Salting
Helaan napas gusar lantas Arga bebaskan saat chat-nya belum juga dibalas oleh Deva. Alhasil, ia bangkit, meninggalkan MacBook yang telah menyala di atas meja bersama segudang pekerjaannya. Arga melangkah tergesa ke arah ruangan Deva, alisnya menukik kala ia sampai di tempat tujuan.
“Chat saya kok gak dibales sih?”
Deva menelan ludah melihat raut kesal di wajah Arga, “Aku kan lagi beresin barang-barang di meja aku, Mas. Keburu orang suruhan Mas Arga dateng nanti,” alibinya.
Jujur saja Deva masih bingung ingin memberi respon apa atas chat Arga tadi. Entah, ia gugup.
Napas Deva pun tertahan ketika Arga mengambil satu langkah ke depan, membuat jarak berdiri mereka semakin tipis. Deva bisa merasakan betapa sengit sorot mata sang suami yang tak henti-hentinya memandanginya lamat.
“Jadi kamu gak suka kalau saya posesif kayak tadi?” ulang Arga.
Deva mendesis diikuti gelengan, “Mas, tadi aku cuma bercanda.”
“Tapi saya gak bercanda,” balas Arga, “Saya risih tau gak, ngeliat kamu ditempelin sama mereka.”
“Mana kamu juga suka iya-iya aja kalau diajak ngobrol sama orang,” lanjutnya, “Dev, ramah boleh kok. Saya gak ngelarang, silakan. Tapi kamu juga harus ingat kalau gak semua orang musti dikasih hati.”
“Kamu gak tau niat mereka apa, kalau ternyata beberapa dari mereka ada niat gak baik sama kamu gimana?” Arga mendengus, “Gak ada yang pernah tau, Deva.”
Deva memainkan jemarinya yang tiba-tiba dingin di samping paha. Ia masih menyimak omelan Arga.
“Saya bilang gini karena saya tau kamu baik,” sambung Arga yang membuat kedipan mata Deva lantas melambat. Baik katanya?
“Dan saya gak mau orang-orang ngambil kesempatan itu buat memanfaatkan kamu atau justru menjebak kamu ke dalam sebuah masalah,” Arga lalu membuang napas pelan, “Apalagi saya udah janji loh sama kedua orang tua kamu kalau saya gak akan biarin kamu ngadepin hal-hal gak baik.”
“Dan udah jadi tanggung jawab saya buat ngawasin kamu biar gak diapa-apain sama orang,” Arga memalingkan wajahnya dari Deva sejenak, “Tapi kalau emang sikap posesif saya ini bikin kamu ngerasa dikekang, kamu gak usah pindahin meja kamu,” ia kembali menatap wajah Deva lekat-lekat.
“Tapi saya gak mau denger kalau sampai kamu ngebiarin diri kamu ada dalam masalah,” tegas Arga.
“Udah, saya cuma mau bilang itu. Kerjaan saya jadi ngaret nih buat ngomelin kamu doang,” ketusnya lalu berbalik membelakangi sang suami, namun langkah Arga tiba-tiba terhenti kala Deva menahan lengannya; mencekal cukup kuat.
“Mas Arga.”
Sang CEO menoleh, “Apa?”
“Aku setuju kok buat mindahin meja aku biar deketan sama meja kamu,” mata Deva melirik ke arah lain sekilas guna meredam setitik rasa gugupnya, “Kan aku jadi bisa jagain kamu dari deket, Mas. Aku bisa mastiin kamu enggak kurang minum, telat makan, kecapean.”
Deva lalu mengulas senyum tipis, “Aku gak merasa dikekang, Mas.”
Pandangan Arga kemudian turun ke tangan Deva yang masih setia mencengkeram lengannya. Deva yang juga sadar akan hal itu pun seketika melepaskan tautan mereka diikuti dehaman pelan.
Hening sesaat.
Sampai ketika Arga akhirnya menoleh ke meja Deva, ia pun bertanya, “Ini mau dibawa kan?”
Deva mengangguk melihat sang suami menunjuk MacBook juga beberapa berkas yang telah ia masukkan ke dalam satu ordner.
“Ya udah, ayo.”
Deva mengulum senyum melihat Arga membawa MacBook juga ordner tadi untuknya. Buru-buru Deva mengambil tasnya sebelum mengekori Arga yang kini sudah berjalan lebih dulu di depannya.
