Birth
“Mas… Sakit…”
Deva yang tengah terbaring di atas ranjang perawatan dengan mengenakan gaun rumah sakit beserta masker lengkap dengan penutup kepala pun kembali merintih kesakitan. Sudah nyaris satu jam semenjak Deva diminta untuk berpuasa sebelum nanti menjalani operasi caesar darurat. Sebab, waktu bersalin yang telah direncanakan untuk dilakukan pekan depan justru kini harus dimajukan. Deva pun telah usai menjalani serangkai pemeriksaan penunjang sebelum operasinya. Selang infus bahkan tertanam di pembuluh darahnya sedari tadi.
Sementara itu, Arga yang setia berada di sisi Deva—dan telah berpakaian medis lengkap pula—ikut bersiap untuk menemani sang Omega ke ruang operasi beberapa saat lagi. Ia kembali mengecup ringan kening sosok terkasihnya itu. Jemari Arga lantas tak henti-henti mengusap kepala Deva; menenangkannya.
“Kamu yang kuat ya, sayang. Aku ada di sini,” bisik Arga di balik maskernya, “Si bapao kayaknya udah gak sabar pengen ketemu sama kita. Sampai pengen buru-buru dikeluarin dari perut kamu.”
Deva mengeratkan genggaman tangan kanan Arga yang sedari tadi tidak pernah ia lepaskan.
“Kamu juga udah pengen banget kan ketemu sama baby?” lanjut Arga, anggukan lemah menjadi respon Deva yang masih amat kesakitan. “Tarik napas, sayang.”
Deva menyanggupi titah Arga. Ia mengatur deru napasnya; agar ia lebih rileks di tengah rasa sakit. Sampai tak lama berselang, Ibu juga Bu Ririn datang kemudian ikut menyemangati Deva. Kedua wanita paruh baya itu menciumi kening dan pipi Deva bergantian.
Sayangnya, sang Ibu juga Mama mertua dari Deva itu tidak bisa berlama-lama. Pasalnya, Dokter yang menangani Deva kini telah datang dan memeriksa kembali keadaan Deva juga kesiapannya.
“Bu, Ma, doain Deva ya.” ucap si Omega sesaat sebelum Ibu juga Bu Ririn hendak meninggalkan ruang perawatan dan nantinya mereka akan menunggu di luar.
“Iya, Dev. Ibu sama Mama kamu pasti doain kamu. Ibu nunggu di luar ya,” pamit si paruh baya lalu keluar dari ruang perawatan itu.
“Gimana, Mas Deva? Udah siap?”
Deva mengalihkan pandangan ke arah Dokter di sisinya “Iya, Dok.”
“Deg-degan gak?” tanyanya lagi.
“Gak, Dok. Tapi perut saya sakit.”
Sang Dokter mengangguk paham lalu beralih menyapa suami Deva.
“Pak Arga gimana nih? Udah siap juga liat suaminya lahiran nanti?”
“Enggak usah nanya-nanya mulu deh, Dok. Jangan sampai malah saya loh yang lahiran di sini, ck!”
Deva juga sang Dokter terkekeh, membuat Arga yang melihat sang Omega sedikit lebih tenang pun menghela napasnya lega. Arga lalu mengecup sayang punggung tangan Deva ketika melihat sang Omega begitu serius mendengar setiap arahan dari Dokternya.
“Oke, jadi semuanya udah siap. Kita bisa ke ruang operasi ya?”
Deva mengangguk mantap lalu mengecup punggung tangan Arga, “Mas Arga, doain aku ya.”
“Iya, sayang. Aku selalu doain kamu sama bayi kita,” balas Arga.
“Dok, Sus, kita bawa Mas Deva ke ruang operasi sekarang ya.” ucap sang Dokter kepada Dokter lain yang juga telah berdatangan ke ruang perawatan Deva. Sekedar memastikan keadaan si pasien, sekaligus memberikan semangat.
“Kamu gak usah takut, sayang.” bisik Arga sebelum perawat juga Dokter mendorong ranjang Deva menuju ke ruang operasi. “Aku bakalan selalu nemenin kamu.”
“Kamu jangan lepasin tangan aku sampai operasi selesai ya, Mas?”
“Iya.”
