Kenalan
“Mari, Pak.”
Deva menuntun Arga yang kini berdiri di sisinya, setelah mereka keluar dari mobil sang CEO, agar segera masuk ke dalam rumah. Ia pun tidak bisa menolak fakta jika jantungnya berdegup kencang ketika melihat mobil Davis telah terparkir pula di halaman rumah.
Abis ini dia pasti di-interogasi.
“Silakan, Pak.”
Deva mempersilakan Arga untuk masuk ke dalam rumah setelah ia membuka pintu. Ia lalu menyusul dan membawa Arga untuk segera ke ruang tamu. Namun alangkah kagetnya Deva saat mendapati Davis nyatanya sedang duduk di salah satu sofa. Mata sang kakak sedikit memicing tepat setelah melihat Arga berdiri di sisinya.
“Bang, lu udah di rumah dari tadi?” tanya Deva basa-basi.
“Mm,” gumam Davis, “Gue juga udah nungguin lu di sini dari tadi. Kok handphone lu mati?”
Deva menelan ludah, “Gue lupa bawa charger ke kantor, Bang. Mana handphone gue mati pas udah keburu jam pulang tadi.”
Merasa seperti nyamuk di antara kakak dan adik itu, Arga lantas berdeham, cukup keras. Alhasil, Deva refleks menoleh ke arahnya lalu kembali menatap sang kakak.
“Bang, kenalin. Ini Pak Arga, CEO Hardiyata Group. Dia atasan gue di kantor,” jelas Deva pada Davis.
Bangkit dari sofa, Davis masih menatap Arga lekat-lekat. Tentu Arga gak mau kalah. Ia membalas tatapan Davis minim ekspresi. Ia pun merasa jika Davis tengah memandanginya dengan raut curiga, seolah ia adalah penjahat.
“Davis, kakaknya Deva.” katanya sambil menjulurkan tangannya.
Arga pun meraih jabatan tangan Davis, “Arga, atasannya Deva.”
Dingin.
Deva tiba-tiba merasa atmosfer di antara Arga dan Davis sangat dingin. Terlebih kedua pria yang nyatanya seumuran—tiga puluh tahun—itu tidak henti-hentinya saling memandangi bahkan saat Arga telah dipersilahkan untuk duduk, pun Davis yang mengikut.
Sudah lumrah bagi Deva kalau Davis akan memerhatikan siapa saja yang sedang bersamanya. Kakaknya itu amat protektif, tak ingin ia terjerumus ke pergaulan yang membawa ke hal gak baik. Tapi untuk kali ini, Deva merasa jika Davis diam-diam menyimpan prasangka buruk terhadap Arga. Terlihat dari sorot matanya yang terkesan mengintimidasi sang CEO. Bisa jadi karena Davis tau kalau Arga yang udah ngasih duit tiga puluh juta itu, batin Deva.
“Pak Arga, maaf ya kalau ruang tamu rumah saya gak sebesar dan seluas di rumah Bapak. Tapi semoga Pak Arga bisa bikin diri Bapak nyaman,” kata Deva sopan, “Saya mau izin ke belakang dulu.”
“Lu pernah ke rumah atasan lu?” Davis menyeletuk sebelum sang adik berdiri dari sofa, “Ngapain?”
“Kemarin gue ketemu Mamanya Pak Arga di sana, Bang. Bu Ririn itu generasi kedua dari founder Hardiyata Group,” jelas Deva, “Kita ngomongin kerjaan di sana, soalnya Bu Ririn gak enak badan.”
Deva gak sepenuhnya bohong. Pasalnya, setelah meminta restu pada Bu Ririn kemarin, mereka—ia, Arga dan Bu Ririn—memang membicarakan urusan kerjaan.
“Gue ke dapur dulu ya, Bang. Mau bikin minum sekalian bilang ke Ibu sama Bapak kalau ada tamu,” ucap Deva yang dibalas respon anggukan oleh kakaknya.
Kini hanya tersisa Arga dan Davis di ruang tamu. Keduanya masih saling berbagi pandangan tanpa sepatah kata terucap di bibirnya. Mereka seolah mengikuti lomba untuk tidak mengedipkan mata.
“Kalau boleh tau, Pak Arga ada maksud dan tujuan apa ya datang ke rumah kami yang sederhana ini?” tanya Davis pada akhirnya.
Menyandarkan punggungnya di badan sofa, Arga melipat lengan. “Saya cuma mau nganterin Deva pulang karena udah malam. Tapi karena saya ditawarin mampir ke rumah anda yang sederhana ini sama Deva, jadi sebagai atasan yang baik dan rendah hati saya gak mungkin menolak,” katanya.
