jaesweats

Helaan napas gusar lantas Arga bebaskan saat chat-nya belum juga dibalas oleh Deva. Alhasil, ia bangkit, meninggalkan MacBook yang telah menyala di atas meja bersama segudang pekerjaannya. Arga melangkah tergesa ke arah ruangan Deva, alisnya menukik kala ia sampai di tempat tujuan.

“Chat saya kok gak dibales sih?”

Deva menelan ludah melihat raut kesal di wajah Arga, “Aku kan lagi beresin barang-barang di meja aku, Mas. Keburu orang suruhan Mas Arga dateng nanti,” alibinya.

Jujur saja Deva masih bingung ingin memberi respon apa atas chat Arga tadi. Entah, ia gugup.

Napas Deva pun tertahan ketika Arga mengambil satu langkah ke depan, membuat jarak berdiri mereka semakin tipis. Deva bisa merasakan betapa sengit sorot mata sang suami yang tak henti-hentinya memandanginya lamat.

“Jadi kamu gak suka kalau saya posesif kayak tadi?” ulang Arga.

Deva mendesis diikuti gelengan, “Mas, tadi aku cuma bercanda.”

“Tapi saya gak bercanda,” balas Arga, “Saya risih tau gak, ngeliat kamu ditempelin sama mereka.”

“Mana kamu juga suka iya-iya aja kalau diajak ngobrol sama orang,” lanjutnya, “Dev, ramah boleh kok. Saya gak ngelarang, silakan. Tapi kamu juga harus ingat kalau gak semua orang musti dikasih hati.”

“Kamu gak tau niat mereka apa, kalau ternyata beberapa dari mereka ada niat gak baik sama kamu gimana?” Arga mendengus, “Gak ada yang pernah tau, Deva.”

Deva memainkan jemarinya yang tiba-tiba dingin di samping paha. Ia masih menyimak omelan Arga.

“Saya bilang gini karena saya tau kamu baik,” sambung Arga yang membuat kedipan mata Deva lantas melambat. Baik katanya?

“Dan saya gak mau orang-orang ngambil kesempatan itu buat memanfaatkan kamu atau justru menjebak kamu ke dalam sebuah masalah,” Arga lalu membuang napas pelan, “Apalagi saya udah janji loh sama kedua orang tua kamu kalau saya gak akan biarin kamu ngadepin hal-hal gak baik.”

“Dan udah jadi tanggung jawab saya buat ngawasin kamu biar gak diapa-apain sama orang,” Arga memalingkan wajahnya dari Deva sejenak, “Tapi kalau emang sikap posesif saya ini bikin kamu ngerasa dikekang, kamu gak usah pindahin meja kamu,” ia kembali menatap wajah Deva lekat-lekat.

“Tapi saya gak mau denger kalau sampai kamu ngebiarin diri kamu ada dalam masalah,” tegas Arga.

“Udah, saya cuma mau bilang itu. Kerjaan saya jadi ngaret nih buat ngomelin kamu doang,” ketusnya lalu berbalik membelakangi sang suami, namun langkah Arga tiba-tiba terhenti kala Deva menahan lengannya; mencekal cukup kuat.

“Mas Arga.”

Sang CEO menoleh, “Apa?”

“Aku setuju kok buat mindahin meja aku biar deketan sama meja kamu,” mata Deva melirik ke arah lain sekilas guna meredam setitik rasa gugupnya, “Kan aku jadi bisa jagain kamu dari deket, Mas. Aku bisa mastiin kamu enggak kurang minum, telat makan, kecapean.”

Deva lalu mengulas senyum tipis, “Aku gak merasa dikekang, Mas.”

Pandangan Arga kemudian turun ke tangan Deva yang masih setia mencengkeram lengannya. Deva yang juga sadar akan hal itu pun seketika melepaskan tautan mereka diikuti dehaman pelan.

Hening sesaat.

Sampai ketika Arga akhirnya menoleh ke meja Deva, ia pun bertanya, “Ini mau dibawa kan?”

Deva mengangguk melihat sang suami menunjuk MacBook juga beberapa berkas yang telah ia masukkan ke dalam satu ordner.

“Ya udah, ayo.”

Deva mengulum senyum melihat Arga membawa MacBook juga ordner tadi untuknya. Buru-buru Deva mengambil tasnya sebelum mengekori Arga yang kini sudah berjalan lebih dulu di depannya.


“Sudah selesai, Pak.”

Mata Arga menelisik meja kerja Deva yang kini berada tak jauh dari miliknya. Tepatnya di sayap kanan ruangan, sebab tadi Deva berkata jika ia suka menghadap ke jendela guna melihat langit. Sementara meja Arga sendiri menyamping dari sisi jendela.

“Makasih ya,” sahut Arga kepada dua orang pria yang sejak siang tadi merenovasi tata letak ruang kerjanya, “Lain kali jangan telat.”

“Baik, Pak Arga.”

Setelah dua orang itu keluar dari ruangannya, Arga pun menoleh ke arah sofa. Ia mendengus kecil melihat Deva tertidur pulas di sana, padahal sudah hampir jam pulang kantor. Kayaknya Deva kecapean, pikir Arga. Sebab sejak pagi tadi, Deva setia membantu segala pekerjaan yang harus ia rampungkan sehabis masa cuti.

Sejenak sang CEO memandangi wajah damai Deva yang diterpa sinar matahari sore dari jendela. Alis Deva sesekali menukik masih dengan mata terpejam, nampak jika retinanya diusik oleh cahaya yang mencoba untuk menerobos masuk. Meski Arga niatnya ingin membangunkan Deva, tapi rasa tidak tega tiba-tiba menerpanya.

Alhasil, Arga lantas bangkit dari kursinya. Ia menghampiri Deva, duduk di sebelah suaminya itu dengan posisi menyamping guna menghalau cahaya jingga yang sedari tadi mengusik tidur Deva. Punggung Arga menjadi perisai.

Cukup lama memandangi figur sang suami yang masih berlabuh di alam mimpi, derap langkah dari arah pintu masuk mencuri atensi Arga. Ia sendiri pun sudah tau siapa sosok dibalik suara itu.

“Sore, Pak Ar—”

“Sshhh!”

Arga lalu meletakkan telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat agar Eren yang baru saja sampai merendahkan suaranya. Sedang Eren yang kini menyadari bahwa Deva terlelap lantas mengulum senyum diikuti anggukan paham.

“Tidur si Deva, Pak?” tanya Eren yang telah berdiri di depan sofa.

Tatapan Arga seketika berubah menjadi datar, “Ya kamu liatnya gimana? Udah tau pake nanya.”

“Sshhh!” Kini giliran Eren yang meletakkan telunjuk di bibirnya.

Arga pun melirik Deva sejenak sebelum kembali memandangi Eren yang berdiri di sampingnya. Bawahannya itu cengar-cengir lalu menyodorkan berkas yang sebelumnya memang ia minta.

“Saya cek bentar ya, Ren. Kamu tunggu aja biar gak bolak-balik naik turun kayak ingus,” katanya.

Eren menahan tawa, “Baik, Pak.”

Arga mulai memeriksa dokumen yang Eren bawa dengan teliti. Ia membuka lembar demi lembar dengan sorot mata yang serius. Sampai saat Arga merasa bahwa semuanya sudah cukup, ia lantas meraih pulpen milik Deva di atas meja lalu membubuhi berkas itu dengan tanda tangannya.

“Bilang sama CHRO kamu buat ngelanjutin ini, Ren.” pesan Arga.

Eren tersenyum, “Siap, Pak Arga. Kalau gitu saya permisi ya, Pak.”

“Ren.”

Baru saja Eren berbalik, namun Arga justru memanggil. Alhasil, ia pun kembali memutar badannya.

“Iya, Pak?” mata Eren berkedip kebingungan, sebab tatapan sang CEO justru tertuju kepada Deva.

“Deva bisa marah gak sih, Ren?” tanya Arga dengan pandangan yang masih tertuju ke suaminya.

“Bisa kok, Pak. Kalau Deva udah marah, beuh! Matanya langsung jadi dua,” canda Eren, Arga yang mendengarnya pun seketika menoleh dengan delikan tajam. Sedang tangan Arga sudah siap untuk membuka sepatunya guna melempari Eren yang menahan tawa dengan tangan dikibaskan.

“Maaf, Pak. Maaf. Saya bercanda,” Eren melirik Deva, ia tersenyum tipis melihat sahabatnya, “Deva kalau lagi kesel sama saya paling langsung ngatain saya setan atau anjing doang abis itu kelar, Pak.”

Tawa ringan Eren pun mengalun, “Dia anaknya antara tenang sama bego, Pak. Kalau lagi marah suka diem doang, tiba-tiba gak banyak omong gitu. Kalau Deva mungkin udah ngerasa tenang dikit, baru deh ngomong apa yang bikin dia marah. Abis itu Deva ngetawain dirinya sendiri kadang,” jelasnya.

“Berani kamu ngatain suami saya bego,” todong Arga, Eren lantas menelan ludah, “Ya udah, saya cuma mau nanya itu. Pergi sana.”

“Pak Arga,” Eren yang masih tak beranjak dari tempatnya berdiri pun kembali mengulas cengiran khasnya, “Kalau misal nih besok-besok Deva tiba-tiba nyusruk di depan Pak Arga, jangan diomelin ya? Si Deva aslinya gak ceroboh, cuman anaknya suka apes gitu.”

Eren melirik Deva dengan sorot mata kasihan, sementara Arga seketika teringat tentang ucapan sang suami akan kesialannya. Ia pun belum menanyakan kepada Deva bagaimana nasib sialnya setelah mereka berdua menikah.

“Saya titip Deva ya, Pak.”

“Ck! Tatap titip, kamu pikir saya tempat penitipan manusia apa?” omel Arga, “Keluar sana, bentar lagi jam pulang. Saya juga mau bangunin Deva,” titahnya yang dibalas anggukan oleh Eren.

Setelah Eren melenggang pergi, Arga pun beralih mengusap pipi Deva. Sesekali memberi cubitan kecil hingga empunya melenguh.

“Deva, kamu gak mau pulang?”

“Ng?” Deva membuka matanya, ia masih setengah mengantuk.

“Saya mau pulang dari kantor sekarang,” kata Arga, “Bangun.”

Anggukan lemah menjadi respon Deva. Ia kemudian mengusap wajahnya sambil berusaha untuk kembali duduk tegak, sebab Deva bersandar pada badan sofa tadi.

“Ini,” Arga menyodorkan tumbler air minum Deva yang tutupnya telah ia buka, “Minum dulu.”

“Makasih, Mas.”

Selagi Deva sibuk menenggak air minumnya, Arga justru menatap lamat sang suami. Sampai ketika Deva tidak sengaja melirik Arga, ia lantas terbatuk. Beruntung ia tidak menyembur suaminya itu.

“Kamu pelan-pelan dong,” Arga menepuk-nepuk pundak Deva, “Kebiasaan deh kalau minum.”

“Aku gak apa-apa, Mas.” ucap Deva lalu meletakkan tumbler di atas meja, tak lupa menutupnya.

Arga menyandarkan satu tangan di badan sofa, ia lalu menopang kepalanya di sana. “Kamu masih sering ketiban sial gak abis nikah sama saya?” Arga to the point.

Deva berpikir sejenak, matanya kemudian terbelalak. Mulutnya pun refleks ia tutup rapat-rapat dengan telapak tangan sesaat.

“Mas! Kok aku baru nyadar kalau beberapa hari terakhir aku gak pernah apes lagi?” Deva sendiri tidak percaya, “Terus waktu itu, yang pas kita having sex di home theater, aku kan lupa ya ngunci pintu. Kalau aja aku apes, pasti waktu itu kita bakal ketahuan Mama pas masih having sex.”

Deva meraih satu lengan Arga yang terbebas, menggoyang-goyangkannya dengan semangat, “Ternyata apa yang dibilang Nua bener, Mas. Aku gak sial lagi.”

Deva menahan dirinya agar tidak memekik, namun ia justru refleks memeluk Arga yang masih diam.

“Mas Arga, aku seneng banget!”

Senyum Arga tertahan, terlebih saat Deva tiba-tiba bungkam sesaat sebelum melepaskan pelukannya dengan raut kaget.

“Maaf, Mas.”

Deva berdeham pelan, “Kita mau pulang sekarang kan? Kalau gitu aku bersihin meja kamu dulu ya.”

Entah kenapa Deva justru salah tingkah. Ia pun berdiri dari sofa, bersiap untuk melarikan dirinya ke meja Arga. Namun baru saja Deva hendak melangkah, Arga tiba-tiba menarik lengannya. Begitu kuat hingga Deva kembali terduduk di tempatnya semula.

Persekian detik berikutnya, Deva dibuat bungkam ketika suaminya itu memeluknya. Sesekali Arga mengusap belakang kepala Deva.

“Saya suami kamu,” gumam Arga, “Kamu tuh gak perlu minta maaf karena meluk saya doang, Deva.”

“Orang tiap pagi juga kamu suka meluk-meluk saya kan?” katanya.

Deva terkekeh, “Kalau itu kan kamu yang minta, Mas. Terus… sekarang kita gak lagi heat atau rut. Jadi aku agak sungkan buat skinship sama kamu,” jelasnya.

“Aku takut bikin kamu ngerasa gak nyaman,” Deva menimpali.

Menarik dirinya hingga pelukan mereka terlepas, Arga kemudian menatap Deva datar. “Kamu gak usah lebay deh. Kalau saya gak nyaman, ngapain juga saya minta dipeluk sama kamu tiap pagi?”

Deva tersenyum tipis. Baginya, Arga seperti pelangi. Suaminya itu memiliki banyak warna yang membuat Deva kerap kali heran. Atau mungkin dia aja yang belum mengenal Arga lebih jauh selama ini? Deva sibuk akan pikirannya.

“Ck! Malah ngelamun,” Arga lalu meraih tas Deva, “Ayo, pulang.”

“Tapi meja kamu belum—”

“Gak usah,” potong Arga, “Kita bakal makan malam di jalan kalau gak ninggalin kantor sekarang.”

Deva mengangguk paham. Ia pun mengikuti Arga yang bangkit lalu melangkah mendahuluinya. Arga kemudian mengunci pintu ruang kerja mereka setelah ia keluar.

Sepasang suami itu lalu kembali melanjutkan langkah mereka, dari masuk ke dalam lift hingga turun ke basement, sebab mobil Arga ada di sana. Sampai ketika keduanya telah sampai di area parkir, Deva mengucek matanya yang tiba-tiba perih dan gatal. Bahkan ketika Arga membuka pintu mobil di sisi penumpang untuknya, Deva masih mengucek matanya sambil mendesis pelan.

“Mata kamu kenapa?” tanya Arga saat ia telah masuk dan duduk di bangku kemudi. Ia heran melihat Deva mengucek-ucek matanya.

“Kayaknya kelilipan deh, Mas.”

“Jangan dikucek gitu, entar mata kamu malah iritasi.” tutur Arga lalu menangkup wajah suaminya, “Coba sini saya liat mata kamu.”

Deva pun menurut, membiarkan Arga mengusap kelopak matanya dengan lembut sejenak. Arga lalu membuka sedikit kelopak mata Deva yang memerah, meniupnya pelan hingga rasa gatal dan perih di dalam sana berangsur reda.

“Gimana?” tanya Arga.

“Udah agak mendingan, Mas.”

Arga kembali memberi tiupan pelan di mata Deva hingga sang empu akhirnya bisa membuka mata lebar-lebar tanpa bantuan jarinya. Namun pada saat itu pula tatapan mereka justru terkunci. Arga dan Deva saling bertukar pandang dengan jarak wajah keduanya yang sudah amat tipis.

Sadar akan posisi mereka yang begitu dekat, Deva berdeham. “Mata aku udah baik-baik aja kok, Mas. Makasih banyak ya.”

Arga mengangguk, “Ya udah.”

Keduanya yang semula duduk dengan posisi menyamping pun beralih menghadap ke depan. Namun hanya persekian sekon berselang, Arga maupun Deva sama-sama berteriak kencang sambil berpelukan amat erat.

“Aaaaaaa!”

“AAAAAAAA!”

Bagaimana tidak? Saat mereka menghadap ke depan, seseorang justru tengah merayap di kap mobil Arga. Tidak jauh berbeda dengan posisi orang yang baru saja ditabrak. Belum lagi senyum lebar di wajahnya yang seperti pemain film horror. Namun saat sadar jika sosok itu adalah Nua, Arga dan Deva lantas berdecak.

“Ih Nua!” pekik Deva kesal, “Bikin kaget aja tau gak? Ngapain sih?”

Nua tergelak. Setelahnya, ia pun bergegas turun dari kap mobil Arga lalu memilih untuk berdiri di samping jendela pada sisi Deva yang masih terbuka cukup lebar.

“Kirain tadi bakal ada adegan ciuman,” Nua cengengesan.

Deva dan Arga mendengus.

“Ngapain tadi anda di situ? Kayak tokek aja nempel di mobil saya.”

Nua melipat lengan, “Abisnya lo berdua lagi romantis-romantisan tadi. Gue kan jadi gak enak kalau musti ketok-ketok jendela, Ga.”

“Ya tapi anda ngapain sih dateng tiba-tiba? Nggak ada sate lilit di sini,” ketus Arga masih dengan napasnya yang sedikit tersengal.

Nua cengar-cengir, “Gue pengen ikut belanja sama kalian. Boleh?”

“Gak!” sahut Arga.

Deva yang bingung pun angkat bicara, “Siapa yang mau belanja sih, Nu? Gue sama Mas Arga nih mau pulang. Ada-ada aja deh lu.”

“Oh iya, suami lo belum ngasih tau. Ck!” Nua mengerling pada Arga yang tengah mengeraskan rahang sambil mengepal tinju di belakang kepala Deva, “Ya udah iya, gue gak ikut. Tapi gue nitip baju satu ya? Boleh?” pintanya.

Arga menghela napasnya kasar, ia menatap Nua tidak percaya.

“Kalau saya beli palu buat mukul kepala kamu aja gimana? Mau?”

Nua memelas, “Lo kenapa sih gak di sono, gak di sini kejam amat?”