Arga kemudian berdiri tegak lalu mengikuti ranjang Deva yang kini telah didorong menuju ke ruang operasi. Sesampainya di sana, ia lantas duduk di samping kepala Deva masih dengan jemari yang saling menggenggam. Rangkaian operasi itu pun dimulai dengan pemberian anestesi pada Deva. Dan sebisa mungkin sang Alpha memberikan kecupan lembut di kening Deva saat daerah tulang belakang Omeganya itu disuntik.
“Sakit?” tanya Arga.
“Mm,” gumam Deva, namun Arga justru melihat raut cemasnya.
“Semuanya bakal baik-baik aja,” Arga menenangkan. “Kan kata Dokter tadi keadaan kamu ini gak membahayakan tapi perlu segera dilakukan tindakan biar janin kamu baik-baik aja, Dev.”
“Pak Arga romantis banget ya.”
Arga memicing ke arah seorang Dokter spesialis anak yang tiba-tiba menyeletuk. “Dokter ini kok malah nguping sih? Operasinya kapan mulai kalau anda kepo ck!”
“Mas, jangan ngomel.” kata Deva.
“Segera dimulai kok, Pak.” sahut Dokter lain yang sedang sibuk menyiapkan kain pembatas di antara perut bagian bawah Deva. “Mas Deva ngerasain sesuatu?”
“Iya, Dok. Kaki saya nggak bisa digerakin. Berat.” jawab Deva.
Sang Dokter tersenyum, “Bius yang disuntikin udah bekerja.”
“Jadi operasinya udah bisa kita mulai, Mas.” lanjutnya, “Bentar lagi Mas Deva bakal ketemu si Baby Pao. Kira-kira nanti muka Baby Pao mirip sama siapa ya?”
“Ya mirip saya sama Deva lah, masa mirip sama Dokter sih?”
Tujuh orang tim medis yang ada dalam ruang operasi terkekeh mendengar jawaban Arga. Tidak lama setelahnya, proses operasi pun dimulai. Benar saja Deva tak merasakan apa-apa. Justru kini ia merasakan matanya mulai berat.
“Mas, aku ngantuk.”
“Jangan tidur dulu ya, Mas.” sang Dokter anestesi yang berada di sisi kiri Deva tersenyum, “Dikit lagi Baby Pao bakal dikeluarin.”
“Dokter ini kebiasaan deh. Ck!” protes Arga, “Kan Deva ngobrol sama saya. Main nyeletuk aja.”
“Saya cuma ngingetin Mas Deva kok, Pak. Gak nguping,” jenaka si Doker lalu kembali memeriksa tanda vital Deva di layar monitor.
“Pak Arga,” panggil salah satu Dokter yang sedari tadi sibuk membedah perut Deva. “The moment of truth nih, Pak. Gak mau liat Baby Pao dikeluarin?”
“Ck! The moment of truth, the moment of truth.” omel Arga, “Dokter pikir anak saya paket yang lagi di-unboxing apa?”
Arga lalu melirik Deva. “Sayang, aku boleh lepasin tangan kamu sebentar buat liat baby kita gak?”
“Boleh, Mas.”
Deva tersenyum. Sama sekali tak ada ketegangan dalam ruangan operasi seperti yang selama ini selalu ia bayangkan. Namun saat Arga bangkit dari posisinya guna melihat bayi Pao dikeluarkan dari perut Deva, sang Omega lantas menahan napasnya. Bersamaan dengan sensasi tarikan di perut.
Sampai tak lama setelahnya, suara tangisan bayi seketika menggema. Deva pun bisa melihat jika mata suaminya berkaca-kaca kala sang Dokter menunjukkan bayi itu ke Arga.
“Bayinya laki-laki, Pak. Ganteng kayak Pak Arga sama Mas Deva.”
Arga mengusak matanya; agar tangis tak terbebas. “Iya, Dok.”
“Semuanya lengkap, Pak. baby Pao juga sehat,” kata Dokter.
“Makasih banyak.” ucap Arga.
“Bayinya mau kita bersihin dulu ya, Pak.” izin sang Dokter, Arga pun mengangguk lalu kembali duduk di samping kepala Deva.
“Sayang…”
Suara Arga parau. Ia kemudian mengecup kening, pipi tak lupa pula punggung tangan si Omega bersama air mata yang menetes.
