes, sedang Arga dengan sigap merangkul bahu Omeganya. Sesekali Arga memberi usapan juga kecupan di puncak kepala Deva. Mata sang Alpha berkaca-kaca, namun ia mencoba menguatkan dirinya untuk Deva agar tak menangis.

“Nua beneran udah pergi, Mas.”

“Mhm,” gumam Arga. “Tapi aku yakin Nua pergi dengan bahagia, karena tugas dia udah selesai.”

Anggukan lemah menjadi respon Deva sebelum ia meraih kado pemberian Nua dibalik kertas kraft putih. Saat itu pula Deva mendapati kotak kecil berwarna hitam lalu membukanya. Deva kemudian tersenyum tipis kala melihat isi kotak itu ternyata kalung berbentuk kepala koala.

“Ini pasti buat si Bapao ya, Mas.” Deva meraih kalung itu sembari mengusapnya, “Lucu banget.”

“Iya,” Arga mendengus. “Tapi kok bentuk koala sih, bukan bapao?”

“Mungkin Nua punya alasannya sendiri, Mas.” Deva meletakkan kalung itu kembali ke kotaknya.

Setelahnya, Deva lantas meraih sesuatu yang dibungkus dengan kertas doorslag putih. Perlahan Deva membukanya hingga ia dan Arga melihat dengan jelas bahwa kado dari Nua untuknya adalah satu set sex toy berisi bando kucing, chocker, tali dan ekor.

“Kamu tau nggak itu buat apa?” Arga memastikan, sebab Deva diam sambil menatap kado itu.

Ya, Deva kehabisan kata sesaat.

“Tau, Mas.” Deva menyeka jejak air matanya lalu melirik Arga, “Kita emang gak pernah nyoba pake ini ya kalau lagi ngewe? Si Nua tau banget,” Ia tersenyum.

Arga ikut tersenyum, “Tapi aku harus nunggu dua bulanan lagi buat liat kamu pake kado Nua.”

“Si Nua kayaknya sengaja deh mau nguji kesabaran aku,” kata Arga lalu menghela napas gusar.

“Bukan mau nguji, tapi melatih.” ledek Deva lalu meletakkan kado Nua untuknya di tempat semula.

Sejenak Arga dan Deva terdiam sambil memandangi kotak pink pemberian Nua. Persekian sekon berikutnya, Deva pun menoleh pada suaminya sambil meraih jemari Arga; menggenggamnya.

“Mas, aku udah ada ide, saran nama yang bagus buat si baby.”

“Apa?” Arga penasaran.

“Danu,” jawab Deva, “Singkatan dari inisial nama aku, kamu sama Nua. Dengan gitu juga kita bisa selalu ingat sama Nua. Gimana?”

Menipiskan bibirnya, Arga lalu membelai pipi Deva. “Kalau kamu suka dan menurut kamu itu baik, aku setuju. Danu sounds good.”

Btw kamu masih pengen nangis gak?” timpal Arga dengan tanya.

Deva menggeleng, “Nggak, Mas. Kamu bener, Nua pasti pergi dengan bahagia. Jadi aku sama kamu juga harus bahagia kan?”

“Pinter,” Arga mengecup kening Deva. “Sekarang kamu bobo ya? Entar aku bangunin kalau Bi Yati udah selesai masaknya,” katanya.

“Iya, Mas.”

“Mas… Sakit…”

Deva yang tengah terbaring di atas ranjang perawatan dengan mengenakan gaun rumah sakit beserta masker lengkap dengan penutup kepala pun kembali merintih kesakitan. Sudah nyaris satu jam semenjak Deva diminta untuk berpuasa sebelum nanti menjalani operasi caesar darurat. Sebab, waktu bersalin yang telah direncanakan untuk dilakukan pekan depan justru kini harus dimajukan. Deva pun telah usai menjalani serangkai pemeriksaan penunjang sebelum operasinya. Selang infus bahkan tertanam di pembuluh darahnya sedari tadi.

Sementara itu, Arga yang setia berada di sisi Deva—dan telah berpakaian medis lengkap pula—ikut bersiap untuk menemani sang Omega ke ruang operasi beberapa saat lagi. Ia kembali mengecup ringan kening sosok terkasihnya itu. Jemari Arga lantas tak henti-henti mengusap kepala Deva; menenangkannya.

“Kamu yang kuat ya, sayang. Aku ada di sini,” bisik Arga di balik maskernya, “Si bapao kayaknya udah gak sabar pengen ketemu sama kita. Sampai pengen buru-buru dikeluarin dari perut kamu.”

Deva mengeratkan genggaman tangan kanan Arga yang sedari tadi tidak pernah ia lepaskan.

“Kamu juga udah pengen banget kan ketemu sama baby?” lanjut Arga, anggukan lemah menjadi respon Deva yang masih amat kesakitan. “Tarik napas, sayang.”

Deva menyanggupi titah Arga. Ia mengatur deru napasnya; agar ia lebih rileks di tengah rasa sakit. Sampai tak lama berselang, Ibu juga Bu Ririn datang kemudian ikut menyemangati Deva. Kedua wanita paruh baya itu menciumi kening dan pipi Deva bergantian.

Sayangnya, sang Ibu juga Mama mertua dari Deva itu tidak bisa berlama-lama. Pasalnya, Dokter yang menangani Deva kini telah datang dan memeriksa kembali keadaan Deva juga kesiapannya.

“Bu, Ma, doain Deva ya.” ucap si Omega sesaat sebelum Ibu juga Bu Ririn hendak meninggalkan ruang perawatan dan nantinya mereka akan menunggu di luar.

“Iya, Dev. Ibu sama Mama kamu pasti doain kamu. Ibu nunggu di luar ya,” pamit si paruh baya lalu keluar dari ruang perawatan itu.

“Gimana, Mas Deva? Udah siap?”

Deva mengalihkan pandangan ke arah Dokter di sisinya “Iya, Dok.”

“Deg-degan gak?” tanyanya lagi.

“Gak, Dok. Tapi perut saya sakit.”

Sang Dokter mengangguk paham lalu beralih menyapa suami Deva.

“Pak Arga gimana nih? Udah siap juga liat suaminya lahiran nanti?”

“Enggak usah nanya-nanya mulu deh, Dok. Jangan sampai malah saya loh yang lahiran di sini, ck!”

Deva juga sang Dokter terkekeh, membuat Arga yang melihat sang Omega sedikit lebih tenang pun menghela napasnya lega. Arga lalu mengecup sayang punggung tangan Deva ketika melihat sang Omega begitu serius mendengar setiap arahan dari Dokternya.

“Oke, jadi semuanya udah siap. Kita bisa ke ruang operasi ya?”

Deva mengangguk mantap lalu mengecup punggung tangan Arga, “Mas Arga, doain aku ya.”

“Iya, sayang. Aku selalu doain kamu sama bayi kita,” balas Arga.

“Dok, Sus, kita bawa Mas Deva ke ruang operasi sekarang ya.” ucap sang Dokter kepada Dokter lain yang juga telah berdatangan ke ruang perawatan Deva. Sekedar memastikan keadaan si pasien, sekaligus memberikan semangat.

“Kamu gak usah takut, sayang.” bisik Arga sebelum perawat juga Dokter mendorong ranjang Deva menuju ke ruang operasi. “Aku bakalan selalu nemenin kamu.”

“Kamu jangan lepasin tangan aku sampai operasi selesai ya, Mas?”

“Iya.”

Arga kemudian berdiri tegak lalu mengikuti ranjang Deva yang kini telah didorong menuju ke ruang operasi. Sesampainya di sana, ia lantas duduk di samping kepala Deva masih dengan jemari yang saling menggenggam. Rangkaian operasi itu pun dimulai dengan pemberian anestesi pada Deva. Dan sebisa mungkin sang Alpha memberikan kecupan lembut di kening Deva saat daerah tulang belakang Omeganya itu disuntik.

“Sakit?” tanya Arga.

“Mm,” gumam Deva, namun Arga justru melihat raut cemasnya.

“Semuanya bakal baik-baik aja,” Arga menenangkan. “Kan kata Dokter tadi keadaan kamu ini gak membahayakan tapi perlu segera dilakukan tindakan biar janin kamu baik-baik aja, Dev.”

“Pak Arga romantis banget ya.”

Arga memicing ke arah seorang Dokter spesialis anak yang tiba-tiba menyeletuk. “Dokter ini kok malah nguping sih? Operasinya kapan mulai kalau anda kepo ck!”

“Mas, jangan ngomel.” kata Deva.

“Segera dimulai kok, Pak.” sahut Dokter lain yang sedang sibuk menyiapkan kain pembatas di antara perut bagian bawah Deva. “Mas Deva ngerasain sesuatu?”

“Iya, Dok. Kaki saya nggak bisa digerakin. Berat.” jawab Deva.

Sang Dokter tersenyum, “Bius yang disuntikin udah bekerja.”

“Jadi operasinya udah bisa kita mulai, Mas.” lanjutnya, “Bentar lagi Mas Deva bakal ketemu si Baby Pao. Kira-kira nanti muka Baby Pao mirip sama siapa ya?”

“Ya mirip saya sama Deva lah, masa mirip sama Dokter sih?”

Tujuh orang tim medis yang ada dalam ruang operasi terkekeh mendengar jawaban Arga. Tidak lama setelahnya, proses operasi pun dimulai. Benar saja Deva tak merasakan apa-apa. Justru kini ia merasakan matanya mulai berat.

“Mas, aku ngantuk.”

“Jangan tidur dulu ya, Mas.” sang Dokter anestesi yang berada di sisi kiri Deva tersenyum, “Dikit lagi Baby Pao bakal dikeluarin.”

“Dokter ini kebiasaan deh. Ck!” protes Arga, “Kan Deva ngobrol sama saya. Main nyeletuk aja.”

“Saya cuma ngingetin Mas Deva kok, Pak. Gak nguping,” jenaka si Doker lalu kembali memeriksa tanda vital Deva di layar monitor.

“Pak Arga,” panggil salah satu Dokter yang sedari tadi sibuk membedah perut Deva. “The moment of truth nih, Pak. Gak mau liat Baby Pao dikeluarin?”

“Ck! The moment of truth, the moment of truth.” omel Arga, “Dokter pikir anak saya paket yang lagi di-unboxing apa?”

Arga lalu melirik Deva. “Sayang, aku boleh lepasin tangan kamu sebentar buat liat baby kita gak?”

“Boleh, Mas.”

Deva tersenyum. Sama sekali tak ada ketegangan dalam ruangan operasi seperti yang selama ini selalu ia bayangkan. Namun saat Arga bangkit dari posisinya guna melihat bayi Pao dikeluarkan dari perut Deva, sang Omega lantas menahan napasnya. Bersamaan dengan sensasi tarikan di perut.

Sampai tak lama setelahnya, suara tangisan bayi seketika menggema. Deva pun bisa melihat jika mata suaminya berkaca-kaca kala sang Dokter menunjukkan bayi itu ke Arga.

“Bayinya laki-laki, Pak. Ganteng kayak Pak Arga sama Mas Deva.”

Arga mengusak matanya; agar tangis tak terbebas. “Iya, Dok.”

“Semuanya lengkap, Pak. baby Pao juga sehat,” kata Dokter.

“Makasih banyak.” ucap Arga.

“Bayinya mau kita bersihin dulu ya, Pak.” izin sang Dokter, Arga pun mengangguk lalu kembali duduk di samping kepala Deva.

“Sayang…”

Suara Arga parau. Ia kemudian mengecup kening, pipi tak lupa pula punggung tangan si Omega bersama air mata yang menetes.

“Makasih ya, sayang. Makasih.”

Deva tersenyum, “Iya, Mas.”

“Aku cinta kamu, Dev.” bisik Arga di samping telinga Deva sebelum kembali menciumi keningnya.

Mendengar penuturan cinta Arga—untuk yang pertama kalinya—membuat Deva ikut terharu. Air matanya menetes, namun sang suami buru-buru menyekanya.

“Kamu hebat banget, sayang. Aku bangga sama kamu karena udah ngelewatin semua ini,” kata Arga.

“Ini juga berkat kamu, Mas.”

Deva pun menciumi tangan Arga sesaat sebelum atensinya beralih ke Dokter yang menghampirinya sembari menggendong bayi yang telah dibungkus dengan selimut.

“Mas Deva,” panggil sang Dokter. “Silakan dilihat ya bayinya, Mas.”

Deva mengangguk kecil diikuti senyum ketika sang Dokter anak meletakkan bayi di atas dadanya. Rasa haru dan bahagia Deva pun tidak mampu ia definisikan lewat frasa. Benar kata Nua, pikirnya. Segala susah dan senang ketika hamil benar-benar terbayar kala melihat bayinya lahir dan sehat.

“Anak kita lucu banget, Mas.”

“Mhm,” Arga setuju. “Mata sama bibirnya mirip sama kamu, Dev.”

Deva terkekeh, “Iya, tapi hidung sama pipi bapaonya mirip kamu.”

“Jadi baby Pao mau dikasih nama siapa, Mas?” tanya Dokter yang masih menyelesaikan jahitan di perut Deva;menutup sayatannya.

“Belum kepikiran, Dok.” sahut si Omega, “Untuk sekarang boleh dipanggilnya baby Pao aja dulu.”

“Nama baby Pao juga lucu, Mas.”