“Sudah selesai, Pak.”
Mata Arga menelisik meja kerja Deva yang kini berada tak jauh dari miliknya. Tepatnya di sayap kanan ruangan, sebab tadi Deva berkata jika ia suka menghadap ke jendela guna melihat langit. Sementara meja Arga sendiri menyamping dari sisi jendela.
“Makasih ya,” sahut Arga kepada dua orang pria yang sejak siang tadi merenovasi tata letak ruang kerjanya, “Lain kali jangan telat.”
“Baik, Pak Arga.”
Setelah dua orang itu keluar dari ruangannya, Arga pun menoleh ke arah sofa. Ia mendengus kecil melihat Deva tertidur pulas di sana, padahal sudah hampir jam pulang kantor. Kayaknya Deva kecapean, pikir Arga. Sebab sejak pagi tadi, Deva setia membantu segala pekerjaan yang harus ia rampungkan sehabis masa cuti.
Sejenak sang CEO memandangi wajah damai Deva yang diterpa sinar matahari sore dari jendela. Alis Deva sesekali menukik masih dengan mata terpejam, nampak jika retinanya diusik oleh cahaya yang mencoba untuk menerobos masuk. Meski Arga niatnya ingin membangunkan Deva, tapi rasa tidak tega tiba-tiba menerpanya.
Alhasil, Arga lantas bangkit dari kursinya. Ia menghampiri Deva, duduk di sebelah suaminya itu dengan posisi menyamping guna menghalau cahaya jingga yang sedari tadi mengusik tidur Deva. Punggung Arga menjadi perisai.
Cukup lama memandangi figur sang suami yang masih berlabuh di alam mimpi, derap langkah dari arah pintu masuk mencuri atensi Arga. Ia sendiri pun sudah tau siapa sosok dibalik suara itu.
“Sore, Pak Ar—”
“Sshhh!”
Arga lalu meletakkan telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat agar Eren yang baru saja sampai merendahkan suaranya. Sedang Eren yang kini menyadari bahwa Deva terlelap lantas mengulum senyum diikuti anggukan paham.
“Tidur si Deva, Pak?” tanya Eren yang telah berdiri di depan sofa.
Tatapan Arga seketika berubah menjadi datar, “Ya kamu liatnya gimana? Udah tau pake nanya.”
“Sshhh!” Kini giliran Eren yang meletakkan telunjuk di bibirnya.
Arga pun melirik Deva sejenak sebelum kembali memandangi Eren yang berdiri di sampingnya. Bawahannya itu cengar-cengir lalu menyodorkan berkas yang sebelumnya memang ia minta.
“Saya cek bentar ya, Ren. Kamu tunggu aja biar gak bolak-balik naik turun kayak ingus,” katanya.
Eren menahan tawa, “Baik, Pak.”
Arga mulai memeriksa dokumen yang Eren bawa dengan teliti. Ia membuka lembar demi lembar dengan sorot mata yang serius. Sampai saat Arga merasa bahwa semuanya sudah cukup, ia lantas meraih pulpen milik Deva di atas meja lalu membubuhi berkas itu dengan tanda tangannya.
“Bilang sama CHRO kamu buat ngelanjutin ini, Ren.” pesan Arga.
Eren tersenyum, “Siap, Pak Arga. Kalau gitu saya permisi ya, Pak.”
“Ren.”
Baru saja Eren berbalik, namun Arga justru memanggil. Alhasil, ia pun kembali memutar badannya.
“Iya, Pak?” mata Eren berkedip kebingungan, sebab tatapan sang CEO justru tertuju kepada Deva.
“Deva bisa marah gak sih, Ren?” tanya Arga dengan pandangan yang masih tertuju ke suaminya.
“Bisa kok, Pak. Kalau Deva udah marah, beuh! Matanya langsung jadi dua,” canda Eren, Arga yang mendengarnya pun seketika menoleh dengan delikan tajam. Sedang tangan Arga sudah siap untuk membuka sepatunya guna melempari Eren yang menahan tawa dengan tangan dikibaskan.
“Maaf, Pak. Maaf. Saya bercanda,” Eren melirik Deva, ia tersenyum tipis melihat sahabatnya, “Deva kalau lagi kesel sama saya paling langsung ngatain saya setan atau anjing doang abis itu kelar, Pak.”