“Dev, beliin gue satu ya? Duit laki lo banyak. Anggap aja sedekah,” Nua beralih meminta pada Deva.

“Apaan sih anda ini,” tegur Arga, “Kalau mau baju baru, kerja! Cari duit, jangan minta. Pergi sana!”

“Iya. Maaf,” pundak Nua jatuh, sedang bibirnya melengkung ke bawah, “Jangan marah dong, Ga.”

Arga lalu mengibas-ngibaskan tangannya, membuat Nua mau gak mau memundurkan langkah sebab Arga hendak menutup jendela mobilnya. Ketika sang CEO tak mampu lagi mendengar suaranya, Nua lantas tersenyum tipis lalu geleng-geleng kepala.

“Kenapa sih dari dulu kebaikan lo itu harus sembunyi dibalik sikap kejam lo?” gumam Nua sebelum meninggalkan mobil sang CEO.

Sementara itu, Deva yang sedang menuntut penjelasan dari Arga atas ucapan Nua tadi menatap wajah suaminya itu lekat-lekat.

“Mas, kok Nua bilang gitu sih?” tanyanya, “Kita mau ke mana?”

Arga yang kini telah menyalakan mesin mobilnya melirik ke arah Deva sekilas, “Saya mau bawa kamu belanja, beli baju baru.”

“Tapi baju aku di rumah udah banyak, Mas. Masih bagus lagi.”

“Tapi bukan saya yang beliin,” balas Arga, “Saya pengen liat kamu pake baju dari saya juga.”

Deva tersenyum tipis, “Ya udah.”

Melirik seat belt Deva yang belum terpasang, Arga lalu meraihnya. Sedang Deva yang melihat sang suami memasangkan seat belt dalam jarak wajah yang dekat membuatnya menahan napas.

Keduanya kembali berbagi tatap sejenak, namun baik itu Arga maupun Deva lantas melirik ke arah lain sebelum menegakkan posisi duduk mereka di bangku masing-masing. Arga pun sudah bersiap-siap untuk membuat mobilnya melaju. Namun niatnya itu seketika terhenti saat ekor matanya menangkap Deva yang sedang menutup wajah dengan kedua tangannya, bahu suaminya itu bahkan sedikit bergetar.

“Deva?” Arga menepuk pundak sang suami, “Kesurupan kamu?”

Deva lantas menarik tangan dari wajahnya, ia menoleh pada Arga sambil tertawa kecil. “Mas, aku tuh keinget pas kita teriak tadi.”

“Kamu selalu bilang supaya aku gak percaya hantu, tapi tadi tuh kamu teriaknya kenceng banget.”

Arga berdeham, “Itu saya teriak bukan karena ngira si Nua hantu. Tapi saya kaget, kirain ada mayat tiba-tiba jatuh di atas mobil, ck!”

“Iya deh, aku percayaaa.”

“Kamu ngeledekin saya?”

“Enggak,” Deva menahan tawa. Namun sesaat setelahnya Deva justru terkekeh geli, sebab Arga tiba-tiba menusuk pinggangnya dengan telunjuk, “Mas Arga ih!”

“Ngeledekin sih,” ucap Arga lalu menancap pedal gas mobilnya.

Deva melenguh pelan sebelum membuka mata. Kala menoleh ke arah jam, Deva mendapati bahwa saat ini sudah hampir pukul lima. Seperti biasa, ia terbangun pada dini hari tanpa bantuan alarm. Sejenak, Deva menoleh ke arah suaminya. Arga masih terlelap dengan wajah damai di sisinya.

Memiringkan tubuhnya ke arah Arga, Deva lalu menggoyangkan pelan badan sang suami sambil berkata, “Mas Arga, hari ini kita udah ngantor lagi loh. Gak mau bangun sekarang?” gumamnya.

“Sekarang jam berapa?” tanya Arga masih dengan kedua mata yang terpejam, suaranya serak.

“Kurang lima belas menit lagi udah jam lima subuh, Mas.”

Arga mendengus pelan sebelum membuka matanya sejenak guna memandangi Deva, “Bangunin saya tiga puluh menit lagi, Dev.”

Deva mengangguk kecil, “Hari ini kamu mau milih baju sendiri apa aku aja yang milihin?” tanyanya.

“Kamu aja,” jawab Arga setengah mengantuk, suaranya pun sudah nyaris tidak didengar oleh Deva.

“Ya udah,” Deva mengusap pelan bahu suaminya sebelum bangkit, tidak lupa menarik selimut guna menghangatkan tubuh Arga yang kembali berlabuh ke alam mimpi.

Sembari merenggangkan otot-ototnya, Deva lantas melangkah ke walk in closet yang letaknya persis di sebelah kamarnya dan Arga. Hanya ada sebuah pintu geser berbahan kaca yang jadi sekatnya. Deva masuk ke sana, memilih pakaian untuk dirinya juga suaminya sebelum meraih setrika uap lalu menyetrikanya agar lebih rapih dan lembut lagi.

Seusai menyelesaikan setrikaan, Deva keluar dari walk in closet. Ia berjalan mengendap-endap kala melewati tempat tidur, tak lain agar Arga gak terbangun, hingga akhirnya keluar dari kamar. Kini Deva berjalan menuju dapur di lantai dasar rumah. Selain untuk menuruti hasratnya yang ingin membuat menu sarapan hari ini, Deva pun ingin melepas dahaga dengan meminum air dari kulkas.

“Mamah gak bisa pulang, Neng. Bulan lalu Mamah teh udah izin pulang juga sama Mas Arga, jadi gak enak kalau musti izin lagi.”

“Mamah transferin uang buat nebus obat nenek sama biaya rumah sakit gak apa ya, Neng?”

Langkah kaki Deva terhenti saat ia mendengar juga melihat sang asisten rumah tangga—Bi Yati—yang sedang menelpon di depan kulkas dan membelakangi Deva. Alhasil, si wanita paruh baya pun belum menyadari kehadirannya.

“Maafin Mamah ya, Neng.” Ucap Bi Yati lirih, “Sampein maaf dari Mamah juga buat nenek. Eneng jagain neneknya baik-baik ya?”

Raut wajah Deva lantas berubah menjadi sedu setelah mendengar percakapan Bi Yati dengan sosok yang Deva yakini adalah anaknya. Namun saat melihat Bi Yati kini kembali sibuk di depan pantri, Deva buru-buru menghampiri. Ia mengulas senyum, seolah tidak mengetahui apa-apa. Ia enggan membuat Bi Yati semakin sedih. Terlebih, sangat jelas jika wanita paruh baya itu kaget melihatnya tiba-tiba datang ke ruang dapur.

“Mas Deva,” sapa Bi Yati, “Ada yang bisa Bibi bantu?” tanyanya.

“Aku cuma mau ngambil minum kok, Bi. Haus banget,” kata Deva sambil berjalan ke arah kulkas, “Oh iya, Bi. Pagi ini aku bantuin Bi Yati bikin sarapan ya? Boleh?”

“Aduh, jangan, Mas Deva. Entar Mas Arga ngomel lagi loh,” tutur Bi Yati, “Mas Arga udah bilang gak mau Mas Deva capek-capek.”

“Gak kok, Bi. Lagian aku pengen nyoba masak buat suami. Kalau Mas Arga suka, besok-besok mau aku bekelin,” Deva tersenyum.

Bi Yati mengangguk pelan sambil terkekeh, “Terus Mas Deva mau masak apa nih buat Mas Arga?”

“Apa ya, Bi.” Deva berpikir sambil membuka pintu kulkas, “Kalau nasi goreng, Mas Arga suka gak?”

“Suka kok, Mas. Bibi juga sering bikin nasi goreng buat Mas Arga, tapi minyaknya harus dikit gitu.”

“Mm… Oke,” Deva mengangguk lalu menoleh ke arah kulkas, tapi yang kemudian terjadi, ia justru dibuat terbelalak, “Ya ampun, Bi! Ini pintu kulkas kok isinya susu semua?” tanyanya nyaris histeris.

Bi Yati cengar-cengir, “Semalem Mas Arga yang pesen, Mas. Tapi paketnya dateng pas Mas Arga sama Mas Deva udah di kamar, jadi Bibi yang masukin ke kulkas.”

“Emang Mas Arga pesen berapa banyak, Bi?” Deva geleng-geleng kepala, “Ampe satu pintu penuh.”

“Sebenernya Mas Arga pesen tiga kardus, Mas. Tapi karena kulkas khusus susu sama makanan buat Mas Deva belum dateng juga, jadi yang dikirim semalem baru satu.”

“Terus Bu Ririn bilang, semuanya aja dimasukin ke kulkas sampai kulkas barunya dateng,” jelasnya.

“Hah?” Deva semakin menganga, pasalnya Arga gak bilang apa-apa perihal susu, apalagi kulkas baru, “Ngapain Mas Arga beli kulkas lagi sih, Bi? Ini aja udah gede.”

“Masih gak cukup katanya, Mas.”

Menghela napasnya gusar, Deva kemudian mengambil satu botol susu kesukaannya itu sebelum menutup pintu kulkas. Ia masih gak habis pikir dengan suaminya. Deva akan meminta penjelasan Arga nanti, saat selesai memasak.

Selepas menenggak habis susu yang ia ambil dari kulkas, Deva mulai membantu Bi Yati untuk memotong bahan-bahan di atas meja pantri. Deva amat senang memasak sejak masih tinggal di rumah Ibu dulu, alhasil ia sama sekali tidak memiliki kendala dalam membuat nasi goreng. Saking terlalu menikmati aksinya di dapur, Deva nyaris lupa bahwa ia harus segera membangunkan Arga. Beruntung Bi Yati bertanya.

“Mas Deva hari ini udah masuk kantor gak?” tanya si paruh baya.

“Astaga. Iya, Bi. Sekarang udah jam berapa? Aku mau bangunin Mas Arga,” tutur Deva sambil mengaduk nasi goreng di wajan.

“Udah hampir jam setengah enam nih, Mas. Ya udah, biar Bibi yang lanjutin ya?” tawar Bi Yati.

“Oke, Bi. Kalau gitu aku ke kamar dulu ya. Ini nasi gorengnya juga sisa dipindahin ke piring kok.”

“Siap, Mas Deva.”

“Makasih ya, Bi.”

Deva lalu bergegas meninggalkan dapur. Ia sedikit berlari menaiki tangga hingga akhirnya sampai di kamarnya dan Arga. Membuka pintu, Deva menghela napasnya kala mendapati Arga masih pulas. Alhasil, ia duduk di tepi ranjang, tepat di samping Arga sebelum mengusap pelan bahu suaminya.

“Mas Arga, bangun. Udah tiga puluh menit nih,” kata Deva.

Arga hanya melenguh.

“Mas,” panggil Deva lagi, kali ini sambil menepuk-nepuk pelan pipi Arga, “Entar kita telat, Mas.”

“Mhm,” gumam Arga.

Saat sang suami membuka mata, Deva lantas tersenyum, terlebih ketika Arga merentangkan kedua tangan ke arahnya. Paham akan hal itu, Deva pun membungkuk. Deva memeluk sang suami yang masih berbaring terlentang di atas ranjang, membuat wajahnya tenggelam di ceruk leher Arga, sedang dada mereka menempel.

“Deva.”

“Iya, Mas?”

“Kamu gak mandi sejak kemarin ya?” Arga lalu mengendus tubuh Deva, “Kamu kok bau terasi sih?”

Deva terkekeh. Ia mengangkat kepalanya, menatap wajah Arga.

“Aku mandi, Mas. Tapi tadi aku abis masak, terus kata Bi Yati si Mama suka sambel terasi. Jadi ya udah, aku bikinin,” jelas Deva.

“Kamu kok ikutan masak segala?” Arga berdecak, “Saya kan udah bilang, kamu gak usah ngerjain apa-apa di rumah selain ngurus saya. Masa kamu gak paham?”

Menghela napasnya pelan, Deva kembali menenggelamkan wajah di ceruk leher Arga, “Aku paham kok, Mas. Tapi aku juga pengen masak buat kamu sama Mama, jadi aku bantu-bantu Bi Yati tadi.”

“Kan kalau kamu suka masakan aku, besok-besok aku bisa bikin bekel buat kamu. Biar kamu juga gak makan di luar tiap hari, jajan sembarangan,” timpal Deva, “Aku bisa jamin kebersihannya kalau aku yang masak di rumah, Mas.”

Tak merasakan pergerakan sang suami saat mereka berpelukan cukup lama, Deva pun bertanya, “Kamu gak tidur lagi kan, Mas?”

“Enggak,” gumam Arga.

“Ya udah. Sekarang kamu bangun ya, Mas?” Deva lalu melepaskan tautannya dengan Arga. Ia duduk di tepi tempat tidur diikuti sang suami yang juga telah bangkit.

“Minum air dulu,” Deva meraih segelas air di atas nakas sebelum menyodorkannya kepada Arga.

Selepas Arga menghabiskan air minumnya, Deva lantas berdiri. Pun sang suami yang kini bersiap melenggang ke kamar mandi.

“Mas, handuk kamu udah ada di kamar mandi ya,” tutur Deva sambil merapikan tempat tidur.

“Deva.”

“Mm?” Deva menoleh ke arah sang suami yang berdiri tepat di samping kanannya, “Apa, Mas?”

“Gak mau mandi bareng?”

“Enggak,” gumam Deva sebelum melanjutkan kegiatan merapikan tempat tidurnya, sementara Arga hanya terkekeh sembari berjalan ke kamar mandi. Deva pun diam-diam mengulum senyum hingga dirinya sendiri nyaris tidak sadar bahwa ia sedang tersipu malu.

***

“Ini nasi gorengnya kamu yang bikin?” tanya Arga yang kini telah duduk di kursi pada meja makan bersama Deva juga Bu Ririn yang berada di sisi seberang mereka.

“Iya, Mas.”

“Deva bisa masak?” tanya Mama.

Deva mengangguk, “Bisa, Ma.”

“Mama coba ya,” ucap si wanita paruh baya. Ia melahap sesendok nasi goreng di hadapannya, Deva pun seketika dibuat deg-degan menunggu respon sang mertua.

“Enak loh,” puji Bu Ririn, “Mama suka, rasanya pas di lidah Mama.”

Tersenyum sumringah, Deva lalu menoleh ke Arga yang duduk di sampingnya. “Mas, cobain juga.”

“Kalau rasanya gak enak di lidah saya, kamu yang harus habisin semua ini.” Arga menekankan.

Deva berdeham, “Tapi... Kalau rasanya enak, aku boleh minta sesuatu sama kamu gak, Mas?”

Arga yang tengah mengaduk nasi goreng di hadapannya pun lantas melirik Deva, “Emang kamu mau minta apa? Mobil? Uang belanja?”

“Aku bakal bilang kalau Mas Arga udah nyoba,” Deva cengengesan.

Arga dan tak terkecuali Bu Ririn menatap Deva dengan raut wajah penasaran. Setelahnya, Arga pun mulai mencoba satu suap nasi goreng yang dibuat oleh Deva.

“Gimana, Mas?” tanya Deva.

Ada secarik harap di sorot mata Deva, Arga yang melihat sang suami pun geleng-geleng kepala dengan senyum yang tertahan.

“Kamu pengen minta apa?” tanya Arga lalu kembali memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya sambil menatap Deva.

“Jadi nasi gorengnya enak, Mas?”

Arga mengangkat pundak, “Gak enak sih sebenernya, tapi muka kamu minta dikasihani banget.”

Deva mencebik, sedang Bu Ririn yang melihat tingkah anak juga menantunya tersenyum tipis.

“Cepetan bilang sebelum saya berubah pikiran,” tegas Arga.

Deva mendesis, ia kemudian celingak-celinguk sejenak sebelum mencondongkan badan ke arah Arga. Sang suami yang semakin heran melihat tingkah Deva pun mengerutkan kening.

“Aku pengen Mas Arga ngasih Bi Yati izin buat pulang, boleh gak?” Deva memelas, “Tadi aku tuh gak sengaja dengerin Bi Yati nelpon. Ibunya kayaknya lagi sakit, terus minta Bi Yati pulang. Tapi Bi Yati gak bisa pulang karena dia gak enak kalau harus izin lagi, Mas.”

“Aku kasian dengernya. Aku gak bisa bayangin kalau Ibu aku yang sakit terus gak ada aku,” timpal Deva, “Boleh ya, Mas?” pintanya.

Arga menghela napas kasar. Deva pun refleks bungkam saat Arga tiba-tiba memanggil Bi Yati.

“Bi! Bi Yati!”

Bi Yati yang datang dari arah dapur pun menjawab, “Iya, Mas.”

“Ibunya Bi Yati masih sakit?”

“Waktu saya balik ke Jakarta, Ibu saya udah sehat, Mas Arga. Tapi kemarin masuk rumah sakit lagi.”

Arga berdecak, “Terus kenapa Bi Yati gak pulang? Durhaka banget jadi anak, Ibunya sakit malah gak dijengukin,” omel Arga, sedang Bi Yati hanya menunduk, “Siap-siap sana, abis ini saya beliin Bi Yati tiket kereta. Jangan balik ke sini kalau Ibu Bi Yati belum sembuh.”

“Mas,” Deva mengusap punggung tangan Arga di atas meja, “Jangan gitu dong ngomongnya, Mas.”

Bu Ririn mengangguk setuju lalu beralih menatap Bi Yati, “Bi, lain kali bilang ya kalau ada apa-apa? Bi Yati udah lama loh kerja di sini tapi kenapa masih aja sungkan?”

Mata Bi Yati berkaca-kaca, “Ibu sama Mas Arga udah selalu baik sama saya. Saya gak enak kalau dikit-dikit izin pulang lagi, Bu.”

“Udah. Siap-siap sana, Bi. Entar malah ketinggalan kereta,” tutur Arga sebelum kembali melahap nasi goreng buatan sang suami.

Bi Yati tersenyum dengan rasa haru, “Makasih banyak, Mas.”

“Mm,” Arga mengangguk.

Bi Yati lalu berpamitan kepada Bu Ririn, Arga juga Deva sebelum meninggalkan ruang makan itu. Deva yang sedari tadi diam-diam mengamati Arga lantas tidak bisa membendung senyum. Dibalik sikap Arga yang terkesan ketus dan galak nyatanya tersimpan hati yang lembut, pikir Deva.

