Izin

Deva berdiri tidak jauh dari pintu masuk ballroom dimana resepsi pernikahan Davis dilaksanakan. Ia menunggu Arga yang belum juga nampak batang hidungnya setelah ia mengirim chat tadi. Sampai tidak lama berselang, sang CEO pun datang, figurnya lantas mencuri atensi Deva. Saat itu pula Deva menyadari bahwa napas Arga tersengal-sengal. Ia pun tiba-tiba merasa kasihan ketika melihat peluh di wajahnya, nampak kalau Arga habis berlari.

“Pak Arga.”

“Kamu ngapain di sini?” tanya Arga, ia berdiri di depan Deva.

“Saya nungguin Bapak.”

“Emang acara di dalam udah selesai?” alis Arga bertautan.

Deva menggeleng, “Belum. Tapi gak lama lagi selesai kok, Pak.”

“Ya udah, kita masuk dulu.”

“Pak Arga, tunggu!”

Deva menahan lengan Arga yang hendak melenggang, mendahului ia yang masih berdiri di tempat semula. Sensasi panas itu Deva rasakan lagi, namun terkalahkan oleh hasrat agar menyeka peluh di kening juga wajah sang CEO. Alhasil, Deva pun mengikutinya. Ia mengikuti naluri untuk segera mengusap keringat Arga dengan telapak tangannya. Sementara itu Arga hanya terdiam, menatap raut wajah Deva yang khawatir.

“Deva…”

“Iya, Pak?” Deva lantas menatap mata Arga, namun pada sekon berikutnya ia seketika terbelalak sebelum buru-buru menjauhkan tubuhnya dari Arga dua langkah.

Deva ingat kalau ia sedang heat.

“Pak! Tunggu! Jangan!” kata Deva sambil mengibaskan tangannya, “Bapak jangan turn on sekarang.”

Arga menganga, “Siapa juga sih yang turn on? Sembarangan ya kamu. Saya tuh cuma mau bilang, kamu kan lagi heat, pasti sakit perut. Terus nanti saya bakalan megang tangan kamu biar gak sakit, eh sekarang kamu malah ngelap keringat saya gini pake tangan. Kalau kuman-kumannya pindah ke tangan saya gimana?”

“Mana kamu juga lagi pake jas saya. Pasti abis ini kamu ngelap tangan kamu di jas saya kan?” timpal Arga lalu berdecak-decak.

Deva mencebik mendengar Arga mengomel. “Tapi itu kan keringat Pak Arga sendiri. Emang Bapak gak pernah ngelap pake tangan?”

“Ya gak lah. Makanya saya selalu bawa sarung tangan,” kata Arga, “Kamu belajar buat higienis dikit dong, kuman bisa bikin sakit tau.”

“Pak Arga gak perlu kok megang tangan saya,” kata Deva sebelum berbalik, ia menjatuhkan pundak.

Entah, suasana hatinya hari ini sangat mudah berubah. Deva sangat sadar akan hal itu. Tapi ia sendiri tidak bisa mengatasinya; belum terbiasa lebih tepatnya.

“Deva! Kamu ngambek lagi?”

Arga dibuat heran. Setelahnya, ia pun berlari, mengejar Deva yang kini sudah berdiri tepat di depan pintu ballroom. Buru-buru Arga menahan lengan Deva, membuat sekertarisnya itu lantas berbalik ke arahnya. Pada detik itu pula Arga tersentak mendapati mata Deva berkaca-kaca. Astaga, Deva.

“Saya kasian tau gak, liat Bapak keringetan sambil ngos-ngosan kayak tadi,” gumam Deva lirih.

“Tapi Pak Arga marahin saya lagi. Padahal saya cuma pengen bantu Pak Arga biar matanya gak perih kalau aja kena keringet,” katanya.

Arga menghela napas pelan, “Iya. Iya. Makasih udah bantuin saya.”

“Gak usah nangis,” timpalnya.

“Saya gak nangis,” Deva denial.

“Gak nangis, gak nangis. Liat tuh. Mata kamu udah kayak abis pake obat tetes,” Arga lalu meletakkan telapak tangannya di atas kepala Deva, “Ayo, kita masuk sekarang.”

“Bapak kok megang kepala saya?”

“Ya kan tangan kanan kamu udah ada kumannya gara-gara ngelap keringat saya, terus yang kiri itu pasti udah dipake buat cebok.”

“Kalau saya pegang lengan kamu kayak tadi, entar sayanya malah dikira gak bisa melihat. Makanya saya dituntun jalan sama kamu.”

Mata Deva memicing kesal, “Tapi kalau Bapak megang kepala saya kayak gini, orang-orang bakalan ngira saya mau dirukiyah, Pak.”

Arga lantas tertawa kecil sembari melepas tautan tangannya dari kepala Deva. Cekungan di kedua pipinya nampak. Deva yang baru kali ini melihat Arga tertawa pun dibuat tertegun. Dia bisa ketawa.

Persekian detik berikutnya, Deva seketika menahan napas. Sebab satu lengan sang CEO tiba-tiba memeluk pinggangnya dari sisi samping, alhasil tubuh mereka tidak lagi memiliki jarak berarti.

