Beautifully
Arga bergegas membuka pintu kamar hotelnya—dengan Deva—tepat setelah kembali dari toko obat. Saat itu pula ia mendapati Deva sedang asik duduk di sofa panjang yang bersisian dengan jendela. Nampak jika sang Omega menikmati gemerlap malam yang ditawarkan oleh Ibukota Jepang.
“Mas,” Deva menyambut Arga dengan senyum paling manis.
Tanpa menyia-nyiakan waktunya untuk terus memandangi wajah Deva, Arga kemudian meletakkan kantongan obat yang dibawanya di atas meja. Setelahnya, ia lantas menghampiri Deva. Memberikan pelukan hangat dibumbui kecup; mulai dari dahi, pipi sampai bibir. Tak lupa pula ia mengelus perut Deva lalu menciuminya sejenak.
Sementara itu, Deva hanya diam dan menerima perlakuan suami tercintanya sambil tersenyum. Terlebih ketika Arga yang telah duduk di sampingnya kini mulai memeriksa suhu tubuh di bagian leher dengan punggung tangan.
“Badan kamu udah nggak hangat kayak tadi,” raut lega tak mampu lagi bersembunyi di wajah Arga.
“Ya lagian aku udah bilang, Mas.” kekeh Deva, “Kamu gak percaya.”
“Bukan gak percaya, tapi kamu mana bisa ngukur suhu tubuh kamu sendiri kalau aja tangan kamu masih anget.” sela Arga.
Deva tersenyum tipis, sementara Arga beralih membelai pipi sang Omega. Namun persekian detik berikutnya, mata Arga menyipit.
“Kamu kok kayak abis nangis?” selidik si Alpha, “Sembab gini.”
Deva lantas meraih tangan Arga, menggenggamnya masih dengan garis melengkung di sudut bibir.
“Tadi aku mewek gara-gara liat kamu ngirim emoticon love tau, Mas.” cerita Deva. “Aneh ya, aku sensitif terus emosional banget akhir-akhir ini. Gitu aja nangis.”
Arga menatap Deva lekat-lekat, “Pasti berat banget punya suami yang gak ngerti soal cinta kayak aku ya, Dev? Gak romantis, gak bermulut manis. Tapi kamu tuh sabaaaar banget ngadepin aku.”
“Mas, kamu jangan ngomong gitu dong.” pinta Deva, matanya pun memanas. “Ntar aku nangis lagi.”
“Nangis aja,” kata Arga, “Kan ada aku yang bisa meluk kamu, Dev.”
Terkekeh pelan, Deva kemudian mendekap erat tubuh suaminya. Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Arga lalu bergumam.
“Gak berat kok punya suami baik dan pengertian terus mau belajar kayak kamu, Mas.” nada suaranya dipenuhi dengan kesungguhan.
“Justru aku bersyukur tau punya kamu,” timpal Deva. “Kamu mau nerima aku dan selalu bikin aku ngerasa dicintai kayak gini udah gak ternilai banget bahagianya.”
Deva mendongak, memandangi wajah suaminya. “Makasih, Mas. Makasih karena udah buka hati kamu dan percaya sama aku.”
“Pasti berat banget kan ngelawan ketakutan kamu soal cinta, Mas?” Deva mengecup sejenak rahang suaminya, “But you’ve come this far. Kamu mau belajar nerima itu dan nunjukin kasih sayang kamu ke aku. I’m so proud of you, Mas.”
Arga lalu mendengus, “Sekarang malah aku yang pengen nangis.”
Kedua anak manusia itu tertawa ringan lalu mengeratkan dekap yang tidak rela untuk dilepaskan. Satu tangan Arga mengelus pelan punggung Deva penuh afeksi.
“Badan kamu ada yang sakit?”
“Gak ada, Mas. Pantat aku doang sih yang agak ngilu,” sahut Deva. “Tapi kalau yang lain normal aja.”
Arga mendesis, “Padahal tadi aku mainnya pelan banget perasaan.”
“Iya. Saking pelannya aku sampai serak gini loh, Mas.” sindir Deva.