Tawa ringan Eren pun mengalun, “Dia anaknya antara tenang sama bego, Pak. Kalau lagi marah suka diem doang, tiba-tiba gak banyak omong gitu. Kalau Deva mungkin udah ngerasa tenang dikit, baru deh ngomong apa yang bikin dia marah. Abis itu Deva ngetawain dirinya sendiri kadang,” jelasnya.
“Berani kamu ngatain suami saya bego,” todong Arga, Eren lantas menelan ludah, “Ya udah, saya cuma mau nanya itu. Pergi sana.”
“Pak Arga,” Eren yang masih tak beranjak dari tempatnya berdiri pun kembali mengulas cengiran khasnya, “Kalau misal nih besok-besok Deva tiba-tiba nyusruk di depan Pak Arga, jangan diomelin ya? Si Deva aslinya gak ceroboh, cuman anaknya suka apes gitu.”
Eren melirik Deva dengan sorot mata kasihan, sementara Arga seketika teringat tentang ucapan sang suami akan kesialannya. Ia pun belum menanyakan kepada Deva bagaimana nasib sialnya setelah mereka berdua menikah.
“Saya titip Deva ya, Pak.”
“Ck! Tatap titip, kamu pikir saya tempat penitipan manusia apa?” omel Arga, “Keluar sana, bentar lagi jam pulang. Saya juga mau bangunin Deva,” titahnya yang dibalas anggukan oleh Eren.
Setelah Eren melenggang pergi, Arga pun beralih mengusap pipi Deva. Sesekali memberi cubitan kecil hingga empunya melenguh.
“Deva, kamu gak mau pulang?”
“Ng?” Deva membuka matanya, ia masih setengah mengantuk.
“Saya mau pulang dari kantor sekarang,” kata Arga, “Bangun.”
Anggukan lemah menjadi respon Deva. Ia kemudian mengusap wajahnya sambil berusaha untuk kembali duduk tegak, sebab Deva bersandar pada badan sofa tadi.
“Ini,” Arga menyodorkan tumbler air minum Deva yang tutupnya telah ia buka, “Minum dulu.”
“Makasih, Mas.”
Selagi Deva sibuk menenggak air minumnya, Arga justru menatap lamat sang suami. Sampai ketika Deva tidak sengaja melirik Arga, ia lantas terbatuk. Beruntung ia tidak menyembur suaminya itu.
“Kamu pelan-pelan dong,” Arga menepuk-nepuk pundak Deva, “Kebiasaan deh kalau minum.”
“Aku gak apa-apa, Mas.” ucap Deva lalu meletakkan tumbler di atas meja, tak lupa menutupnya.
Arga menyandarkan satu tangan di badan sofa, ia lalu menopang kepalanya di sana. “Kamu masih sering ketiban sial gak abis nikah sama saya?” Arga to the point.
Deva berpikir sejenak, matanya kemudian terbelalak. Mulutnya pun refleks ia tutup rapat-rapat dengan telapak tangan sesaat.
“Mas! Kok aku baru nyadar kalau beberapa hari terakhir aku gak pernah apes lagi?” Deva sendiri tidak percaya, “Terus waktu itu, yang pas kita having sex di home theater, aku kan lupa ya ngunci pintu. Kalau aja aku apes, pasti waktu itu kita bakal ketahuan Mama pas masih having sex.”
Deva meraih satu lengan Arga yang terbebas, menggoyang-goyangkannya dengan semangat, “Ternyata apa yang dibilang Nua bener, Mas. Aku gak sial lagi.”
Deva menahan dirinya agar tidak memekik, namun ia justru refleks memeluk Arga yang masih diam.
“Mas Arga, aku seneng banget!”
Senyum Arga tertahan, terlebih saat Deva tiba-tiba bungkam sesaat sebelum melepaskan pelukannya dengan raut kaget.
“Maaf, Mas.”
Deva berdeham pelan, “Kita mau pulang sekarang kan? Kalau gitu aku bersihin meja kamu dulu ya.”
Entah kenapa Deva justru salah tingkah. Ia pun berdiri dari sofa, bersiap untuk melarikan dirinya ke meja Arga. Namun baru saja Deva hendak melangkah, Arga tiba-tiba menarik lengannya. Begitu kuat hingga Deva kembali terduduk di tempatnya semula.
Persekian detik berikutnya, Deva dibuat bungkam ketika suaminya itu memeluknya. Sesekali Arga mengusap belakang kepala Deva.