Suhu tubuh Deva makin panas. Tapi di saat yang bersamaan, rasa nyeri di perutnya pun reda.

Tenang, Deva. Tenang.

“Kalau kayak gini gimana?” tanya Arga, “Nyeri perut kamu reda?”

“Iya, Pak. Tapi kalau gini, orang lain bakal ngeliatin kita ber—”

“Saya gak nerima tapi lagi,” Arga memotong ucapan Deva, “Udah deh, kamu gak usah mikirin hal gak penting. Emang kenapa kalau mereka ngeliat kita? Bentar lagi kamu juga bakal jadi suami saya, bakalan sering jalan kayak gini.”

Deva menelan ludah. Ia pasrah.

“Ayo,” ajak Arga lagi, menuntun Deva agar segera melangkah ke dalam ballroom resepsi Davis.

Sembari berjalan memasuki ballroom, Deva sesekali melirik Arga. Ia teringat dengan tawa sang atasan di depan pintu tadi.

“Pak Arga.”

“Mm?” Arga melirik Deva.

Deva senyum, “Saya seneng bisa liat Pak Arga ketawa kayak tadi.”

“Sejak kerja sama Bapak, saya gak pernah ngeliat Pak Arga ketawa.”

Tidak ada respon suka dari Arga. Alhasil, Deva berdeham sebelum kembali memusatkan pandangan ke jalan, sama seperti sang CEO.

Daripada kena omel lagi kan?

***

Resepsi pernikahan Davis dan Dimas telah usai. Keduanya pun sudah meninggalkan panggung. Bersama Ibu dan Bapak, Davis juga Dimas lantas beristirahat di rest room sekaligus wardrobe dan make up room. Sedang orang tua Dimas masih berada di luar guna berbincang dengan saudaranya.

“Yang,” bisik Dimas pada Davis kala matanya menangkap figur Deva yang baru saja masuk ke ruangan bersama Arga, “Liat.”

Davis mengikuti arah pandangan suaminya. Alisnya menukik saat melihat Deva dan Arga berjalan ke arahnya dan Dimas juga Ibu, Bapak yang duduk di sofa lain.

“Eh, Nak Arga. Duduk, Nak.”

Bapak berdiri, ia mempersilakan Arga untuk duduk di tempatnya.

“Gak apa-apa, Pak.” tolak Arga sopan, “Bapak aja yang duduk.”

“Kok atasan lu masih di sini?” tanya Davis heran pada Deva.

Deva berdeham, “Pak Arga mau ngomong sesuatu sama kalian.”

Nampak raut penasaran berpadu dengan panik di wajah Bapak dan Ibu. Sedang Dimas dan Davis tak sekali pun melepas tatapan yang amat serius dari wajah sang CEO. Sampai saat Arga tiba-tiba duduk berlutut di hadapan sofa Ibu dan Bapak, semua orang yang ada di dalam ruangan itu pun tersentak. Gak terkecuali Deva yang sama sekali tidak menyangka jika Arga akan melakukan hal demikian.

“Pak, Bu. Saya mau minta izin.”

Bapak bingung, “Izin apa, Nak?”

“Saya berniat meminang anak Ibu sama Bapak untuk menjadi suami saya,” kata Arga, “Saya ingin menikahi Deva, Pak, Bu.”

“Ngaco lu,” celetuk Davis, “Deva gak pernah suka sama cowok.”

Kakak Deva itu kemudian beralih memandangi adiknya lekat-lekat.

“Jadi ini yang atasan songong lu minta karena udah ngasih lu gaji lebih awal kemarin?” tanya Davis.

Deva menggeleng, “Gak, Bang. Pak Arga gak pernah kok nuntut sesuatu dari gue karena gaji itu.”

“Davis,” panggil Arga, sang empu nama lantas melirik ke arahnya.

“Saya juga gak pernah suka sama laki-laki,” timpalnya jujur, “Tapi saya gak pernah kok memandang atau menjadikan gender sebagai patokan buat mencari pasangan.”

“Mama saya berpesan, ada tiga aspek yang harus saya temukan dalam diri wanita yang nantinya akan saya jadikan istri. Sikapnya, empatinya dan cara mengontrol emosinya. Tapi saya gak pernah menemukan ketiganya di wanita manapun. Justru semuanya ada sama Deva,” jelas Arga. Kalimat yang ia katakan tidak jauh beda dengan penjelasannya ke Mama.

“Jadi saya memantapkan niat untuk meminang adik anda,” katanya, “Saya yakin Deva yang bisa melengkapi saya dan saya pun ingin melengkapi dia.”

Arga kembali memusatkan atensi ke Bapak, “Sekarang saya datang untuk meminta restu Bapak, Ibu, sama Davis. Saya mau menikahi Deva dalam waktu dekat kalau semuanya sudah mengizinkan.”

“Kalau Bapak, semuanya kembali lagi ke Deva. Bagaimanapun juga, Deva yang nanti akan menjalani pernikahan sama Nak Arga, jadi keputusan akhir ada sama Deva.”

