Flashback
“Aku bisa bikin kamu percaya cinta,” tutur Luna yang sedang duduk di hadapan sang CEO.
Arga mendengus. Semenjak Luna tau jika ia tidak pernah percaya akan cinta membuat sekertaris pribadinya itu kerap membahas topik yang baginya tak menarik.
“Caranya?” sahut Arga.
“Aku bakal bikin kamu jatuh cinta,” Luna melipat lengan di atas meja. Ia menahan senyum.
Bola mata Arga memutar malas, “Kalau kamu bisa, kenapa gak dari dulu coba saya jatuh cinta sama kamu? Udah setahun lebih kamu kerja sama saya, tapi saya malah pengen kamu resign aja.”
Senyum di bibir Luna masih setia terpatri. Meski ucapan atasannya itu mencelis hatinya, namun ia yang sudah paham tentang sikap Arga tidak mau ambil pusing lagi.
“Karena kamu gak mau nyoba buka hati kamu, Ga. Kamu gak mau ngasih kesempatan buat orang lain untuk masuk ke sana.”
Luna menghela napas, “Ga, love is exist. Tapi kamu gak bakal bisa ketemu sama eksistensi cinta itu kalau kamu sendiri gak percaya.”
“Kamu macarin orang-orang di luaran sana cuma buat buktiin apa cinta itu beneran ada, tapi kamu sendiri tau gak cinta itu gimana?” timpal sang sekertaris.
“Gak,” singkat Arga, “Emang cinta menurut kamu kayak gimana?”
“Cinta menurut aku itu ketika aku rela ngelakuin apapun buat liat orang yang aku suka maju.”
“Kamu mau bilang kalau kamu suka sama saya?” Arga menatap lurus ke dalam netra madu Luna.
“Visi kamu jadi sekertaris dari CEO baru yang gak kompeten kayak saya sedari awal buat liat saya maju kan?” Arga menebak.
“Kalau aku bilang iya, kamu mau gak ngasih aku kesempatan buat bikin kamu percaya sama cinta dan masuk ke hati kamu, Ga?”
Arga seketika bersandar di badan kursinya. Matanya masih tertuju pada Luna yang terlihat tenang.
“Kenapa kamu pengen bikin saya percaya cinta? Kamu bisa nyari orang yang udah percaya cinta buat jadi pacar kamu,” kata Arga. “Gak usah bikin hidup kamu yang udah susah itu makin susah deh.”
“Because I care for you, Ga.” jawab Luna, “Aku emang gak tau alasan sampai kamu gak percaya cinta.”
“Bisa jadi karena pengaruh Mama sama Papa kamu pisah. I guess?”
Arga hanya terdiam, sementara Luna melanjutkan penuturannya.
“Aku juga anak yang gak dapet cinta dari orang tua aku,” tutur Luna, “I know how it feels, Ga.”
“Tapi kamu tau gak? Ketika kamu dapet cinta dari orang lain yang begitu tulus, it feels so good.”
“Dan aku udah dapetin itu dari Mama kamu. Bu Ririn bener-bener bikin aku ngerasa dapet cinta dari orang tua,” jelas Luna sebelum ikut bersandar di kursi.
“Aku pengen kamu ngerasain itu juga, Arga. Aku tuh pengen kamu ngerasa dicintai dengan tulus sampai kamu ngerasa kalau cinta itu beneran ada dan luar biasa.”
Arga tersenyum hambar, “Kamu tau. Gak mudah buat jadi pacar saya, Lun. Apalagi posisi kamu sebagai sekertaris saya di sini.”
“Saya gak mau orang kantor tau kalau kita punya hubungan yang lebih dari atasan dan bawahan.” jelas Arga, “Saya juga gak bisa menjanjikan kamu apa-apa. Jadi kalau kamu berharap saya bakal give you my affection for 24/7 you’re wrong. So? Kamu bisa?”
“Aku gak bakalan tau kalau aku belum nyoba,” balas Luna, “Tapi kayaknya gak bakal susah buat aku. Setahun lebih kerja sama kamu bikin aku ngerti kamu, Ga.”
“Ya udah,” Arga pun mengangkat pundak, “Bilang kalau kamu udah capek bikin saya percaya cinta.”
Luna terbelalak, “Jadi kamu mau pacaran sama aku? Serius, Ga?”
“Saya cuma mau ngasih kamu kesempatan sebelum kamu juga angkat tangan kayak mantan-mantan saya,” ucap Arga, “Saya udah ngasih kamu peringatan. Jadi kalau suatu saat nanti kamu nyesel, itu pilihan kamu sendiri.”
“Aku gak bakal nyesel,” kata Luna diikuti senyum yang amat cerah, “Karena aku yakin kamu bakalan jatuh cinta sama aku nanti, Ga.”
