Boom
Deva menarik napas bersamaan dengan pintu kamarnya dan Arga yang ia dorong hingga terbuka. Saat itu pula Deva mengedarkan pandangan, mendapati suaminya sedang duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur mereka.
Kedua pasang netra itu seketika bertemu, saling beradu dalam diam sebelum Arga menepuk sisi kosong di sampingnya. Seolah memberi instruksi kepada Deva agar segera duduk bersamanya.
Dan Deva menurut. Bokongnya ia istirahatkan di atas empuknya sofa, sedang sorot matanya yang tetap tenang menatap lurus ke dalam netra madu sang Alpha.
“Kamu mau ngobrolin apa, Mas?”
Sama seperti Omeganya, Arga pun menatap Deva lekat-lekat.
“Ngobrol tentang kita,” sahut si pemilik lesung pipi, “Saya tau Mama abis bilang sama kamu soal Luna. Sekarang kasih tau saya apa yang lagi kamu pikirin.”
Pandangan seketika Deva buang ke arah lain, tatapannya kosong.
“Seharusnya kamu tau apa yang lagi aku pikirin,” kata Deva lirih.
“Kamu gak pernah bilang kalau Mba Luna itu mantan kamu. Jadi wajar kan kalau aku mikir kenapa kamu gak ngasih tau aku, Mas?” timpalnya lalu kembali menatap wajah sang suami di sampingnya.
Arga mendengus, “Masa lalu saya sama Luna gak ada hubungannya sama pernikahan kita dan nggak penting buat diungkit lagi, Dev.”
“Gak ada manfaatnya juga kalau saya ceritain ke kamu,” timpalnya lalu menarik napas, “Apalagi dulu kamu juga keliatan gak suka pas saya bahas soal mantan di depan Nadia. Jadi saya pikir kamu juga kayak saya, gak mau tau masa lalu yang gak penting buat kita.”
“Tapi itu kan Nadia, Mas.” balas Deva tetap tenang, “Waktu itu suami Nadia juga posisinya tau dari orang lain, dari kamu. Jadi aku bilang, Nadia mungkin jaga perasaan suaminya. Makanya dia gak bilang pas ketemu sama aku.”
“Tapi gak menutup kemungkinan Nadia bakal bilang ke suami dia di luar pertemuan kita dulu kan?” Deva melanjutkan, “Kondisi sama waktu yang jadi pertimbangan.”
Arga menyimak, sementara Deva kembali melanjutkan ucapannya.
“Mungkin bagi kamu masa lalu kamu sama Mba Luna itu gak penting buat diceritain, aku bisa ngerti kok. Tapi apa salahnya sih kamu ngasih tau aku kalau dia mantan kamu, Mas?” lirih Deva.
“Aku masih sedikit beruntung karena tau fakta itu dari Mama. Kalau aku tau dari orang lain… Aku harus gimana, Mas Arga?” timpalnya, “Harus keliatan baik-baik aja padahal kamu kesannya gak serius nikahin aku?” katanya.
Arga menyisir rambutnya kesal ke belakang, “Gak serius gimana lagi sih, Dev? Lagi pula gak ada yang tau hubungan saya sama si Luna selain Mama. Kamu pikir saya gak ngasih tau kamu tanpa pertimbangan juga?” balasnya.
“Saya selalu mikirin kenyamanan kamu. Saya cuma berpikir buat menghindari hal yang gak kamu suka dari yang saya pelajari soal kamu selama ini,” tegas Arga.
Deva menelan ludahnya meski kini tenggorokannya telah sakit, sementara kepalanya menunduk.
“Kok malah diem?” protes Arga, “Kasih tau saya, maksud kamu kalau saya gak serius gimana?”
“Dengan kamu nyembunyiin soal masa lalu kamu sama Mba Luna bikin aku ngerasa kalau kamu nganggap aku gak lebih dari orang asing yang kamu nikahi cuma buat ngubah status aja...”
Jemari Deva mencengkeram erat ujung baju kaos yang ia kenakan, “Kamu kayak gak benar-benar serius menerima aku sebagai suami yang boleh tau tentang kamu dan gimana kamu, Mas.”
“Kamu pengen tau apa tentang saya?” tanya Arga lalu menarik pelan dagu Deva agar menoleh, “Saya serius sama kamu, Deva.”
Sorot mata Arga begitu dalam, pun Deva yang masih terdiam.
“Kalau aku pengen tau alasan kamu sama Mba Luna putus, kamu bakal jawab?” tanya Deva.
“Saya diselingkuhin,” Arga to the point, “Saya mergokin dia having sex sama kolega eksternal saya.”
