Discipline
“Nasinya diabisin ya, Sayang.”
“Iya, Papa.”
Deva juga Bu Ririn tersenyum melihat Danu mulai melahap makanan di atas meja. Dengan bantuan kursi makan tingginya, Danu pun leluasa menambah lauk tanpa bantuan Papanya.
Melihat bagaimana sang anak mulai mandiri membuat Deva merasa terharu. Meski tidak mudah merawat seorang anak, namun Deva sangat menikmati setiap momen yang ia dan Arga lewati hingga kini Danu sudah berusia tiga tahun. Time flies.
“Papa kenapa gak makan?” tanya Danu sambil menatap Papanya.
“Papa mau ngeliatin Danu dulu.” Deva tersenyum tipis, “Papa suka lihat Danu makan, apalagi pakai sayur gini. Papa jadi seneng deh.”
“Sayurnya enak ya, Sayang?”
Danu menggeleng, “Gak enak. Tapi kata Papi, kalau Danu gak makan sayur, nanti Danu sakit.”
“Anak Papa emang pinter banget. Pasti Papi juga seneng lihat Danu makan sayur,” kata Deva memuji.
Persekian detik berselang, suara bel rumah tiba-tiba menggema. Deva dan Bu Ririn pun berbagi tatap sejenak sambil menerka siapa gerangan yang bertamu.
“Bi Yati sama Ais lagi ngapain ya di belakang, Dev?” Bu Ririn pun menanyakan sang asisten rumah tangga juga pengasuh cucunya.
“Biar Deva aja yang bukain pintu, Ma. Kayaknya Bi Yati sama Mba Ais lagi makan,” Deva pun berdiri.
“Danu lanjutin makannya ya.”
“Oke, Papa.” sahut Danu patuh.
Sementara itu, Deva melenggang ke arah pintu utama rumah. Kala membukanya, Deva pun terkejut.
“Loh? Mas?”
Arga yang berdiri di hadapan si Omega seketika mendengus, “Kamu ini gimana sih? Ck! Suami baru pulang bukannya dipeluk, malah kaget kayak liat rentenir.”
Tersenyum tipis, Deva kemudian berhambur mendekap suaminya. Arga pun dengan sigap memeluk pinggang Deva sembari mencium pundak sang Omega. Menghirup aroma manis yang dia rindukan.
“Mas kok nggak bilang bakalan pulang malam ini?” tanya Deva.
Kembali menyejajarkan wajahnya dengan sang Omega, Arga lantas mengecup singkat bibir Deva.
“Tadinya aku mau ngusilin kamu, mau nyuruh Bi Yati bilang kalau aku dipulangin karena sakit. Eh, tau-tau kamu yang bukain pintu.”
Arga terkekeh, “Gagal deh.”
“Mas Arga jangan gitu ah,” cebik Deva, “Ucapan itu doa tau, Mas.”
“Kan becanda, Sayang.” kata Arga lalu mencium kedua pipi Deva. “Si Bapao udah bobo belum?”
“Belum, Mas. Danu lagi makan di dalem sama Mama,” sahut Deva. “Kamu udah makan?” tanyanya.
“Udah, tadi mampir di rest area.”
“Ya udah. Kita masuk yuk, Mas. Pasti Danu seneng ngeliat kamu pulang malam ini,” tutur Deva.
Arga mengangguk. Meraih paper bag di atas koper yang ia bawa lalu menyodorkannya ke Deva.
“Nih, aku beliin kue kesukaan kamu. Ada batagor frozen juga di situ.” kata Arga, “Pagi tadi kamu bilang pengen batagor Bandung.”
“Makasih ya, Mas.”
“Mm,” gumam sang Alpha.
Arga lalu menarik koper sambil mengikuti langkah Deva yang masuk ke rumah lebih dahulu. Mereka berjalan ke ruang makan.
“Danu,” panggil Deva setibanya ia di ruang makan, “Liat deh Papa dateng bareng siapa.” katanya.
Danu menghentikan suapannya sejenak untuk melihat siapa yang dimaksud Papanya. Sampai saat Danu mendapati Arga berjalan di belakang Deva, ia pun terbelalak.
“Papi!” Seru Danu riang.
Tidak hanya Danu, Bu Ririn pun kaget melihat Arga telah kembali.
“Loh, Ga. Kirain kamu pulangnya besok pagi?” tanya si paruh baya.
“Acara di Bandung udah selesai sore tadi, Ma. Sisa gala dinner doang, jadi Arga pulang duluan.” jawab sang CEO lalu duduk di sisi kanan kursi Danu, “Soalnya ada yang kangen Papi sampai nangis.”
Deva juga Bu Ririn pun terkekeh. Sudah sangat biasa melihat Arga menggoda dan mengusili Danu.
Sementara itu, Danu seketika mencebik. Kedua lengan kecilnya ia lipat di atas meja, sedang mata bulatnya terfokus kepada Arga.
“Kan Papi pernah bilang, kalau Danu sedih, nangis aja. Papi lupa ya?” Mata Danu memicing, “Papi gimana sih?” Ia menirukan Arga.
