Mole
Suara pintu pagar yang diketuk membuat Dipta seketika bangkit dari posisinya. Ia bergegas keluar dari kamarnya lalu menghampiri sumber suara. Di luar sana Dipta mendapati Dikta, dengan balutan jaket denim, sedang menunggu.
“Kamu ngebut ya?” Dipta lantas menodong Dikta dengan tanya, “Kok cepet banget nyampenya?”
“Gak kok. Tadi emang lagi nggak macet aja,” sahut Dikta sebelum meraih lalu menyodorkan kresek yang ia gantung di motornya tadi pada Dipta. “Nih, Dip. Martabak.”
Dipta tersenyum sambil meraih pemberian si pemilik lesung pipi. Padahal ia tidak meminta apa-apa tadi, namun Dikta seolah sudah biasa membawa sesuatu untuknya saat datang ke rumah.
“Makasih ya, Sayang.” ucap Dipta, “Hayu masuk, mulai gerimis lagi.”
Dipta kemudian masuk terlebih dahulu, disusul oleh Dikta yang kembali menaiki motornya. Dikta memarkirkan kendaraan roda dua itu di halaman depan rumah Dipta. Setelahnya, Dikta lantas mengekori Dipta masuk ke dalam rumah. Tepatnya di ruang tamu.
“Kok rumah sepi banget, Dip?”
“Mama sama Papa lagi ke rumah Uwa,” kata Dipta lalu menutup pintu rumah. “Ada syukuran.”
“Terus kenapa kamu gak ikut?” tanya Dikta lagi yang berdiri di belakang Dipta, “Jangan-jangan karena aku mau dateng ke sini?”
Berbalik, Dipta pun menggeleng sebagai awal responnya. “Gak. Aku emang males ikut ke sana.”
“Males kenapa?”
“Males ditanyain kapan wisuda,” Dipta mencebik, “Bikin stress.”
Dipta kemudian menatap wajah Dikta lamat sambil tersenyum tipis, “Mending aku di rumah, sama kamu. Nggak bikin stress.”
Ikut tersenyum tipis, Dikta lalu mengacak-acak rambut Dipta. “Bentar lagi kita bakal wisuda kok. Gak usah diambil hati ya kalau ada yang nanyain mulu.”
“Mm,” gumam Dipta, “Ya udah. Aku ke belakang bentar ya, Ta. Mau mindahin martabak dulu, sekalian bikin kopi buat kamu.”
“Oke, Dip.”
Dipta beranjak, meninggalkan Dikta di ruang tamu. Namun ia menghentikan langkah ketika teringat akan sesuatu. Alhasil, Dikta yang baru saja duduk di sofa pun mengangkat alis heran. Terlebih saat pacarnya menoleh.
“Kenapa, Dip?”
Dipta cengar-cengir, “Aku baru inget kalau kopi di dapur abis.”
Sang empu rumah pun kembali menghampiri Dikta sebelum meletakkan kresek martabak di atas meja. “Aku ke warung dulu.”
Baru saja Dipta hendak bergegas menjauhi sofa, dimana kini Dikta sedang duduk, tangannya justru tiba-tiba dijegal. Dalam sekejap mata saja, Dipta bisa merasakan bagaimana sang pacar menarik tangannya hingga ia berakhir duduk di atas pangkuan Dikta. Lengannya pun refleks memeluk leher Dikta agar ia tidak terjatuh.
Sontak mata Dipta melotot kala dia bersitatap dengan si pujaan hati dalam jarak minim. Pipinya seketika memanas, sebab Dikta menatapnya lamat. Belum lagi lengan kokoh sang pacar yang telah melingkari pinggangnya.
“Di luar gerimis, Dip.” tutur sang pemilik lesung pipi amat lembut.
“Warungnya deket kok, Ta.” cicit Dipta yang sudah salah tingkah.
Dikta menggeleng pelan, “Kamu sendiri loh yang bilang tadi, kalo sekarang lagi musim sakit. Kan?”
“Gak usah ke warung buat beli kopi, Dip. Bikin aja apa yang ada di dapur,” timpalnya. “Air putih juga gak masalah kok. Beneran.”