Arga sibuk mengambil foto Deva juga malaikat kecil mereka. Tidak ingin kehilangan momen ketika si baby terlihat bahagia berada dalam dekap Deva. Sementara, pandangan Deva tidak pernah lepas dari sang bayi, “Jadi gini bentukan anak di perut Papa?”

“Kamu beneran kayak bapao ya,” Deva berbicara dengan bayinya. “Pipinya gembul banget, gemes.”

“Kata Dokter tadi berat si bapao empat kilo tau,” Arga tersenyum.

“Pantes dulu aku ngidam banyak ya, Mas. Si baby gampang laper.”

“Mas Deva, Pak Arga, si baby Pao mau kita masukin ke tabung dulu ya. Ntar satu jam setelah operasi selesai, bisa langsung dibawa ke kamar rawatnya Mas Deva.” kata seorang Dokter anak dan dibalas anggukan setuju oleh keduanya.

“Pak Arga kalau udah mau ikut ke ruangan bayi boleh keluar dari ruang operasi kok, Pak. Ini Mas Deva juga udah boleh tidur,” kata Dokter anestesi di samping Deva.

Arga menggeleng, “Saya pengen nemenin suami saya, Dok. Baby tolong diperhatiin ya, nanti saya nyusul kalo operasi Deva kelar.”

“Baik, Pak Arga.”

Deva tersenyum dibalik masker yang ia kenakan. Sementara sang Alpha kembali membelai pipinya.

“Kamu boleh tidur sekarang.”

“Ngantuknya udah hilang, Mas.” Deva menghela napas, melirik sekilas ke arah para Dokter lalu berbisik. “Mas, Nua ada di luar?”

“Gak tau, sebelum kita ke sini sih nggak ada. Aku chat aja kali ya?”

“Iya, Mas.” Deva setuju.

Persekian detik berikutnya, Deva dibuat heran saat melihat raut kaget sang Alpha ketika menatap gawai. Alhasil, ia pun bertanya.

“Ada apa, Mas?”

“Dev, kontak Nua kok hilang?”

Mata Deva terbelalak, “Kok bisa sih, Mas? Coba lihat di hp aku.”

“Bentar,” kata Arga lalu meraih gawai Deva yang ia kantongi pula sedari tadi. “Dev, di sini juga gak ada. Kok bisa hilang sendiri sih?”

“Mas…” Deva menelan ludahnya, “Apa mungkin Nua udah pergi?”

Arga dan Deva yang semula asik berbincang sambil duduk di sofa dalam ruang kerja mereka lantas menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba dibuka oleh seseorang dari luar. Menyadari jika sosok dibalik gerakan pintu adalah Nua, Deva seketika mengulas senyumnya.

“Sini, Nu!” panggil sang Omega.

Sementara itu, Nua yang melihat begitu banyak makanan di atas meja refleks menganga. Ia lantas menghampiri Alpha juga Omega yang tak pernah melepas tatapan barang sedetik pun darinya. Nua duduk di sofa lalu cengengesan.

“Giliran liat makanan aja, kamu cengar-cengir kayak orang lagi kesurupan.” Arga mendengus. “Gak makan berapa hari kamu?”

“Gue makan kok pagi tadi,” balas Nua. “Tapi gue udah laper lagi.”

Deva terkekeh, “ Ya udah. Makan nih, Nu. Temenin gue ngunyah.”

“Tapi kok ada banyak makanan? Si Bapao yang minta?” tanya Nua.

“Kamu makin hari makin aneh aja deh,” kening Arga berkerut heran sambil menatap Nua, “Biasanya kamu gak bakal nanya gara-gara udah tau jawaban dari kita apa.”

Nua menelan ludah. Gelagatnya sangat aneh di mata Deva, sebab Nua terlihat ragu untuk memberi respon atas komentar suaminya.

“Nu?” mata Deva memicing, “Lu baik-baik aja kan? Ada apa sih?”

“Gue baik-baik aja kok, Dev.” Nua menunduk sejenak, memandangi jemarinya yang saling bertautan di atas lututnya. “Gue cuma mau ngerasa normal aja kalau ngobrol sama kalian berdua, kayak orang lain. Bukan malah kek cenayang.”

“Tapi beneran lu gak apa-apa?”

Senyum cerah Nua merekah kala ia mendengar pertanyaan Deva. “Iya, gue gak apa-apa. Beneran.”

Deva menghela napas, menunjuk makanan yang ada di atas meja dengan dagunya. “Direksi sama stakeholder tau dari Mama kalau hari ini hari terakhir gue kerja di kantor sebelum cuti hamil. Jadi pada ngirim makanan kek gini.”

“Mana banyak banget lagi,” lanjut sang Omega. “Lu makan gih, Nu.”

“Oh gitu,” Nua mengangguk.

“Jangan cuma ngangguk, makan tuh. Udah ditawarin sama Deva juga,” celetuk Arga, “Kamu ke sini emang mau nyari makanan kan?”

Pundak Nua merosot, “Lo kenapa ngomong kayak gitu sih, Ga? Gue ke sini karena gue pengen liat si Bapao. Sekalian nyari makanan.”

“Alesan,” balas Arga.

“Mas, udah.” Deva menengahi, ia menyuapi Arga dengan donat.

Nua yang duduk di sebelah Deva diam-diam melirik perut Omega Arga itu sambil tersenyum. Satu tangannya pun bergerak, hendak mengusapnya. Namun gerakan Nua harus terhenti karena Arga.

“Heh! Kamu mau ngapain?” Arga mengomel, “Kamu pikir saya gak liat apa? Jauhin tangan kamu ck!”

Deva tertawa kecil. Sudah biasa baginya melihat pertikaian Arga dengan Nua yang selalu ingin memegang perutnya. Namun si Alpha melarang keras hal itu.

Pernah sekali Deva bertanya, ada apa sampai Arga melarang Nua. Jawaban sang suami pun tak lain karena Arga masih ingat ketika Deva membuatnya cemburu; gara-gara Omeganya itu terlalu serius tentang Nua. As always, Arga being possessive over Deva.

Dan Arga tetap cemburu ke Nua.

“Gaaa,” Nua memelas, “Kali ini aja. Lima menit deh,” pintanya.

“Gak,” Arga menolak.

“Gue pengen ngusap perut Deva sekali aja sebelum gue pergi dari sini nanti, Ga. Please?” kata Nua.

Penuturan Nua membuat Arga dan Deva lantas terdiam sambil menatap sosok itu lekat-lekat. Sementara Nua yang menyadari tingkah keduanya cengar-cengir.

“Boleh ya?” Nua memohon lagi.

“Emang kapan kamu bakal pergi dari sini?” Arga tiba-tiba serius.

“Gue juga belum tau pasti sih kapan tepatnya,” Nua menghela napas, “Tapi gak bakal lama lagi. Soalnya urusan gue di sini udah hampir selesai. Makanya gue tuh mau manfaatin waktu berharga ini buat interaksi sama si Bapao.”

“Boleh yaaa?” mata Nua berbinar seperti emoji yang selalu ia pakai.

Deva menahan senyuman sambil melirik sang suami di sisi kirinya. Arga pun hanya melipat lengan, masih dengan wajah datarnya.

“Ya udah, tapi jangan lama-lama.”

Mendapat persetujuan dari Arga membuat Nua nyaris memekik. Tanpa membuang waktunya lagi, telapak tangan Nua pun bergerak di atas permukaan perut Deva. Ia tersenyum dengan raut terharu.

“Baby Pao sehat-sehat ya sampai lahir nanti,” Nua mengajak janin Deva berbicara. “Jangan rewel.”

“Nu,” Deva menepuk bahu Nua. “Lu ngerasain gak? Baby gerak.”

“Iya! Perut lo gerak-gerak,” Nua menggoyang-goyangkan badan bersemangat saking senangnya. “Baby Pao dengerin gue, Deva!”

“Iya lah anak saya denger, lagian dia udah punya telinga. Saya juga kalau ngusap perut Deva bakalan gerak gitu,” Arga gak mau kalah.

Nua menipiskan bibir bersama wajah datarnya. Ia sudah cukup paham tingkah suami Deva itu.

“Udah pegang-pegangnya, kamu makan dulu. Tadi katanya laper,” oceh Arga, “Deva juga mau lanjut ngemil. Ganggu orang aja kamu.”

“Makan dulu?” Nua mengulang ucapan Arga dengan pupil mata yang melebar, “Jadi... Kalau abis makan, gue boleh ngusap lagi?”

Deva juga serius dengan respon sang suami, namun Arga hanya diam sambil melahap satu sushi. Saat itu pula Deva meraih jemari Arga lalu menciumi punggung tangan suaminya diikuti senyum.

“Kamu tuh enggak perlu keliatan keras mulu di depan orang lain biar nggak dianggap lemah, Mas.” kata Deva, “Apalagi Nua pasti tau kok kalau hati kamu ini lembut.”

“Saya gak gitu, ck!” elak Arga.

Deva dan Nua pun saling berbagi senyum meledek sebelum lanjut mencicipi makanan di atas meja. Sementara Arga tersenyum tipis melihat keduanya begitu lahap.

“Nu.”

Nua yang sedang mengunyah pizza hingga mulutnya penuh lantas melirik Deva. “Kenapa?”

“Minggu depan ada acara tujuh bulanan,” kata Deva. “Dateng ya?”

“Gue bakalan dateng,” balas Nua. “Tapi gue gak janji bisa ngikutin acara dari awal ampe kelar, Dev.”

“Pasti kamu dateng cuma pengen nyari sate lilit terus pulang kan?”

Nua nyaris terbatuk karena ucap yang terlontar dari mulut Arga.

“Gue emang pengen makan sate lilit, tapi gak gitu juga, Argaaaa.”

“Terus kenapa?” Deva bersuara dengan raut menginterogasi.

“Gue ada urusan lain hari itu.”

“Urusan lain apa lu udah pengen pergi?” sela Deva, “Nu, lu udah janji loh bakal pamit sama gue.”

“Enggak,” jawab Nua. “Gue nggak pergi. Emang ada urusan lain aja.”

Deva menarik napasnya, “Nu, lu bisa gak sih perginya setelah gue lahiran? Lu gak mau liat si baby?”

“Kenapa jadi bahas soal kapan gue pergi sih?” Nua terkekeh, “Udah deh, gak usah dipikirin.”

Deva menggeleng, “Nu, lu itu tuh udah kek sahabat gue sama Mas Arga. Lu yang tau perjalalan kita berdua sampai bentar lagi bakal punya anak. Jadi gue juga pengen lu ada pas anak gue lahir nanti.”

“Gue jadi terharu,” bola mata Nua berkaca-kaca. “Iya, gue bakal ada pas lo lahiran. Gak usah diterusin lagi pembicaraan soal ini, Deva.”

“Entar gue nangis,” gumam Nua.

“Nangas, nangis. Mulut kamu tuh liat, belepotan. Udah kek badut.”

Deva terkekeh lalu menunjuk tisu agar Nua segera membersihkan mulutnya. Tidak lama setelahnya, Nua kembali menatap si Omega.

“Oh iya, Dev. Gimana rasanya jadi Papa hamil?” tanya Nua antusias.

Deva tersenyum lalu mengusap perutnya sebelum bersandar di badan sofa. “Gue gak bisa jelasin gimana rasanya. Mixed feeling.”

“Awalnya gue kayak masih harus beradaptasi gitu sih,” kekehnya, “Misal nih, gue pengen lari naik ke tangga karena buru-buru, tapi langsung keinget kalau di perut gue ada bayi. Musti hati-hati.”

“Belum juga perubahan tubuh gue yang jadi gampang capek, gampang sesek.” Deva melirik perutnya sejenak. “Terus gue kadang ngerasa gak sabaran gitu tau, Nu. Gue pengen cepet-cepet si baby lahir, tapi di sisi lain gue juga deg-degan. Aneh gak sih?”

Nua menggeleng kecil, “Nikmatin moment-moment kehamilan lo, Dev. Up and down-nya tuh pasti bakal kebayar pas lo abis lahiran.”

“Apalagi sekarang janin lo udah hampir tujuh bulan, pasti bakal ada aja hal baru yang elo rasain. Terutama respon dari tubuh lo.”

“Bener sih,” ujar Deva. “Kemarin aja gue ngerasa puting gue aneh. Kayak lebih keras gitu tau gak?”

Arga yang sedari tadi menyimak sambil memandangi wajah Deva dengan raut memujanya lantas berkata, “Pengen saya isep kali.”

Deva juga Nua seketika terkejut lalu menatap Arga tidak percaya sebelum kompak menegurnya.

“Arga!”

“Mas Arga!”

Arga hendak merespon, namun gawainya tiba-tiba saja berbunyi. Ia pun hanya tersenyum nakal ke arah Deva lalu meraih gawainya.

“Halo?” Arga menjawab telepon itu, “Oke, saya segera ke sana.”

“Siapa, Mas?” tanya Deva setelah Arga memasukkan gawai kembali ke dalam saku jas yang ia pakai.

“Asisten Mama,” jawabnya, “Saya dipanggil ke meeting room, Dev. Kamu gak apa-apa saya tinggal?”

“Gak apa-apa, Mas. Lagian ada Nua kok yang nemenin aku nih.”

Mata Arga memicing ke arah Nua sebelum kembali menatap Deva. “Tapi kamu jangan mau dipegang mulu sama dia. Saya gak terima.”