“Enak banget ya, Mas?” ledek Deva saat melihat Arga sudah nyaris menghabiskan sepiring nasi goreng, “Mau nambah?”

Mengerling, Arga kemudian menyodorkan sesendok nasi goreng ke depan mulut Deva. Alhasil, Deva pun melahapnya sambil menahan tawa. Sedang Arga refleks tersenyum manis. Bu Ririn yang melihatnya pun ikut tersenyum sebelum beralih menatap wajah Deva lekat-lekat.

Senyum menghiasi bibir tipis Elian tepat setelah ia keluar dari kamar kosan-nya lalu mengunci pintu. Pasalnya, Arvin nyatanya telah berdiri di sana. Padahal, setelah membangunkan Elian dan memberitahu pacarnya agar segera mandi lalu bersiap-siap tadi, Arvin izin untuk pergi ke rumah Ami sejenak. Kini Arvin tak henti-henti memandangi Elian dengan tatapan lamat. Di tangan kanan Arvin bertengger sebuah paper bag warna cokelat.

“Ini ada titipan dari Ami,” kata Arvin sembari menyodorkan paper bag yang dibawanya itu.

“Kamu bilang sama Ami ya kalau aku mau pulang ke rumah?” balas Elian sembari meraih paper bag.

“Iya, soalnya tadi teh Ami minta aku ngajak kamu sarapan bareng di rumah. Aku bilang weh kalau kamu mau pulang,” tutur Arvin lalu menunjuk paper bag yang telah Elian genggam, “Jadi Ami nitip itu, katanya kue buat kamu sama orang rumah kamu cenah.”

Elian tersenyum, “Bilang ke Ami, makasih banyak dari aku ya, Ar.”

“Iya, nanti aku sampein.”

“Kalau gitu, aku pamit sekarang ya. Entar aku kabarin kamu lagi kalau udah nyampe,” kata Elian sambil mengusap bahu pacarnya.

“Gak ada yang kelupaan?”

Elian menggeleng, “Gak ada kok. Lagian aku teh gak bawa banyak barang, Ar. Pakaian aja aku gak bawa,” ia terkekeh, “Ini tas aku isinya charger sama laptop weh.”

“Beneran gak ada?” tanya Arvin berusaha meyakinkan Elian lagi.

Elian mengangguk mantap, “Iya, Ar. Nih, handphone aku juga ada.”

Arvin berdeham pelan, “Aku kira kita mau pelukan,” gumam Arvin, “Soalnya yang semalem gak jadi.”

Tertawa ringan, Elian seketika merentangkan kedua tangannya. Begitu lebar hingga Arvin yang melihatnya senyum sumringah.

“Ayo, Ar. Katanya mau pelukan.”

Mengangguk kecil, Arvin lantas ikut merentangkan tangan. Ia mendekap erat tubuh Elian, pun pacarnya yang melakukan hal serupa sambil terkekeh pelan.

“Kita udah kayak mau LDR-an beda negara aja,” Elian mendesis, “Padahal beda kecamatan weh.”

Arvin tersenyum lalu mengecup pundak Elian sejenak sebelum berkata, “Tapi aku gak terbiasa jauh dari kamu, Lian. Aku kangen kalau gak liat kamu sehari aja.”

“Gombal,” ledek Elian.

Arvin menggeleng pelan, masih sambil memeluk pacarnya, “Teu.”

Cukup puas saling berbagi dekap hangat selama beberapa menit, Arvin dan Elian pun melepaskan pelukan mereka. Beralih saling memandangi dengan senyum manis di wajah. They’re in love.

“Ya udah, hayu. Aku anterin ke depan,” Arvin menggenggam jemari Elian, hendak menarik lengan pacarnya itu agar mereka segera berjalan beriringan ke halaman depan kos-an. Sebab, mobil Elian terparkir di sana sepulang dari menyiar semalam. Sayangnya, langkah kaki Arvin justru tertahan kala ia merasakan Elian tidak bergerak sama sekali.

“Lian?” Arvin menatap pacarnya dengan raut heran, “Kenapa—”

Ucapan Arvin lantas terpotong saat satu tangan Elian tiba-tiba menarik tengkuknya. Pacarnya itu kemudian menciumi bibirnya begitu lembut dan penuh afeksi. Arvin jelas tidak menolak. Kedua lengannya refleks melingkari pinggang ramping Elian, sedang bibirnya membalas lumatan demi lumatan yang pacarnya berikan.

“Lian…” bisik Arvin di tengah-tengah pagutan mesra mereka.

Memberi jarak antara wajahnya dengan Arvin sejenak, Elian lalu menatap lurus ke dalam netra teduh pacarnya itu dan bertanya.

“Kenapa, Ar?”

“Kita lagi di bawah CCTV.”

Sontak mata Elian melotot. Ia buru-buru melepas tautannya dengan Arvin. Elian amat panik, namun pacarnya justru terkekeh.

“Ih, Ar. Kok kamu malah ketawa?” Elian mencubit pipi kanan Arvin, “Atuhlah, bakal ketahuan Ami ini.”

“Gak apa-apa,” ucap Arvin santai, “Aku mah ngasih tau kamu weh. Bisi kamu teh kaget kalau besok-besok kita diledekin si Ami, Abi.”

Elian memelas, “Kumaha ieu, Ar? Aku malu ketahuan nyium kamu di sini. Apa kata Ami sama Abi ih.”

“Aku boleh nyium kamu, Lian?”

Elian melongo, “Hah?”

“Saya juga mau nyium kamu.”

Elian gak paham kenapa Arvin justru ingin melanjutkan ciuman mereka, namun pada akhirnya ia lantas mengangguk mengiyakan. Toh sudah terlanjur, pikir Elian. Alhasil, Arvin menciuminya lagi. Pacarnya itu memagut bibirnya cukup intens hingga Elian dibuat sedikit kewalahan membalasnya. Alhasil, satu-satunya cara Elian untuk melampiaskan sensasi candu nan memabukkan dari ciuman pacarnya adalah dengan mencengkeram pundak Arvin.

Merasa jika napas Elian mulai tersengal-sengal dan bibirnya yang semakin memerah, Arvin pun menyudahi ciuman mereka. Ia beralih mengusap lembut pipi Elian sambil tersenyum manis.

“Aku juga nyium kamu, jadi kita teh bakal malu sama-sama, Lian.”

Berdecih, Elian kembali memeluk tubuh Arvin sambil mengendus ceruk lehernya. Meski pacarnya itu belum mandi pagi, namun Elian nyatanya justru masih bisa menghirup wangi maskulin sang pujaan hati yang menenangkan.

“Lian, udah hampir jam tujuh.”

Mengangguk, Elian kemudian melepaskan dekapannya dengan Arvin. Satu tangannya beralih menggenggam jemari si pemilik lesung pipi sebelum pacarnya itu menuntunnya untuk bergegas meninggalkan lantai dua kos-an.

Sampai saat Arvin dan Elian telah tiba di halaman depan kos-an, dimana mobil Elian yang masih ditutupi kain parasut terparkir rapi, si pemilik lesung pipi buru-buru membukanya untuk Elian. Sedang Elian yang melihatnya lantas merogoh saku celana guna mengambil kunci mobilnya. Tapi Elian justru dibuat panik sesaat setelahnya karena tidak kunjung menemukan kunci mobilnya itu.

“Kenapa, Lian?” tanya Arvin yang kembali berdiri di samping Elian.

“Ar, kayaknya aku lupa ngambil kunci mobil aku deh di kamar.”

Arvin geleng-geleng kepala, “Ya udah, kamu tunggu di sini. Biar aku yang ke atas ngambil kunci.”

“Gak usah, Ar. Biar aku aja,” tutur Elian lalu menyodorkan paper bag juga gawainya pada Arvin, “Aku titip ini sama kamu ya, Ar. Bisi aku ngelupain itu lagi entar.”

“Ya udah,” Arvin berpasrah, “Tapi kamu naik tangganya jangan lari.”

Melihat raut wajah Arvin begitu khawatir, Elian pun tersenyum. “Iya. Aku bakal hati-hati kok, Ar.”

Setelah mendapat anggukan dari Arvin, Elian bergegas kembali ke dalam kos-an, sementara Arvin masih berdiri di samping mobil pacarnya. Elian emang ada-ada aja, pikir Arvin lalu tertawa kecil. Padahal ia sudah mengingatkan, tapi pacarnya itu justru sangat yakin jika tidak ada barang yang kelupaan. Nyatanya kunci mobil yang Elian tinggalkan di kos-an.

Saat sedang sibuk menunggu sang pujaan hati kembali, gawai Elian yang Arvin genggam tiba-tiba berbunyi. Seseorang dengan nama kontak ‘Gama’ menelpon. Arvin pun seketika berpikir dua kali untuk menjawabnya. Sebab, ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Elian memberitahu ia tentang privasi saat pacarnya itu tau akan kebiasaannya melihat pesan yang ada di gawai Aileen. Sementara yang Arvin tau, Elian sangat menjaga privasi Niko dan Noah. Alhasil, ia pun tidak ingin jika Elian merasa bahwa dirinya berusaha menggali privasi Elian meski status mereka berpacaran.

Tapi bagaimana jika itu panggilan penting? Arvin berpikir ulang.

Tidak lama berselang, dering gawai Elian berhenti sebelum Arvin mengambil keputusan; untuk menjawab atau tidak. Tapi hanya dalam hitungan menit saja, pesan dari kontak bernama Gama itu masuk. Mau tidak mau Arvin dapat membaca sebagian isinya yang terlihat di lockscreen. Saat itu pula Arvin pun menerka-nerka tentang siapa sosok Gama.

Satu bulan. Waktu yang cukup singkat untuk mempersiapkan sebuah pernikahan. Bahkan Deva sendiri sempat skeptis mengenai usulan Arga agar mereka berdua menikah tepat satu bulan setelah meminta restu kepada Bapak dan Ibu. Namun dengan keyakinan yang Arga punya, pun kekuatan sang CEO menggerakkan orang lain dan menyelesaikan segala sesuatunya hanya dengan uang, hari sakral bagi mereka pun tiba, diselenggarakan sesuai rencana.

Meski persiapannya singkat, tapi pernikahan Arga dan Deva lantas berjalan lancar—sebagaimana mestinya—sejak prosesi akad hingga kini telah memasuki acara resepsi; dimana keduanya berdiri saling bersisian di atas panggung megah. Mengusung tema glamor seperti yang Arga mau, juga atas persetujuan Deva, acara resepsi pernikahan mereka digelar di sebuah ballroom yang amat luas. Gemerlap dekorasi mewah dalam ruangan itu menyilaukan mata, namun dua anak manusia yang kini telah sah menjadi sepasang suami tidak kalah bersinarnya di tengah-tengah tamu undangan.

Deva dengan balutan kemeja dan jas putih yang dipadukan celana kain hitam, pun dasi pita sebagai pemanis nampak amat bersahaja. Senyum hangat dan ramahnya ketika menyalami satu persatu tamu undangan yang memberi ucapan selamat membuat setiap hati luluh. Deva nampak begitu tenang, meski jauh di lubuk hati terdalamnya ia sangat gugup.

Sedikit berbeda dengan Deva, sang CEO mengenakan kemeja hitam sebagai dalaman. Jasnya putih, seperti yang dikenakan Deva, pun celana kain hitamnya. Arga lantas tidak lupa mengulas senyumnya kepada tamu yang menyalami dirinya juga Deva. Tapi saat sosok yang sebenarnya tidak ia harapkan untuk hadir hendak naik ke atas panggung, Arga seketika menghela napas berat. Deva yang menyadari hal itu pun menoleh, menatap sang suami lamat. Ia sedikit khawatir.

“Mas?”

“Mm?” Arga meliriknya, “Apa?”

“Kamu baik-baik aja?” tanya Deva sambil menatap wajah suaminya lekat-lekat, “Mau istirahat dulu?”

Arga menggeleng, “Saya gak apa-apa. Kenapa kamu nanya gitu?”

“Tadi kamu ngehela napas berat banget kayak orang capek, Mas.”

Deva sedikit tersentak saat Arga tiba-tiba memeluk pinggangnya dari samping. Deva lalu menahan napas saat merasakan bagaimana Ibu jari Arga bergerak, mengusap pelan pinggangnya penuh afeksi.

Padahal gue gak lagi heat, tapi kenapa Mas Arga lembut gini? Batin Deva, ia dibuat bingung. Sebab, Arga akan sedikit berhati-hati bersikap juga bertutur kata dengannya ketika sedang heat.

“Saya baik-baik aja,” balas Arga.

Deva berdeham, “Oke. Tapi kamu bilang sama aku ya kalau capek?”

“Emang kalau saya capek kamu mau ngapain hm?” tanya Arga, “Mau bawa tukang urut ke sini?”

“Enggak. Tapi biar kamu istirahat atau duduk bentar, Mas Arga.”

Deva lalu mengalihkan tatapan matanya ke arah tamu undangan yang kembali menghampirinya dan Arga di atas panggung. Salah satu dari mereka adalah Luna, yang telah ia kenal sebelumnya.

“Ga, selamat ya.”

Arga mengangguk. Luna telah berdiri di hadapannya sembari menjulurkan tangan. Meraihnya, ia menjabat tangan sang mantan sekertaris begitu singkat lalu kembali membuang pandangan ke arah lain. Sementara itu, Luna yang melihat sikap Arga lantas beralih menyalami tangan Deva.

“Makasih udah datang ya, Mba.” kata Deva ramah diikuti senyum.

“Selamat,” Luna melirik sang CEO sekilas. Ia lalu kembali menatap wajah Deva, “Jaga Arga ya, Dev.”

Deva tersenyum kikuk. Jujur saja ia sedikit terkejut mendengar ucapan Luna barusan. Sebab ia lantas dibuat teringat dengan pesan Mama mertuanya dahulu saat ia dan Arga meminta restu. Mama juga menanyakan tentang sanggupkah ia menjaga Arga.

Deva mengangguk, “Pasti, Mba.”

Mantan sekertaris wanita Arga itu pun tersenyum tipis sebelum turun dari panggung. Deva yang kembali menoleh ke sang suami, hendak memeriksa keadaan Arga yang ia khawatirkan kelelahan. Ia kemudian refleks menautkan alis saat mendapati wajah suaminya masam dan nampak amat dingin.

“Senyum, Mas.”

Mendengar bisikan Deva, Arga menoleh. Matanya memicing.

“Kamu gak liat apa kalau daritadi saya udah senyum sampai bibir saya pegel?” Arga geleng-geleng.

“Tapi wajah kamu yang aku liat sekarang kayak lagi bete banget.”

Menarik napasnya dalam-dalam, Arga lantas menarik kedua ujung bibirnya hingga tersenyum lebar. Deva yang melihatnya terkekeh.

“Muka Mas Arga jadi kayak joker,” ucap Deva dengan tampang tidak bersalah. Sedang Arga yang tidak menyangka tentang respon Deva barusan refleks melipat lengan.

“Kita baru nikah sehari loh, tapi kamu udah berani ngatain saya.”

“Ih. Aku gak ngatain kamu, Mas. Tapi kalau senyum, yang tulus.”

Arga hanya mendengus sebelum kembali menatap ke arah tamu. Persekian sekon berikutnya, ia tersenyum. Deva yang melihat hal itu pun ikut tersenyum tipis.

Satu persatu rangkaian acara resepsi pernikahan Arga dan Deva terlewati. Kini mereka telah duduk di sofa bak tahta raja yang ada di atas panggung, menikmati alunan musik dan suara merdu penyanyi di panggung hiburan. Setelah lantunan lagu indah yang dibawakan sang penyanyi selesai, master ceremony lantas kembali mengambil kendali acara resepsi.

“Nah kalau tadi kan kita udah dengerin lagu dari guest star kita hari ini,” kata sang MC setelah tadi mempersilakan sang bintang tamu untuk turun dari stage.

“Gimana kalau sekarang kita sama-sama dengerin satu lagu lagi dari mempelai kita. Setuju?”

“Setujuuu!” sahut para tamu.

Deva terbelalak. Jangan sampai Arga menyuruhnya untuk pergi ke atas panggung hiburan untuk bernyanyi. Sungguh, itu adalah sebuah ide buruk, pikir Deva. Ia tidak pandai bernyanyi. Ia pun hanya berani menarik suaranya ketika berada di kamar mandi.

“Pak Arga, udah siap?” tanya si MC kepada sang CEO. Arga lalu mengangguk mantap, sementara Deva yang tidak tau apa-apa hanya diam dalam bingungnya.

Perasaan pas gladi kemarin gak ada acara spesial gini, batinnya.

Seorang anggota tim wedding organizer kemudian bergegas ke arah panggung di mana Arga dan Deva berada sembari membawa mic. Deva yang memerhatikan Arga perlahan bangkit sebelum meraih mic yang disodorkan pun diam-diam tidak sabar untuk mendengarkan suara suaminya.

“Lagu ini saya persembahkan untuk Deva…” ucap Arga lalu menoleh ke Deva yang masih duduk di sofa, “Suami saya.”

Deva berdeham. Ia menghindari tatapan Arga, beralih menatap tamu yang bersorak meledek. Deva masih bingung sebenarnya. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa Arga akan melakukan hal semacam ini di hari pernikahan mereka. Sedikit manis bagi Deva, tapi untuk apa? Mereka berdua sama sekali tidak saling cinta.

Perlahan, alunan musik mulai menggema. Arga yang berdiri di hadapan tamu pun bernyanyi mengikuti nada dengan merdu. Deva yang mendengarkan bait pertama lagu itu pun tersenyum.

Beautiful in White, batinnya. Ia mengingat jelas judul lagu itu.

Not sure if you know this But when we first met I got so nervous I couldn't speak In that very moment I found the one and My life had found its missing piece

Deva tidak menyangka bahwa suara Arga sangat lembut nan merdu ketika bernyanyi. Bahkan ia dibuat terbawa suasana kala Arga melanjutkan bait demi bait lagu indah milik Shane Filan itu.