Davis ikut bersandar di badan sofa, mengikuti pose Arga yang melipat lengan di depan dada. Alhasil, keduanya kembali saling bertukar tatap dalam diamnya dengan posisi duduk yang sama.
“Kata Deva, Pak Arga abis ngasih gajinya buat tiga bulan ke depan. Itu maksudnya apa ya, Pak Arga?” Davis kembali membuka suara.
Arga menghela napas, “Anda ini sama aja kayak Deva. Bukannya bilang makasih, ini malah nanya maksud saya ngasih duit apa.”
“Ya biar anda bisa nikah bulan depan lah,” sambung Arga, “Itu adik anda nasibnya udah sial. Kalau anda gak jadi nikah terus ada gosip kalau itu gara-gara Deva punya utang, anda pikir adik anda bakal baik-baik aja?”
“Ujung-ujungnya saya juga yang rugi. Dia kerjanya jadi gak bagus, belum juga saya malu karena—”
“Eh, ada tamu ya.”
Arga yang bahkan belum selesai dengan ucapannya menoleh ke sumber suara. Mendapati sosok pria paruh baya menghampiri dirinya juga Davis di ruang tamu. Ia pun berdiri, menjabat tangan pria yang ia tebak Bapak Deva.
“Bapak atasannya Deva?”
Arga mengangguk, ia tersenyum tipis, “Panggil Arga aja, Pak.”
“Selamat datang di rumah kami, Nak Arga. Saya merasa sangat terhormat karena Nak Arga menyempatkan diri untuk mampir di sini,” tutur si pria paruh baya, “Silakan, Nak.”
Arga menyanggupi ketika Bapak mempersilakannya untuk duduk kembali. Tidak lama berselang, Deva lantas kembali dari arah belakang. Tapi ia tidak membawa kopi, teh ataupun minuman lain. Membuat Arga lantas bertanya.
“Gak jadi bikin minum kamu?”
Deva udah gak kaget lagi dengan respon Arga, tapi tidak dengan Davis yang refleks menautkan kedua alis hingga keningnya berekrut. Ia heran melihat Arga.
“Jadi kok, Pak. Tapi berhubung makan malam udah siap, Ibu bilang supaya saya ngajak Pak Arga makan malam di sini aja sekalian. Itu pun kalau Bapak berkenan,” tutur Deva.
“Terus Ibu mana?” tanya Bapak, “Ayo panggil ke sini dulu, Dev.”
“Ada, Pak. Ibu yang bawa minum.”
Persekian sekon setelah Deva menjawab pertanyaan Bapak, si wanita paruh baya pun datang. Ibu membawa nampan berisi tiga kopi lalu meletakkannya di atas meja. Deva pun buru-buru duduk di samping sofa, mengambil alih nampan yang dibawa Ibu untuk membagi setiap kopi di hadapan Arga, Davis juga Bapaknya. Sebab Deva yang tau kopi untuk Arga.
“Bu, ini Nak Arga. Atasannya Deva di kantor,” tutur Bapak.
Deva sedikit kaget mendengar Bapak memanggil Arga dengan embel-embel Nak bukan Pak.
“Makasih udah datang ke sini, Nak Arga. Kami senang bisa menyambut Nak Arga di sini.”
Arga tersenyum sambil menjabat tangan Ibu, “Saya juga senang bisa ketemu Ibu. Nasi kuning yang waktu itu Deva bawa ke kantor enak. Saya suka,” katanya.
Tumben, batin Deva. Baru kali ini ia mendengar nada suara Arga sedikit lebih lembut dari yang biasanya. Dan tentunya tanpa ada protes di dalam kalimatnya.
“Tapi tolong lain kali porsi nasi kuningnya dibanyakin ya, Bu.”
Sekarang Deva menarik apa yang baru aja ia pikirkan tentang Arga.
“Kamu kira Ibu saya jualan nasi kuning apa?” Davis pun menyela dengan nada tidak sukanya.
“Emang dari tadi anda denger saya bilang kalau Ibu anda jualan nasi kuning?” balas sang CEO.
Ibu yang melihat Davis juga Arga pun terkekeh lalu menengahi. “Udah, Davis. Kamu kenapa sih? Gak bisa banget diajak bercanda.”
“Tau nih. Anak Ibu yang ini suka banget nyari gara-gara daritadi.”
Deva mendesis. Kalau Arga kayak gini mulu, bisa-bisa Davis makin berprasangka buruk ke atasannya itu. Masih mending jika kakaknya tidak memintanya untuk segera resign dari Hardiyata Group.
“Pak Arga, Bang, Ibu, Bapak. Jadi gimana?” Deva berusaha supaya perhatian tertuju padanya, “Mau minum dulu apa makan malam?”
“Nak Arga gimana?” tanya Bapak, “Apa Nak Arga berkenan buat ikut makan malam sama kami?”