“Iya, Mas. Iyaa,” kekeh Deva. Nua pun hanya geleng-geleng kepala.

Persekian detik kemudian, Deva dibuat melotot ketika Arga tiba-tiba menarik tengkuknya. Arga kemudian melumat rakus bibir tipisnya, seolah tidak peduli jika Nua di tengah-tengah mereka.

Sementara itu, Nua yang baru saja hendak melahap makanan lain di atas meja pun mematung. Ia kemudian balik badan, enggan menyaksikan bagaimana Omega dan Alpha itu bercumbu. Sambil menarik helai rambutnya frustasi karena ulah Arga, Nua memekik.

“Arga! Gue masih di sini! Tolong!”

Arga bergegas membuka pintu kamar hotelnya—dengan Deva—tepat setelah kembali dari toko obat. Saat itu pula ia mendapati Deva sedang asik duduk di sofa panjang yang bersisian dengan jendela. Nampak jika sang Omega menikmati gemerlap malam yang ditawarkan oleh Ibukota Jepang.

“Mas,” Deva menyambut Arga dengan senyum paling manis.

Tanpa menyia-nyiakan waktunya untuk terus memandangi wajah Deva, Arga kemudian meletakkan kantongan obat yang dibawanya di atas meja. Setelahnya, ia lantas menghampiri Deva. Memberikan pelukan hangat dibumbui kecup; mulai dari dahi, pipi sampai bibir. Tak lupa pula ia mengelus perut Deva lalu menciuminya sejenak.

Sementara itu, Deva hanya diam dan menerima perlakuan suami tercintanya sambil tersenyum. Terlebih ketika Arga yang telah duduk di sampingnya kini mulai memeriksa suhu tubuh di bagian leher dengan punggung tangan.

“Badan kamu udah nggak hangat kayak tadi,” raut lega tak mampu lagi bersembunyi di wajah Arga.

“Ya lagian aku udah bilang, Mas.” kekeh Deva, “Kamu gak percaya.”

“Bukan gak percaya, tapi kamu mana bisa ngukur suhu tubuh kamu sendiri kalau aja tangan kamu masih anget.” sela Arga.

Deva tersenyum tipis, sementara Arga beralih membelai pipi sang Omega. Namun persekian detik berikutnya, mata Arga menyipit.

“Kamu kok kayak abis nangis?” selidik si Alpha, “Sembab gini.”

Deva lantas meraih tangan Arga, menggenggamnya masih dengan garis melengkung di sudut bibir.

“Tadi aku mewek gara-gara liat kamu ngirim emoticon love tau, Mas.” cerita Deva. “Aneh ya, aku sensitif terus emosional banget akhir-akhir ini. Gitu aja nangis.”

Arga menatap Deva lekat-lekat, “Pasti berat banget punya suami yang gak ngerti soal cinta kayak aku ya, Dev? Gak romantis, gak bermulut manis. Tapi kamu tuh sabaaaar banget ngadepin aku.”

“Mas, kamu jangan ngomong gitu dong.” pinta Deva, matanya pun memanas. “Ntar aku nangis lagi.”

“Nangis aja,” kata Arga, “Kan ada aku yang bisa meluk kamu, Dev.”

Terkekeh pelan, Deva kemudian mendekap erat tubuh suaminya. Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Arga lalu bergumam.

“Gak berat kok punya suami baik dan pengertian terus mau belajar kayak kamu, Mas.” nada suaranya dipenuhi dengan kesungguhan.

“Justru aku bersyukur tau punya kamu,” timpal Deva. “Kamu mau nerima aku dan selalu bikin aku ngerasa dicintai kayak gini udah gak ternilai banget bahagianya.”

Deva mendongak, memandangi wajah suaminya. “Makasih, Mas. Makasih karena udah buka hati kamu dan percaya sama aku.”

“Pasti berat banget kan ngelawan ketakutan kamu soal cinta, Mas?” Deva mengecup sejenak rahang suaminya, “But you’ve come this far. Kamu mau belajar nerima itu dan nunjukin kasih sayang kamu ke aku. I’m so proud of you, Mas.”

Arga lalu mendengus, “Sekarang malah aku yang pengen nangis.”

Kedua anak manusia itu tertawa ringan lalu mengeratkan dekap yang tidak rela untuk dilepaskan. Satu tangan Arga mengelus pelan punggung Deva penuh afeksi.

“Badan kamu ada yang sakit?”

“Gak ada, Mas. Pantat aku doang sih yang agak ngilu,” sahut Deva. “Tapi kalau yang lain normal aja.”

Arga mendesis, “Padahal tadi aku mainnya pelan banget perasaan.”

“Iya. Saking pelannya aku sampai serak gini loh, Mas.” sindir Deva.

Arga tertawa renyah, “Tapi perut kamu gak apa-apa kan, sayang?”

“Mm,” gumam Deva, “Kan posisi ngewe kita tadi juga udah sesuai sama anjuran Dokter aku, Mas.”

Menipiskan bibirnya, Arga lantas berpikir sejenak. “Kalau gitu kita jalan-jalannya besok aja gimana?”

“Kamu istirahat dulu malam ini,” lanjut Arga. Deva mengangguk.

“Aku juga udah ngantuk lagi nih, Mas. Kekenyangan abis minum susu sama makan roti yang kamu beli buat aku tadi,” curhat Deva.

“Ya udah, kita bobo sekarang.”

Deva lantas menahan pekikannya ketika Arga menggendongnya ke ranjang dengan gaya bridal. Arga lalu merebahkan tubuh suaminya di permukaan kasur yang empuk. Setelahnya, sang Alpha beralih memaatikan lampu utama kamar. Cahaya yang tersisa pun hanya remangnya lampu tidur di nakas.

“Mas, aku bobonya madep gini bentar boleh ya?” izin Deva kala Arga ikut berbaring di samping tubuhnya, namun kini ia justru membelakangi posisi sang suami.

“Perut kamu gak sakit emangnya, kalau kamu rebahan kayak gini?” balas si Alpha sembari memeluk perut sang Omega dari belakang.

“Nggak, justru perut aku enakan kalau aku nyamping kayak gini.”

“Ya udah,” Arga mengecup ringan tengkuk—juga pundak kiri Deva.

“Maaf ya aku jadi nge-belakangin kamu, Mas.” ucap Deva tak enak.

“Nggak apa-apa,” Arga mengusap perut Deva. “Yang penting kamu sama baby di dalem sini seneng.”

Deva tersenyum tipis, “Besok aku sama baby bakalan seneng kalau Mas Arga bawa aku ke Shiba Inu cafe terus jalan-jalan di Shibuya.”

“Itu sih kamu doang yang pengen ck!” Arga mencubit pipi kiri Deva, sedang empunya terkekeh pelan.

“Mas Arga.”

“Mhm?”

“Kita musti puas-puasin pacaran selama aku hamil deh kayaknya.”

Arga lantas menopang kepalanya dengan satu tangannya yang tak memeluk perut Deva, “Kok gitu?”

Menoleh, tatapan Deva dan Arga pun berjumpa. “Soalnya kalau si baby udah lahir, kita gak bakalan bisa se-santai sekarang gak sih?”

“Kita bakalan sibuk ngurusin bayi kita. Bikinin susu, gantiin popok,” membayangkan hal itu membuat Deva terkekeh, “Kalau udah gede dikit, pasti makin ada aja juga tuh tingkahnya yang bikin kita harus selalu ngawasin anak kita nanti.”

“Terus kalau udah sekolah,” Deva berangan-angan, “Pas kita mau berduaan di kamar nih malem-malem, anak kita dateng terus baru bilang kalau dia disuruh sama gurunya buat bawa bunga anggrek ke sekolah besok pagi.”

“Gagal deh pacarannya gara-gara nyari bunga anggrek,” lanjutnya.

Melihat suaminya amat antusias saat membayangkan kehidupan mereka bersama sang anak kelak membuat Arga tersenyum. Ia lalu mengecup kening Deva sebelum kembali merebahkan kepalanya di atas bantal seperti semula.

“Kita masih bisa pacaran gini kok walaupun udah punya anak, Dev.”

“Iya, Mas. Bisa,” balas Deva, “Tapi nggak se-bebas dan se-santai ini. Kayak… Waktu kita juga bakalan terbagi buat anak kita,” katanya.

“Jadi kita musti nunggu sampai anak kita gede dulu terus punya kehidupannya sendiri, baru deh kita bisa puas pacaran lagi.” Deva menghela napas panjang sambil menatap langit-langit kamar.

“Aku sama kamu udah umur berapa ya nanti?” gumamnya, tapi tak ada jawaban dari Arga.

“Kita bentar lagi ngerasain jadi orang tua ya, Mas?” oceh Deva. “Cinta-cintaannya bakal pindah ke anak. Apa-apa buat anak.”

Sang Omega terkekeh, namun ia justru tidak mendengar sedikit pun suara dari Arga di belakang punggungnya. Kok dia diem aja?

“Mas? Kamu udah bobo?”

Merasakan bagaimana Arga tiba-tiba saja menghirup perpotongan lehernya dari belakang membuat Deva tau jika si Alpha tidak tidur. Sampai tak lama berselang, Arga berbisik di belakang telinganya.

“Gak apa-apa kalau waktu sama cinta kamu buat aku nanti bakal terbagi sama anak kita,” suara si Alpha terdengar parau dan Deva sadar betul bahwa suaminya itu ingin—atau kini mungkin telah—menangis. Deva menahan napas.

“Asalkan kamu tetap di sisi aku.” timpalnya, “Aku pengen lewatin masa-masa jadi orang tua sama kamu sampai kita bisa pacaran kayak gini lagi di hari tua kita.”

“Aku… Mau menua sama kamu,” lirih Arga, “Bahkan kalau aku bisa minta, aku mau mati sama kamu.”

Deva mengulum bibirnya saat ia mendengar isakan pelan Arga di belakangnya. Mata Deva pun kini berkaca-kaca, sebab sang Alpha masih berusaha untuk berbicara.

“Aku gak bisa bayangin kalau gak ada kamu di samping aku, Deva.” katanya, “Aku enggak pernah tau gimana jadinya aku tanpa kamu.”

“Kepisah tiga hari waktu kamu marah sama aku aja, dunia aku rasanya hancur banget. Apalagi kalau inget gimana kamu selalu ada buat aku, merhatiin aku…”

Arga menatap punggung Deva yang tiba-tiba bergetar. Ia pun menciumi spot itu sejenak lalu mengusap perut sang Omega. Sebab Arga paham, Deva ikut menangis—sama sepertinya.

“Jangan pergi ya? Tolong jangan tinggalin aku,” pinta sang Alpha.

Air mata Arga masih mengalir deras. “Kalau di kehidupan kita sebelumnya kamu yang pergi duluan, di kehidupan sekarang biar aku aja. Jangan kamu, Dev.”

“Karena aku gak akan nepatin janji aku di masa lalu kalau liat kamu mati.” Arga sesenggukan, “Aku bakal ngebunuh diri aku sendiri buat nyusulin kamu.”

Deva balik badan hingga kini ia bisa melihat wajah sembab Arga. Disekanya air mata yang sedari tadi membanjiri pipi sang Alpha.

“Mas, udah. Gak usah mikir yang aneh-aneh,” Ibu jari Deva lantas menarik sudut bibir suaminya itu hingga membentuk garis senyum tipis. “Senyum dong, Mas Arga...”

Lesung pipi Arga pun nampak. Ia tersenyum tipis pada Omeganya.

“Aku gak pergi,” kata Deva, “Aku bakal selalu nemenin kamu kok.”

“Janji?”

Deva mengangguk, “Janji.”

Kiss me then.”

“Ish!” cebik Deva. “Mas Argaaa.”

Arga mencubit gemas pipi kanan Deva sambil terkekeh. Rengekan suaminya menjadi hal baru yang selalu ingin ia dengar tiap waktu.

“Kenapa sih? Cium doang.”

“Iya, awalnya ciuman. Lama-lama kita berdua turn on terus ngewe.”

Bibir Deva manyun, “Kalau aku gak bisa jalan, rencana kita besok bakal nggak jadi kayak sekarang.”

“Kalau gitu kamu tidur sekarang. Sebelum aku cium sampai—”

Belum sempat Arga selesai akan ucapannya tadi, Deva buru-buru menutup tubuh hingga wajahnya dengan selimut. Membuat sang suami yang melihat Deva lantas terkekeh lalu ikut menyamankan posisi di samping Omeganya itu.

Arga bergegas turun dari mobil tepat setelah laju kendaraan roda empat yang dikemudikan oleh Pak Agus itu berhenti di halaman depan rumah. Ia berjalan tergesa masuk ke kediamannya. Bahkan Arga meninggalkan tas juga sushi dan salad yang dibawanya untuk Deva. Pikiran Arga tidak karuan mengingat kabar dari Mama tadi.

Sesampainya di ruang keluarga, tatapan mata Arga pun tertuju ke arah Deva yang sedang duduk di sofa. Bu Ririn berada di sisi kiri Deva dengan bahunya sebagai sandaran sang menantu. Sedang Bi Yati melantai di samping kaki kanannya; memijat Deva telaten.