So as long as I live I love you Will have and hold you You look so beautiful in white And from now 'til my very last breath This day I'll cherish You look so beautiful in white Tonight

Tanpa Deva sadari, bola matanya lantas berkaca-kaca. Ia kembali mengingat bahwa saat ini dirinya telah menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak ia cintai, pun sebaliknya. Padahal, ia juga pernah bermimpi untuk bisa menyanyikan lagu itu di hadapan sosok tercintanya. Namun takdir berkata lain. Deva harus mampu menerima fakta bahwa takdirnya terikat dengan Arga, sosok Alpha yang telah mengikrarkan janji dengannya dalam sebuah ikatan suci pernikahan tepat hari ini.

What we have is timeless My love is endless And with this ring I Say to the world You're my every reason You're all that I believe in With all my heart I mean every word

Air mata Deva sukses mengalir deras di pipinya. Namun ia buru-buru menyeka pipinya ketika Arga menghampirinya, masih sambil bernyanyi. Suaminya itu lalu menjulurkan satu tangannya. Deva yang paham pun meraihnya sebelum bangkit dari sofa. Ia lalu mengikuti langkah Arga yang kini menuntunnya agar berdiri di tengah panggung. Mereka saling berhadapan dengan Deva yang setia menemani Arga bernyanyi sambil bertukar tatapan lamat.

So as long as I live I love you Will haven and hold you You look so beautiful in white And from now 'til my very last breath This day I'll cherish You look so beautiful in white Tonight

Na na na na So beautiful in white Tonight

Tepat setelah lagu yang Arga bawakan selesai, riuh tepuk tangan dari tamu undangan seketika menggema. Deva pun melakukan hal serupa bersama senyum bangganya. Tapi hanya persekian sekon berikutnya, ia dibuat kaget saat satu persatu sorakan tamu menggoda mereka.

“Cium!”

“Cium!”

Deva melirik sekilas ke arah meja tamu. Ia bisa melihat bagaimana Eren juga ikut berteriak sambil menggoyang-goyangkan badan. Sungguh, sahabatnya itu hanya membuatnya semakin tertekan. Perlu dicatat, saat ini Deva tidak sedang dalam masa heat; dimana ia akan selalu menginginkan sentuhan Arga, pun sebaliknya. Jadi untuk berciuman saat tidak heat rasanya masih canggung.

“Deva.”

Mendengar Arga memanggilnya, Deva yang hanya berdiri satu langkah dari suaminya itu pun menoleh. Ia mengangkat alisnya.

“Boleh gak?”

Deva menatap lurus ke dalam netra madu sosok yang hari ini telah sah menjadi suaminya. Ia menelan ludah, melihat betapa serius raut wajah Arga saat ini.

“Boleh apa, Mas?”

Maju satu langkah, ujung sepatu Arga pun bertemu dengan milik Deva. Jarak berdiri mereka tipis.

“Saya boleh gak cium kamu di sini?” jelas Arga sebelum satu tangannya perlahan membelai pipi Deva, ibu jarinya kemudian mengusap lembut pipi suaminya.

Melihat kesungguhan di wajah Arga, juga bagaimana suaminya itu tak henti-henti memberinya rasa hangat dan ketenangan dari sentuhan jemarinya, Deva lantas menghela napas pelan. Deva, lu udah jadi suami Mas Arga. Walau pun kalian gak saling cinta, tapi lu gak pernah main-main soal pernikahan ini kan? batinnya.

Deva mengangguk kaku, “Boleh.”

Perlahan, Arga mengikis jarak wajah mereka. Ia memiringkan kepala sebelum mendaratkan satu kecupan ringan di bibir tipis Deva. Arga kemudian kembali menatap lurus ke dalam netra suaminya itu. Ujung hidungnya nyaris bersentuhan dengan milik Deva, ia bahkan bisa merasakan betapa hangat deru napas Deva.

“Maaf karena saya yang harus ada di depan kamu hari ini,” bisik Arga yang membuat napas Deva lantas tercekat. Arga jelas paham perasaannya, sebab mereka ada di posisi yang sama. Namun Deva tidak pernah berpikir jika sang suami akan mengatakan kalimat itu padanya. Bahkan baru kali ini ia mendengar Arga mengucap maaf secara lisan dan tersurat.

“Aku juga minta maaf ya, Mas.”

Arga mengangguk kecil, kembali mengusap lembut pipi kiri Deva.

“Walaupun alasan kita disatukan karena status Alpha dan Omega, tapi tetap, sekarang kamu udah resmi jadi suami saya,” kata Arga.

“Saya akan mempertahankan kamu dan rumah tangga kita, apapun kondisinya,” timpalnya, “Kamu hanya akan menikah satu kali seumur hidup seperti yang kamu mau, Deva. Hanya hari ini, sama saya, Arga, suami kamu.”

Deva mengulum bibirnya. Ia mati-matian menahan tangis.

“Kamu yang pertama buat saya dan akan jadi yang terakhir,” kata Arga penuh kesungguhan, “Saya janji,” katanya lalu menurunkan pandangan ke bibir tipis Deva.

Mata Deva pun refleks terpejam ketika Arga kembali mengecup bibirnya. Namun tidak seperti yang sebelumnya, kini Arga telah memberikan lumatan lembut. Ia pun tidak tinggal diam. Kala satu tangan sang suami yang masih memegangi mic melingkari pinggangnya, Deva pun refleks mengalungkan kedua lengan di leher Arga. Kedua anak manusia itu memperdalam ciumannya, membuat tamu undangan dan tak terkecuali orang tua mereka tidak henti-henti bersorak riuh.

***

“Kamu sama Arga beneran gak mau bulan madu, Dev?” tanya Bu Ririn pada sang menantu yang sedari tadi memijat lengannya. Mereka sama-sama duduk santai di sofa ruang keluarga setelah asik menonton series di televisi.

“Iya, Ma. Lain kali aja kalau Deva sama Mas Arga udah senggang.”

Bu Ririn menahan tangan Deva, menuntun agar menantunya itu berhenti memijat lengannya. Ia kemudian duduk miring ke arah Deva guna memandangi wajah sang menantu lekat-lekat.

“Investor sama stakeholder bakal ngerti kok, Dev. Kalian kan baru aja nikah. Entar biar Mama deh yang ketemu mereka. Gimana?” usul Mama, “Kalian bisa sekalian refreshing, healing dari kerjaan.”

Deva tersenyum, ia menggeleng.

“Mama gak boleh capek-capek,” katanya, “Lagian aku sama Mas Arga cuti gak masuk kantor tiga hari abis ini, Ma. Itu cukup kok.”

Helaan napas Bu Ririn menjadi awal kepasrahannya, “Ya udah kalau menurut kalian itu baik.”

“Kamu ke kamar gih,” Bu Ririn mengusap bahu Deva, “Kayaknya Arga udah nungguin kamu tuh.”

Deva terkekeh, “Ya udah. Mama juga masuk ke kamar abis ini ya.”

“Iya, sayang.”

Deva memeluk Bu Ririn sejenak, “Tidur yang nyenyak ya, Ma.”

Si wanita paruh baya terkekeh, “Iya,” balasnya sebelum melepas pelukan Deva, beralih menatap wajah menantunya itu, “Entar kalau misal Arga mainnya gak bikin kamu ngerasa enak, jangan dipendem ya? Bilang ke Arga.”

“Maksudnya, Ma?” Deva bingung.

Bu Ririn tersenyum menggoda, “Itu... Malam pertama kalian.”

Deva hanya bungkam sejenak lalu geleng-geleng kepala. Mana mungkin juga ia dan Arga akan melakukan hal itu malam ini, pikirnya sebelum berpamitan lagi dengan sang Mama mertua. Ia kemudian berjalan ke lantai dua, dimana kamar Arga berada.

Sesampainya di depan pintu kamar sang suami, Deva lantas berhati-hati. Ia takut jika Arga justru telah tertidur setelah tadi meminta izin untuk mandi. Ya, suaminya itu mandi pada jam sepuluh malam karena merasa gerah setelah tadi membantunya mengangkut pakaian bawaanya. Sebab setelah acara resepsi pagi tadi selesai, mereka kembali ke rumah Bapak dan Ibu terlebih dahulu, mengemasi pakaiannya sebelum ke rumah Bu Ririn dan beristirahat hingga sore hari.

“Udah kelar seriesnya?”

Baru saja Deva membuka pintu dengan hati-hati dan berniat untuk berjalan mengendap-endap, namun suara sang suami sudah lebih dahulu menyapanya. Arga tengah berbaring di atas ranjang sambil memeluk selimut.

Deva yang melihatnya menahan senyum. Sebab Arga yang selalu terlihat angkuh bahkan galak di depan orang lain justru memiliki sisi yang sedikit manis bagi Deva.

“Udah,” jawab Deva, “Mas Arga kok belum tidur?” tanyanya lalu duduk di tepi ranjang. Ia meraih segelas air yang ada di atas nakas lalu menenggaknya, nyaris habis.

“Saya nungguin kamu.”

Deva pun terbatuk. Ia kemudian menatap Arga heran, sedang sang suami seketika bangun dengan raut wajah paniknya.

“Pelan-pelan,” Arga berdecak lalu menepuk-nepuk punggung Deva.

Deva seharusnya bersyukur karena tidak mendengar Arga mengomel malam ini. Bahkan sang suami bertutur kata amat lembut padanya sedari tadi. Tapi melihat sisi lain Arga seperti ini justru membuat Deva merasa aneh. Apa jangan-jangan Mas Arga pengen minta jatah? Duh! Batin Deva lalu menelan ludah.

“Aku gak apa-apa kok, Mas.”

“Ya udah, cuci muka dulu sana.” titah Arga sebelum kembali ke posisinya, berbaring terlentang.

Deva pun menyanggupi. Ia buru-buru ke kamar mandi, mencuci muka dan tidak lupa memakai skincare setelahnya. Deva lalu kembali ke tempat tidur dengan pikiran bahwa Arga sepertinya telah terlelap. Namun ternyata tidak. Arga masih terlentang di atas ranjang, memeluk selimut.

Berdeham pelan, Deva kemudian naik ke atas ranjang king size itu lalu ikut berbaring di sisi kosong yang disisakan oleh Arga. Sama seperti sang suami, Deva pun menarik selimutnya hingga sebatas dada. Pandangan Deva tertuju pada langit-langit kamar. Tak sekali pun ia berani menoleh ke Arga. Tapi dari ekor matanya, Deva justru bisa merasakan jika Arga tengah memandanginya.

Jantung Deva berdebar-debar.

Menelan ludahnya, Deva lantas memberanikan diri untuk melirik Arga. Ia menggerakkan bola mata perlahan diikuti gerakan kepala. Dan benar saja dugaannya tadi, Arga sedang sibuk memandangi wajahnya begitu dalam. Tuhan...

“Kenapa, Mas?” tanya Deva.

“Kamu tuh yang kenapa. Daritadi saya perhatiin, kamu kayak orang abis ketahuan nonton bokep tau.”

Deva kembali menoleh ke arah langit-langit kamar, ia menarik selimutnya lagi hingga sebatas leher. Setelahnya, ia berdeham.

“Aku belum terbiasa di deket kamu kayak gini, Mas Arga.”

Arga tersenyum. Matanya masih menatap wajah Deva lekat-lekat. Sedang Deva sibuk menghindari tatapan Arga. Deva panas dingin.

“Kamu takut saya ngajak kamu ngewe malam ini?” celetuk Arga.

“Enggak,” Deva mengelak.

“Saya nungguin kamu tadi buat bicara soal ini,” tutur Arga, “Kita bisa having sex tiap kamu heat atau pas saya lagi rut. Gimana?”

Deva mengangguk, “Setuju, Mas.”

“Tapi Mas Arga udah pernah rut gak sih?” tanya Deva penasaran.

“Belum,” jawab Arga, “Kalau pun saya rut pasti kamu duluan yang tau. Kamu nyium feromon saya.”

Deva mengangguk, “Iya juga ya. Tapi rut kamu bakal dateng tiap bulan juga gak ya kira-kira, Mas?”

“Mana saya tau, kan saya belum rut. Kamu ini gimana sih,” Arga mengomel, “Tanyain tuh ke Nua.”

“Aku cuma penasaran doang kok, Mas. Jangan ngomel,” bujuk Deva.

“Penasaran sama waktu dinas kamu?” Arga senyum mengejek.

Kening Deva berkerut, “Dinas?”

“Kamu polos apa bego sih,” ucap Arga dengan suaranya yang telah setengah mengantuk, “Ngewe maksudnya, Deva. Jadwal ngewe.”

“Oh,” Deva bergumam.

Hening sejenak.

“Deva,” panggil Arga.

“Iya, Mas?”

“Kita emang having sex kalau lagi heat sama rut, itu jadwal rutin.”

Arga berdeham.

“Tapi kalau misal di luar itu kamu kepengen ya… Gak apa-apa juga sebenernya. Kamu boleh minta sama saya,” timpal Arga, “Lagian saya udah jadi suami kamu kok.”

Lagi.

Deva kembali menarik selimut, kali ini hingga sebatas hidung. Entah, wajahnya tiba-tiba panas. Arga yang melihat tingkah sang suami lantas mendengus pelan.

“Gak sekalian aja itu kamu tutup sampai kepala kamu? Biar saya tidurnya berasa di kamar mayat.”

“Mas Arga ish,” Deva mencebik.

Arga tertawa kecil lalu menarik selimut agar menutupi wajah Deva seutuhnya. Suaminya itu pun buru-buru berontak lalu ikut tertawa ringan bersamanya.

“Deva, satu lagi yang mau saya omongin sama kamu,” kata Arga.

“Apa, Mas?” tanya Deva yang kini telah berani menatap wajah Arga.

“Saya pengen dipeluk tiap pagi, pas baru bangun tidur. Bisa gak?” Arga meminta persetujuan Deva.

“Dipeluk aku, Mas?”

“Gak, dipeluk nenek kamu.”

Mengulum bibirnya, Deva lantas mengangguk. Ia menahan tawa.

“Bisa, Mas. Lagian, aku kan udah jadi suami kamu,” balas Deva.

“Ya udah, itu aja sih. Bobo kamu,” ucap Arga lalu menyamankan posisi sebelum menutup mata diikuti Deva yang melakukan hal serupa hingga mereka terlelap.

Deva berdiri tidak jauh dari pintu masuk ballroom dimana resepsi pernikahan Davis dilaksanakan. Ia menunggu Arga yang belum juga nampak batang hidungnya setelah ia mengirim chat tadi. Sampai tidak lama berselang, sang CEO pun datang, figurnya lantas mencuri atensi Deva. Saat itu pula Deva menyadari bahwa napas Arga tersengal-sengal. Ia pun tiba-tiba merasa kasihan ketika melihat peluh di wajahnya, nampak kalau Arga habis berlari.

“Pak Arga.”

“Kamu ngapain di sini?” tanya Arga, ia berdiri di depan Deva.

“Saya nungguin Bapak.”

“Emang acara di dalam udah selesai?” alis Arga bertautan.

Deva menggeleng, “Belum. Tapi gak lama lagi selesai kok, Pak.”

“Ya udah, kita masuk dulu.”

“Pak Arga, tunggu!”

Deva menahan lengan Arga yang hendak melenggang, mendahului ia yang masih berdiri di tempat semula. Sensasi panas itu Deva rasakan lagi, namun terkalahkan oleh hasrat agar menyeka peluh di kening juga wajah sang CEO. Alhasil, Deva pun mengikutinya. Ia mengikuti naluri untuk segera mengusap keringat Arga dengan telapak tangannya. Sementara itu Arga hanya terdiam, menatap raut wajah Deva yang khawatir.

“Deva…”

“Iya, Pak?” Deva lantas menatap mata Arga, namun pada sekon berikutnya ia seketika terbelalak sebelum buru-buru menjauhkan tubuhnya dari Arga dua langkah.

Deva ingat kalau ia sedang heat.

“Pak! Tunggu! Jangan!” kata Deva sambil mengibaskan tangannya, “Bapak jangan turn on sekarang.”

Arga menganga, “Siapa juga sih yang turn on? Sembarangan ya kamu. Saya tuh cuma mau bilang, kamu kan lagi heat, pasti sakit perut. Terus nanti saya bakalan megang tangan kamu biar gak sakit, eh sekarang kamu malah ngelap keringat saya gini pake tangan. Kalau kuman-kumannya pindah ke tangan saya gimana?”

“Mana kamu juga lagi pake jas saya. Pasti abis ini kamu ngelap tangan kamu di jas saya kan?” timpal Arga lalu berdecak-decak.

Deva mencebik mendengar Arga mengomel. “Tapi itu kan keringat Pak Arga sendiri. Emang Bapak gak pernah ngelap pake tangan?”

“Ya gak lah. Makanya saya selalu bawa sarung tangan,” kata Arga, “Kamu belajar buat higienis dikit dong, kuman bisa bikin sakit tau.”

“Pak Arga gak perlu kok megang tangan saya,” kata Deva sebelum berbalik, ia menjatuhkan pundak.

Entah, suasana hatinya hari ini sangat mudah berubah. Deva sangat sadar akan hal itu. Tapi ia sendiri tidak bisa mengatasinya; belum terbiasa lebih tepatnya.

“Deva! Kamu ngambek lagi?”

Arga dibuat heran. Setelahnya, ia pun berlari, mengejar Deva yang kini sudah berdiri tepat di depan pintu ballroom. Buru-buru Arga menahan lengan Deva, membuat sekertarisnya itu lantas berbalik ke arahnya. Pada detik itu pula Arga tersentak mendapati mata Deva berkaca-kaca. Astaga, Deva.

“Saya kasian tau gak, liat Bapak keringetan sambil ngos-ngosan kayak tadi,” gumam Deva lirih.

“Tapi Pak Arga marahin saya lagi. Padahal saya cuma pengen bantu Pak Arga biar matanya gak perih kalau aja kena keringet,” katanya.

Arga menghela napas pelan, “Iya. Iya. Makasih udah bantuin saya.”

“Gak usah nangis,” timpalnya.

“Saya gak nangis,” Deva denial.

“Gak nangis, gak nangis. Liat tuh. Mata kamu udah kayak abis pake obat tetes,” Arga lalu meletakkan telapak tangannya di atas kepala Deva, “Ayo, kita masuk sekarang.”

“Bapak kok megang kepala saya?”