“Saya suami kamu,” gumam Arga, “Kamu tuh gak perlu minta maaf karena meluk saya doang, Deva.”
“Orang tiap pagi juga kamu suka meluk-meluk saya kan?” katanya.
Deva terkekeh, “Kalau itu kan kamu yang minta, Mas. Terus… sekarang kita gak lagi heat atau rut. Jadi aku agak sungkan buat skinship sama kamu,” jelasnya.
“Aku takut bikin kamu ngerasa gak nyaman,” Deva menimpali.
Menarik dirinya hingga pelukan mereka terlepas, Arga kemudian menatap Deva datar. “Kamu gak usah lebay deh. Kalau saya gak nyaman, ngapain juga saya minta dipeluk sama kamu tiap pagi?”
Deva tersenyum tipis. Baginya, Arga seperti pelangi. Suaminya itu memiliki banyak warna yang membuat Deva kerap kali heran. Atau mungkin dia aja yang belum mengenal Arga lebih jauh selama ini? Deva sibuk akan pikirannya.
“Ck! Malah ngelamun,” Arga lalu meraih tas Deva, “Ayo, pulang.”
“Tapi meja kamu belum—”
“Gak usah,” potong Arga, “Kita bakal makan malam di jalan kalau gak ninggalin kantor sekarang.”
Deva mengangguk paham. Ia pun mengikuti Arga yang bangkit lalu melangkah mendahuluinya. Arga kemudian mengunci pintu ruang kerja mereka setelah ia keluar.
Sepasang suami itu lalu kembali melanjutkan langkah mereka, dari masuk ke dalam lift hingga turun ke basement, sebab mobil Arga ada di sana. Sampai ketika keduanya telah sampai di area parkir, Deva mengucek matanya yang tiba-tiba perih dan gatal. Bahkan ketika Arga membuka pintu mobil di sisi penumpang untuknya, Deva masih mengucek matanya sambil mendesis pelan.
“Mata kamu kenapa?” tanya Arga saat ia telah masuk dan duduk di bangku kemudi. Ia heran melihat Deva mengucek-ucek matanya.
“Kayaknya kelilipan deh, Mas.”
“Jangan dikucek gitu, entar mata kamu malah iritasi.” tutur Arga lalu menangkup wajah suaminya, “Coba sini saya liat mata kamu.”
Deva pun menurut, membiarkan Arga mengusap kelopak matanya dengan lembut sejenak. Arga lalu membuka sedikit kelopak mata Deva yang memerah, meniupnya pelan hingga rasa gatal dan perih di dalam sana berangsur reda.
“Gimana?” tanya Arga.
“Udah agak mendingan, Mas.”
Arga kembali memberi tiupan pelan di mata Deva hingga sang empu akhirnya bisa membuka mata lebar-lebar tanpa bantuan jarinya. Namun pada saat itu pula tatapan mereka justru terkunci. Arga dan Deva saling bertukar pandang dengan jarak wajah keduanya yang sudah amat tipis.
Sadar akan posisi mereka yang begitu dekat, Deva berdeham. “Mata aku udah baik-baik aja kok, Mas. Makasih banyak ya.”
Arga mengangguk, “Ya udah.”
Keduanya yang semula duduk dengan posisi menyamping pun beralih menghadap ke depan. Namun hanya persekian sekon berselang, Arga maupun Deva sama-sama berteriak kencang sambil berpelukan amat erat.
“Aaaaaaa!”
“AAAAAAAA!”
Bagaimana tidak? Saat mereka menghadap ke depan, seseorang justru tengah merayap di kap mobil Arga. Tidak jauh berbeda dengan posisi orang yang baru saja ditabrak. Belum lagi senyum lebar di wajahnya yang seperti pemain film horror. Namun saat sadar jika sosok itu adalah Nua, Arga dan Deva lantas berdecak.
“Ih Nua!” pekik Deva kesal, “Bikin kaget aja tau gak? Ngapain sih?”
Nua tergelak. Setelahnya, ia pun bergegas turun dari kap mobil Arga lalu memilih untuk berdiri di samping jendela pada sisi Deva yang masih terbuka cukup lebar.
“Kirain tadi bakal ada adegan ciuman,” Nua cengengesan.
Deva dan Arga mendengus.
“Ngapain tadi anda di situ? Kayak tokek aja nempel di mobil saya.”