Deva terlihat amat lemas. Kedua matanya terpejam rapat. Nampak kekhawatiran di wajah Arga, tak sekali pun pandangannya lepas dari Deva sampai ia mendatangi sofa dimana suaminya berada. Membuat Deva membuka mata lalu tersenyum pada suaminya.

“Mas,” Deva seketika sumringah menyambut kedatangan Arga.

Sang Alpha mengusap puncak kepala Deva, “Masih mual gak?”

“Gak, Mas. Tapi kepala aku masih agak pusing,” jawab Deva pelan.

Mengangguk, Arga lalu melirik Bi Yati. “Bi, tolong bantu Pak Agus ngangkat bawaan saya di mobil.”

“Baik, Mas Arga.”

Bi Yati pun berlalu, sedang Arga yang kini masih berdiri di depan Deva menghela napas pelan lalu duduk di samping kanan Deva.

“Kok Deva bisa muntah-muntah sih, Ma? Emang abis makan apa selama aku keluar rumah?” Arga beralih menginterogasi Bu Ririn.

“Deva cuma makan soto betawi kok tadi, Ga. Katanya Deva lagi kepengen banget, jadi dibikinin sama Bi Yati.” jelas si paruh baya.

“Nah di kamar tadi, pas Deva nemenin Bi Yati packing baju kalian, dia pusing terus mual sampai muntah.” timpal Bu Ririn, “Mama mau langsung bawa Deva ke rumah sakit, tapi Deva pengen nunggu kamu pulang dulu aja.”

Di tengah percakapan Arga dan Bu Ririn, Deva tiba-tiba menutup mulutnya sambil menahan mual. Membuat Arga yang menyadari hal itu seketika kaget dan panik.

“Kamu mau muntah lagi?” Arga memijat tengkuk sang Omega.

Deva menggeleng, “Bau parfum kamu nggak enak banget, Mas.”

“Sembarangan kamu,” sela Arga, “Kan kamu yang beliin parfum ini buat aku. Kamu ini gimana sih?”

“Ga, udah deh kamu minggir aja dulu. Mandi terus ganti baju gih cepetan, abis ini kita langsung bawa Deva ke rumah sakit.” usul Bu Ririn sambil memijat pundak Deva, “Kasian Deva mual mulu.”

“Ya udah,” Arga pasrah. Ia berdiri sambil menatap Deva lekat-lekat, “Sushi sama salad yang aku beli dimakan. Biar perut kamu nggak kosong sebelum kita ke RS nanti.”

“Maaf ya, Mas. Hidung aku lagi sensitif banget sekarang,” sesal Deva, sedang Arga menggeleng.

“Gak apa-apa,” Arga mengecup kilat puncak kepala Deva, takut jika si Omega kembali terganggu akan wangi parfumnya, “Aku mau mandi dulu. Enggak bakal lama.”

“Kalau abis mandi, jangan pakai parfum ya, Mas?” pinta Deva.

“Iya,” decak Arga sebelum pergi dari ruang keluarga. Menyisakan Deva yang menatap sang suami kasihan, sedang Bu Ririn justru tersenyum melihat kepasrahan Arga guna menuruti titah Deva.


“Ga, giliran kita.” kata Bu Ririn saat nama Deva dipanggil oleh perawat agar segera masuk ke ruang pemeriksaan Dokter.

Arga pun mengangguk sebelum menuntun Deva memasuki ruang kerja Dokter yang bernama Sean dengan Bu Ririn yang mengekor. Mereka lantas disambut ramah lalu dipersilakan untuk duduk. Bokong Deva dan Arga mendarat tepat di hadapan si pria berjas putih, sedang Bu Ririn duduk di kursi tunggu; di sisi kanan spot dimana Deva dan Arga berada.

“Malam, Mas Deva. Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang Dokter.

Arga lalu mendengus, “Dokter ini gimana sih? Anda ini kan Dokter, terus suami saya sakit. Ya anda bantu obatin dong, pake nanya.”

“Mas…” desis Deva lalu menatap tidak enak kepada Dokter Sean. “Maafin suami saya ya, Dokter.”

“Kok malah minta maaf sih? Aku cuma pengen Dokter Sean buat meriksa keadaan kamu, Dev. Gak kelamaan basa-basi,” tutur Arga.

Deva menyikut lengan suaminya, “Sabar dong, Mas. Tenang dulu.”

Tak jauh berbeda dengan Deva, Bu Ririn yang mendengar ucap anaknya tadi menggeleng pelan. Beruntung ada Deva di sisi Arga yang amat sigap menenangkan. Sementara sang Dokter hanya tersenyum kikuk lalu menaruh atensi kepada Deva. Arga lantas mengamati mereka lekat-lekat.

“Boleh saya tau keluhannya apa aja?” Dokter Sean to the point.

“Beberapa hari terakhir saya tuh gampang ngerasa capek. Hari ini saya nggak banyak aktivitas, tapi badan saya lemes.” sahut Deva.

“Saya juga mual sampai muntah,” lanjut Deva, “Penciuman saya jadi sensitif sama wewangian, Dok.”

“Mas Deva makannya teratur gak?” tanya sang Dokter lagi.

“Teratur kok, Dok.”

Dokter Sean mengangguk kecil lalu kembali bertanya, “Mualnya muncul biasanya kapan ya, Mas? Kalau abis makan atau gimana?”

“Tadi langsung muncul gitu aja pas saya nyium bau pengharum lemari, Dok.” keluh Deva, “Saya juga sempet pusing terus mual waktu nyium parfum suami saya. Padahal biasanya saya suka kok.”

“Pas mual tadi perutnya kram?”

“Gak, Dok.” jawab Sean.

Dokter Sean menipiskan bibirnya sejenak sambil memandangi hasil pemeriksaan fisik Deva. Nampak semuanya dalam kondisi normal.

“Kalau gitu, saya USG perut Mas Deva dulu ya. Silakan rebahan di ranjang sebelah sana, Mas.” kata Dokter Sean lalu mempersiapkan peralatannya. Sementara Arga menuntun Deva untuk berbaring. Ia pun setia berdiri di sisi ranjang sambil memerhatikan Deva yang kini mendapat pemeriksaan USG.

“Lambung normal,” kata Dokter Sean lalu menggeser transducer ke sisi lain di perut Deva sambil mengamati layar monitor, “Hati sama ginjal juga normal ya, Mas.”

Dokter Sean bergumam sebelum gerak tangannya terhenti di satu spot. Saat itu pula eskpresi wajah Dokter Sean nampak kaget. Deva pun menyadarinya, tapi si dokter tidak mengatakan apa-apa. Deva lantas panik, apalagi kala Dokter Sean justru memintanya duduk kembali di kursi seperti semula.

Gue sebenernya kenapa? Batin Deva resah. Ia bahkan gelisah.

“Jadi suami saya kenapa?” tanya Arga tanpa basa-basi ketika sang dokter duduk di hadapannya dan Deva. Bu Ririn yang mengamati sedari tadi pun ikut menunggu jawaban dengan raut cemasnya.

Berdeham, Dokter Sean menatap Deva bersama eskpresi ragu di wajahnya. “Mas Deva, saya boleh nanya hal yang personal nggak?”

“Ngawur ya, anda?” protes Arga, “Deva udah punya suami, punya saya. Ngapain anda mau nanya hal personal ke dia? Gak ben—”

“Mas,” Deva menghentikan Arga yang mulai mengomel, “Dengerin Dokter Sean dulu bisa kan, Mas?” tuturnya lembut ke sang Alpha.

“Bener kata Deva, Ga.” Bu Ririn menimpali, “Kalau kamu gak bisa diem, mending kamu keluar gih. Biar Mama yang nemenin Deva.”

Deva menghela napas, kembali memusatkan atensi ke Dokter Sean. “Boleh, Dok. Ada apa ya?”

“Apa Mas Deva pernah menjalani operasi kelamin sebelumnya?” Dokter Sean bertanya hati-hati.

Arga memukul meja lalu berdiri sambil memandangi Dokter Sean dengan kilatan mata yang kesal.

“Jangan karena anda lihat suami saya cantik terus anda pikir kalau dia separuh laki ya!” protes Arga, “Sembarangan kalau ngomong.”

“Arga!” Bu Ririn menegur, “Kamu keluar sana! Ribut mulu di sini.”

“Gak,” Arga meraih tangan Deva. “Ayo, Dev. Kita ke dokter lain aja.”

“Saya hanya ingin memastikan,” Dokter Sean menengahi. Kembali menatap Deva yang jelas kaget akan pertanyaan tiba-tibanya.

“Saya sama sekali gak bermaksud menyinggung Mas Deva dan Pak Arga. Saya minta maaf,” ucapnya.

Deva mengangguk paham. Ia lalu mendongak, menatap Arga yang berdiri di sisinya. “Mas, duduk.”

“Tapi, Sayang—”

“Mas...” Deva memelas, “Aku mau dengerin Dokter Sean. Boleh ya?”

Arga pasrah. Melihat bagaimana Omeganya memohon membuat hatinya melemah. Alhasil, ia pun kembali duduk di kursi sambil menatap datar ke Dokter Sean.

Mendapati Arga kembali duduk memicu senyum lembut di bibir Deva. Ia mengusap jemari Arga yang masih setia menggenggam miliknya sebelum menoleh ke arah Dokter Sean di depannya.

“Saya udah kayak gini sejak lahir, Dok. Gak pernah operasi,” Deva mendesis pelan. “Kenapa, Dok?”

“Saya ingin memastikan karena saya menemukan ada rahim di perut Mas Deva saat USG tadi.” Dokter Sean pun menelan ludah, terlebih saat ia melihat ekspresi kaget Deva, Arga juga Bu Ririn.

“Andai Mas Deva pernah operasi, ini pastinya bukan hal yang akan bikin Mas Deva, Pak Arga dan Ibu kaget.” Lanjut Dokter Sean, “Tapi karena ternyata Mas Deva lahir sebagai pria dan memiliki rahim seperti wanita, saya harus jelasin kalau kondisi yang dialami sama Mas Deva ini dalam dunia medis dikenal dengan istilah PMDS.”

“Kejadian kayak gini langka, tapi bukan berarti gak bisa terjadi. Di Indonesia, Mas Deva jadi orang pertama yang ngalamin. Tapi di negara lain, udah ada pria yang mengalami PMDS sebelumnya.”

“Di Amerika, ada pria yang hamil, tapi dia memilih untuk operasi kelamin menjadi wanita. Karena sejak kecil dia sadar sisi feminim dalam dirinya lebih besar,” lanjut Dokter Sean. “Sementara itu, di Inggris, ada pria penderita PMDS yang justru memilih mengangkat rahimnya. Karena dia nggak bisa menerima dirinya sendiri sebagai pria tulen kalau dia bisa hamil.”

“Jadi maksud Dokter,” suara Deva agak bergetar. “Saya bisa hamil?”

Dokter Sean mengangguk, “Dari hasil USG tadi, saya ngeliat kalau Mas Deva sedang dalam kondisi hamil. Tapi saya gak bisa mastiin usia kandungan Mas berapa, itu udah ranah Dokter kandungan.”

“Pusing, mual dan muntah yang Mas Deva alami kemungkinan besar gejala morning sickness.” tutur Dokter Sean lebih lanjut, “Biasanya gejala ini terjadi sejak tiga Minggu sampai tiga bulan pertama kehamilan,” final-nya.

Deva mengeratkan genggaman tangannya dengan Arga, sedang sang Alpha yang menyadari jika suaminya tengah gugup bahkan takut lantas menahan napasnya.

“Kondisi yang suami saya alami ini kira-kira bisa membahayakan nyawanya gak, Dok?” tanya Arga.

“Untuk secara langsung, enggak. Tapi kalau testis Mas Deva udah gak turun, itu bisa merosot atau mengembangkan kanker. Pak. Jadi akan diperlukan operasi.”

Arga mendengus, “Testis suami saya normal-normal aja. Baru dua hari yang lalu saya emut—”

“Mas!” decak Deva kesal sambil menahan malu melihat Dokter Sean sibuk menahan tawanya.

“Jadi langkah yang harus saya ambil gimana ya, Dok?” tanya Deva sekaligus mengalihkan pembicaraan kotor Arga tadi.

Dokter Sean tersenyum lembut, ia sadar betul akan kekhawatiran Deva. “Semuanya kembali lagi ke Mas Deva kok. Mau milih hidup dengan rahim kayak penderita di Amerika yang saya ceritain tadi, atau justru memilih buat angkat rahim seperti orang di Inggris.”

“Karena yang paling penting dari efek PMDS ini bukan hanya soal kemungkinan penyakit penyerta, tapi tentang mental si penderita.” jelas Dokter itu, “Jangan sampai Mas Deva merasa berbeda terus tertekan, gak nerima diri sendiri.”

Berpikir sejenak, Deva kemudian melirik Arga. Sang suami tidak henti menatapnya. Setelahnya, ia kembali menoleh ke dokter Sean.

“Saya memilih buat nggak hidup seperti keduanya, Dok. Saya mau tetap jadi pria seperti sekarang, tapi saya nggak mau mengangkat rahim saya.” tegas Deva, “Hamil enggak bikin saya ngerasa kalau saya bukan pria seutuhnya kok.”

Dokter Sean kembali tersenyum, sedang Deva melanjutkan. “Saya hidup sebagai laki-laki sejak lahir dan bersikap selayaknya laki-laki sampai saat ini. Punya rahim itu bukan hal yang harus bikin saya malu, justru saya merasa spesial.”