“Ya kan tangan kanan kamu udah ada kumannya gara-gara ngelap keringat saya, terus yang kiri itu pasti udah dipake buat cebok.”

“Kalau saya pegang lengan kamu kayak tadi, entar sayanya malah dikira gak bisa melihat. Makanya saya dituntun jalan sama kamu.”

Mata Deva memicing kesal, “Tapi kalau Bapak megang kepala saya kayak gini, orang-orang bakalan ngira saya mau dirukiyah, Pak.”

Arga lantas tertawa kecil sembari melepas tautan tangannya dari kepala Deva. Cekungan di kedua pipinya nampak. Deva yang baru kali ini melihat Arga tertawa pun dibuat tertegun. Dia bisa ketawa.

Persekian detik berikutnya, Deva seketika menahan napas. Sebab satu lengan sang CEO tiba-tiba memeluk pinggangnya dari sisi samping, alhasil tubuh mereka tidak lagi memiliki jarak berarti.

Suhu tubuh Deva makin panas. Tapi di saat yang bersamaan, rasa nyeri di perutnya pun reda.

Tenang, Deva. Tenang.

“Kalau kayak gini gimana?” tanya Arga, “Nyeri perut kamu reda?”

“Iya, Pak. Tapi kalau gini, orang lain bakal ngeliatin kita ber—”

“Saya gak nerima tapi lagi,” Arga memotong ucapan Deva, “Udah deh, kamu gak usah mikirin hal gak penting. Emang kenapa kalau mereka ngeliat kita? Bentar lagi kamu juga bakal jadi suami saya, bakalan sering jalan kayak gini.”

Deva menelan ludah. Ia pasrah.

“Ayo,” ajak Arga lagi, menuntun Deva agar segera melangkah ke dalam ballroom resepsi Davis.

Sembari berjalan memasuki ballroom, Deva sesekali melirik Arga. Ia teringat dengan tawa sang atasan di depan pintu tadi.

“Pak Arga.”

“Mm?” Arga melirik Deva.

Deva senyum, “Saya seneng bisa liat Pak Arga ketawa kayak tadi.”

“Sejak kerja sama Bapak, saya gak pernah ngeliat Pak Arga ketawa.”

Tidak ada respon suka dari Arga. Alhasil, Deva berdeham sebelum kembali memusatkan pandangan ke jalan, sama seperti sang CEO.

Daripada kena omel lagi kan?

***

Resepsi pernikahan Davis dan Dimas telah usai. Keduanya pun sudah meninggalkan panggung. Bersama Ibu dan Bapak, Davis juga Dimas lantas beristirahat di rest room sekaligus wardrobe dan make up room. Sedang orang tua Dimas masih berada di luar guna berbincang dengan saudaranya.

“Yang,” bisik Dimas pada Davis kala matanya menangkap figur Deva yang baru saja masuk ke ruangan bersama Arga, “Liat.”

Davis mengikuti arah pandangan suaminya. Alisnya menukik saat melihat Deva dan Arga berjalan ke arahnya dan Dimas juga Ibu, Bapak yang duduk di sofa lain.

“Eh, Nak Arga. Duduk, Nak.”

Bapak berdiri, ia mempersilakan Arga untuk duduk di tempatnya.

“Gak apa-apa, Pak.” tolak Arga sopan, “Bapak aja yang duduk.”

“Kok atasan lu masih di sini?” tanya Davis heran pada Deva.

Deva berdeham, “Pak Arga mau ngomong sesuatu sama kalian.”

Nampak raut penasaran berpadu dengan panik di wajah Bapak dan Ibu. Sedang Dimas dan Davis tak sekali pun melepas tatapan yang amat serius dari wajah sang CEO. Sampai saat Arga tiba-tiba duduk berlutut di hadapan sofa Ibu dan Bapak, semua orang yang ada di dalam ruangan itu pun tersentak. Gak terkecuali Deva yang sama sekali tidak menyangka jika Arga akan melakukan hal demikian.

“Pak, Bu. Saya mau minta izin.”

Bapak bingung, “Izin apa, Nak?”

“Saya berniat meminang anak Ibu sama Bapak untuk menjadi suami saya,” kata Arga, “Saya ingin menikahi Deva, Pak, Bu.”

“Ngaco lu,” celetuk Davis, “Deva gak pernah suka sama cowok.”

Kakak Deva itu kemudian beralih memandangi adiknya lekat-lekat.

“Jadi ini yang atasan songong lu minta karena udah ngasih lu gaji lebih awal kemarin?” tanya Davis.

Deva menggeleng, “Gak, Bang. Pak Arga gak pernah kok nuntut sesuatu dari gue karena gaji itu.”

“Davis,” panggil Arga, sang empu nama lantas melirik ke arahnya.

“Saya juga gak pernah suka sama laki-laki,” timpalnya jujur, “Tapi saya gak pernah kok memandang atau menjadikan gender sebagai patokan buat mencari pasangan.”

“Mama saya berpesan, ada tiga aspek yang harus saya temukan dalam diri wanita yang nantinya akan saya jadikan istri. Sikapnya, empatinya dan cara mengontrol emosinya. Tapi saya gak pernah menemukan ketiganya di wanita manapun. Justru semuanya ada sama Deva,” jelas Arga. Kalimat yang ia katakan tidak jauh beda dengan penjelasannya ke Mama.

“Jadi saya memantapkan niat untuk meminang adik anda,” katanya, “Saya yakin Deva yang bisa melengkapi saya dan saya pun ingin melengkapi dia.”

Arga kembali memusatkan atensi ke Bapak, “Sekarang saya datang untuk meminta restu Bapak, Ibu, sama Davis. Saya mau menikahi Deva dalam waktu dekat kalau semuanya sudah mengizinkan.”

“Kalau Bapak, semuanya kembali lagi ke Deva. Bagaimanapun juga, Deva yang nanti akan menjalani pernikahan sama Nak Arga, jadi keputusan akhir ada sama Deva.”

Pria paruh baya itu kemudian mengusap lembut bahu Arga.

“Tapi kalau Nak Arga minta restu Bapak, pasti akan Bapak kasih. Karena restu orang tua itu sama dengan doa baik untuk anaknya. Setiap orang tua itu pengen yang terbaik untuk anak-anaknya.”

“Ibu juga sama,” sahut si wanita paruh baya, “Asalkan Nak Arga bisa janji gak akan bikin anak Ibu terluka, pasti Ibu akan merestui.”

“Apalagi Ibu hampir kehilangan Deva saat masih kecil dulu,” kata Ibu dengan mata berkaca-kaca, “Deva lahir premature, sempat kritis. Bahkan dokter sendiri gak bisa ngasih Ibu banyak harapan.”

“Makanya Ibu gak pengen kalau sampai Deva ngelewatin hal-hal berat lagi kayak pas kecil dulu,” timpal Ibu, “Deva harus bahagia.”

“Bu, saya pastikan Deva gak akan ngelewatin hal-hal berat,” tegas Arga, “Kalau pun memang akan ada hal-hal berat yang menimpa Deva setelah kami menikah, saya akan setia di samping Deva, Bu. Saya akan selalu ada buat Deva.”

Air mata Deva mengalir setelah mendengar penuturan Ibu tadi. Namun ia buru-buru menghapus jejak air mata di pipinya ketika Davis mengajaknya berbicara.

“Lu mau sama dia, Dev? Jawab gue jujur,” Davis menekankan.

Deva mengangguk, “Iya, Bang.”

“Kayak yang Pak Arga bilang tadi, gue juga yakin kok dia yang bisa melengkapi gue. Gua mau nikah sama Pak Arga,” timpal Deva.

“Dev, kok bisa sih lu se-yakin itu sama orang yang baru lu kenal satu bulan lebih. Hah?” Davis mendengus, “Gue tau lu masih sakit hati gara-gara ditinggal nikah sama Nadia, tapi gak gini.”

“Lu kalau pengen nyari pelarian atau pelampiasan, jangan bikin diri lu makin susah. Nikah gak segampang yang dilihat mata.”

“Gue paham kok, Bang. Gue pun sama skeptisnya kayak lo saat ini waktu Pak Arga bilang kalau dia pengen nikahin gue,” balas Deva.

“Tapi setelah gue tau gimana dia memandang sebuah pernikahan, gimana komitmen dia ke depan, gue jadi yakin sama pilihan gue buat dinikahin sama Pak Arga.”

Davis mengusap kasar wajahnya. Deva pun menunggu respon apa lagi yang akan sang kakak beri. Nampak jika Davis masih ragu.

“Pelan-pelan aja dong ngusap wajahnya,” celetuk Arga, “Itu foundation anda apa daki sih? Jadi ngegumpal kan abis diusap.”

“Pak,” bisik Deva geram.

Davis bangkit dari sofa, “Lu mau minta restu apa ngajak gelut?”

“Ya minta restu, kan saya udah bilang sejak duduk di sini tadi. Anda ini gimana sih?” balas Arga.

“Bang, Pak Arga, udah dong.”

Deva menghela napas sebelum memandangi wajah Davis lamat.

“Bang, lu percaya sama gue kan?” tanyanya berusaha meyakinkan, “Gue bakal baik-baik aja, Bang.”

Davis beralih menatap Arga, “Lu, berdiri di depan gue sekarang.”

“Anda siapa berani nyuruh saya?”

“Pak Arga,” Deva mendesis, “Ayo. Ikutin kata Abang aja. Cepetan.”

Arga berdeham, “Saya berdiri tuh bukan karena disuruh dia ya, tapi karena kaki saya ini udah kram.”

Deva menggeleng melihat Arga dan sikap belagak angkuhnya.

Pada akhirnya Arga pun bangkit hingga berdiri di hadapan Davis. Namun pada detik berikutnya, ia dibuat kaget saat kakak Deva itu tiba-tiba mencengkeram kerah kemejanya amat kuat. Tapi yang membuat Arga semakin terkejut adalah saat ia sadar jika tidak ada seorang pun di antara orang tua, suami Davis bahkan Deva sendiri yang menegur Davis melainkan hanya tersenyum tipis. Kok aneh?

Sementara itu, Deva yang telah tau bahwa sang kakak tidak akan mungkin memukuli orang lain sembarangan memilih diam dan mengamati reaksi Arga. Pun Ibu, Bapak juga Dimas. Mereka semua sudah paham betul watak Davis. Alhasil, mereka hanya tersenyum sesekali geleng-geleng kepala.

“Kalau sampai gue denger adek gue sedih karena lu…” kata Davis memperingati, “Jangan harap ada pintu maaf buat lu. Paham lu?”

“Astaga, anda minum dulu sana! Mulut anda bau gulai tau,” protes Arga sebelum mendorong pelan tubuh Davis, sedang Deva hanya berdecak melihat tingkah sang CEO juga kakaknya. Saat itu pula Deva paham kalau Davis—baru saja—telah memberi restu pada Arga dengan caranya. Davis telah mengizinkan Arga menikahinya.

Senyum tak henti-henti terukir di bibir Deva kala ia melihat wajah bahagia sang kakak yang telah berdiri di atas panggung resepsi bersama Dimas. Namun Deva pun tidak bisa menampik rasa haru yang menyambangi dadanya, sebab Davis yang selama ini masih menganggap dirinya adik kecil sudah memilih jalan hidupnya sendiri bersama sosok yang ia cintai. Itu artinya Davis sudah harus bisa membagi kasih dan sayang yang akan ia curahkan kepada suami, orang tua, juga Deva sendiri. Kini Davis telah memasuki fase hidup baru, dan Deva ikut bangga untuk itu. Ia bangga Davis sudah sampai ke titik sakral mahligai pernikahan.

Cukup puas memandangi Davis, Deva kemudian beralih menatap satu persatu tamu yang tidak pernah berhenti berdatangan. Hingga saat matanya menangkap figur Arga berjalan ke arahnya, Deva seketika menahan napas. Sebab seperti dugaannya Minggu lalu, heat-nya akan datang tepat di hari pernikahan Davis. Dan benar saja, sejak semalam Deva disiksa oleh nyeri di perutnya. Lalu kini, Arga justru mendekat. Sudah pasti sensasi aneh akan mereka rasakan lagi setelah ini.

“Tadi saya baru di depan pintu aja tapi udah bisa nyium feromon kamu,” bisik Arga setelah ia tiba di hadapan Deva, “Sejak kapan?”

“Semalem, Pak.”

“Sakit perut lagi?” tanya Arga.

Deva mengangguk, “Masih bisa saya tahan,” katanya lalu celingak celinguk, “Bapak ke sini sendiri?”

“Ya tadi kamu liatnya saya sama siapa?” balas Arga, “Pake nanya.”

“Kan kali aja Bapak bawa temen terus ditinggal buat makan gitu.”

Arga mendengus, “Gak. Ngapain juga bawa temen ke sini. Lagian temen saya gak ada yang kenal sama Abang kamu,” tuturnya.

“Udah, saya mau ngucapin selamat dulu ke dia. Abis ini kita ngomong sama Ibu Bapak kamu.”

“Baik, Pak.”

Deva mempersilakan Arga untuk naik ke atas panggung resepsi. Ia kemudian tersenyum tipis saat melihat mata Davis memicing ke arah Arga. Namun pada akhirnya Davis menjabat tangan Arga juga.

Menghela napas, kini Deva tidak perlu khawatir akan ada cekcok antara Arga juga kakaknya di atas sana. Alhasil, ia beralih menyapa tamu lain seperti sebelumnya. Namun saat netra Deva sibuk menyusuri tempat di mana tamu mengambil jamuan, ia seketika melotot. Pasalnya, ia mendapati sosok orang gila; tepatnya orang aneh yang selama ini ia dan Arga cari. Nampak sosok itu sedang asik melahap sate lilit, sesekali menggoyang-goyangkan bahu. Ia begitu menikmati makanannya.

Tanpa membuang waktu, Deva seketika melangkah tergesa-gesa guna menghampiri orang gila itu. Tapi sebelum Deva sampai di tempat tujuan, seseorang tiba-tiba saja menabraknya. Saat itu pula Deva bisa mencium aroma cairan yang baru saja tumpah dan membasahi jas baru yang dibeli oleh Davis untuknya.

Deva ketumpahan kuah bakso.

Sementara itu, Arga yang masih berada di atas panggung resepsi seketika menoleh, ia mendengar suara gaduh tadi. Matanya lantas melotot kala mendapati Deva di sana. Apes lagi dia, batinnya lalu bergegas turun dari panggung. Davis pun diam-diam mengamati Arga yang menghampiri adiknya.

Sesampainya di hadapan Deva, Arga menatap pria yang ia duga menabrak Deva tadi dengan alis menukik tajam, “Anda ini ya, punya mata tapi gak dipake.”

“Pak, saya yang salah. Saya yang gak liat jalan,” Deva menengahi lalu menoleh ke pria yang masih menatapnya khawatir, “Saya gak apa-apa kok, Mas. Silakan Mas ambil lagi ya. Saya minta maaf.”

“Saya juga minta maaf ya.”

“Maaf, maaf,” Arga mengomel, tapi Deva buru-buru menarik lengan Arga agar berbalik ke arahnya; berhadapan dengannya.

“Kamu juga,” omelan Arga beralih ke Deva, “Dulu awal masuk kerja ketumpahan kopi, sekarang kuah bakso. Besok-besok apa lagi sih?”

“Pak, udah. Ada hal penting yang harus kita lakuin sekarang,” kata Deva dengan napas memburu.

“Oke,” kata Arga, “Mana Ibu sama Bapak kamu?” tanyanya, namun Deva justru menggeleng tegas.

“Enggak. Bukan itu. Ada yang lain,” kata Deva lalu menoleh ke tempat di mana orang gila tadi berdiri. Namun nihil, sosok aneh itu sudah menghilang dari sana.

“Kamu itu lagi ngomong sama saya, kenapa malah ngeliat ke sana?” protes Arga, “Ada apa?”

“Pak,” Deva mencengkeram erat lengan sang CEO yang masih ia pegang, “Saya liat orang gila itu.”

“Maksud kamu orang yang…”

“Iya. Dia,” Deva menghela napas gusar, “Tadi saya liat orang gila itu makan sate lilit di sana. Mau saya samperin, tapi malah nabrak orang. Terus sekarang saya gak tau orang gila itu ke mana, Pak.”

“Kita musti cari orang itu. Dia pasti masih di sekitar sini,” kata Deva, “Kita harus ketemu dia.”

Arga memijat keningnya sejenak, “Kamu liat dia pakai baju apa?”

“Dia pakai jas merah, Pak.”

“Oke,” Arga menunjuk jas Deva dengan dagu, “Buka jas kamu.”

“Maaf, Pak?”

“Saya bilang buka jas kamu,” titah Arga yang membuat Deva lantas melepas jasnya. Namun ia dibuat heran ketika Arga ikut membuka jas yang atasannya itu kenakan.

“Kamu pake ini dulu,” kata Arga seraya menyodorkan jasnya, “Biar saya aja yang nyari orang gila itu. Kamu tetep di sini.”

“Tapi, Pak—”

“Tapi apa lagi sih, Deva? Kamu kebiasaan deh,” Arga berdecak, “Kakak kamu lagi nikah loh. Apa kata orang kalau kamu malah keliaran buat nyari orang gila?”

Deva mengangguk, “Baik, Pak.”

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Arga pun berbalik. Melenggang pergi meninggalkan Deva yang masih menggenggam jas Arga. Setelahnya Deva pun menoleh ke arah panggung resepsi, saat itu pula tatapannya bertemu Davis.

“Deva.”

Sang empu nama mengabaikan Arga yang baru saja datang dan menghampiri meja kerjanya. Ia memandangi layar MacBook di hadapannya sambil mengetik sesuatu yang entah apa. Ia tidak sekali pun menoleh pada Arga.

Melihat sikap Deva saat ini lantas membuat kening Arga berkerut heran. Pasalnya, Deva yang telah ia kenal selama satu bulan tidak seperti ini; yang akan mendiami tanpa memberi alasan kenapa ia memilih untuk bungkam. Aneh.

“Kamu kenapa sih?” tanya Arga.

“Itu mulut dipake dong. Kasih tau saya kamu kenapa,” timpal sang CEO, tapi Deva masih diam.