“Saat itu juga saya sadar kalau dia pura-pura baik sampai rela ngelakuin apa aja cuma karena pengen manfaatin posisi saya.”
“Dia gak ada bedanya sama orang bermuka dua di kantor yang baik karena ada maunya.”
Deva sedikit kaget saat suaminya itu justru menjelaskan alasannya secara gamblang. Namun yang lebih mengagetkan Deva adalah alasan Arga bahwa Luna pernah mengkhianati sang Alpha, sedang Bu Ririn masih menganggap jika Luna orang baik. Apa itu artinya Bu Ririn tidak tau? Pikir Deva.
“Udah kan? Apa lagi?” kata Arga.
Deva menipiskan bibirnya sesaat sebelum bertanya, “Jadi mantan pacar yang pernah kamu bilang cuma manfaatin kamu sampai bikin kamu nganggap kalau cinta itu bullshit Mba Luna ya, Mas?”
“Mhm,” gumam Arga.
Napas Deva tertahan. Deva pun buru-buru memalingkan wajah guna menghindari tatapan Arga.
“Aku paham apa yang Mba Luna lakuin ke kamu itu salah, Mas...” Deva menatap kosong ke depan.
“Tapi anggapan kamu kalau dia cuma pura-pura baik karena mau manfaatin kamu itu… Case-nya beda sama selingkuh,” tuturnya.
“Maksud kamu?” Alis Arga lantas menukik tajam mendengarnya.
Deva akhirnya memberanikan diri untuk kembali menoleh pada Arga, “Maksud aku, sumber sakit hati kamu gak seharusnya kamu kaitkan dengan sakit yang lain.”
“If she’s cheating on you, that’s it. Kamu sakit hati karena itu,” tutur Deva, “Yang pengen aku bilang… Gak semua sikap baik orang lain ke kamu itu karena ada maunya.”
“Orang yang selingkuh itu pasti punya alasan,” timpal Deva, “Dan gak menutup kemungkinan kalau asumsi kamu soal Mba Luna tuh justru beda dengan alasan dia.”
“That’s why people said: everyone deserves a second chance. Karena ada hal-hal yang bisa diperbaiki setelah mereka belajar sendiri.”
Rahang Arga mengeras. Ia lantas bangkit sembari menatap Deva dengan tatapan nyalangnya, “Tau apa kamu soal selingkuh, Deva?”
“Kamu pernah diselingkuhin?” tanya Arga lagi, “Apa kamu yang pernah selingkuh makanya kamu kesannya menormalisasi itu?”
Arga tertawa hambar, “Second chance kamu bilang? Kamu mau saya kembali sama orang yang salah? Gitu mau kamu, Deva?”
Deva ikut bangkit dari sofa. Ia berdiri tepat di hadapan Arga, kedua pasang netra mereka telah sama-sama memerah. Namun Deva masih bertahan dengan raut wajahnya yang tetap tenang.
“Aku gak menormalisasi,” balas Deva, “Tapi aku gak buta kalau selama ini kamu masih sensi ke Mba Luna, Mas. Awalnya, aku pikir kalian emang ada personal issue sampai akhirnya Mba Luna berhenti jadi sekertaris kamu lalu pindah ke divisi lain di kantor…”
“Dan sekarang aku tau kalau dia ternyata mantan kamu,” timpal Deva, “Berarti yang selama ini aku liat kan bentuk amarah kamu ke dia karena abis diselingkuhin.”
“Kamu belum move on dari rasa sakit itu, Mas Arga.” lirih Deva.
“Apa yang aku maksud second chance juga bukan soal kamu bisa kembali lagi sama dia,” katanya.
“Tapi soal gimana kamu ngasih dia kesempatan buat menyadari kesalahannya dan kamu nyoba buat berdamai sama luka kamu sampai kamu bisa maafin dia.”
“Sementara yang aku perhatiin, kamu justru menolak eksistensi dia. Kamu biarin masalah kamu sama Mba Luna tetap ada. Gak ada penyelesaian sama sekali.”
Deva kemudian tersentak ketika Arga tiba-tiba mencengkeram pundaknya cukup kencang. Sang Alpha memberi tatapan amarah.
“Maaf kata kamu?” bola mata si pemilik lesung pipi berapi-api, “Kamu pikir gampang sembuh dari luka yang saya rasain ini?”
“Saya ngeliat Papa saya sendiri tidur sama perempuan lain di kamarnya dan Mama pas saya masih kecil. Sampai-sampai saya gak percaya kalau cinta itu ada.”
“Dan kejadian itu justru terulang sama hubungan saya. Kamu tau nggak gimana sakit dan sulitnya jadi saya?!” suara Arga pun mulai meninggi, “Jawab saya, Deva!”