Sontak hal itu membuat tawa lepas Arga menggema, diikuti Deva juga Bu Ririn yang gemas akan tingkah Danu. Setelahnya, Arga mengacak-acak surai hitam Danu lalu mengecup kepalanya.
“Emang Danu sedih kalau nggak ada Papi?” Arga lantas bertanya.
“Iyaa,” lirih anak tiga tahun itu. “Papi jangan pergi lama-lama.”
“Papi gak lama kok,” balas Arga, “Nih, Papi udah di rumah kan?”
Danu mengangguk kecil, sedang Arga melirik piring anaknya itu.
“Danu lagi makan ya?” tanyanya.
“Iya, Papi. Danu lagi makan sayur biar gak sakit,” tutur Danu riang.
“Good,” Arga mencubit pelan pipi kiri Danu. “Dilanjutin makannya. Abis makan, Papi temenin main.”
“Oke!” Danu bersemangat.
“Papi.”
Danu berkacak pinggang dengan tampang tak terima. Ia duduk di depan meja kecil yang ada dalam kamarnya bersama Papa Papinya.
“Kenapa kudanya warna hijau?” protes Danu sambil menunjuk gambar yang diwarnai oleh Arga.
“Emang kuda warna apa?” Arga bertanya, “Bukannya hijau ya?”
“Bukan, Papiii.” Danu berceloteh, “Kuda warnanya cokelat. Ini nih.”
Deva menahan senyum melihat Danu menyodorkan pensil warna cokelat kepada Arga. Begitu juga Arga yang sedari tadi mengamati pengetahuan anak tiga tahun itu.
“Oh iya, Papi lupa. Kan yang hijau itu rumput ya?” Arga mendesis. “Aduh, maaf. Papi nih, pake lupa.”
Danu tertawa lalu menepuk paha sang Papi di sisinya, “Nggak apa-apa, Papiii. Kan bisa belajar lagi.”
Arga tersenyum lalu melirik Deva yang duduk di sisi kanan Danu. Si Omega mengusap sayang kepala Danu sebelum ikut melirik Arga.
“Sekarang udah jam berapa?”
Deva memeriksa jam di gawainya sejenak. “Dua puluh menit lagi udah jam delapan malam, Mas.”
“Ya udah, sekarang Danu siap-siap tidur. Besok baru dilanjutin lagi mewarnainya,” titah Arga.
“Kamu juga ke kamar gih, Mas. Bersih-bersih dulu,” ujar Deva.
Arga mengangguk setuju lalu menciumi kening putranya, “Tidur yang nyenyak, Sayang.”
Danu mengangguk. “Iya, Papi.”
“Love you.”
“Love you, Papi.”
Setelah Arga pamit keluar dari kamar sang anak, Deva lantas membiarkan Danu membereskan alat tulisnya sendiri. Namun, kala melihat Danu sedikit kesusahan memasukkan buku gambarnya ke dalam tas, Deva pun bertanya.
“Danu mau dibantu gak, sayang?”
“Gak usah, Papa.” jawab si kecil masih sambil berusaha membuat buku gambarnya masuk ke tas.
Mendengar jawaban sang anak, Deva lantas membiarkan Danu melakukan apa yang ia inginkan hingga akhirnya berhasil. Deva pun memberi dua jempol pada anaknya sebelum menemani si buah hati menaruh tas kecilnya.
“Danu tunggu di tempat tidur sebentar ya, mau Papa bikinin susu dulu di bawah.” kata Deva.
“Iya, Papa.”
Sepeninggal Papanya ke dapur, Danu pun berjalan ke ranjangnya. Namun, saat ia baru saja hendak duduk, atensi Danu terdistraksi kala matanya bertemu pandang dengan robot pemberian Davis.
Alhasil, Danu kembali turun dari tempat tidurnya. Ia berlari kecil ke arah mainan dari sang Paman, mengambilnya lalu membawanya ikut ke tempat tidur. Di sana pula Danu bermain dengan robotnya.
Tidak lama berselang, Deva pun kembali. Ia lalu terkejut melihat sang anak justru asik bermain.
“Danu, kok main lagi?” Deva menghampiri Danu, “Udah hampir jam delapan loh ini.”
“Sebentar aja, Papa.”
“Ya udah,” katanya. “Tapi sambil diminum ya susunya, Sayang.”
Danu mengangguk patuh lalu menenggak segelas susu yang disodorkan oleh Papanya. Saat minuman berwarna putih itu telah habis, Deva pun berkata.
“Sekarang udah waktunya bobo, Sayang. Mainannya disimpen ya.”
Sang anak pun memelas, “Danu belum ngantuk, Papa. Mau main.”
“Emang siang tadi Danu ngapain aja sama Mba Ais? Kok tumben jam segini Danu belum ngantuk?”
“Danu sama Mba Ais main, tapi robot dari Om Davis belum Danu mainin. Kasian robotnya. Kasian Om Davis juga, Papa.” kata Danu.