Sementara itu Arga hanya diam sebelum memusatkan atensinya ke layar MacBook. Mengabaikan Luna yang kembali mengoceh tentang berbagai macam hal.
Seperti biasa. Arga pun hanya akan menyahut jika itu tentang pekerjaan atau menurutnya hal yang dikatakan Luna perlu untuk ia respon. Sebab sang sekertaris hanya akan mengomel jika Arga lalai dalam tugas sebagai CEO yang baru satu tahun ia emban.
“Ga, besok ada meeting penting soal kerjasama Hardiyata Group bareng Techindo. Kita harus bisa yakinin mereka kalau proyek yang kamu usulin bakal goal ya?”
“Mm,” gumam Arga.
“Aku bakal selalu ada di samping kamu. Pokoknya aku bakal kerja keras juga supaya orang-orang yang kemarin ngeremehin kamu bisa gigit jari,” semangat Luna.
Arga akhirnya mendongak lalu menatap Luna datar, “Luna.”
“Apa?” Alis Luna terangkat.
“Kamu cringe,” sahut Arga lalu bangkit dari kursinya, “Saya mau ke kantor Mama dulu. Kalau ada yang nyariin, telepon saya aja.”
“Gak mau aku temenin?” tawar Luna yang kini telah ikut berdiri.
“Ngapain? Emang saya anak kecil pake ditemenin,” decak CEO itu sebelum melenggang pergi dari ruang kerjanya. Sementara Luna hanya menghela napasnya pelan.
Luna tau meruntuhkan tembok es seperti Arga tak akan mudah. Namun ia selalu meyakinkan diri bahwa suatu saat usahanya tidak akan pernah berkhianat. Ia hanya perlu lebih sabar menghadapi si pemilik lesung pipi, pikir Luna.
Seperti sekarang, ia bahkan telah berhasil mendapat kesempatan untuk membuat Arga jatuh cinta.
“Ga, hari ini ulang tahun Luna loh. Kamu samperin anaknya gih ke kantor atau apartemen-nya.”
Arga yang sedang mengunyah makan siangnya bersama Bu Ririn di restoran steak langganan mereka pun menghela napasnya. Keduanya baru saja sampai di Ibu kota setelah perjalanan dinas dan memilih untuk makan bersama.
“Abis ini aku ada meeting di luar, Ma. Pulangnya paling maleman. Orang Techindo sekalian ngajak makan malam soalnya,” sahutnya.
“Arga,” Bu Ririn menatap wajah putra semata wayangnya lamat, “Kita itu bisa kerjasama bareng Techindo juga karena kegigihan Luna dulu. Kamu gak lupa kan?”
“Dia yang meyakinkan CEO-nya Techindo supaya percaya sama kemampuan kamu,” timpalnya.
“Sampai kapan sih kamu pengen bersikap kayak gini sama Luna?” oceh Bu Ririn, “Dia pacar kamu, Ga. Kalau kamu gak nunjukin perhatian sama afeksi kamu ke dia, hubungan kalian juga bakal berakhir kayak pacar kamu yang kemarin-kemarin. Kamu mau?”
“Luna itu baik dan bisa ngertiin kamu. Dia selalu ada buat kamu. Dia tuh tulus banget nge-jagain kamu meskipun kamu suka cuek ke dia. Apa lagi yang kamu cari?”
Arga tersenyum, membuat Bu Ririn yang melihat hal itu pun tersentak. Sebab baru kali ini ia melihat sang anak mengulas senyum manis seperti sekarang.
Dalam hati Arga menyetujui ucap sang Mama. Ia mulai bisa melihat ketulusan Luna juga bagaimana pacarnya itu menerima dirinya yang tak pandai menunjukkan afeksi-nya kepada orang lain.
“Tuh. Kamu senyam-senyum kan karena Luna?” ledek Bu Ririn.
Bu Ririn menghela napas, “Mama pengen dia jadi menantu Mama.”
“Dia bakal jadi menantu Mama kok,” balas Arga yang membuat kedua mata Bu Ririn berbinar.
“Aku mau ngelamar Luna besok, sekalian ngasih ucapan belated birthday sama ucapan selamat karena bentar lagi jadi manager.”
“Kok besok? Hari ini aja,” decak Bu Ririn, “Biar Mama yang hadir di acara makan malam Techindo.”
“Yakin?” Arga menyipitkan mata, “Tau-tau pulang ke rumah nanti malah ngeluh pinggang encok.”
“Yakin,” mantap Bu Ririn, “Demi hubungan kamu sama Luna, Ga.”
“Ya udah,” pasrah Arga.