Deva tercekat mendengar Arga meneriakinya. Ini menjadi kali pertama Deva mendengar Arga meneriakinya dengan amarah.
“Aku gak tau!” Deva lantas ikut berteriak sambil menepis keras cengkeraman Arga hingga lepas.
“Aku gak tau apa-apa, Mas!” kata Deva, “Kamu gak pernah cerita apapun sama aku selama ini. Jadi gimana aku bisa tau?!” balasnya.
“Padahal kamu sendiri kan yang bilang supaya kita sama-sama terbuka? Tapi apa?” Deva tidak mampu lagi membendung air matanya hingga cairan asin itu seketika membasahi pipinya.
“Kamu gak pernah nyinggung sedikit pun soal kamu sama Mba Luna, bahkan soal Papa kamu!”
Mata Arga berkaca-kaca, “Kamu pikir saya bisa ceritain kenangan pahit itu? Bahkan kalau saya bisa meminta, saya gak mau ngingat kejadian itu lagi sampai mati!”
“Salah kalau saya cuma pengen fokus sama pernikahan kita dan gak nge-bahas hal yang nyakitin saya sejak kecil, Dev?” sela Arga.
“Aku suami kamu, Mas. Aku mau nemenin kamu ngerasain sakit itu juga biar kamu gak sendirian.”
“Kamu inget kan kata Nua?” kata Deva, “Apa yang kamu rasain tuh bakal aku rasain juga, Mas Arga.”
Air mata Arga ikut menetes.
Isakan Deva lalu terbebas, “Kamu juga tau gak gimana rasanya jadi aku?” tanyanya di sela isakannya.
“Kamu tau gak gimana sakitnya aku yang udah berusaha selalu ngertiin kamu supaya bisa jadi suami yang baik justru dibikin hancur sama realita kalau kamu belum nerima aku?!” jelasnya.
Deva menunjuk dada Arga, ujung jarinya pun menyentuh spot itu.
“Hati kamu masih tertutup, Mas. Kamu nikahin aku, tapi kamu gak bener-bener nerima aku sebagai suami kamu!” isaknya kian pecah.
Arga menarik rambutnya sesaat sambil memalingkan badannya sebelum kembali menatap Deva.
“Aku juga sakit liat kamu kayak gini, Mas.” suara Deva melemah.
Arga kemudian tersentak saat melihat Deva berbalik, hendak meninggalkannya. Alhasil, Arga buru-buru menjegal lengannya.
“Kamu mau ke mana?!” tanya Arga kesal saat Deva menoleh.
Deva lalu menepis cengkeraman sang suami di lengannya, “Aku butuh waktu sendiri. Malam ini aku mau pulang ke rumah Ibu.”
“Biar saya yang pergi,” kata Arga.
Ia kemudian meraih gawainya yang tergeletak di atas meja. Sedang Deva hanya menatap punggung Arga sambil menahan isakannya ketika sang suami melangkah ke arah pintu kamar.
Ketika Arga membuka lebar daun pintu, Deva seketika menahan napas; begitu juga dengan Arga. Pasalnya, Bu Ririn berdiri di sana, matanya memerah dan sembab. Jelas jika sang Mama mendengar pertikaian besar mereka tadi.
“Kenapa kamu gak pernah bilang sama Mama, Ga?” lirih Bu Ririn.
Arga seketika paham maksud si wanita paruh baya. Sebab sang Mama memang hanya tau alasan ia putus dengan Luna sama saja dengan alasan ketika ia memilih putus hubungan dengan orang yang menurutnya tidak tepat.
“Gimana aku bisa ceritain hal yang bisa bikin Mama ingat sama perbuatan laki-laki itu, Ma?” sela Arga, “Aku tau Mama bakal sedih karena hal yang gak Mama harap terulang sama aku justru terjadi.”
“Tapi, Ga—”
“Aku gak mau bahas ini sekarang. Aku capek,” potong Arga, “Mama juga bilangin ke menantu Mama, kalau dia pengen pulang ke Ibu jangan sekarang. Udah malem.”
“Ga! Arga! Kamu mau ke mana?”
Bu Ririn yang tadinya berniat untuk meluruskan pertikaian antara Arga dan Deva agar tak berkepanjagan hanya mampu menghela napas pasrah. Sebab Arga sudah lebih dahulu berlari menuruni tangga dari kamar.
Setelahnya Bu Ririn menoleh ke arah Deva. Menantunya itu pun masih berdiri di tempat semula. Ia lalu bergegas menghampirinya dan memeluk erat Deva yang refleks menangis di pundaknya.