“Saya juga yakin, orang tua dan suami saya bisa nerima kondisi saya sekarang.” timpal Deva lalu menoleh ke Arga, “Iya kan, Mas?”

Mata Arga berkaca-kaca. Ia pun mengangguk sebelum menciumi punggung tangan sang Omega. Setelahnya, Deva lantas melirik Bu Ririn. Nampak sang mertua masih kaget, tapi ia tersenyum haru diikuti anggukan mantap.

“Kalau gitu, saya akan alihkan Mas Deva ke Dokter kandungan ya?” Dokter Sean mencatat di kertas berisi rekam medis Deva.

Deva mengangguk, “Iya, Dok.”

“Selamat atas kehamilannya,” si Dokter menjulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Deva.

“Makasih, Dokter Sean.”

“Terima kasih kembali,” balasnya. “Suatu kehormatan karena saya bisa menangangani Mas Deva, apalagi dengan kondisi langka. Saya juga merasa spesial, Mas.”

“Kenapa anda malah ikut-ikutan ngerasa spesial sih?” decak Arga, “Jadi gimana? Saya sama suami saya udah boleh keluar nggak?”

“Boleh, Pak. Silakan,” sahut sang Dokter, “Nanti Mas Deva sama Pak Arga akan diantar perawat.”

“Oke,” kata Arga, “Makasih ya.”

Arga kemudian menuntun Deva yang telah berpamitan dengan Dokter Sean untuk berdiri lalu keluar dari ruang pemeriksaan. Sambil menunggu perawat yang akan mengantarkan mereka ke Dokter spesialis Obgyn, Arga pun membawa sang suami ke bangku panjang; masih dengan Bu Ririn.

“Kamu sama Mama duduk di sini dulu,” titah Arga yang disanggupi oleh Deva juga si paruh baya.

Tepat setelah Bu Ririn dan Deva menyamankan posisi di bangku, Arga lantas tersenyum saat sang Mama tiba-tiba membelai pipi Deva. Bu Ririn bahkan menciumi wajah suaminya itu bertubi-tubi.

Mendapat perlakuan demikian, Deva pun hanya terkekeh geli. Setelahnya, ia tersenyum ketika Bu Ririn menangkup wajahnya.

“Sebelum hari ini datang, Mama selalu berpikir kalau Mama siap mati kapan aja kalau Tuhan mau ngambil nyawa Mama.” lirih si paruh baya, “Mama tuh ngerasa kebahagiaan Mama udah lengkap semenjak kamu jadi suami Arga.”

“Ngeliat Arga bahagia dan selalu berusaha buat bahagiain kamu juga bikin Mama ngerasa tenang banget, Dev.” katanya, “Mama gak takut ninggalin Arga sama kamu.”

“Tapi pas Mama tau kalau kamu sekarang lagi hamil, Mama gak mau mati dulu sebelum liat cucu Mama lahir.” lanjut Bu Ririn lalu mengusap kepala Deva dengan mata yang berkaca-kaca, “Kamu sama bayi kamu sehat-sehat ya.”

Deva menggeleng, “Maaa, jangan ngomong gitu. Mama juga harus sehat-sehat sampai cucu Mama gede. Jangan mikir gitu lagi ya?”

“Iya, sayang.” air mata Bu Ririn menetes, Deva pun menyekanya.

“Mama kok nangis?” kekeh Deva agar tak berakhir ikut menangis.

“Mama seneng, terharu juga.”

Mengangguk paham, Deva lalu mendongak kepada sang suami yang berdiri di hadapannya. Arga menatap matanya begitu dalam.

“Kamu gak duduk, Mas?”

Arga menipiskan bibir sebelum duduk dengan posisi berlutut di depan kaki Deva, membuat sang Omega juga Bu Ririn tersentak. Persekian sekon berikutnya, Arga mengusap pelan perut Deva lalu mendaratkan kecupan di sana.

“Entar si adek bayi yang ada di sini cemburu kalau cuma kamu yang dicium-cium,” tutur Arga sambil mendongak, menatap wajah rupawan sang Omega.

Deva tersenyum, sedang jemari lentiknya membelai pipi Arga.

“Tapi Mas Arga belum nyium aku sejak pulang ke rumah tadi,” kata Deva dengan nada candaannya.

Arga tersenyum, menyejajarkan wajahnya dengan Deva hingga suaminya itu panik. Sedang Bu Ririn yang melihat tingkahnya lantas geleng-geleng kepala.

“Kamu mau aku cium di sini?”

“Mas Arga, ish!” Deva mendesis, “Aku bercanda. Jangan di sini.”

Arga tidak peduli. Ia mengecup singkat bibir tipis Deva sebelum mendekap tubuh sang Omega; wajahnya Arga tenggelamkan di perut Deva. Pasrah bukan lagi sebuah pilihan bagi Deva. Pun Bu Ririn yang menjadi saksi bisunya.

“Ahh! Mas! Ngh!”

Deva mencengkeram kuat sprei di bawah tangannya ketika Arga yang kini masih mengejar puncak kenikmatan duniawi tidak henti menubruk titik terdalam dirinya; membabi buta. Kedua kaki Deva sudah amat lemas, mengingat ia telah orgasme dua kali, terhitung saat mereka berhubungan intim di dapur lalu berlanjut di kamar seperti sekarang ini. Melelahkan, tapi Deva justru menikmatinya.

“Deva, i’m coming.”

“Mas Arga... Ahh... Hhh!”

“Aaaahh!”

Deva dan Arga lantas berdesah ketika sang Alpha telah sampai pada orgasme keduanya. Deva pun bisa merasakan bagaimana hangatnya air mani Arga yang kembali memenuhi lubangnya. Namun karena keluar terlalu banyak, Arga seketika bergegas mengeluarkan kelaminnya dari anal Deva. Arga lalu merangkak, berdiri dengan lututnya tepat di depan wajah sang Omega sambil mengurut kejantanannya di sana.

Deva yang telah paham maksud suaminya pun menjulurkan lidah. Ia dengan senang hati menerima sisa-sisa mani yang mengucur dari sana sebelum menelannya. Sama seperti yang Arga lakukan ketika ia orgasme duluan tadi.

Is it good?” Arga menyapu setitik cairan yang mengenai pipi Deva dengan ibu jari diikuti senyum.

Deva ikut tersenyum, “Asin.”

Terkekeh pelan, Arga kemudian membungkuk, melumat lembut bibir tipis suaminya. Keduanya berbagi ciuman sesaat sambil menetralkan degupan hebat di jantung, begitupun napas yang memburu akibat aktivitas panas.

Setelah cukup puas berbagi cium dan kecup mesra, Arga berguling ke sisi kanan Deva. Ia berbaring dengan posisi menyamping. Satu tangan ia luruskan, sedang yang lainnya bergerak guna menuntun kepala Deva agar menjadikannya bantal. Sementara Deva refleks memeluk erat pinggang Arga.

Kini sang Omega berakhir dalam dekapan Arga yang tak hentinya menatap lamat wajahnya. Mata Deva terpejam dengan nyaman, apalagi saat suaminya membelai lembut pipi kirinya dengan satu tangan yang terbebas sebelum diakhiri dengan kecup di kening.

“Saya sayang kamu,” bisik Arga.

Tutur sang Alpha membuat mata Deva yang semula terpejam pun seketika terbelalak. Ia kemudian menatap suaminya tak percaya. Terlebih saat Deva mengingat Bu Ririn pernah berkata bahwa Arga tidak pernah mengucapkan kata sayang bahkan kepada Mamanya.

Sementara itu, sang Alpha justru nampak begitu tenang. Tatapan teduhnya tenggelam di dalam netra kelam yang amat ia puja.

“Sejak pertama kita ketemu dulu, atensi saya selalu tertuju sama kamu.” timpal sang Alpha tanpa menunggu respon Deva, “Entah kenapa saya pengen jagain kamu dan ada buat kamu mulu, Deva.”

“Saya takut kamu dijahatin sama orang sampai-sampai saya ingin di samping kamu setiap waktu,” tuturnya lembut, “Saya gak mau kalau aja kamu berakhir disakiti.”

“Tapi kemarin, saya yang justru ngerasa udah jahatin kamu...” mata Arga berkaca-kaca, “Hati saya sakit pas ngeliat kamu sedih bahkan nangis karena ulah saya.”

Satu tangan Deva pun bergerak, mengusap punggung suaminya. Tidak berniat untuk memotong ucapan Arga yang begitu dalam.

“Gak ada kamu di samping saya rasanya hampa,” katanya. “Kayak ada yang hilang dari diri saya.”

“Sebaliknya, tiap ada kamu di sisi saya apalagi ngeliat kamu seneng sampai senyum tuh saya bahagia banget, Dev.” tutur Arga. “Natap wajah kamu kayak sekarang aja, saya selalu ngerasa lebih baik.”

“Mungkin ini yang kamu dan orang-orang sebut cinta. Saya gak tau,” sang Alpha tersenyum hambar, “Karena sejak kecil dulu, apa yang saya pikir cinta justru bikin saya dan Mama hancur.”

“Papa yang selalu nunjukin kalau perasaannya ke Mama itu cinta justru jadi orang yang bikin saya gak bisa percaya lagi sama cinta.”

Deva menahan napas. Lidahnya kelu hingga ia lantas bungkam saat tau alasan sesungguhnya kenapa Arga tak percaya cinta.

“Tapi saya tau kok kalau hati saya udah jatuh,” katanya, “Saya sadar betul cuma kamu yang bikin saya ngerasa kayak gini selama hidup.”

“I’m down bad for you,” jelas Arga, sedang Deva menyimak. “Kamu menangin hati saya sedari awal.”

“Saya hanya gak mau ketakutan saya soal cinta justru ngeganggu perasaan saya ke kamu,” jujurnya.

“Saya takut ketika saya percaya kalau perasaan saya ke kamu ini cinta, bayangan soal Papa saya datang lalu merusak semuanya.”

“Jadi yang selama ini saya lakuin cuma berusaha nyenengin kamu dan ngasih yang terbaik sebagai suami,” lirih Arga, “Saya pengen pernikahan kita baik-baik aja.”

Sang Alpha kemudian meraih jemari Deva. Menggenggamnya, lalu menciumi punggung tangan Omeganya itu beberapa detik.

“Tapi saya akan nyoba, Dev. Saya akan nyoba untuk percaya kalau cinta yang saya pikir cuma bikin hati saya terluka gak sejahat itu.”

Mata Deva lantas berkaca-kaca.

“Karena saya percaya kamu,” kata Arga, “Saya selalu percaya kamu.”

Arga kemudian menyampirkan rambut yang mengganggu mata Deva sejenak sebelum menghela napas. Ia kembali memandangi Deva lekat-lekat lalu bersuara.

“Soal Luna, hubungan saya sama dia tiga tahun lalu gak se-dalam itu.” sang Alpha bercerita, “Saya macarin dia juga tanpa perasaan apa-apa. Tapi karena dia selalu bersikeras pengen bikin saya percaya cinta, saya nerima dia.”

Jujur saja Deva kaget mendengar fakta itu, tapi ia tetap menyimak.

Arga menghela napas, “Saya liat usaha dia buat meluluhkan hati saya, meskipun saya gak pernah ngasih atensi dan afeksi ke dia.”

“Sampai pada akhirnya saya mau mencoba untuk menerima dia sambil mulai berusaha percaya kalau cinta itu ada,” lanjutnya.

“Waktu itu saya bahkan berani ambil keputusan mau ngelamar dia, karena saya pikir dia orang yang benar-benar tulus. Mama juga sayang sama dia,” jelas Arga.

“Beruntungnya, tepat di malam saya mau ngelamar Luna, saya ngeliat dia having sex sama CEO Techindo. Namanya Damian, dia mau kerjasama dengan Hardiyata Group juga karena usaha Luna.”

“Dan sebelum itu Mama emang udah bilang, Luna bakal dikasih promosi jabatan kalau kerjasama bareng Techindo ini berhasil.” katanya, “Mama bener-bener pengen berterima kasih sama Luna karena udah bantuin saya yang waktu itu masih CEO baru.”

“Ditambah lagi, sejak Luna jadi sekertaris saya, dia gigih dan rela ngelakuin apa aja supaya saya gak diremehin sama orang-orang yang meragukan saya.” Arga pun menghela napas, “Tapi ternyata dia ngelakuin itu ada tujuannya.”

Arga mencubit pelan dagu Deva.

“Sekarang kamu udah paham kan kenapa saya bilang kalau si Luna cuma manfaatin saya?” tanyanya dan dibalas anggukan oleh Deva.

“Malam itu, saya akhirnya sadar kalau Luna bukan orang yang tepat buat jadi istri saya. Dia gak setulus yang saya dan Mama pikirkan selama ini,” lanjut Arga.

“Saya bersyukur karena saya tau sifat busuk Luna sebelum saya ngelamar dia. Tapi sialnya, saya justru teringat sama perbuatan Papa pas ngeliat dia selingkuh.”

Deva mengulum bibirnya sesaat ketika mendengar suara Arga bergetar, nampak suaminya itu sedang menahan isak tangisnya.

“Bayangan gimana Papa tidur sama wanita lain di depan mata saya nyakitin saya,” tenggorokan Arga sakit, “Hati saya hancur banget kalau ingat kejadian itu.”