Arga tertawa renyah, “Tapi perut kamu gak apa-apa kan, sayang?”
“Mm,” gumam Deva, “Kan posisi ngewe kita tadi juga udah sesuai sama anjuran Dokter aku, Mas.”
Menipiskan bibirnya, Arga lantas berpikir sejenak. “Kalau gitu kita jalan-jalannya besok aja gimana?”
“Kamu istirahat dulu malam ini,” lanjut Arga. Deva mengangguk.
“Aku juga udah ngantuk lagi nih, Mas. Kekenyangan abis minum susu sama makan roti yang kamu beli buat aku tadi,” curhat Deva.
“Ya udah, kita bobo sekarang.”
Deva lantas menahan pekikannya ketika Arga menggendongnya ke ranjang dengan gaya bridal. Arga lalu merebahkan tubuh suaminya di permukaan kasur yang empuk. Setelahnya, sang Alpha beralih memaatikan lampu utama kamar. Cahaya yang tersisa pun hanya remangnya lampu tidur di nakas.
“Mas, aku bobonya madep gini bentar boleh ya?” izin Deva kala Arga ikut berbaring di samping tubuhnya, namun kini ia justru membelakangi posisi sang suami.
“Perut kamu gak sakit emangnya, kalau kamu rebahan kayak gini?” balas si Alpha sembari memeluk perut sang Omega dari belakang.
“Nggak, justru perut aku enakan kalau aku nyamping kayak gini.”
“Ya udah,” Arga mengecup ringan tengkuk—juga pundak kiri Deva.
“Maaf ya aku jadi nge-belakangin kamu, Mas.” ucap Deva tak enak.
“Nggak apa-apa,” Arga mengusap perut Deva. “Yang penting kamu sama baby di dalem sini seneng.”
Deva tersenyum tipis, “Besok aku sama baby bakalan seneng kalau Mas Arga bawa aku ke Shiba Inu cafe terus jalan-jalan di Shibuya.”
“Itu sih kamu doang yang pengen ck!” Arga mencubit pipi kiri Deva, sedang empunya terkekeh pelan.
“Mas Arga.”
“Mhm?”
“Kita musti puas-puasin pacaran selama aku hamil deh kayaknya.”
Arga lantas menopang kepalanya dengan satu tangannya yang tak memeluk perut Deva, “Kok gitu?”
Menoleh, tatapan Deva dan Arga pun berjumpa. “Soalnya kalau si baby udah lahir, kita gak bakalan bisa se-santai sekarang gak sih?”
“Kita bakalan sibuk ngurusin bayi kita. Bikinin susu, gantiin popok,” membayangkan hal itu membuat Deva terkekeh, “Kalau udah gede dikit, pasti makin ada aja juga tuh tingkahnya yang bikin kita harus selalu ngawasin anak kita nanti.”
“Terus kalau udah sekolah,” Deva berangan-angan, “Pas kita mau berduaan di kamar nih malem-malem, anak kita dateng terus baru bilang kalau dia disuruh sama gurunya buat bawa bunga anggrek ke sekolah besok pagi.”
“Gagal deh pacarannya gara-gara nyari bunga anggrek,” lanjutnya.
Melihat suaminya amat antusias saat membayangkan kehidupan mereka bersama sang anak kelak membuat Arga tersenyum. Ia lalu mengecup kening Deva sebelum kembali merebahkan kepalanya di atas bantal seperti semula.
“Kita masih bisa pacaran gini kok walaupun udah punya anak, Dev.”
“Iya, Mas. Bisa,” balas Deva, “Tapi nggak se-bebas dan se-santai ini. Kayak… Waktu kita juga bakalan terbagi buat anak kita,” katanya.
“Jadi kita musti nunggu sampai anak kita gede dulu terus punya kehidupannya sendiri, baru deh kita bisa puas pacaran lagi.” Deva menghela napas panjang sambil menatap langit-langit kamar.
“Aku sama kamu udah umur berapa ya nanti?” gumamnya, tapi tak ada jawaban dari Arga.