Celotehan Danu nyaris membuat Deva tertawa. “Oke, Papa kasih waktu lima menit buat mainin robotnya. Tapi abis ini, Danu udah harus bobo ya, Sayang?”
“Entar Papi ngomel loh kalau Danu gak bobo,” timpal Deva sambil berbisik kepada Danu.
“Oke, Papa.”
Mengusap surai hitam anaknya, Deva pun memerhatikan Danu yang kembali bermain peran dengan robot pemberian Davis. Namun beberapa saat kemudian, pintu kamar Danu pun terbuka.
“Kok Danu belum tidur?”
Deva melirik Danu sejenak lalu kembali memandangi Arga yang berdiri di ambang pintu, “Danu belum ngantuk katanya, Mas.”
“Tapi lima menit lagi bakal bobo kok,” lanjut Deva, “Kan, sayang?”
Danu mengangguk. Matanya tak pernah lepas dari Arga yang kini menatapnya dengan raut datar.
“Ck! Sekarang udah jam delapan,” kata Arga, “Kalau Danu gak bobo, mainannya Papi ambil. Gak Papi balikin sampai besok malam.”
“Jangan, Papi.” gumam Danu.
Arga mendengus lalu menatap Deva, “Kamu tunggu di kamar.”
Mengangguk kecil, Deva lantas bangkit. Tidak lupa mengecup puncak kepala Danu sebelum ia melenggang pergi dari kamar itu.
Setelahnya, Arga menghampiri Danu. Arga meraih mainan Danu lalu meletakkannya di atas nakas.
“Danu udah tau kan, kalau anak-anak yang tidurnya lewat dari jam delapan malam itu juga bisa gampang sakit?” Arga mencoba memberi pemahaman sambil duduk di sisi kanan Danu, “Papi nggak mau lihat Danu sakit lagi.”
“Jadi daripada nanti Papi ngeliat Danu sakit karena main sampai malem, mainannya mending Papi ambil aja.” timpal Arga, “Oke?”
Danu menggeleng lalu memeluk lengan Papinya, “Danu mau bobo sekarang, Papi. Jangan diambil.”
“Iya, gak Papi ambil kalau Danu mau bobo sekarang.” tutur Arga sambil mengusap kepala Danu. “Danu udah baca doa belum?”
“Belum,” jawab si kecil.
“Ya udah, baca doa dulu.”
Arga lantas memerhatikan Danu yang mulai memeragakan cara orang berdoa. Setelahnya, sang anak pun mendaratkan kepala di bantalnya. Arga ikut berbaring.
“Papi mau bobo di sini?” tanya Danu dengan mata berbinar.
“Enggak, kan Danu udah gede. Bobonya udah harus sendiri,” sahut Arga, “Tapi malam ini bakal Papi temenin deh sampai bobo.”
Arga menepuk-nepuk punggung anaknya yang sedang berbaring menyamping ke arahnya, “Papi kangen sama anak Papi soalnya.”
Beralih mengusap pipi anaknya, Arga pun bertanya. “Danu mau Papi ceritain dongeng nggak?”
“Gak mau.”
Jawaban Danu sontak membuat Arga kaget, “Kok gak mau sih?”
“Kalau gitu Danu deh yang cerita sama Papi, hari ini abis ngapain?” lanjutnya, tapi Danu menggeleng.
Danu mendekatkan tubuhnya ke Arga hingga dada mereka saling menempel, “Danu mau Papi yang cerita, hari ini abis ngapain aja?”
Arga mengusap belakang kepala putranya. Danu membuat Arga merasa tidak sedang berbicara dengan anak berusia tiga tahun. Meski begitu, tetap saja ia akan selalu dibuat gemas dengan aksi juga tutur kata polos sang anak.
“Hari ini Papi video call-an sama Danu, abis itu Papi sarapan terus mandi. Beres sarapan, Papi kerja deh sampai sore.” jelas sang CEO.
Danu terlihat berpikir, “Papi?”
“Mm?”
“Kenapa Papi suka kerja?”
Arga tersenyum tipis, “Karena Papi juga suka liat orang yang kerja sama Papi di kantor bisa makan, bisa beliin anak-anaknya mainan. Kalau Papi nggak kerja, nanti mereka nggak kerja juga.”
“Papi gak capek?” tanya Danu lagi. Alhasil, Arga tersenyum.
“Capek,” jawabnya, “Tapi capek Papi langsung hilang kalau liat Papa Deva sama Danu di rumah.”
“Apalagi kalau Danu sama Papa mainnya sambil ketawa-ketawa,” sambung si Alpha, “Papi seneng.”
Danu mengangguk, “Papi.”
“Iya, Sayang?”
“Danu udah ngantuk.”
“Ya udah, sekarang Danu bobo.”
Arga menepuk-nepuk bokong Danu sejenak sambil melihat bagaimana putranya itu mulai memejamkan mata. Sampai tak lama berselang, Danu akhirnya berlabuh jua ke alam mimpinya.