“Di luar dingin banget,” lanjutnya. “Kalo kena air ujan bisa demam.”
Atensi Dipta terkunci. Matanya tidak bisa lepas dari wajah Dikta yang selalu ia kagumi. Pahatan nyaris sempurna di hadapannya ini terasa tidak nyata bagi Dipta.
Padahal hubungannya dengan si pujaan hati sudah berjalan satu tahun lebih, namun Dipta masih saja salah tingkah kala pacarnya itu bersikap manis. Ia masih saja memuja Dikta-nya seperti saat mereka pertama bertemu dulu.
Dipta is down so bad for Dikta.
“Dip?”
Mata Dipta berkedip cepat, “Ha?”
“Kamu ngelamun?” kekeh Dikta.
“Ng… Gak kok,” Dipta gelagapan. “Kalo gitu aku ke dapur dulu ya.”
Dikta tersenyum hingga lesung pipinya kian curam, tapi ia malah tak bergerak sama sekali. Alhasil, Dipta masih di pangku olehnya.
“Posisinya udah pas, Dip.”
“Hah?” lagi, Dipta membeo.
Dikta berbisik, “Can I kiss you?”
Dipta menelan ludah sebelum mengangguk kecil. Mendapat lampu hijau, tatapan Dikta pun turun ke bibir tipis pacarnya.
Kedua anak manusia itu lalu menempelkan bibir mereka, seperti ada daya magnet. Saling mengecup sayang nan lembut sejenak sebelum Dipta membuka mulutnya, memberi jalan untuk lidah Dikta menjilati miliknya.
Ciuman intens Dipta dan Dikta pun menjadi awal dari decak lidah yang bersahut-sahutan di ruang tamu. Sesekali Dipta juga Dikta melenguh ketika mereka hanyut dalam pagutan mesra.
Satu tangan Dipta kemudian refleks menarik helai rambut Dikta saat si pemilik lesung pipi menghisap kuat bibir bawahnya. Puas dengan aksinya itu, Dikta pun kembali mengajak pacarnya berperang lidah hingga air liur nyaris menetes ke dagu Dipta.
Namun, Dikta dengan sigap menjilat saliva yang entah milik siapa itu seperti es krim. Dipta pun mati-matian menahan desah karena ulah Dikta. Matanya kian sayu, Dikta membuatnya mabuk.
Menit berlalu, Dipta dan Dikta yang nyaris kehabisan napas lantas memutuskan untuk mengakhiri lumatan mereka. Dikta kemudian memberi kecup lembut sejenak di tahi lalat yang menghiasi bibir Dipta sebagai sentuhan akhirnya; seperti biasa.
Menyadari hal itu, Dipta seketika tersenyum. Setelah sekian lama mendapat kecupan Dikta di akhir ciuman mereka, baru kali ini dia tahu bahwa Dikta tidak sekedar mengecup bibirnya; namun juga tai lalatnya. Dipta’s favorite mole.
“Cantik,” puji Dikta lalu mengelus titik hitam di bibir pacarnya itu dengan Ibu jarinya. Satu lengan Dikta pun masih menahan tubuh Dipta agar tidak terjatuh. “Kayak kamu, Dip. Kamu cantik banget.”
Menahan senyumnya, Dipta lalu menepuk pelan pundak Dikta. “Udah, aku mau ke dapur dulu.”
Terkekeh pelan, Dikta akhirnya melepaskan tautannya dengan Dipta. Ia membiarkan pacarnya itu berdiri, mengambil martabak di meja lalu melenggang pergi ke arah Dapur. Tatapan Dikta pun tidak pernah terlepas dari Dipta hingga hilang dari pandangan.
Namun tanpa Dikta ketahui, di balik tembok pemisah antara ruang tamu dan ruang tengah, Dipta sedang membekap mulut dengan satu tangan. Dipta mati-matian menahan pekikannya. Ia semakin salah tingkah sekarang.
Begitu juga sebaliknya, Dipta pun tidak tahu bahwa di ruang tamu sana, Dikta kini senyam-senyum seperti orang gila. Bahkan Dikta dengan gelagat salah tingkahnya meraih bantal sofa lalu memeluk benda empuk itu sangat erat.