“Andai aja saya gak punya masa kecil yang pahit, kebencian saya sama Luna gak akan bikin saya sensi mulu ke dia seperti yang kamu bilang tiga hari lalu, Dev.”

“Saya cuma bakal gak suka sama kepribadian Luna yang bermuka dua dan manfaatin saya doang.” tuturnya. “Saya sama sekali gak menyimpan amarah dan belum move on dari rasa sakit gara-gara diselingkuhin dia. Karena sedari awal, saya gak menaruh hati atau pun memuja Luna sebagai pacar.”

“Tapi saya sakit karena dia bikin luka yang pengen saya sembuhin justru tambah parah.” lirih Arga, “Tiap kali ngeliat Luna, saya akan teringat sama Papa. Karena bagi saya, mereka orang yang sama. Mereka sama-sama selingkuh.”

“Dan saya gak akan pernah bisa menolerir orang-orang sejenis Papa.” katanya, “Saya bahkan gak mau berurusan sama mereka.”

“Makanya saya selalu menolak eskistensi Luna,” jelas sang Alpha, “Karena saya gak mau sakit lagi. Saya nggak mau ingat Papa lagi.”

Arga menarik napasnya sejenak lalu mendongak guna menahan laju air mata agar tak terbebas. Masih dengan Deva yang berada dalam dekapannya. Setelahnya, Arga kembali menatap si Omega.

“Saya minta maaf ya kalau kamu ngerasa saya ngebiarin masalah saya sama Luna tetap ada.” ucap Arga, “Sampai kamu mungkin mikir kalau saya masih terjebak di dalam bayang-bayang Luna.”

“Kamu benar, saya gak berdamai sama sakit dari luka masa lalu…” tutur Arga, “Tapi luka itu asalnya bukan dari Luna, karena sakit ini datang dari Papa saya sendiri.”

Arga menipiskan bibir sejenak,

“Saya nggak tau luka saya sejak kecil ini bisa sembuh atau gak,” ada kepasrahan dalam suaranya, “Rasanya sakit banget, Dev. Saya kalau denger kata selingkuh aja suka ketakutan sampai sesak.”

“Tapi kayak yang kamu bilang… Saya gak bakal bisa berbagi rasa sakit sama kamu kalau saya juga gak bisa menerima rasa sakit itu.”

Arga tersenyum meski wajahnya sedu, “Jadi saya akan nyoba buat menerima rasa sakit itu, Deva.”

“Bantuin saya ya? Temenin saya.” pinta Arga kepada sang Omega, “Saya gak bisa ngelewatin semua ini sendiri tanpa kamu,” katanya.

Anggukan menjadi awal respon Deva. Ia kemudian mengecup tulang selangka suaminya lalu berpindah ke rahang Arga dan berakhir di bibir. Sementara satu tangannya membelai pipi Arga.

“Aku ngerti, Mas. Gak mudah ada di posisi kamu. Pelan-pelan aja,” ia berusaha menenangkan Arga, “Sembuh itu juga butuh proses.”

Deva mengusap pipi Arga, “Kamu tuh laki-laki paling hebat yang pernah aku kenal tau gak, Mas?”

“Dibalik luka yang kamu simpan selama ini, kamu selalu berusaha buat nyenengin aku dan mikirin pernikahan kita. Padahal kamu sendiri lagi nggak baik-baik aja.” katanya, “Kamu kuat banget.”

“Tapi, Mas…” Deva melanjutkan ucapannya, “Kamu nggak harus selalu kuat di depan aku. Ya?”

Arga lantas meneteskan air mata.

“Kalau kamu lagi nggak baik-baik aja, ada bahu aku yang bisa kamu jadiin tempat bersandar.” timpal Deva, “Atau kalau kamu pengen nangis, ada lengan aku nih yang terbuka lebar buat meluk kamu.”

Deva menghela napas panjang.

“Aku mungkin emang nggak bisa nyembuhin luka kamu, Mas. Tapi aku bisa nemenin kamu melewati masa-masa sakit itu,” tegas Deva.

“Kamu punya aku, Mas. Kamu gak sendiri,” kata Deva lembut, “Aku mau kok jalanin susah dan senang sama kamu,” final-nya.

Arga tak mengatakan apa-apa, ia hanya tersenyum haru sebelum memeluk erat tubuh suaminya. Deva pun membalas dekap Arga tak kalah erat sambil menghirup wangi si Alpha yang ia rindukan.

“Mas Arga,” gumam Deva.

“Mm?”

“Makasih ya, udah sayang sama aku.” ucapnya, “Aku juga seneng kamu mau cerita gini sama aku.”

Arga mengangguk kecil sebelum mengecup puncak kepala Deva. Ada ruang di balik dadanya yang terasa sejuk setelah ia berbicara dengan Deva tentang isi hatinya; juga ketakutannya. Pun saat Arga mendengar respon Omeganya.

Cukup lama saling berpelukan, Deva yang tiba-tiba merasa jika tenggorokannya kering kembali bergumam, “Mas, aku haus deh.”

Arga terkekeh pelan lalu beralih memandangi wajah sang Omega, “Haus banget abis teriak-teriak pas kontol saya duet maut sama vibrator di lubang kamu tadi ya?”

“Ish! Mas Arga,” Deva tertawa sambil memukul pelan lengan suaminya, “Apaan, duet maut.”

Mengecup kening Deva sesaat, Arga kemudian bangkit. Menoleh ke arah nakas hingga mendapati bahwa botol air mereka kosong.

“Kamu udah haus banget?”

“Gak sih, Mas.” jawab Deva.

“Kalau gitu kita mandi dulu ya?” usul Arga, “Abis itu saya ke dapur ngambilin air, sekalian mungutin baju kita yang masih ada di sana.”

“Beneran mandi?” Deva skeptis, “Apa masih mau nambah lagi?”

Menahan senyumnya, Arga lalu bangkit dari ranjang sebelum menggendong Deva brydal. Arga tak mengatakan apa-apa sambil terus berjalan ke kamar mandi. Membuat Deva lantas merengek.

“Mas Arga, jawab aku. Beneran mandi apa masih mau nambah?”

“Emang kenapa kalau saya masih mau nambah?” ledek Arga, “Udah capek teriak pas saya ewe? Hm?”

Senyum Deva tertahan, “Nggak.”

“Terus?”

Mata Arga memicing kala melihat wajah Deva memerah. Persekian sekon berselang, Deva bersuara.

“Kalau kamu pengen nambah, aku mau digendong lagi, Mas. Kalau boleh,” cicitnya di akhir.

Arga tersenyum, “Kamu suka?”

“Mm,” gumam Deva malu-malu. “Tapi kalau Mas Arga capek, gak usah. Entar aja kapan-kapan.”

“Kita mau ngewe sampai besok pagi juga saya gak bakal capek.”

Netra legam Deva pun berbinar mendengarnya, “Jadi boleh, Mas?

“Iya, sayang.”

Detak jantung di balik dada Deva seakan berhenti saat sang Alpha memanggilnya sayang. Ia yakin telinganya tak salah menangkap.

Tapi kenapa tiba-tiba sih?

Deva salah tingkah, alhasil ia pun terdiam sambil menyembunyikan wajah di ceruk leher sang Alpha. Sementara itu, Arga yang sadar akan tingkah menggemaskan Deva hanya tersenyum sampai mereka tiba di kamar mandi.

“Lu kenapa malah kayak cewek yang lagi PMS sih?” oceh Dimas sambil menyodorkan botol kaca berisi air hangat kepada iparnya.

Deva yang kini tengah berbaring menyamping di atas ranjangnya pun meraih botol itu. Buru-buru ia meletakkannya di depan perut guna mengurangi rasa nyerinya. Deva mendesis pelan, sementara Dimas juga Davis yang berada di kamarnya memicing keheranan.

“Pokoknya besok kita ke dokter spesialis penyakit dalam,” tegas Davis, “Biar lu di-USG sekalian.”

Deva diam-diam gugup. Nampak jika Davis dan Dimas curiga akan rasa sakit akibat heat-nya. Kalau pun ia ke dokter, tidak akan ada alasan logis mengapa ia merasa kesakitan, pikir Deva. Dan hal itu akan mengundang asumsi lain dari orang tua, Abang dan Dimas.

“Perut gue emang sensitif gini, Bang. Abis salah makan langsung nyeri,” jelas Deva, “Gue juga udah periksa USG kemaren, tapi kaga ada apa-apa,” ia cengar-cengir.

“Tapi perut lu gak kayak gini dari dulu,” sela Davis, ia tetap kekeh.

Deva menelan ludah, “Mungkin gara-gara faktor U tau, Bang.”

“Faktor U apaan?” tanya Dimas.

“Faktor usia, tolol.” gumam Deva.

“Yang, dengerin Deva tuh. Masa dia ngatain aku tolol?” Dimas mengadu pada Davis, sedang sang suami hanya menggeleng pelan sambil mengulas senyum.

Persekian detik kemudian, atensi ketiga pria yang berada di dalam kamar Deva lantas tertuju pada suara mobil. Jelas jika kendaraan roda empat itu terparkir tepat di depan rumah. Membuat Dimas, Davis dan Deva menerka-nerka siapa yang bertamu malam ini.

Deva pun seketika memikirkan Arga, namun suaminya itu tidak membalas chat terakhirnya tadi. Arga juga tidak mengatakan apa-apa termasuk kapan sang Alpha ada waktu untuk menemuinya.

“Aku liat dulu ya,” tutur Davis lalu bangkit dari tempat tidur Deva.

Dimas dan sang empu kamar pun hanya memerhatikan yang lebih tua berjalan ke luar dari kamar. Sedang Davis lantas meneruskan langkah kakinya hingga ke pintu utama lalu membukanya lebar. Saat itu pula ia mendapati Arga keluar dari mobil, menghampiri presensi Davis di teras rumah.

“Ada perlu apa lu ke sini?” sengit Davis ketika Arga berdiri tepat di hadapannya. Tapi yang membuat Davis sedikit heran adalah sorot mata Arga yang nampak kosong. Iparnya itu bahkan terlihat lebih tenang, tidak banyak oceh dan protes. Beda dari yang ia kenali.

“Saya mau ketemu Deva,” sahut Arga, sedang Davis mendengus.

“Kenapa?” Davis melipat lengan di depan dada, “Kolega lu udah nanyain di mana suami lu? Atau wartawan udah gosipin lu karena gak ada Deva di samping lu?”

Arga diam. Melihat dari sorot mata Davis, Arga paham bahwa kakak dari suaminya itu marah.

“Gitu kan Deva di mata lu?” Davis melanjutkan, “Lu cuma jadiin dia suami di depan orang, padahal lu sendiri gak nerima adek gue jadi suami. Gue tau kok masalahnya.”

Satu tangan Davis mengacung, menunjuk tepat di wajah Arga.

“Udah sejak awal gue gak pernah percaya sama lu. Gue tau lu gak serius sama Deva yang waktu itu baru lu kenal sebulan lebih buat lu jadiin suami,” Davis berapi-api.

“Tapi lu ngeracunin Deva sama orang tua gue dengan komitmen sampah lu itu!” ia menekankan.

“Sekarang yang gue takutin dari dulu udah terjadi. Lu cuma bikin Deva sedih sampai nangis karena dia ngerasa gak diterima sebagai suami sama lu,” Davis menimpali.

Arga masih menyimak, namun bola matanya telah memerah.

“Gue paham sama luka lu, Arga. Gue tau di sini lu sama sekali gak ada niat buruk ke Deva. Bahkan adek gue selalu bilang kalau dia bahagia nikah sama lu,” tuturnya lalu menghela napas kasar, “Tapi yang gue anggap salah total dari tindakan lu itu adalah keputusan lu buat nikahin Deva sebelum lu berdamai sama sakit lu sendiri.”

“Saya minta maaf.”

Gumaman lirih Arga membuat Davis seketika membuang muka ke arah lain. Ia mengatur napas.

“Dulu gue udah pernah ngasih peringatan kan sama lu? Kalau sampai gue denger Deva sedih karena lu, jangan harap ada pintu maaf buat lu,” Davis menegaskan.

“Tolong izinin saya ketemu Deva. Sebentar aja. Deva juga bilang mau ketemu saya,” pinta Arga.

“Gak malam ini,” kata Davis. “Gue gak ngizinin. Deva lagi sakit di kamarnya, yang ada adek gue malah makin sakit gara-gara lu.”

Arga menghela napas pelan lalu berjongkok hingga ia berakhir bersimpuh di depan kaki Davis.

“Saya mohon,” pinta Arga yang membuat Davis lantas tersentak.

Sosok Arga yang Davis kenal tak ingin dianggap rendah kini justru nyaris bersujud untuk menemui Deva. Arga yang selalu ia anggap sombong seolah tidak lagi peduli jika tempatnya bersimpuh adalah lantai dari rumah sederhananya.

Bersamaan dengan itu, Dimas dan Deva yang datang dari arah ruang tamu terbelalak. Sebab mereka menyaksikan bagaimana Arga mendongak dengan tatapan memohon kepada Davis di teras.

“Mas Arga!”

Deva lantas berlari menghampiri sang suami. Ia kemudian buru-buru menuntun Arga tuk berdiri. Setelahnya, ia lalu memandangi wajah sendu Alpha-nya itu. Deva bisa melihat betapa kacau figur yang kini berdiri di sampingnya.