“Makasih ya, sayang. Makasih.”
Deva tersenyum, “Iya, Mas.”
“Aku cinta kamu, Dev.” bisik Arga di samping telinga Deva sebelum kembali menciumi keningnya.
Mendengar penuturan cinta Arga—untuk yang pertama kalinya—membuat Deva ikut terharu. Air matanya menetes, namun sang suami buru-buru menyekanya.
“Kamu hebat banget, sayang. Aku bangga sama kamu karena udah ngelewatin semua ini,” kata Arga.
“Ini juga berkat kamu, Mas.”
Deva pun menciumi tangan Arga sesaat sebelum atensinya beralih ke Dokter yang menghampirinya sembari menggendong bayi yang telah dibungkus dengan selimut.
“Mas Deva,” panggil sang Dokter. “Silakan dilihat ya bayinya, Mas.”
Deva mengangguk kecil diikuti senyum ketika sang Dokter anak meletakkan bayi di atas dadanya. Rasa haru dan bahagia Deva pun tidak mampu ia definisikan lewat frasa. Benar kata Nua, pikirnya. Segala susah dan senang ketika hamil benar-benar terbayar kala melihat bayinya lahir dan sehat.
“Anak kita lucu banget, Mas.”
“Mhm,” Arga setuju. “Mata sama bibirnya mirip sama kamu, Dev.”
Deva terkekeh, “Iya, tapi hidung sama pipi bapaonya mirip kamu.”
“Jadi baby Pao mau dikasih nama siapa, Mas?” tanya Dokter yang masih menyelesaikan jahitan di perut Deva;menutup sayatannya.
“Belum kepikiran, Dok.” sahut si Omega, “Untuk sekarang boleh dipanggilnya baby Pao aja dulu.”
“Nama baby Pao juga lucu, Mas.”
Arga sibuk mengambil foto Deva juga malaikat kecil mereka. Tidak ingin kehilangan momen ketika si baby terlihat bahagia berada dalam dekap Deva. Sementara, pandangan Deva tidak pernah lepas dari sang bayi, “Jadi gini bentukan anak di perut Papa?”
“Kamu beneran kayak bapao ya,” Deva berbicara dengan bayinya. “Pipinya gembul banget, gemes.”
“Kata Dokter tadi berat si bapao empat kilo tau,” Arga tersenyum.
“Pantes dulu aku ngidam banyak ya, Mas. Si baby gampang laper.”
“Mas Deva, Pak Arga, si baby Pao mau kita masukin ke tabung dulu ya. Ntar satu jam setelah operasi selesai, bisa langsung dibawa ke kamar rawatnya Mas Deva.” kata seorang Dokter anak dan dibalas anggukan setuju oleh keduanya.
“Pak Arga kalau udah mau ikut ke ruangan bayi boleh keluar dari ruang operasi kok, Pak. Ini Mas Deva juga udah boleh tidur,” kata Dokter anestesi di samping Deva.
Arga menggeleng, “Saya pengen nemenin suami saya, Dok. Baby tolong diperhatiin ya, nanti saya nyusul kalo operasi Deva kelar.”
“Baik, Pak Arga.”
Deva tersenyum dibalik masker yang ia kenakan. Sementara sang Alpha kembali membelai pipinya.
“Kamu boleh tidur sekarang.”
“Ngantuknya udah hilang, Mas.” Deva menghela napas, melirik sekilas ke arah para Dokter lalu berbisik. “Mas, Nua ada di luar?”
“Gak tau, sebelum kita ke sini sih nggak ada. Aku chat aja kali ya?”
“Iya, Mas.” Deva setuju.
Persekian detik berikutnya, Deva dibuat heran saat melihat raut kaget sang Alpha ketika menatap gawai. Alhasil, ia pun bertanya.
“Ada apa, Mas?”
“Dev, kontak Nua kok hilang?”
Mata Deva terbelalak, “Kok bisa sih, Mas? Coba lihat di hp aku.”
“Bentar,” kata Arga lalu meraih gawai Deva yang ia kantongi pula sedari tadi. “Dev, di sini juga gak ada. Kok bisa hilang sendiri sih?”
“Mas…” Deva menelan ludahnya, “Apa mungkin Nua udah pergi?”