“Kamu marah sama saya?” Arga masih tidak menyerah, “Lebay banget deh kamu, diajak diskusi soal persiapan nikah aja marah. Emang yang kamu gak suka di bagian mana? Bilang sama saya.”

Arga mengacak rambutnya kasar saat Deva tak kunjung memberi respon. Seolah ia hanya nyamuk yang sedari tadi berdenging di samping telinga. Bahkan nyamuk aja masih bikin manusia risih. Tapi Deva tidak, ia seperti batu.

Mendengus, Arga kemudian menghampiri kursi Deva. Ia pun memutar kursi sang bawahan agar menghadap ke arahnya, meraih pergelangan tangannya, dan bersiap untuk menariknya agar segera berdiri. Tapi niat Arga harus tertunda saat ia bisa menghirup wangi feromon sang Omega. Ia kaget. Arga refleks membungkuk lalu mengendus pergelangan tangan Deva sejenak sebelum mendongak, menatap wajah sekertarisnya itu lamat.

“Kamu heat lagi?” tanya Arga. Ia kembali mengendus pergelangan tangan Deva untuk memastikan.

“Tapi wanginya gak menyengat banget kayak bulan lalu,” katanya, “Saya juga gak turn on sekarang.”

Pandangan Deva tertuju ke objek lain, jelas ia tidak ingin netranya berjumpa dengan milik Arga. Hal itu seketika membuat sang CEO kembali berdiri tegak, menarik lengan Deva sekuat tenaga.

“Ikut saya.”

Deva menolak, “Saya gak mau.”

“Ikut saya, Deva.”

“Saya gak mau, Pak!”

Arga tersentak mendengar Deva meninggikan suara, membuat ia hilang keseimbangan. Alhasil, Deva yang tadi membalas tarikan Arga untuk berontak pun tidak bisa berbuat apa-apa saat tubuh sang atasan condong ke arahnya. Beruntung Arga refleks menahan beban tubuhnya pada pegangan kursi kerja Deva, jika tidak, maka kepala mereka mungkin akan saling bertuburkan; amat keras.

Meskipun begitu, tetap saja Deva dan Arga tidak bisa menghindari insiden dimana bibir keduanya saling menempel seperti saat ini. Mereka sama-sama diam dalam keterkejutan, terlebih Deva yang seketika menyadari sikapnya kepada Arga sedari tadi. Tak bisa Deva pungkiri, ia begitu sensitif hari ini. Namun saat mencoba mengendalikannya, tetap saja ia tidak mampu. Ia merasa kalah pada hasrat yang entah datang dari mana. Namun saat Arga baru saja—tanpa unsur kesengajaan—mengecup bibirnya, Deva lantas merasa lega. Sensasi yang ia rasakan ini persis seperti saat Arga menggenggam tangannya ketika ia heat bulan lalu hingga rasa nyeri di perutnya mereda.

Gue heat lagi? Batin Deva resah.

“Pak,” lirih Deva sesaat setelah Arga memberi jarak antara wajah mereka hingga tautan bibirnya dengan sang atasan terlepas.

“Saya minta maaf,” timpal Deva, “Saya gak tau kenapa tadi saya malah kayak gitu ke Pak Arga.”

“Tadi saya kayak… Ada dorongan buat nyuekin Pak Arga. Hari ini saya juga gampang banget kesel, gak tau kenapa,” jelas Deva, Arga yang masih membungkuk tepat di depannya pun menyimaknya.

“Pas Pak Arga megang tangan saya tadi, saya ngerasa pengen yang lebih. Sesuatu dalam diri saya seolah bilang supaya saya makin nyuekin Pak Arga biar saya makin dibujuk,” katanya.

Deva menghela napas frustasi. Arga pun bisa melihat dengan jelas bagaimana sekertarisnya itu kebingungan, sama sepertinya.

“Terus pas bibir Pak Arga gak sengaja nyentuh bibir saya…” Deva menelan ludah, “Saya tuh ngerasain sensasi yang persis kayak pas Pak Arga ngegenggam tangan saya waktu saya lagi heat bulan lalu. Bedanya, kalau dulu nyeri di perut saya hilang. Kalau sekarang, rasa gak enak di dada saya yang hilang, saya pengen Pak Arga selalu nyentuh saya.”

Deva menggeleng pelan dengan raut wajah tidak yakin, “Masa saya heat lagi, Pak?” tanyanya, “Tapi tadi Pak Arga gak ngerasain wangi feromon saya kan kalau aja gak narik pergelangan saya?”

Arga mengangguk.

“Kalau misal masa heat saya datang tiap bulan, seharusnya saya heat Minggu depan. Bukan sekarang,” sambung Deva lirih.

Sekertaris CEO itu pun kembali menatap wajah Arga dengan raut bersalah, “Sekali lagi saya minta maaf atas tingkah saya tadi, Pak.”

“Tutup mata kamu.”

Deva bingung mendengar titah sang CEO barusan, “Maaf, Pak?”

“Saya bilang, tutup mata kamu.”

Deva tidak bisa menolak perintah telak dari atasannya itu. Hanya dengan mendengar sang CEO memberi sedikit penekanan pada suaranya membuat Deva luluh.

Apa mungkin ini yang pernah ia dengar dari Eren tentang Alpha tone? Dimana suara sang Alpha akan membuat Omega tunduk? Jujur saja, apa yang dialaminya dan Arga masih tidak masuk di akal sehat Deva hingga sekarang.

Sementara itu, Arga yang melihat Deva telah memejamkan mata lantas beralih menatap bibir tipis sekertarisnya itu. Ia menghela napas pelan sebelum perlahan mengikis jarak wajah mereka.

Persekian sekon kemudian, Deva bisa merasakan bagaimana Arga mengecup bibirnya. Jujur saja ia kaget, namun hasratnya enggan untuk menolak perlakuan sang CEO. Justru Deva menyukainya. Meski pada kenyataannya baru kali ini ia diciumi seorang pria.

Lambat laun kecupan Arga pun berubah menjadi sebuah pagutan ketika Deva membuka mulutnya. Ia melumat lembut bibir bawah dan atas sekertarisnya itu sambil memejamkan mata, decak lidah mereka saling bersahut-sahutan.

Deva pun tak tinggal diam, kedua tangannya meremas kuat pundak Arga sementara ia mengimbangi lumatan sang CEO. Kepalanya sesekali bergerak miring ke kiri dan ke kanan, ia mencari posisi ternyaman untuk mereka saling melahap bibir satu sama lain.

Ini gak masuk akal, batin Deva. Bisa-bisanya ia amat menikmati ciuman dengan seorang pria. Ia bahkan merasa jika pagutannya dengan Arga membuat gairahnya bangkit lebih cepat ketimbang saat berciuman dengan wanita. Entah karena Arga yang memang seorang good kisser atau justru karena status Alpha dan Omega mereka yang turut ikut andil.

“Mmh…”

Deva refleks melenguh saat Arga menggigit pelan bibir bawahnya. Namun setelahnya Deva lantas membuka mata saat merasakan bagaimana Arga mengecup spot yang ia gigit tadi amat lembut. Ia lalu menahan napas ketika sang atasan beralih menatapnya lamat dalam jarak yang begitu minim.

“Sekarang gimana?” tanya Arga, “Dada kamu masih gak enak?”

“Udah enggak, Pak.” jawab Deva.

“Kamu masih marah sama saya?”

Deva menggeleng pelan, “Saya gak pernah marah sama Bapak.”

Arga berdeham, “Bagus deh.”

Sang CEO kemudian berdiri tegak, merapikan jasnya sejenak sebelum kembali menatap Deva.

“Lain kali bilang dong kalau emang kamu ada apa-apa. Saya kan gak tau harus gimana kalau kamu diem aja,” protes Arga.

Deva mengangguk, “Maaf, Pak.”

“Ayo, kita ke resto sekarang. Saya udah laper daritadi. Tapi karena kamu musti ditarik-tarik dulu, jadi lama kan,” Ia berdecak kesal.

Arga pun berbalik, ia hendak berjalan mendahului Deva yang masih duduk di kursinya. Namun saat sadar bahwa sekertarisnya itu masih tidak bergeming, Arga kembali memandangi Deva.

“Katanya kamu gak marah. Tapi diajak makan masih aja diem.”

Deva menelan ludah, “Pak Arga.”

“Apa?” Arga ingin mendengarnya.

“Saya boleh megang tangan Pak Arga?” pinta Deva tidak enakan, “Dari sini sampai di lift aja, Pak.”

Arga menjulurkan tangan, “Mm!”

Tersenyum tipis, Deva kemudian meraih tangan Arga. Jemarinya menggenggam erat milik sang CEO. Bersamaan dengan itu Arga menuntunnya agar bangkit lalu berjalan beriringan dengannya hingga mereka ke luar ruangan.

***

“Jadi gimana?”

Deva menghela napas. Arga kembali menanyakan tentang rencana untuk meminta restu kepada Ibu dan Bapak Minggu depan, di resepsi Davis, lalu menikah di bulan berikutnya.

“Terus kontribusi saya buat pernikahan kita apa, Pak? Pasang badan doang?” balas Deva, “Masa saya ngelimpahin semuanya ke Pak Arga, padahal kita berdua mau ngejalaninnya sama-sama.”

“Kamu itu aneh ya,” Arga heran, “Orang lain malah seneng kalau disuruh duduk manis aja sambil nunggu hari resepsinya tiba. Ini kamu malah pengen ngeribetin diri sendiri,” ia lalu meletakkan daging yang telah matang di atas piring Deva. Sebab kini mereka memilih untuk makan siang berdua di restoran Barbeque.

“Ya udah. Terserah Bapak,” kata Deva lalu melahap daging yang baru saja diberikan oleh Arga.

“Ya kalau ujung-ujungnya mau bilang terserah, ngapain kamu protes terus ngambek tadi?” Arga geleng-geleng kepala lalu kembali memberi daging lain kepada Deva. Namun melihat sekertarisnya itu makan dengan tidak berselera, Arga menghela napas gusar. Deva kenapa sih?

“Kamu mau saya cium di sini?”

Deva terbatuk. Ia menatap Arga tak percaya lalu melirik ke kiri dan ke kanan, jaga-jaga jika ada yang mendengarkan. Sementara itu sang CEO hanya mendengus lalu menyodorkan air padanya.

“Kamu bikin saya ngerasa serba salah deh hari ini,” Arga ngomel.

“Lagian kenapa juga Pak Arga peduli? Biasanya kan Bapak gak mau tau,” balas Deva sembari menahan sumpit Arga dengan sumpitnya, sebab atasannya itu hendak memberinya daging lagi.

Arga mendesis, “Saya kan udah pernah bilang sama kamu. Saya itu gak akan pernah menganggap sepele pernikahan. Wajar dong saya diskusi sama calon saya?”

“Pak!” Deva setengah memekik, “Entar ada yang dengerin kita.”

Deva lalu menunjuk sumpit Arga—yang masih ia tahan—dengan dagu lalu berkata, “Pak Arga juga makan. Tadi katanya udah laper.”

“Kamu sih, aneh banget hari ini. Saya jadi ikutan aneh kan,” kata Arga lalu melahap daging itu.

Menarik napasnya dalam-dalam, Deva pun berkata. “Ya udah, kalau menurut Pak Arga itu baik buat kita berdua, saya setuju.”

“Gitu dong dari tadi,” sindir Arga, “Gak usah bikin saya pusing.”

Deva mencebik, “Pak Arga mau makan apa ngomelin saya sih?”

“Mau ngomelin kamu biar gak aneh-aneh,” sahut Arga lantang.

Namun melihat raut wajah Deva tiba-tiba berubah menjadi sedu, Arga lantas memijat keningnya. Arga kemudian beralih meraih jemari Deva, menggenggamnya lalu bergumam, “Udah, makan.”

“Mari, Pak.”

Deva menuntun Arga yang kini berdiri di sisinya, setelah mereka keluar dari mobil sang CEO, agar segera masuk ke dalam rumah. Ia pun tidak bisa menolak fakta jika jantungnya berdegup kencang ketika melihat mobil Davis telah terparkir pula di halaman rumah.

Abis ini dia pasti di-interogasi.

“Silakan, Pak.”

Deva mempersilakan Arga untuk masuk ke dalam rumah setelah ia membuka pintu. Ia lalu menyusul dan membawa Arga untuk segera ke ruang tamu. Namun alangkah kagetnya Deva saat mendapati Davis nyatanya sedang duduk di salah satu sofa. Mata sang kakak sedikit memicing tepat setelah melihat Arga berdiri di sisinya.

“Bang, lu udah di rumah dari tadi?” tanya Deva basa-basi.

“Mm,” gumam Davis, “Gue juga udah nungguin lu di sini dari tadi. Kok handphone lu mati?”

Deva menelan ludah, “Gue lupa bawa charger ke kantor, Bang. Mana handphone gue mati pas udah keburu jam pulang tadi.”

Merasa seperti nyamuk di antara kakak dan adik itu, Arga lantas berdeham, cukup keras. Alhasil, Deva refleks menoleh ke arahnya lalu kembali menatap sang kakak.

“Bang, kenalin. Ini Pak Arga, CEO Hardiyata Group. Dia atasan gue di kantor,” jelas Deva pada Davis.

Bangkit dari sofa, Davis masih menatap Arga lekat-lekat. Tentu Arga gak mau kalah. Ia membalas tatapan Davis minim ekspresi. Ia pun merasa jika Davis tengah memandanginya dengan raut curiga, seolah ia adalah penjahat.

“Davis, kakaknya Deva.” katanya sambil menjulurkan tangannya.

Arga pun meraih jabatan tangan Davis, “Arga, atasannya Deva.”

Dingin.

Deva tiba-tiba merasa atmosfer di antara Arga dan Davis sangat dingin. Terlebih kedua pria yang nyatanya seumuran—tiga puluh tahun—itu tidak henti-hentinya saling memandangi bahkan saat Arga telah dipersilahkan untuk duduk, pun Davis yang mengikut.

Sudah lumrah bagi Deva kalau Davis akan memerhatikan siapa saja yang sedang bersamanya. Kakaknya itu amat protektif, tak ingin ia terjerumus ke pergaulan yang membawa ke hal gak baik. Tapi untuk kali ini, Deva merasa jika Davis diam-diam menyimpan prasangka buruk terhadap Arga. Terlihat dari sorot matanya yang terkesan mengintimidasi sang CEO. Bisa jadi karena Davis tau kalau Arga yang udah ngasih duit tiga puluh juta itu, batin Deva.

“Pak Arga, maaf ya kalau ruang tamu rumah saya gak sebesar dan seluas di rumah Bapak. Tapi semoga Pak Arga bisa bikin diri Bapak nyaman,” kata Deva sopan, “Saya mau izin ke belakang dulu.”

“Lu pernah ke rumah atasan lu?” Davis menyeletuk sebelum sang adik berdiri dari sofa, “Ngapain?”

“Kemarin gue ketemu Mamanya Pak Arga di sana, Bang. Bu Ririn itu generasi kedua dari founder Hardiyata Group,” jelas Deva, “Kita ngomongin kerjaan di sana, soalnya Bu Ririn gak enak badan.”

Deva gak sepenuhnya bohong. Pasalnya, setelah meminta restu pada Bu Ririn kemarin, mereka—ia, Arga dan Bu Ririn—memang membicarakan urusan kerjaan.

“Gue ke dapur dulu ya, Bang. Mau bikin minum sekalian bilang ke Ibu sama Bapak kalau ada tamu,” ucap Deva yang dibalas respon anggukan oleh kakaknya.

Kini hanya tersisa Arga dan Davis di ruang tamu. Keduanya masih saling berbagi pandangan tanpa sepatah kata terucap di bibirnya. Mereka seolah mengikuti lomba untuk tidak mengedipkan mata.

“Kalau boleh tau, Pak Arga ada maksud dan tujuan apa ya datang ke rumah kami yang sederhana ini?” tanya Davis pada akhirnya.

Menyandarkan punggungnya di badan sofa, Arga melipat lengan. “Saya cuma mau nganterin Deva pulang karena udah malam. Tapi karena saya ditawarin mampir ke rumah anda yang sederhana ini sama Deva, jadi sebagai atasan yang baik dan rendah hati saya gak mungkin menolak,” katanya.

Davis ikut bersandar di badan sofa, mengikuti pose Arga yang melipat lengan di depan dada. Alhasil, keduanya kembali saling bertukar tatap dalam diamnya dengan posisi duduk yang sama.

“Kata Deva, Pak Arga abis ngasih gajinya buat tiga bulan ke depan. Itu maksudnya apa ya, Pak Arga?” Davis kembali membuka suara.

Arga menghela napas, “Anda ini sama aja kayak Deva. Bukannya bilang makasih, ini malah nanya maksud saya ngasih duit apa.”

“Ya biar anda bisa nikah bulan depan lah,” sambung Arga, “Itu adik anda nasibnya udah sial. Kalau anda gak jadi nikah terus ada gosip kalau itu gara-gara Deva punya utang, anda pikir adik anda bakal baik-baik aja?”

“Ujung-ujungnya saya juga yang rugi. Dia kerjanya jadi gak bagus, belum juga saya malu karena—”

“Eh, ada tamu ya.”

Arga yang bahkan belum selesai dengan ucapannya menoleh ke sumber suara. Mendapati sosok pria paruh baya menghampiri dirinya juga Davis di ruang tamu. Ia pun berdiri, menjabat tangan pria yang ia tebak Bapak Deva.

“Bapak atasannya Deva?”

Arga mengangguk, ia tersenyum tipis, “Panggil Arga aja, Pak.”

“Selamat datang di rumah kami, Nak Arga. Saya merasa sangat terhormat karena Nak Arga menyempatkan diri untuk mampir di sini,” tutur si pria paruh baya, “Silakan, Nak.”

Arga menyanggupi ketika Bapak mempersilakannya untuk duduk kembali. Tidak lama berselang, Deva lantas kembali dari arah belakang. Tapi ia tidak membawa kopi, teh ataupun minuman lain. Membuat Arga lantas bertanya.

“Gak jadi bikin minum kamu?”

Deva udah gak kaget lagi dengan respon Arga, tapi tidak dengan Davis yang refleks menautkan kedua alis hingga keningnya berekrut. Ia heran melihat Arga.