“Ada apa sih, Bang?” tanya Deva, “Kenapa Mas Arga dibiarin gini?”

“Biar dia bisa mikirin kesalahan dia,” Davis memberi penekanan.

“Kak, udah dong. Kamu tenang dulu. Jangan emosi,” Dimas pun menarik lengan suaminya, “Kita masuk sekarang. Biarin mereka ngobrol berdua,” Dimas melirik Arga sebelum berakhir ke Deva.

“Gue duluan,” pamit Dimas.

Deva mengangguk. Ia kemudian mendongak pada sang suami.

“Maafin Abang aku ya, Mas.”

Arga tidak menjawabnya dengan frasa, namun ia mendekap erat tubuh Deva yang lantas terdiam. Saat itu pula rasa nyeri di perut Deva mereda. Sayangnya, sesak di dadanya justru tiba-tiba hadir.

“Saya minta maaf, Deva.”

Deva mengusap pelan punggung Arga, “Kita ngobrol di mobil ya?”

Arga mengangguk, membiarkan Deva menarik diri dari pelukan yang ia berikan. Setelahnya, Arga pun berjalan ke arah mobil. Tidak lupa membuka pintu mobil untuk Deva terlebih dahulu lalu masuk.

Ketika kedua anak manusia itu berakhir duduk bersisian di jok depan, keheningan memenuhi atmosfer untuk beberapa saat. Sampai ketika Deva merasakan bagaimana jemarinya tiba-tiba digenggam oleh Arga, ia lantas menoleh. Menatap lamat Arga.

“Saya minta maaf udah marah kayak kemarin sama kamu...”

“Saya neriakin kamu, saya bikin kamu sedih, bikin kamu nangis.”

Arga menelan ludahnya sekuat tenaga, “Saya juga minta maaf karena udah bikin kamu merasa kalau saya belum nerima kamu.”

Deva lantas mengangguk pelan, “Aku juga minta maaf ya, Mas.”

“Maaf udah bikin kamu ngingat lagi luka yang bikin kamu sakit.”

Mata Deva berkaca-kaca, “Maaf juga karena aku ternyata belum ngertiin kamu lebih jauh, Mas.”

Arga menggeleng pelan, “Saya yang gak ngertiin kamu, Dev.”

Air mata seketika mengalir deras di pipi Deva. Ia menangis tanpa mengeluarkan suara, membuat dadanya seperti dipukuli baja. Arga dengan sigap menyeka air mata Deva. Ia pun merasakan hal serupa, dadanya semakin sesak.

“Kita pulang ya?” pinta Arga lirih, Ibu jarinya masih membelai pipi Deva, “Kita jalanin pernikahan ini sama-sama lagi ya, Dev? Supaya saya bisa lebih ngertiin kamu...”

“Saya juga pengen jadi suami yang baik buat kamu,” katanya.

“Mas, kamu udah jadi suami yang baik buat aku.” Deva lalu meraih tangan Arga di pipinya, beralih menggenggamnya. “Kamu udah ngasih aku waktu kamu, atensi kamu, dan itu bikin aku bahagia.”

“Kamu benar-benar melakukan tanggung jawab kamu sebagai suami kayak yang kamu bilang sebelum kita nikah dulu,” timpal Deva, “Tapi aku gak bisa bohong kalau kemarin aku sedih banget, karena ternyata ada luka besar yang kamu simpan sendirian dan kamu gak pernah bilang ke aku.”

“Makanya aku jadi ngerasa kalau kamu belum nerima aku,” Deva mengulum bibirnya sejenak guna meredam isaknya, “Tapi selama tiga hari ini aku mikirin soal kita sambil bayangin di posisi kamu.”

Deva tersenyum hambar, masih dengan pipinya yang dibanjiri air mata. “Sejak awal, kita nikahnya karena status Alpha dan Omega, tanpa adanya perasaan apa-apa. Bahkan baru kenal satu bulanan lebih sebelum mutusin nikah…”

“Aku paham nggak mudah buat kamu ngasih tau aku tentang hal yang secara gak langsung udah jadi trauma kamu.” jelasnya, “Jadi kamu memilih buat nge-jalanin peran kamu sebagai suami aku dengan ngasih yang terbaik demi keseriusan pernikahan kita ini.”

Arga setia menyimak, sementara Deva mulai terisak. Begitu pilu.

“Rasanya egois kalau aku minta kamu buat berbagi sakit yang belum bisa kamu terima. Aku kayak ngasih kamu luka baru, padahal yang lama aja belum sembuh.” suara Deva bergetar.

“Tapi di saat yang sama, aku juga bakal ngelukain diri aku sendiri kalau menyangkal perasaan aku. Karena rasa gak diterima bahkan dianggap orang asing pasti ada,” katanya, “Kamu juga selalu bilang kan, gak suka orang pura-pura?”

Deva lalu menunduk, menarik tangan Arga yang ia genggam lalu menciuminya sejenak sambil menangis. Sedang Arga terdiam.

“Mas,” panggil Deva saat kembali menatap wajah Arga, “Aku nggak pengen egois dengan bikin kamu merasa terbebani untuk terbuka ke aku cuma buat ngertiin aku.”

“Aku juga gak mau kalau aja kamu melakukan tanggung jawab kamu sebagai suami cuma buat mikirin kenyamanan aku,” ia menimpali, “Itu bakal nyiksa diri kamu, Mas.”

“Tapi aku juga gak bisa ngeliat orang yang aku cintai masih dibayang-bayangi sama masa lalu,” tutur Deva yang secara tidak langsung mengutarakan perasaannya. Arga pun tercekat.

“Kalau aku pulang dengan luka kita yang masing-masing masih ada, bakal banyak yang berubah dari hubungan kita, bahkan bisa ber-efek sama pernikahan kita.”

“Gak menutup kemungkinan juga kita bakal berantem lagi kayak kemarin untuk hal yang sama.” jelas Deva di sela tangisnya, “Kita cuma bakal saling nyakitin nanti.”

“Jadi aku bakal biarin kamu buat berdamai dulu sama sakit dari luka masa lalu kamu,” lirih Deva.

“Karena kamu enggak akan bisa berbagi rasa sakit sama aku kalau kamu sendiri belum bisa nerima rasa sakit itu,” terang si Omega.

“Aku bakal nunggu kamu, Mas.” Deva membelai lembut pipi kiri Arga, “Aku selalu nunggu sampai kamu benar-benar nerima aku untuk berbagi suka dan duka.”

“Kamu gak perlu cinta sama aku,” Deva tersenyum di tengah tangis tertahannya, “Aku tau, perasaan gak bisa dipaksa. Aku cuma mau kamu bisa menerima aku kok.”

“Kalau emang ternyata nanti kamu ngerasa kalau aku bukan orang yang tepat buat dijadiin tempat berbagi dan nggak bisa kamu terima untuk ngerasain suka dan duka sama-sama…”

“Bahagia kamu mungkin bukan di aku, Mas.” Deva tersengguk-sengguk, “Dan aku siap kalau pada akhirnya kamu pengen memilih buat pisah dari aku.”

Deva kembali menggenggam tangan Arga sambil menunduk, memandangi jemari mereka yang bertautan. Sebab ia melihat Arga juga telah menitikkan air mata.

“Mungkin dengan gitu juga aku bisa nunjukin ke kamu cinta itu beneran ada,” tutur Deva, “Aku akan merelakan kamu bahagia meski bukan dengan aku, Mas.”

“Aku cuma pengen kamu bahagia dan merasa you’re worth to love. Aku gak mau kamu sakit, Mas.”

“Jadi aku gak akan biarin kamu tersiksa dengan mengemban tanggung jawab sebagai suami untuk orang yang nggak kamu terima dari hati,” pungkas Deva.

“Karena sebesar apapun usaha aku buat bikin kamu ngerasain cinta itu, kalau hati kamu masih tertutup juga gak akan mungkin.”

Deva menghela napas panjang lalu menyeka kedua pipinya. Ia kemudian kembali memandangi Arga sambil mengusap bahunya.

“Sekarang kamu pulang ya, Mas. Udah malem nih,” Deva berusaha menghentikan tangisnya, “Mama juga bilang kemarin—kalau kamu tuh lemes. Jangan begadang lagi.”

“Kabarin aku kalau kamu udah nyampe di rumah,” tutur Deva, “Aku masuk sekarang ya, Mas. Kamu hati-hati, jangan ngebut.”

Deva berbalik badan, sementara satu tangannya meraih handle pintu mobil. Ia bersiap untuk segera keluar sekaligus melepas tangis yang kembali ingin bebas. Namun hanya persekian sekon setelahnya, pergerakan Deva terhenti kala Arga memeluknya. Dekapan sang suami begitu erat, bersamaan dengan isakan Arga yang tiba-tiba menggema keras.

Arga menumpahkan tangis yang sedari tadi ditahannya. Ia tidak mampu lagi membentengi diri untuk tetap terlihat tegar saat ini. Arga telah menunjukkan sisi lemahnya di hadapan si Omega.

Tangis pilu Arga membuat Deva lantas membalas dekapan sang Alpha. Hatinya kemudian makin tersayat ketika mendengar Arga bergumam di dekat telinganya.

“Deva... Saya… Sakit…”

Arga tersengguk-sengguk hingga nyaris tidak mampu berbicara lagi dengan semestinya, “Saya… Nerima… Kamu… Sejak awal…”

“Saya gak terbebani melakukan tanggung jawab saya,” katanya, “Saya melakukan itu dari hati.”

“Jangan pergi… Saya… Sakit…”

“Saya sakit kamu pergi, Dev.”

“Mas...” Deva kian mengeratkan pelukannya di tubuh suaminya. Ia ikut menangis sambil berkata, “Aku di sini, Mas. Aku gak pergi.”

“Saya… Mau pulang sama kamu,” kata Arga di sela isak tangisnya.

“Kamu pernah bilang bakal selalu nemenin saya sampai saya ngaku percaya cinta,” wajah sang Alpha semakin tenggelam di leher Deva hingga suaranya nyaris teredam.

“Temenin saya… Jangan pergi…”

Deva hanya mampu mengangguk pelan. Sebab frasa tidak bisa lagi terucap karena terkalahkan oleh jerit kesedihan. Begitu juga Arga. Alhasil, keduanya menghabiskan waktu puluhan menit di dalam mobil hanya dengan berpelukan dengan pipi dibanjiri air mata.

Sampai saat isakan mereka pun mulai mereda, suara perut yang keroncongan justru menggema. Membuat Deva tersentak hingga menarik dirinya dari sang Alpha.

“Mas? Kamu belum makan sejak ngabarin aku di chat tadi?” raut khawatir menghiasi wajah Deva.

Arga mengangguk. Setelahnya, ia bersandar di badan kursi sambil memijat kening. Sementara Deva yang melihatnya lantas terkekeh. Nampak jika suaminya itu malu.

“Ayo, kamu makan dulu di dalem. Sekalian sambil nunggu Ibu sama Bapak dateng dari rumah Tante, buat izin pulang ke Mama nanti.”

Penuturan Deva membuat netra cokelat Arga berbinar bahagia, “Kamu mau pulang sama saya?”

“Mm,” gumam Deva, “Aku udah bilang kan gak mau kamu sakit?”

“Saya juga gak mau kamu sakit,” Arga meraih tangan Deva lalu menciuminya, “Cukup kemarin saya nyakitin kamu, Dev. Maaf.”

Deva tersenyum, “Udah. Perut kamu sakit nanti kalau makan malemnya telat banget, Mas.”

“Deva,” Arga menatapnya lamat.

Alis Deva terangkat, “Apa?”

“Makasih.”

“Karena aku mau pulang sama kamu?” Deva senyum meledek.

Arga menggeleng pelan, “Karena kamu udah cinta sama saya, Dev.”

“Emang Mas Arga udah percaya cinta?” tanya Deva, ia berdebar.

“Saya gak percaya cinta,” sahut Arga, “Tapi saya percaya kamu.”

Deva menghela napas pelan lalu tersenyum tipis diikuti gelengan. Namun ketika Arga membingkai wajahnya, tubuh Deva memanas. Tidak seperti respon yang biasa ia rasakan ketika terangsang, tapi Deva justru merasakan panas itu menjalar dari tubuh Arga. Seperti ada energi yang memasukinya.

Sampai saat Arga mendaratkan kecupan di keningnya, panas di tubuh Deva berganti jadi hangat. Sementara rongga dadanya di dalam sana justru terasa sejuk. Aneh, namun ia menikmatinya.

“Kamu bikin saya lemes kalau lagi marah,” kata Arga setelah mengecup kening Omeganya.

Deva tertawa ringan, “Gimana? Masih pengen liat aku marah?”

“Gak,” sahut Arga, “Saya pengen makan aja di dalem. Saya laper.”

“Ya udah. Ayo, Mas.”

“Aku bisa bikin kamu percaya cinta,” tutur Luna yang sedang duduk di hadapan sang CEO.

Arga mendengus. Semenjak Luna tau jika ia tidak pernah percaya akan cinta membuat sekertaris pribadinya itu kerap membahas topik yang baginya tak menarik.

“Caranya?” sahut Arga.

“Aku bakal bikin kamu jatuh cinta,” Luna melipat lengan di atas meja. Ia menahan senyum.