Lagi. Arga tersenyum. Keputusan Arga untuk melamar Luna bukan perkara mudah. Sama seperti ia memilih untuk mulai percaya jika cinta itu ada setelah melihat tiap usaha Luna. Namun Arga akan meyakinkan dirinya kalau wanita itu adalah pilihan yang tepat.
Arga memarkirkan mobilnya di basement apartemen pacarnya. Sebelum datang tadi, Arga telah menanyakan di mana posisi Luna sekarang. Mengetahui bahwa si sekertaris masih di jalan pulang membuatnya diam-diam datang lebih awal guna menunggunya.
Arga pun tidak memberitahu Luna bahwa ia ke apartemen sang pacar. Sebab Arga akan menjalankan misi surprise yang disusun oleh Bu Ririn untuknya.
Kini Arga menunggu kedatangan Luna. Posisi mobilnya yang tak jauh dari lift—yang biasa Luna pakai untuk masuk ke gedung apartemen—membuat Arga bisa mengamati keberadaan Luna.
Sampai tak lama berselang, Arga dibuat menyipitkan mata ketika mendapati mobil CEO Techindo terparkir beberapa meter dari mobilnya. Tapi Arga bisa melihat dengan jelas bahwa Luna ada di sana. Luna duduk berdampingan dengan sang kolega perusahaan.
Persekian sekon berikutnya, Arga tersentak saat melihat Luna dan pria bernama Damian itu tiba-tiba berciuman. Jantung di balik dada Arga pun berdegup makin kencang ketika mendapati Luna dan Damian perlahan membuka pakaian mereka di dalam sana.
Jemari Arga pun bergetar hebat. Ingatan tentang bagaimana Arga kecil yang kala itu masih berusia sepuluh tahun juga mendapati Papanya tidur dengan wanita lain ketika sang Mama sedang dinas ke luar kota pun terbayang.
Trauma itu amat membekas di dalam benak Arga. Rasa sakit yang Arga yakini akan segera terobati justru kembali mencuat ketika ia melihat sang pacar di depan sana melakukan hal yang sama. Napas Arga pun memburu, sedang badannya terasa lemas.
Satu hal yang bisa Arga lakukan saat ini hanya berteriak sambil menangis. Rambutnya ia tarik. Sama seperti yang Arga kecil lakukan dahulu. Keyakinannya tentang eksistensi cinta pun semakin hancur. Baginya, cinta hanya sebuah kata tanpa makna.
Cinta hanya fiktif belaka.
Air mata dan isakan Arga pun terus mengalir bersama bayang-bayang perlakuan bejat Papanya yang enggan pergi. Arga bahkan nyaris lupa waktu hingga hampir tidak menyadari bahwa aksi tak senonoh antara Luna dengan si kolega telah usai. Menyadari jika Luna berjalan masuk ke gedung apartemen, Arga lalu menyusul tidak lama setelahnya. Ia hanya ingin mengakhiri semuanya.
“Luna.”
Langkah Luna terhenti ketika ia mendengar suara Arga. Alhasil, Luna berbalik sebelum terbelalak mendapati Arga menghampiri.
“Ga, sejak kapan—”
“Jadi gini cara kamu nge-yakinin CEO Techindo?” Arga tersenyum miris setelah memotong ucapan Luna, “Murahan ya kamu, Lun.”
Luna terdiam dan membeku.
“Kamu gak ada bedanya sama orang-orang bermuka dua di kantor,” lanjut Arga, “Kamu baik sama saya cuma buat manfaatin saya dan Mama saya kan? You did well, anyway. Kamu bentar lagi jadi manager loh. Good job, Lun.”
“Kamu kan udah dapet apa yang kamu mau. Kenapa kamu nggak bilang sama saya kalau kamu tuh udah capek bikin saya percaya cinta? Apa ada rencana lain ya?”
“Ga, gak gitu. Aku—”
Arga menghempaskan tangan si sekertaris yang meraih miliknya.
“Saya gak mau denger apa-apa dari kamu,” tegas sang CEO.
“Mulai saat ini jangan pernah ngomong sama saya lagi di luar urusan pekerjaan,” kata Arga lalu berbalik hendak meninggalkan Luna. Namun langkahnya lantas terhenti saat Luna berteriak.
“Oke! Aku salah!” Luna kemudian terisak, “Aku salah karena udah khianatin kepercayaan kamu.”
“Tapi bukan karena niat gak baik yang bikin aku kayak gini, Arga! Aku sama sekali gak pernah ada pikiran buat manfaatin kamu.”
“Arga!”
“Arga!”
Luna terus berteriak, tapi Arga tidak peduli. Arga hanya terus melanjutkan langkahnya. Tidak ingin tau apa-apa lagi dari Luna.