“Jadi kok, Pak. Tapi berhubung makan malam udah siap, Ibu bilang supaya saya ngajak Pak Arga makan malam di sini aja sekalian. Itu pun kalau Bapak berkenan,” tutur Deva.

“Terus Ibu mana?” tanya Bapak, “Ayo panggil ke sini dulu, Dev.”

“Ada, Pak. Ibu yang bawa minum.”

Persekian sekon setelah Deva menjawab pertanyaan Bapak, si wanita paruh baya pun datang. Ibu membawa nampan berisi tiga kopi lalu meletakkannya di atas meja. Deva pun buru-buru duduk di samping sofa, mengambil alih nampan yang dibawa Ibu untuk membagi setiap kopi di hadapan Arga, Davis juga Bapaknya. Sebab Deva yang tau kopi untuk Arga.

“Bu, ini Nak Arga. Atasannya Deva di kantor,” tutur Bapak.

Deva sedikit kaget mendengar Bapak memanggil Arga dengan embel-embel Nak bukan Pak.

“Makasih udah datang ke sini, Nak Arga. Kami senang bisa menyambut Nak Arga di sini.”

Arga tersenyum sambil menjabat tangan Ibu, “Saya juga senang bisa ketemu Ibu. Nasi kuning yang waktu itu Deva bawa ke kantor enak. Saya suka,” katanya.

Tumben, batin Deva. Baru kali ini ia mendengar nada suara Arga sedikit lebih lembut dari yang biasanya. Dan tentunya tanpa ada protes di dalam kalimatnya.

“Tapi tolong lain kali porsi nasi kuningnya dibanyakin ya, Bu.”

Sekarang Deva menarik apa yang baru aja ia pikirkan tentang Arga.

“Kamu kira Ibu saya jualan nasi kuning apa?” Davis pun menyela dengan nada tidak sukanya.

“Emang dari tadi anda denger saya bilang kalau Ibu anda jualan nasi kuning?” balas sang CEO.

Ibu yang melihat Davis juga Arga pun terkekeh lalu menengahi. “Udah, Davis. Kamu kenapa sih? Gak bisa banget diajak bercanda.”

“Tau nih. Anak Ibu yang ini suka banget nyari gara-gara daritadi.”

Deva mendesis. Kalau Arga kayak gini mulu, bisa-bisa Davis makin berprasangka buruk ke atasannya itu. Masih mending jika kakaknya tidak memintanya untuk segera resign dari Hardiyata Group.

“Pak Arga, Bang, Ibu, Bapak. Jadi gimana?” Deva berusaha supaya perhatian tertuju padanya, “Mau minum dulu apa makan malam?”

“Nak Arga gimana?” tanya Bapak, “Apa Nak Arga berkenan buat ikut makan malam sama kami?”

Arga mengangguk, “Tentu, Pak.”

“Kalau gitu minumnya aku tutup dulu ya,” kata Deva yang dibalas anggukan oleh Ibu juga Bapak. Sementara Davis dan Arga masih setia berbagi tatapan sengit.

“Silakan, Nak Arga. Kita ke ruang makan sekarang ya,” ajak Ibu.

Arga lantas mengikuti langkah kaki si wanita paruh baya juga Bapak yang berjalan di samping kirinya. Sementara itu, Davis dan Deva yang masih berdiri di ruang tamu lantas berbincang sejenak.

“Atasan lu itu songong bener dah gue perhatiin. Asli,” tutur Davis, “Yakin lu besok-besok tenaga lu gak bakal di-eksploitasi sama orang ngeselin kayak dia, Dev?”

“Pak Arga emang gitu, Bang. Kalo ngomong ceplas-ceplos. Tapi dia aslinya baik kok,” jelas Deva.

“Gue gak suka sama dia,” ujar Davis sebelum berlalu ke ruang makan, sedang Deva hanya bisa mengacak-acak rambut frustasi.

Setelahnya, Deva pun menyusul. Ia yang paling akhir tiba di meja makan. Alhasil, satu-satunya kursi kosong yang tersisa hanya ada tepat di samping Arga. Mau gak mau ia harus duduk di sana.

“Silakan, Nak Arga. Maaf ini Ibu cuma masak ala kadarnya aja.”

Arga menatap mangkuk yang ada di depannya, sedikit menunduk untuk menghirup wangi yang menguar. Sebab feromon Deva yang duduk di sisinya nyaris membuat ia tidak bisa menciumi aroma masakan si paruh baya.

“Ini soto betawi ya, Bu?”

“Iya, Nak.” si Ibu terlihat gugup, “Nak Arga gak suka soto betawi?”

“Suka, Bu. Mama saya juga sering bikin kalau lagi masak di rumah.”

“Kirain orang-orang kaya gak tau makan soto betawi,” kata Davis.

Deva mendesis, “Bang…”

“Terus anda pikir orang kaya tuh makan apa?” balas Arga, “Makan uang tiap hari? Berlian? Tesla?”

“Pak Arga…” Deva beralih melirik Arga di sampingnya. Ia memelas.

Bapak dan Ibu geleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis.

“Silakan dicoba, Nak Arga.”

Arga mengangguk pelan saat Ibu mempersilakannya kembali. Ia pun hendak menyendok kuah soto di hadapannya itu, berniat mencobanya. Namun pergerakan Arga terhenti kala ia mendengar sesuatu; seperti sebuah benda jatuh ke dalam air. Alhasil ia pun menoleh ke sumber suara, tidak terkecuali Bapak, Ibu, juga Davis yang mendengarkan hal serupa. Sementara itu, Deva yang kini melihat bagaimana mangkuk sotonya baru saja dijatuhi cicak hanya mampu menatap nanar ke cicak yang mengapung di sana.

***

Selepas makan malam, minum kopi juga berbincang di ruang tamu, kini Arga telah bersiap untuk pulang. Didampingi Deva, ia melangkah ke halaman depan rumah bawahannya itu. Namun sesaat setelah ia membuka kunci mobilnya, Deva lantas bersuara.

“Pak Arga.”

“Apa?”

Deva menghela napas, “Pak Arga, kalau bisa, jangan kayak tadi lagi ya ke Abang saya besok-besok?” katanya, “Kita bisa aja loh batal nikah gara-gara gak dapet restu dari Abang saya. Bapak mau?”

“Abang kamu ngeselin sih,” balas Arga, “Sejak saya datang tadi aja dia tuh natapnya udah kayak liat maling tau gak? Saya gak suka.”

“Mana banyak tanya banget lagi. Udah gitu gak tau terima kasih.”

“Abang saya emang gitu, Pak. Dia cuma pengen mastiin kalau saya gak bakal dijahatin sama orang.”

“Jadi siapa pun orang baru yang jalan sama saya, pasti bakal di-interogasi juga sama dia,” timpal Deva, “Saya harap Pak Arga bisa ngerti sama sikap Abang saya.”

Arga mendengus, “Bilangin tuh ke Abang kamu, gak usah sok nge-interogasi, dia bukan polisi.”

“Udah. Saya mau pulang,” timpal Arga, sedang Deva hanya mampu menghela napasnya pasrah. Tapi sesaat setelahnya, ia lantas heran ketika melihat sang atasan justru berjalan ke arah bagasi mobilnya.

Mata Deva kemudian menyipit kala mendapati Arga mengambil tiga buah paper bag dari bagasi sebelum kembali menghampiri. Atasannya itu berdiri tepat di hadapannya, menyodorkan tiga paper bag yang ditentengnya.

“Nih buat Ibu, Bapak sama Abang kamu yang ngeselin itu,” tutur Arga, “Bilangin ini ucapan terima kasih saya karena diajak makan.”

Jujur saja Deva tidak menyangka jika Arga menyiapkan bingkisan sebelum datang ke rumahnya. Ia pun meraihnya lalu mengangguk.

“Baik, Pak. Terima kasih.”

“Saya pulang.”

Arga berjalan ke pintu mobil di sebelah kanan, membukanya dan bersiap untuk masuk. Namun, pergerakan Arga terhenti saat Deva tiba-tiba memanggilnya.

“Pak Arga.”

“Apa lagi?”

Deva menatap wajah Arga lamat lalu berdeham, “Hati-hati, Pak.”

“Mm,” gumam Arga sebelum masuk ke dalam mobilnya.

Semerbak bau caffeine seketika menusuk lubang hidung Tyan saat langkah kakinya menuntun ia memasuki cafe bernuansa retro namun dipadukan dengan aksen modern di sudut berbeda. Nampak begitu banyak anak muda yang sekedar nongkrong, pun saling berbincang dengan kawan. Tidak sedikit pula para muda-mudi berkemeja rapi yang berkutat dengan laptop di meja.

“Pa!”

Tyan refleks menoleh saat suara anak sulungnya menggema. Ia pun refleks tersenyum lebar kala mendapati dua malaikatnya ada di sudut cafe yang tak jauh dari meja bartender. Marga; si sulung melambai-lambaikan tangannya. Sementara si bungsu justru asik menopang dagu, matanya fokus pada sosok pria di belakang meja barista, senyumnya amat lebar.

Melihat tingkah anak perempuan itu membuat Tyan tertawa kecil. Si Adek bener-bener lagi jatuh cinta kayaknya, batinnya lalu menghampiri meja buah hatinya.

“Adek lagi liat apa sih? Serius banget,” Tyan merenggut, “Papa sampai gak disapa pas dateng.”

Melirik Papanya, si bungsu lalu cengar-cengir. “Adek lagi liat Om ganteng. Pipinya bolong. Lucu.”

“Mana ada sih orang pipinya bolong,” celetuk Marga, “Itu namanya lesung pipi, Dek.”

“Adek kok gak punya lesung pipi sih, Pa?” Si bungsu meraba-raba pipinya, “Kalau adek punya kan, Adek bisa samaan sama Om itu.”

Tyan terkekeh, “Emang kenapa Adek mau samaan sama si Om? Adek kan udah lucu,” tuturnya.

“Tapi kalau Adek punya, pasti lebih lucu lagi. Adek mau bikin lesung pipi,” celoteh si bungsu.

“Lesung pipi itu gak bisa dibikin, Dek. Lesung pipi itu pemberian Tuhan,” jelas Tyan lalu mengusap kepala anak perempuannya itu, “Kita tuh harus bersyukur sama apa yang udah Tuhan kasih ke kita,” katanya lalu menunjuk mata si bungsu, “Warna mata, bentuk hidung, pipi, bibir, semuuuanya.”

Marsha; anak perempuannya itu mengangguk paham. Tyan yang melihat respon anaknya seketika mencubit gemas pipi si bungsu. Marsha memang masih berumur enam tahun, masih duduk di bangku taman kanak-kanak, tapi anak perempuannya itu bisa dengan mudah mengerti apa yang selalu ia ajarkan. Tumbuh kembang Marsha adalah hal yang selalu Tyan syukuri setiap hari.

“Oh iya, kata Kakak tadi, Adek gak mau pulang ya? Kenapa? Gara-gara Om ganteng itu?”

Marsha melipat lengan kecilnya di depan perut. Ia memanyunkan bibir, alisnya menukik, matanya memicing. Nampak jika ia kesal.

“Kakak ngadu sama Papa.”

“Ya iya Kakak ngadu, Papa udah nyariin Adek loh daritadi. Tapi gak mau pulang gara-gara liat Om ganteng,” Marga kemudian menjulurkan lidahnya mengejek.

“Tapi Kakak juga selalu liat-liat ke Kakak ganteng yang bawain jus Adek tadi,” Marsha menyela.

“Hm, ternyata anak-anak Papa dateng ke Cafe buat ngeliatin cowok ganteng ya.” Tyan melirik Marga yang refleks menghindari tatapannya. Anak sulungnya itu jelas salah tingkah, “Mau Papa panggilin cowok gantengnya?”

Marga memekik, “Gak!”

“Mau!” Marsha riang.

Tyan tergelak. Ia sudah terbiasa melihat perbedaan sifat Marga dan Marsha. Si sulung cenderung pemalu, sedangkan si bungsu justru sebaliknya. Marsha tidak akan pernah berhenti berceloteh meski dengan orang baru sekali pun. Namun bukan berarti anak sulungnya anti sosial, tapi Tyan paham kalau Marga hanya sedikit Introvert. Ketika Marga telah mengenal baik seseorang, maka ia pun akan banyak bicara.

“Ya udah. Papa bakal panggilin Om gantengnya adek ke sini. Tapi abis ketemu Om ganteng, adek udah harus pulang ya?” Bujuk Tyan, “Udah hampir siang gini. Adek kan capek abis dari sekolah, jadi musti istirahat. Ya?”

“Iya, Papa.”

Marsha meletakkan tangannya di atas meja. Jemarinya pun saling bertaut, sedang badannya sedikit bergoyang, ia senyam-senyum.

“Pa,” gumam Marga, “Emang Papa udah bilang ke Barista itu ya buat dateng ke meja kita?”

No, ini Papa baru mau manggil.”

ButHe’s walking here.

“Kak Tyan?”

Tersentak, Tyan mendongak. Ia menatap heran ke arah barista yang kini telah berdiri tepat di sampingnya. Satu tangan lelaki itu sedang membawa secangkir kopi. Jangan tanyakan Marsha, ia sibuk menatap si Om ganteng.

“Kamu kenal saya?” tanya Tyan.

Pria berlesung pipi itu lantas tersenyum sambil mengangguk.

“Aku Jeva, Kak. Adik kelas Kak Tyan sejak SMP sampai SMA.”

Mulut Tyan menganga. Rasa tak percaya pun sempat melanda. Tapi ia kemudian berpikir bahwa time flies and people change. Jadi wajar jika Jeva yang ia lihat di depan matanya saat ini berbeda.

Bahkan sangat berbeda.

“Kakak inget?” Jeva memastikan.

“Ya Tuhan, Jeva. It’s been so long,” Tyan tersenyum pada Jeva, “Aku inget. Mana mungkin aku bisa lupa sama orang yang nolong aku pas kekunci di perpus sih?”

Jeva tersenyum diikuti kekehan merdu, “Aku boleh duduk gak?”

“Boleh. Boleh banget,” kata Tyan.

Marga yang sedari tadi sesekali memerhatikan adiknya lantas geleng-geleng kepala melihat senyum Marsha semakin lebar. Bahkan adiknya itu tak jarang menyampirkan poni di telinga.

“Kamu gak berubah ya, Kak. Gini-gini aja. Awet muda. Pas kamu masuk cafe tadi aku tuh langsung sadar kalau itu kamu.”

Penuturan Jeva membuat Tyan mendesis, “Bisa aja kamu. Tapi maaf ya aku tadi gak ngenalin kamu, Jev. Sekarang kamu udah tinggi banget, mana kekar gini.”

“Udah gak gendut juga kan, Kak?” Jeva terkekeh, sementara Tyan refleks menghela napas sambil menatap mata Jeva lekat-lekat.

“Mm,” gumam Tyan, “Kamu pasti lebih sehat ya sekarang. Keliatan banget kamu rajin olahraga, Je.”

Jeva tersenyum. Ya, Tyan tetap sama. Bukan hanya tentang rupa tapi juga kelembutan hatinya. Ia akan selalu menjaga perasaan lawan bicaranya, termasuk Jeva.

Jika orang lain—apalagi teman SMA—yang bertemu dengannya, si pemilik lesung pipi akan selalu disambut dengan pertanyaan,

“Sekarang lo udah kurus ya?”

“Kok lo bisa se-kurus ini?”

Lalu setelahnya akan disambung dengan kalimat, “Padahal dulu lo gendut banget, Je. Sekarang lo udah ganteng, body lu bagus.”

Dan masih banyak lainnya.

Tapi Tyan tidak. Tyan justru tak mau menyebutnya gendut. Tyan memilih mengutarakan aspek kesehatannya, seolah enggan menyinggung hal yang jelas Tyan ketahui menjadi bahan olok-olokan orang lain semasa SMA.

“Kamu udah lama jadi barista di sini?” tanya Tyan, Jeva senyum.

“Baru hari ini, Kak.”

Tyan mengangguk, “Lulus SMA dulu kamu kuliah di mana, Je?”

“Di Jogja, Kak. Aku baru Minggu kemaren balik ke sini lagi tau.”

“Pantes kamu nih gak ada kabar. Reuni Akbar kemaren kamu juga gak dateng. Ternyata kamu udah jadi orang Jogja toh,” tutur Tyan.

“Istri kamu orang Jogja ya, Je?” sambung Tyan dengan tanya.

Jeva tertawa ringan, “Aku belum nikah, Kak. Kemarin itu aku gak ada kesempatan buat pulang aja pas reuni. Makanya aku skip.”

Mendengar penuturan Jeva jujur saja membuat Tyan sedikit kaget. Pasalnya, beda umurnya dengan si pemilik lesung pipi hanya dua tahun, dan sekarang Tyan sendiri berusia tiga puluh dua tahun. Itu artinya umur Arga sudah cukup matang untuk menikah, pikirnya.

Tapi pilihan hidup setiap orang memang berbeda-beda. Begitu juga lingkungan di sekitarnya. Ada yang dituntut buat nikah pas dapet gelar Sarjana, bahkan ada pula yang justru tidak terpaku pada hal itu. Dan mungkin Jeva menjadi salah satu di antaranya.

“Mereka apanya Kak Tyan?”

Tyan tersadar dari lamunannya, mendapati Jeva menatap Marga juga Marsha yang menatapnya.

“Ah iya, aku jadi lupa ngenalin.” Tyan meraih tangan Marga di atas meja, anak sulungnya itu duduk di seberangnya, “Ini anak pertama aku, namanya Marga. Kalau yang di sampingnya itu, Marsha. Dia anak bungsu aku.”

Jeva mengangguk kecil sambil tersenyum ke arah Marga juga Marsha yang tak pernah berhenti memandanginya. Lucu, batinnya.

“Kak, Dek, ini Om Jeva. Temen Papa waktu sekolah dulu,” lanjut Tyan memperkenalkan Jeva.

Marga tersenyum tipis. Sedang Marsha menjulurkan tangan kecil nan lentiknya ke arah Jeva yang duduk tepat di hadapannya.

“Halo, Om.”

“Halo, Marsha.”