Bola mata Arga memutar malas, “Kalau kamu bisa, kenapa gak dari dulu coba saya jatuh cinta sama kamu? Udah setahun lebih kamu kerja sama saya, tapi saya malah pengen kamu resign aja.”

Senyum di bibir Luna masih setia terpatri. Meski ucapan atasannya itu mencelis hatinya, namun ia yang sudah paham tentang sikap Arga tidak mau ambil pusing lagi.

“Karena kamu gak mau nyoba buka hati kamu, Ga. Kamu gak mau ngasih kesempatan buat orang lain untuk masuk ke sana.”

Luna menghela napas, “Ga, love is exist. Tapi kamu gak bakal bisa ketemu sama eksistensi cinta itu kalau kamu sendiri gak percaya.”

“Kamu macarin orang-orang di luaran sana cuma buat buktiin apa cinta itu beneran ada, tapi kamu sendiri tau gak cinta itu gimana?” timpal sang sekertaris.

“Gak,” singkat Arga, “Emang cinta menurut kamu kayak gimana?”

“Cinta menurut aku itu ketika aku rela ngelakuin apapun buat liat orang yang aku suka maju.”

“Kamu mau bilang kalau kamu suka sama saya?” Arga menatap lurus ke dalam netra madu Luna.

“Visi kamu jadi sekertaris dari CEO baru yang gak kompeten kayak saya sedari awal buat liat saya maju kan?” Arga menebak.

“Kalau aku bilang iya, kamu mau gak ngasih aku kesempatan buat bikin kamu percaya sama cinta dan masuk ke hati kamu, Ga?”

Arga seketika bersandar di badan kursinya. Matanya masih tertuju pada Luna yang terlihat tenang.

“Kenapa kamu pengen bikin saya percaya cinta? Kamu bisa nyari orang yang udah percaya cinta buat jadi pacar kamu,” kata Arga. “Gak usah bikin hidup kamu yang udah susah itu makin susah deh.”

Because I care for you, Ga.” jawab Luna, “Aku emang gak tau alasan sampai kamu gak percaya cinta.”

“Bisa jadi karena pengaruh Mama sama Papa kamu pisah. I guess?”

Arga hanya terdiam, sementara Luna melanjutkan penuturannya.

“Aku juga anak yang gak dapet cinta dari orang tua aku,” tutur Luna, “I know how it feels, Ga.”

“Tapi kamu tau gak? Ketika kamu dapet cinta dari orang lain yang begitu tulus, it feels so good.”

“Dan aku udah dapetin itu dari Mama kamu. Bu Ririn bener-bener bikin aku ngerasa dapet cinta dari orang tua,” jelas Luna sebelum ikut bersandar di kursi.

“Aku pengen kamu ngerasain itu juga, Arga. Aku tuh pengen kamu ngerasa dicintai dengan tulus sampai kamu ngerasa kalau cinta itu beneran ada dan luar biasa.”

Arga tersenyum hambar, “Kamu tau. Gak mudah buat jadi pacar saya, Lun. Apalagi posisi kamu sebagai sekertaris saya di sini.”

“Saya gak mau orang kantor tau kalau kita punya hubungan yang lebih dari atasan dan bawahan.” jelas Arga, “Saya juga gak bisa menjanjikan kamu apa-apa. Jadi kalau kamu berharap saya bakal give you my affection for 24/7 you’re wrong. So? Kamu bisa?”

“Aku gak bakalan tau kalau aku belum nyoba,” balas Luna, “Tapi kayaknya gak bakal susah buat aku. Setahun lebih kerja sama kamu bikin aku ngerti kamu, Ga.”

“Ya udah,” Arga pun mengangkat pundak, “Bilang kalau kamu udah capek bikin saya percaya cinta.”

Luna terbelalak, “Jadi kamu mau pacaran sama aku? Serius, Ga?”

“Saya cuma mau ngasih kamu kesempatan sebelum kamu juga angkat tangan kayak mantan-mantan saya,” ucap Arga, “Saya udah ngasih kamu peringatan. Jadi kalau suatu saat nanti kamu nyesel, itu pilihan kamu sendiri.”

“Aku gak bakal nyesel,” kata Luna diikuti senyum yang amat cerah, “Karena aku yakin kamu bakalan jatuh cinta sama aku nanti, Ga.”

Sementara itu Arga hanya diam sebelum memusatkan atensinya ke layar MacBook. Mengabaikan Luna yang kembali mengoceh tentang berbagai macam hal.

Seperti biasa. Arga pun hanya akan menyahut jika itu tentang pekerjaan atau menurutnya hal yang dikatakan Luna perlu untuk ia respon. Sebab sang sekertaris hanya akan mengomel jika Arga lalai dalam tugas sebagai CEO yang baru satu tahun ia emban.

“Ga, besok ada meeting penting soal kerjasama Hardiyata Group bareng Techindo. Kita harus bisa yakinin mereka kalau proyek yang kamu usulin bakal goal ya?”

“Mm,” gumam Arga.

“Aku bakal selalu ada di samping kamu. Pokoknya aku bakal kerja keras juga supaya orang-orang yang kemarin ngeremehin kamu bisa gigit jari,” semangat Luna.

Arga akhirnya mendongak lalu menatap Luna datar, “Luna.”

“Apa?” Alis Luna terangkat.

“Kamu cringe,” sahut Arga lalu bangkit dari kursinya, “Saya mau ke kantor Mama dulu. Kalau ada yang nyariin, telepon saya aja.”

“Gak mau aku temenin?” tawar Luna yang kini telah ikut berdiri.

“Ngapain? Emang saya anak kecil pake ditemenin,” decak CEO itu sebelum melenggang pergi dari ruang kerjanya. Sementara Luna hanya menghela napasnya pelan.

Luna tau meruntuhkan tembok es seperti Arga tak akan mudah. Namun ia selalu meyakinkan diri bahwa suatu saat usahanya tidak akan pernah berkhianat. Ia hanya perlu lebih sabar menghadapi si pemilik lesung pipi, pikir Luna.

Seperti sekarang, ia bahkan telah berhasil mendapat kesempatan untuk membuat Arga jatuh cinta.


“Ga, hari ini ulang tahun Luna loh. Kamu samperin anaknya gih ke kantor atau apartemen-nya.”

Arga yang sedang mengunyah makan siangnya bersama Bu Ririn di restoran steak langganan mereka pun menghela napasnya. Keduanya baru saja sampai di Ibu kota setelah perjalanan dinas dan memilih untuk makan bersama.

“Abis ini aku ada meeting di luar, Ma. Pulangnya paling maleman. Orang Techindo sekalian ngajak makan malam soalnya,” sahutnya.

“Arga,” Bu Ririn menatap wajah putra semata wayangnya lamat, “Kita itu bisa kerjasama bareng Techindo juga karena kegigihan Luna dulu. Kamu gak lupa kan?”

“Dia yang meyakinkan CEO-nya Techindo supaya percaya sama kemampuan kamu,” timpalnya.

“Sampai kapan sih kamu pengen bersikap kayak gini sama Luna?” oceh Bu Ririn, “Dia pacar kamu, Ga. Kalau kamu gak nunjukin perhatian sama afeksi kamu ke dia, hubungan kalian juga bakal berakhir kayak pacar kamu yang kemarin-kemarin. Kamu mau?”

“Luna itu baik dan bisa ngertiin kamu. Dia selalu ada buat kamu. Dia tuh tulus banget nge-jagain kamu meskipun kamu suka cuek ke dia. Apa lagi yang kamu cari?”

Arga tersenyum, membuat Bu Ririn yang melihat hal itu pun tersentak. Sebab baru kali ini ia melihat sang anak mengulas senyum manis seperti sekarang.

Dalam hati Arga menyetujui ucap sang Mama. Ia mulai bisa melihat ketulusan Luna juga bagaimana pacarnya itu menerima dirinya yang tak pandai menunjukkan afeksi-nya kepada orang lain.

“Tuh. Kamu senyam-senyum kan karena Luna?” ledek Bu Ririn.

Bu Ririn menghela napas, “Mama pengen dia jadi menantu Mama.”

“Dia bakal jadi menantu Mama kok,” balas Arga yang membuat kedua mata Bu Ririn berbinar.

“Aku mau ngelamar Luna besok, sekalian ngasih ucapan belated birthday sama ucapan selamat karena bentar lagi jadi manager.”

“Kok besok? Hari ini aja,” decak Bu Ririn, “Biar Mama yang hadir di acara makan malam Techindo.”

“Yakin?” Arga menyipitkan mata, “Tau-tau pulang ke rumah nanti malah ngeluh pinggang encok.”

“Yakin,” mantap Bu Ririn, “Demi hubungan kamu sama Luna, Ga.”

“Ya udah,” pasrah Arga.

Lagi. Arga tersenyum. Keputusan Arga untuk melamar Luna bukan perkara mudah. Sama seperti ia memilih untuk mulai percaya jika cinta itu ada setelah melihat tiap usaha Luna. Namun Arga akan meyakinkan dirinya kalau wanita itu adalah pilihan yang tepat.


Arga memarkirkan mobilnya di basement apartemen pacarnya. Sebelum datang tadi, Arga telah menanyakan di mana posisi Luna sekarang. Mengetahui bahwa si sekertaris masih di jalan pulang membuatnya diam-diam datang lebih awal guna menunggunya.

Arga pun tidak memberitahu Luna bahwa ia ke apartemen sang pacar. Sebab Arga akan menjalankan misi surprise yang disusun oleh Bu Ririn untuknya.

Kini Arga menunggu kedatangan Luna. Posisi mobilnya yang tak jauh dari lift—yang biasa Luna pakai untuk masuk ke gedung apartemen—membuat Arga bisa mengamati keberadaan Luna.

Sampai tak lama berselang, Arga dibuat menyipitkan mata ketika mendapati mobil CEO Techindo terparkir beberapa meter dari mobilnya. Tapi Arga bisa melihat dengan jelas bahwa Luna ada di sana. Luna duduk berdampingan dengan sang kolega perusahaan.

Persekian sekon berikutnya, Arga tersentak saat melihat Luna dan pria bernama Damian itu tiba-tiba berciuman. Jantung di balik dada Arga pun berdegup makin kencang ketika mendapati Luna dan Damian perlahan membuka pakaian mereka di dalam sana.

Jemari Arga pun bergetar hebat. Ingatan tentang bagaimana Arga kecil yang kala itu masih berusia sepuluh tahun juga mendapati Papanya tidur dengan wanita lain ketika sang Mama sedang dinas ke luar kota pun terbayang.

Trauma itu amat membekas di dalam benak Arga. Rasa sakit yang Arga yakini akan segera terobati justru kembali mencuat ketika ia melihat sang pacar di depan sana melakukan hal yang sama. Napas Arga pun memburu, sedang badannya terasa lemas.

Satu hal yang bisa Arga lakukan saat ini hanya berteriak sambil menangis. Rambutnya ia tarik. Sama seperti yang Arga kecil lakukan dahulu. Keyakinannya tentang eksistensi cinta pun semakin hancur. Baginya, cinta hanya sebuah kata tanpa makna.

Cinta hanya fiktif belaka.

Air mata dan isakan Arga pun terus mengalir bersama bayang-bayang perlakuan bejat Papanya yang enggan pergi. Arga bahkan nyaris lupa waktu hingga hampir tidak menyadari bahwa aksi tak senonoh antara Luna dengan si kolega telah usai. Menyadari jika Luna berjalan masuk ke gedung apartemen, Arga lalu menyusul tidak lama setelahnya. Ia hanya ingin mengakhiri semuanya.

“Luna.”

Langkah Luna terhenti ketika ia mendengar suara Arga. Alhasil, Luna berbalik sebelum terbelalak mendapati Arga menghampiri.

“Ga, sejak kapan—”

“Jadi gini cara kamu nge-yakinin CEO Techindo?” Arga tersenyum miris setelah memotong ucapan Luna, “Murahan ya kamu, Lun.”

Luna terdiam dan membeku.

“Kamu gak ada bedanya sama orang-orang bermuka dua di kantor,” lanjut Arga, “Kamu baik sama saya cuma buat manfaatin saya dan Mama saya kan? You did well, anyway. Kamu bentar lagi jadi manager loh. Good job, Lun.”

“Kamu kan udah dapet apa yang kamu mau. Kenapa kamu nggak bilang sama saya kalau kamu tuh udah capek bikin saya percaya cinta? Apa ada rencana lain ya?”

“Ga, gak gitu. Aku—”

Arga menghempaskan tangan si sekertaris yang meraih miliknya.

“Saya gak mau denger apa-apa dari kamu,” tegas sang CEO.

“Mulai saat ini jangan pernah ngomong sama saya lagi di luar urusan pekerjaan,” kata Arga lalu berbalik hendak meninggalkan Luna. Namun langkahnya lantas terhenti saat Luna berteriak.

“Oke! Aku salah!” Luna kemudian terisak, “Aku salah karena udah khianatin kepercayaan kamu.”

“Tapi bukan karena niat gak baik yang bikin aku kayak gini, Arga! Aku sama sekali gak pernah ada pikiran buat manfaatin kamu.”

“Arga!”

“Arga!”

Luna terus berteriak, tapi Arga tidak peduli. Arga hanya terus melanjutkan langkahnya. Tidak ingin tau apa-apa lagi dari Luna.