“Kita bentar lagi ngerasain jadi orang tua ya, Mas?” oceh Deva. “Cinta-cintaannya bakal pindah ke anak. Apa-apa buat anak.”
Sang Omega terkekeh, namun ia justru tidak mendengar sedikit pun suara dari Arga di belakang punggungnya. Kok dia diem aja?
“Mas? Kamu udah bobo?”
Merasakan bagaimana Arga tiba-tiba saja menghirup perpotongan lehernya dari belakang membuat Deva tau jika si Alpha tidak tidur. Sampai tak lama berselang, Arga berbisik di belakang telinganya.
“Gak apa-apa kalau waktu sama cinta kamu buat aku nanti bakal terbagi sama anak kita,” suara si Alpha terdengar parau dan Deva sadar betul bahwa suaminya itu ingin—atau kini mungkin telah—menangis. Deva menahan napas.
“Asalkan kamu tetap di sisi aku.” timpalnya, “Aku pengen lewatin masa-masa jadi orang tua sama kamu sampai kita bisa pacaran kayak gini lagi di hari tua kita.”
“Aku… Mau menua sama kamu,” lirih Arga, “Bahkan kalau aku bisa minta, aku mau mati sama kamu.”
Deva mengulum bibirnya saat ia mendengar isakan pelan Arga di belakangnya. Mata Deva pun kini berkaca-kaca, sebab sang Alpha masih berusaha untuk berbicara.
“Aku gak bisa bayangin kalau gak ada kamu di samping aku, Deva.” katanya, “Aku enggak pernah tau gimana jadinya aku tanpa kamu.”
“Kepisah tiga hari waktu kamu marah sama aku aja, dunia aku rasanya hancur banget. Apalagi kalau inget gimana kamu selalu ada buat aku, merhatiin aku…”
Arga menatap punggung Deva yang tiba-tiba bergetar. Ia pun menciumi spot itu sejenak lalu mengusap perut sang Omega. Sebab Arga paham, Deva ikut menangis—sama sepertinya.
“Jangan pergi ya? Tolong jangan tinggalin aku,” pinta sang Alpha.
Air mata Arga masih mengalir deras. “Kalau di kehidupan kita sebelumnya kamu yang pergi duluan, di kehidupan sekarang biar aku aja. Jangan kamu, Dev.”
“Karena aku gak akan nepatin janji aku di masa lalu kalau liat kamu mati.” Arga sesenggukan, “Aku bakal ngebunuh diri aku sendiri buat nyusulin kamu.”
Deva balik badan hingga kini ia bisa melihat wajah sembab Arga. Disekanya air mata yang sedari tadi membanjiri pipi sang Alpha.
“Mas, udah. Gak usah mikir yang aneh-aneh,” Ibu jari Deva lantas menarik sudut bibir suaminya itu hingga membentuk garis senyum tipis. “Senyum dong, Mas Arga...”
Lesung pipi Arga pun nampak. Ia tersenyum tipis pada Omeganya.
“Aku gak pergi,” kata Deva, “Aku bakal selalu nemenin kamu kok.”
“Janji?”
Deva mengangguk, “Janji.”
“Kiss me then.”
“Ish!” cebik Deva. “Mas Argaaa.”
Arga mencubit gemas pipi kanan Deva sambil terkekeh. Rengekan suaminya menjadi hal baru yang selalu ingin ia dengar tiap waktu.
“Kenapa sih? Cium doang.”
“Iya, awalnya ciuman. Lama-lama kita berdua turn on terus ngewe.”
Bibir Deva manyun, “Kalau aku gak bisa jalan, rencana kita besok bakal nggak jadi kayak sekarang.”
“Kalau gitu kamu tidur sekarang. Sebelum aku cium sampai—”
Belum sempat Arga selesai akan ucapannya tadi, Deva buru-buru menutup tubuh hingga wajahnya dengan selimut. Membuat sang suami yang melihat Deva lantas terkekeh lalu ikut menyamankan posisi di samping Omeganya itu.