Pria paruh baya itu kemudian mengusap lembut bahu Arga.

“Tapi kalau Nak Arga minta restu Bapak, pasti akan Bapak kasih. Karena restu orang tua itu sama dengan doa baik untuk anaknya. Setiap orang tua itu pengen yang terbaik untuk anak-anaknya.”

“Ibu juga sama,” sahut si wanita paruh baya, “Asalkan Nak Arga bisa janji gak akan bikin anak Ibu terluka, pasti Ibu akan merestui.”

“Apalagi Ibu hampir kehilangan Deva saat masih kecil dulu,” kata Ibu dengan mata berkaca-kaca, “Deva lahir premature, sempat kritis. Bahkan dokter sendiri gak bisa ngasih Ibu banyak harapan.”

“Makanya Ibu gak pengen kalau sampai Deva ngelewatin hal-hal berat lagi kayak pas kecil dulu,” timpal Ibu, “Deva harus bahagia.”

“Bu, saya pastikan Deva gak akan ngelewatin hal-hal berat,” tegas Arga, “Kalau pun memang akan ada hal-hal berat yang menimpa Deva setelah kami menikah, saya akan setia di samping Deva, Bu. Saya akan selalu ada buat Deva.”

Air mata Deva mengalir setelah mendengar penuturan Ibu tadi. Namun ia buru-buru menghapus jejak air mata di pipinya ketika Davis mengajaknya berbicara.

“Lu mau sama dia, Dev? Jawab gue jujur,” Davis menekankan.

Deva mengangguk, “Iya, Bang.”

“Kayak yang Pak Arga bilang tadi, gue juga yakin kok dia yang bisa melengkapi gue. Gua mau nikah sama Pak Arga,” timpal Deva.

“Dev, kok bisa sih lu se-yakin itu sama orang yang baru lu kenal satu bulan lebih. Hah?” Davis mendengus, “Gue tau lu masih sakit hati gara-gara ditinggal nikah sama Nadia, tapi gak gini.”

“Lu kalau pengen nyari pelarian atau pelampiasan, jangan bikin diri lu makin susah. Nikah gak segampang yang dilihat mata.”

“Gue paham kok, Bang. Gue pun sama skeptisnya kayak lo saat ini waktu Pak Arga bilang kalau dia pengen nikahin gue,” balas Deva.

“Tapi setelah gue tau gimana dia memandang sebuah pernikahan, gimana komitmen dia ke depan, gue jadi yakin sama pilihan gue buat dinikahin sama Pak Arga.”

Davis mengusap kasar wajahnya. Deva pun menunggu respon apa lagi yang akan sang kakak beri. Nampak jika Davis masih ragu.

“Pelan-pelan aja dong ngusap wajahnya,” celetuk Arga, “Itu foundation anda apa daki sih? Jadi ngegumpal kan abis diusap.”

“Pak,” bisik Deva geram.

Davis bangkit dari sofa, “Lu mau minta restu apa ngajak gelut?”

“Ya minta restu, kan saya udah bilang sejak duduk di sini tadi. Anda ini gimana sih?” balas Arga.

“Bang, Pak Arga, udah dong.”

Deva menghela napas sebelum memandangi wajah Davis lamat.

“Bang, lu percaya sama gue kan?” tanyanya berusaha meyakinkan, “Gue bakal baik-baik aja, Bang.”

Davis beralih menatap Arga, “Lu, berdiri di depan gue sekarang.”

“Anda siapa berani nyuruh saya?”

“Pak Arga,” Deva mendesis, “Ayo. Ikutin kata Abang aja. Cepetan.”

Arga berdeham, “Saya berdiri tuh bukan karena disuruh dia ya, tapi karena kaki saya ini udah kram.”

Deva menggeleng melihat Arga dan sikap belagak angkuhnya.

Pada akhirnya Arga pun bangkit hingga berdiri di hadapan Davis. Namun pada detik berikutnya, ia dibuat kaget saat kakak Deva itu tiba-tiba mencengkeram kerah kemejanya amat kuat. Tapi yang membuat Arga semakin terkejut adalah saat ia sadar jika tidak ada seorang pun di antara orang tua, suami Davis bahkan Deva sendiri yang menegur Davis melainkan hanya tersenyum tipis. Kok aneh?

Sementara itu, Deva yang telah tau bahwa sang kakak tidak akan mungkin memukuli orang lain sembarangan memilih diam dan mengamati reaksi Arga. Pun Ibu, Bapak juga Dimas. Mereka semua sudah paham betul watak Davis. Alhasil, mereka hanya tersenyum sesekali geleng-geleng kepala.

“Kalau sampai gue denger adek gue sedih karena lu…” kata Davis memperingati, “Jangan harap ada pintu maaf buat lu. Paham lu?”

“Astaga, anda minum dulu sana! Mulut anda bau gulai tau,” protes Arga sebelum mendorong pelan tubuh Davis, sedang Deva hanya berdecak melihat tingkah sang CEO juga kakaknya. Saat itu pula Deva paham kalau Davis—baru saja—telah memberi restu pada Arga dengan caranya. Davis telah mengizinkan Arga menikahinya.