Jeva meraih uluran tangan anak perempuan itu sambil terkekeh, “Kamu umur berapa sekarang?”

“Enam tahun, Om. Marsha udah sekolah. Udah banyak teman.”

“Anak Papa lagi caper,” gumam Marga pada Tyan yang refleks mencubit lengan si sulung usil.

“Wah, berarti Marsha kayak Papa dulu dong. Banyak temennya.”

“Iya! Soalnya Papa Marsha cantik kayak Marsha. Iya kan, Om?”

Memijat keningnya, Tyan hanya bisa pasrah mendengar ocehan anak bungsunya sambil menahan tawa. Marsha emang ada-ada aja.

Sementara itu, Jeva melirik Tyan sejenak lalu kembali menatap si anak perempuan di depannya, “Iya. Papa sama Marsha cantik.”

Marsha cengengesan.

Tyan pun geleng-geleng kepala lalu beralih memandangi Marga. Tapi anak sulungnya itu justru sedang sibuk memandangi objek di belakangnya—yang entah apa. Tyan pun mengikuti pandangan Marga, mendapati jika anak lelaki kesayangannya itu memusatkan atensi ke arah pelayan cafe yang berjalan mendekati meja mereka.

“Pak Bos.”

Tyan tersentak saat pelayan yang ia dan Marga perhatikan berdiri di samping mejanya, memangil Jeva dengan sebutan, “Pak Bos.”

Jadi Jeva pemilik cafe ini dong?

“Kenapa, Can?” tanya Jeva.

“Ada yang mau ketemu sama Pak Bos di lantai dua,” kata si pelayan.

“Ya udah. Abis ini saya ke sana.”

Jeva beralih memandangi wajah Tyan, “Kak, kamu cobain kopi yang aku bikin ya? Aku mau ke atas dulu. Entar aku balik lagi.”

Berdiri, Jeva kemudian hendak melangkah menjauhi meja Tyan. Namun ia justru mengurungkan niat sejenak saat teringat akan sesuatu. Ia pun tersenyum tipis sebelum menyodorkan gawainya kepada lelaki yang lebih tua.

“Aku mau minta kontak Kak Tyan. Boleh ya?” pintanya, “Kali aja Kak Tyan buru-buru terus urusan aku di atas belum kelar.”

“Boleh kok, Je. Sini.”

Dan, Ya. Marsha kegirangan. Pun Marga yang bisa memandangi si pelayan manis di samping meja mereka dengan begitu leluasa.

Deva menarik napasnya dalam-dalam sesaat sebelum melangkah ke meja Arga. Kini sudah hampir jam pulang kantor, ia pun akan merapikan barang-barangnya setelah mengantar berkas yang dititipkan oleh divisi operasional padanya beberapa menit lalu.

Jujur saja, Deva merasa tidak siap untuk bertemu Arga. Mengingat percakapan mereka di Whatsapp tadi membuatnya panas dingin. Meski di kepalanya sudah timbul jawab atas pertanyaan Arga, tapi Deva sendiri masih sedikit ragu. Sebab jawaban Deva nanti akan menjadi keputusan terbesar dan terberat selama ia hidup di bumi.

Bukan hal mudah untuk menikah dengan seseorang yang bahkan belum genap sebulan ia kenali. Apalagi sosok itu adalah seorang laki-laki, yang notabennya bukan ketertarikan seksualnya. Terlebih jika Deva mengingat lagi bahwa ia ingin memiliki pasangan yang sifatnya seperti Davis. Rasanya Deva ingin pingsan saja saat ini.

Sifat Davis dan Arga bagai langit dan bumi. Sangat jauh berbeda.

Sesampainya di depan meja sang CEO, Deva lantas menelan ludah. Sementara itu, Arga yang semula sibuk memeriksa pekerjaan yang terpampang pada layar MacBook seketika mendongak kala wangi Deva menguar; meski sudah tidak se-kuat kemarin. Membuat pusat ereksinya pun sudah bisa lebih tenang dan tidak agresif.

“Pak Arga, ini berkas yang orang operasional titip sama saya tadi.”

“Mm,” gumam Arga lalu kembali menatap layar MacBooknya, “Itu kamu simpen aja di meja depan sofa, terus buku yang ada di sana kamu taroh ke rak yang ketiga.”

“Baik, Pak.”

Deva menyanggupi titah Arga. Ia meletakkan map yang dibawanya di atas meja, beralih melihat tiga buku yang tergelak di samping map itu lalu mengumpulkannya. Dibawanya ketiga buku yang telah bertumpuk itu ke arah rak, meletakkannya pada rak ketiga seperti yang Arga inginkan. Tapi persekian sekon kemudian, Deva lantas dibuat memekik. Pasalnya, sebuah buku tebal tiba-tiba jatuh dari rak ke-empat lalu menimpa sudut keningnya. Padahal Deva sama sekali tidak membuat rak di hadapannya bergerak. Kalau mau dibikin bergerak sekali pun, Deva gak mungkin sanggup sendirian.

Arga yang mendengar pekikan sekertarisnya itu pun menoleh. Menautkan alis heran melihat Deva sedang meringis kesakitan sambil mengusap-usap kening.

“Kenapa sih kamu? Bikin kaget aja teriak-teriak gitu,” tutur Arga.

“Saya ketiban buku itu, Pak.”

Arga mengikuti arah telunjuk Deva, mendapati buku yang amat tebal tergeletak di atas lantai. Ia pun refleks bergumam, “Buset.”

Pasalnya, buku yang jatuh dan menimpa Deva itu ketebalannya nyaris mirip dengan kamus besar Bahasa Indonesia. Arga kembali memandangi wajah bawahannya lalu geleng-geleng. Setelahnya ia berdiri dari kursi, melangkah dan menghampiri sekertarisnya itu.

“Coba saya liat.”

Deva menahan napas ketika Arga menyentuh sudut keningnya. Ia pun buru-buru menghindari kontak mata saat atasannya itu meniup daerah yang menjadi tempat buku tadi mendarat sembari mengusapnya dengan ibu jari. Alhasil, sensasi aneh itu kembali. Tubuh Deva mendadak panas, namun tidak menyiksa seperti kemarin. Pun rasa nyeri di perutnya seketika reda kala Arga terus mengelus dahinya.

Ini gak masuk akal, batinnya.

“Kamu sih, ceroboh banget. Ck! Kalau ngerjain sesuatu tuh hati-hati. Masih mending kamu cuma ketiban buku, kalau vas bunga? Bisa berdarah tau kepala kamu.”

“Saya udah hati-hati, Pak. Buku itu juga ada di rak ke-empat loh bukan rak ke-tiga, saya juga gak bikin rak ini gerak. Tapi bukunya malah jatuh,” Deva mendesis, “Ini emang nasib sial saya aja keknya.”

Arga melongo sejenak, masih sambil mengusap kening Deva.

“Nasib sial kamu nyeremin ya,” gumamnya, Deva mengangguk.

Perlahan, Deva memberanikan diri untuk kembali memandangi wajah Arga. Tatapan mereka pun terkunci di satu poros. Menurut Deva, Arga benar-benar sangat memesona ketika tak mengomel.

Deva jangan ngaco lu, batinnya.

“Kamu ngerasain sesuatu kan?”

Deva mengangguk mendengar tanya yang terucap dari bibir penuh Arga. “Tubuh saya panas pas Pak Arga nyentuh saya tadi.”

“Nyeri perut saya juga tiba-tiba reda. Aneh,” gumam Deva lirih, “Saya juga ngerasa gak pengen Pak Arga berhenti nyentuh saya.”

Menipiskan bibirnya, Arga lantas meraih jemari Deva dengan satu tangannya yang terbebas. Deva pun mengulum bibir saat sang CEO menggenggam jemarinya.

“Saya juga ngerasain hal aneh,” tutur Arga, “Tapi gak separah yang kemarin sama tadi pagi.”

“Aneh gimana, Pak?” tanya Deva.

Arga menghela napas, “Saya turn on kalau nyium feromon kamu.”

Deva menelan ludah, “Pak.”

“Jangan mikir macem-macem ya, kamu. Sekarang saya gak gitu.”

Deva menahan senyum.

“Jadi gimana jawaban kamu?”

Deva terdiam sejenak sebelum menuntun tangan sang atasan yang masih mengusap keningnya agar segera berhenti. Arga pun menyanggupi, namun tangannya yang lain tetap menggenggam jemari Deva di samping paha.

“Saya…”

“Gak usah sok ngegantung deh, kamu gak lagi main sinetron.”

Deva mencebik, “Saya lagi mikir, Pak. Bukan ngegantungin Bapak.”

“Kamu gimana sih? Kan saya udah ngasih kamu waktu buat mikir sejak pagi tadi,” sela Arga.

Mendesis, Deva lalu menghela napas dan berkata, “Saya mau.”

Arga mengangkat alisnya, “Mm?”

“Saya mau nikah sama Bapak,” jelas Deva yang membuat Arga lantas mengacungkan jempol.

“Kalau gitu kamu ikut ke rumah saya sekarang,” ucap sang CEO santai, sedang Deva terbelalak.

“Kita mau ngapain di rumah Bapak?” Deva seketika panik.

Jangan-jangan dia mau diewe? Batin Deva, dia mulai cemas.

“Ya mau minta restu sama Mama saya lah,” jawab Arga, “Ayo.”

“Tapi, Pak.”

“Tapi apa lagi sih, Deva?”

Deva gelisah, “Kita harus bilang apa ke Bu Ririn nanti? Pasti—”

“Udah. Kamu serahin aja sama saya,” Potong Arga, “Nanti biar saya yang ngomong sama Mama.”

Deva pun hanya bisa pasrah kala Arga menarik lengannya dengan tangan yang masih ia genggam. Arga menuntunnya ke arah meja kerjanya, mengambil tasnya, lalu kembali berjalan ke arah pintu.

“Pak, tangan saya.” gumam Deva, sebab Arga masih menggenggam jemarinya bahkan ketika mereka sudah berada di dalam lift yang akan membawa mereka ke lobi.

“Tangan kamu kenapa? Gatel?”

“Gak, Pak. Tapi Pak Arga masih megang tangan saya,” kata Deva, “Entar ada yang ngeliat kita.”

“Emang kenapa kalau mereka liat? Mata dipake buat ngeliat.”

“Tapi entar kita berdua malah diomongin sama mereka, Pak.”

“Udah deh, kamu diem aja. Saya udah baik mau megang tangan kamu biar perut kamu gak sakit.”

Berdeham, Deva pun hanya diam lalu menatap pintu lift. Sesekali ia melirik bayangan sang atasan yang terpantul di sana sembari berpikir, bagaimana bisa sosok yang berdiri di sampingnya ini akan menjadi suaminya nanti?

Rasanya sangat konyol.

***

“Ayo ikut saya.”

Jantung Deva seperti ingin copot ketika Arga mulai menuntunnya memasuki rumah bak istana di hadapannya. Berbagai macam skenario telah terbayang-bayang di kepala Deva. Ia benar-benar takut akan respon Bu Ririn nanti.

“Ma.”

Deva lemas. Melihat si wanita paruh baya telah ada di depan mata membuat Deva ingin buang air saking gugupnya. Tungkainya pun seolah kehilangan tulang.

“Kirain mau lembur kamu, Ga.”

“Tadinya pengen, tapi aku mau ngomong sesuatu sama Mama. Jadi aku pulang,” tutur Arga lalu melirik Deva yang berdiri di sisi kanannya, “Kamu duduk dulu.”

Bu Ririn yang sedang terduduk di sofa ruang keluarga pun lantas mengulas senyum ketika Deva sedikit membungkuk sebelum ikut mendaratkan bokongnya di sofa; berseberangan dengan si paruh baya. Nampak kalau Bu Ririn menyimpan tanya mengapa ada ia di tengah-tengah mereka.

“Kamu mau ngomong apa sama Mama?” Tanya Bu Ririn setelah Arga ikut duduk di sisi kiri Deva.

“Arga mau nikah, Ma.”

Si wanita paruh baya tersenyum.

“Bagus,” katanya, “Udah dapet ya calonnya?” Bu Ririn penasaran.

“Udah,” Arga lalu menunjuk Deva dengan dagu, “Nih orangnya.”

Bu Ririn tertawa, “Deva, maafin Arga ya. Kayaknya dia lagi agak stress karena belum ketemu—”

“Arga serius,” potong sang CEO.

Arga menghela napas. Ia meraih tangan Deva, menggenggamnya.

“Aku pengen nikahin Deva.”

“Arga, ini gak lucu. Mama tau, kamu gak tertarik sama laki-laki.”

“Siapa yang lagi ngelucu sih, Ma?Mama gak liat aku daritadi udah serius kayak gini?” Protes Arga.

“Tiga aspek yang Mama saranin gak bisa aku temuin di wanita manapun,” timpal Arga, “Tapi itu ada di Deva. Sikapnya, empati dia, caranya mengontrol emosi…”

“Aku gak peduli kalau Deva itu laki-laki. Aku pengen hidup sama dia, Ma. Cuma Deva,” katanya.

“Kalau bukan Deva yang jadi pasangan aku, aku gak mau nikah. Ini pilihan aku,” tegas Arga, sedang Deva diam-diam menahan hasratnya untuk tidak pipis saat melihat Bu Ririn shock.

“Lebih baik aku sendiri seumur hidup daripada berakhir dengan orang yang salah, Ma. Aku gak mau hal pahit yang udah Mama lewati terulang ke aku. Karena aku tau, kalau aku sedih, Mama yang bakal lebih sedih dan sakit.”

“Gak mudah buat aku buka hati lagi. Tapi Deva bikin aku yakin kalau dia orang yang tepat buat aku. Deva yang bisa melengkapi aku,” Arga lalu menghela napas, “Kalau Mama tetep pengen liat aku nikah, aku mohon restu, Ma.”

“Restuin aku sama Deva.”

Kening dipijit, mata terpejam. Bu Ririn jelas amat kaget mendengar apa yang baru saja Arga katakan. Pandangannya pun tiba-tiba menggelap bersama rasa pusing. Bu Ririn hanya bisa mendengar bagaimana Arga dan Deva lantas memekik lalu menghampirinya yang telah terkulai di badan sofa.

“Ma!” Arga panik, “Ma, jangan kayak gini. Arga kan gak bawa Deva buat bikin Mama mati.”

Deva yang memijat kepala Bu Ririn lantas mendesis, “Ih, Pak Arga! Kok ngomong gitu sih?”

“Mending sekarang Pak Arga telepon dokter,” saran Deva.

“Oke.”

Arga merogoh saku jasnya, tapi melihat Bu Ririn melenguh, ia pun mengurungkan niat untuk meraih gawainya. Arga beralih mengusap lengan Mamanya saat si wanita paruh baya siuman.

“Mama haus?” tanya Arga.

Bu Ririn menggeleng lemah. Ia lalu menoleh ke arah Deva yang duduk di sebelah kirinya, sedang Arga berada di sisi berlawanan.

“Deva…”

“Iya, Bu?”

“Apa saya bisa percaya sama kamu buat jaga Arga kalau saya udah gak ada?” tanyanya lirih.

“Ma, jangan gini. Ayo. Arga bawa Mama ke rumah sakit sekarang.”

Arga berdiri, hendak membopoh Mamanya agar ikut bangkit. Tapi tanpa ia duga, wanita paruh baya itu justru menarik lengannya. Ia pun kembali terduduk di sebelah kanan sosok tercintanya itu.

“Mama gak lagi sekarat,” tutur Bu Ririn, kembali menoleh ke Deva, “Gimana, Deva? Apa kamu bisa?”

Deva melirik Arga sejenak. Sang CEO hanya menatapnya dalam. Seolah menyerahkan keputusan tentang apa yang akan ia katakan ke Bu Ririn padanya sepenuhnya.

Menarik napasnya, Deva kembali menatap Bu Ririn, mengangguk. “Bahkan saat Ibu masih ada di tengah-tengah kami pun, saya akan selalu jagain Pak Arga, Bu.”

“Jujur saja, awalnya, saya juga sedikit ragu untuk menerima ajakan Pak Arga untuk menikah. Bagaimana pun juga, kami belum lama saling kenal. Saya sendiri pun khawatir akan bagaimana kehidupan rumah tangga kami.”

“Tapi Pak Arga meyakinkan saya tentang komitmennya. Pak Arga juga bilang kalau kami menikah untuk saling melengkapi. Artinya tanpa Pak Arga, ada yang hilang dari saya. Begitu juga sebaliknya. Jadi kami yakin, kami gak akan bisa saling meninggalkan, Bu.”

Bu Ririn mengangguk, “Tolong jangan pernah tinggalin Arga ya? Jangan mengkhianati dia apapun alasannya. Pegang janji kalian di depan penghulu nanti sampai kalian dipisahkan maut. Bisa?”

Deva menelan ludah, “Bisa, Bu.”

“Jadi Mama restuin aku sama Deva kan?” Arga menyeletuk.

“Kamu. Dengerin Mama dulu.”

Bu Ririn menggenggam tangan Arga, “Mama ngasih kebebasan untuk kamu bisa memilih karena Mama yakin kamu udah belajar banyak dari pengalaman Mama.”

“Mama juga pernah memilih, tapi ternyata pilihan Mama gak tepat. Dan Mama gak pernah menyesal untuk itu,” timpalnya, “Karena dari pilihan itu, Mama akhirnya punya kamu di sini. Kamu hadiah terindah buat Mama, Arga.”

“Mama selalu percaya dan gak pernah bosan bilang sama kamu, dibalik kegagalan pasti akan ada sesuatu yang lebih indah di hari mendatang,” katanya, “Jadi Mama cuma bisa berpesan, pilihan yang kamu bilang di depan Mama hari ini jangan pernah kamu sesali.”

“Mama pengen kamu bahagia. Cuma itu. Dan bagi Mama, anak Mama berhak untuk memilih bahagianya sendiri. Peran Mama sebagai orang tua kamu hanya membimbing supaya kamu gak salah langkah,” jelas Bu Ririn.

Arga mengangguk paham.

“Mama doain yang terbaik buat kalian,” si wanita paruh baya lalu menuntun tangan Deva dan Arga agar saling menggenggam di atas pahanya, “Mama restuin kalian.”