Nua melipat lengan, “Abisnya lo berdua lagi romantis-romantisan tadi. Gue kan jadi gak enak kalau musti ketok-ketok jendela, Ga.”
“Ya tapi anda ngapain sih dateng tiba-tiba? Nggak ada sate lilit di sini,” ketus Arga masih dengan napasnya yang sedikit tersengal.
Nua cengar-cengir, “Gue pengen ikut belanja sama kalian. Boleh?”
“Gak!” sahut Arga.
Deva yang bingung pun angkat bicara, “Siapa yang mau belanja sih, Nu? Gue sama Mas Arga nih mau pulang. Ada-ada aja deh lu.”
“Oh iya, suami lo belum ngasih tau. Ck!” Nua mengerling pada Arga yang tengah mengeraskan rahang sambil mengepal tinju di belakang kepala Deva, “Ya udah iya, gue gak ikut. Tapi gue nitip baju satu ya? Boleh?” pintanya.
Arga menghela napasnya kasar, ia menatap Nua tidak percaya.
“Kalau saya beli palu buat mukul kepala kamu aja gimana? Mau?”
Nua memelas, “Lo kenapa sih gak di sono, gak di sini kejam amat?”
“Dev, beliin gue satu ya? Duit laki lo banyak. Anggap aja sedekah,” Nua beralih meminta pada Deva.
“Apaan sih anda ini,” tegur Arga, “Kalau mau baju baru, kerja! Cari duit, jangan minta. Pergi sana!”
“Iya. Maaf,” pundak Nua jatuh, sedang bibirnya melengkung ke bawah, “Jangan marah dong, Ga.”
Arga lalu mengibas-ngibaskan tangannya, membuat Nua mau gak mau memundurkan langkah sebab Arga hendak menutup jendela mobilnya. Ketika sang CEO tak mampu lagi mendengar suaranya, Nua lantas tersenyum tipis lalu geleng-geleng kepala.
“Kenapa sih dari dulu kebaikan lo itu harus sembunyi dibalik sikap kejam lo?” gumam Nua sebelum meninggalkan mobil sang CEO.
Sementara itu, Deva yang sedang menuntut penjelasan dari Arga atas ucapan Nua tadi menatap wajah suaminya itu lekat-lekat.
“Mas, kok Nua bilang gitu sih?” tanyanya, “Kita mau ke mana?”
Arga yang kini telah menyalakan mesin mobilnya melirik ke arah Deva sekilas, “Saya mau bawa kamu belanja, beli baju baru.”
“Tapi baju aku di rumah udah banyak, Mas. Masih bagus lagi.”
“Tapi bukan saya yang beliin,” balas Arga, “Saya pengen liat kamu pake baju dari saya juga.”
Deva tersenyum tipis, “Ya udah.”
Melirik seat belt Deva yang belum terpasang, Arga lalu meraihnya. Sedang Deva yang melihat sang suami memasangkan seat belt dalam jarak wajah yang dekat membuatnya menahan napas.
Keduanya kembali berbagi tatap sejenak, namun baik itu Arga maupun Deva lantas melirik ke arah lain sebelum menegakkan posisi duduk mereka di bangku masing-masing. Arga pun sudah bersiap-siap untuk membuat mobilnya melaju. Namun niatnya itu seketika terhenti saat ekor matanya menangkap Deva yang sedang menutup wajah dengan kedua tangannya, bahu suaminya itu bahkan sedikit bergetar.
“Deva?” Arga menepuk pundak sang suami, “Kesurupan kamu?”
Deva lantas menarik tangan dari wajahnya, ia menoleh pada Arga sambil tertawa kecil. “Mas, aku tuh keinget pas kita teriak tadi.”
“Kamu selalu bilang supaya aku gak percaya hantu, tapi tadi tuh kamu teriaknya kenceng banget.”
Arga berdeham, “Itu saya teriak bukan karena ngira si Nua hantu. Tapi saya kaget, kirain ada mayat tiba-tiba jatuh di atas mobil, ck!”
“Iya deh, aku percayaaa.”
“Kamu ngeledekin saya?”
“Enggak,” Deva menahan tawa. Namun sesaat setelahnya Deva justru terkekeh geli, sebab Arga tiba-tiba menusuk pinggangnya dengan telunjuk, “Mas Arga ih!”
“Ngeledekin sih,” ucap Arga lalu menancap pedal gas mobilnya.