Arga mengangguk, “Tentu, Pak.”
“Kalau gitu minumnya aku tutup dulu ya,” kata Deva yang dibalas anggukan oleh Ibu juga Bapak. Sementara Davis dan Arga masih setia berbagi tatapan sengit.
“Silakan, Nak Arga. Kita ke ruang makan sekarang ya,” ajak Ibu.
Arga lantas mengikuti langkah kaki si wanita paruh baya juga Bapak yang berjalan di samping kirinya. Sementara itu, Davis dan Deva yang masih berdiri di ruang tamu lantas berbincang sejenak.
“Atasan lu itu songong bener dah gue perhatiin. Asli,” tutur Davis, “Yakin lu besok-besok tenaga lu gak bakal di-eksploitasi sama orang ngeselin kayak dia, Dev?”
“Pak Arga emang gitu, Bang. Kalo ngomong ceplas-ceplos. Tapi dia aslinya baik kok,” jelas Deva.
“Gue gak suka sama dia,” ujar Davis sebelum berlalu ke ruang makan, sedang Deva hanya bisa mengacak-acak rambut frustasi.
Setelahnya, Deva pun menyusul. Ia yang paling akhir tiba di meja makan. Alhasil, satu-satunya kursi kosong yang tersisa hanya ada tepat di samping Arga. Mau gak mau ia harus duduk di sana.
“Silakan, Nak Arga. Maaf ini Ibu cuma masak ala kadarnya aja.”
Arga menatap mangkuk yang ada di depannya, sedikit menunduk untuk menghirup wangi yang menguar. Sebab feromon Deva yang duduk di sisinya nyaris membuat ia tidak bisa menciumi aroma masakan si paruh baya.
“Ini soto betawi ya, Bu?”
“Iya, Nak.” si Ibu terlihat gugup, “Nak Arga gak suka soto betawi?”
“Suka, Bu. Mama saya juga sering bikin kalau lagi masak di rumah.”
“Kirain orang-orang kaya gak tau makan soto betawi,” kata Davis.
Deva mendesis, “Bang…”
“Terus anda pikir orang kaya tuh makan apa?” balas Arga, “Makan uang tiap hari? Berlian? Tesla?”
“Pak Arga…” Deva beralih melirik Arga di sampingnya. Ia memelas.
Bapak dan Ibu geleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis.
“Silakan dicoba, Nak Arga.”
Arga mengangguk pelan saat Ibu mempersilakannya kembali. Ia pun hendak menyendok kuah soto di hadapannya itu, berniat mencobanya. Namun pergerakan Arga terhenti kala ia mendengar sesuatu; seperti sebuah benda jatuh ke dalam air. Alhasil ia pun menoleh ke sumber suara, tidak terkecuali Bapak, Ibu, juga Davis yang mendengarkan hal serupa. Sementara itu, Deva yang kini melihat bagaimana mangkuk sotonya baru saja dijatuhi cicak hanya mampu menatap nanar ke cicak yang mengapung di sana.
***
Selepas makan malam, minum kopi juga berbincang di ruang tamu, kini Arga telah bersiap untuk pulang. Didampingi Deva, ia melangkah ke halaman depan rumah bawahannya itu. Namun sesaat setelah ia membuka kunci mobilnya, Deva lantas bersuara.
“Pak Arga.”
“Apa?”
Deva menghela napas, “Pak Arga, kalau bisa, jangan kayak tadi lagi ya ke Abang saya besok-besok?” katanya, “Kita bisa aja loh batal nikah gara-gara gak dapet restu dari Abang saya. Bapak mau?”
“Abang kamu ngeselin sih,” balas Arga, “Sejak saya datang tadi aja dia tuh natapnya udah kayak liat maling tau gak? Saya gak suka.”
“Mana banyak tanya banget lagi. Udah gitu gak tau terima kasih.”
“Abang saya emang gitu, Pak. Dia cuma pengen mastiin kalau saya gak bakal dijahatin sama orang.”
“Jadi siapa pun orang baru yang jalan sama saya, pasti bakal di-interogasi juga sama dia,” timpal Deva, “Saya harap Pak Arga bisa ngerti sama sikap Abang saya.”
Arga mendengus, “Bilangin tuh ke Abang kamu, gak usah sok nge-interogasi, dia bukan polisi.”
“Udah. Saya mau pulang,” timpal Arga, sedang Deva hanya mampu menghela napasnya pasrah. Tapi sesaat setelahnya, ia lantas heran ketika melihat sang atasan justru berjalan ke arah bagasi mobilnya.
Mata Deva kemudian menyipit kala mendapati Arga mengambil tiga buah paper bag dari bagasi sebelum kembali menghampiri. Atasannya itu berdiri tepat di hadapannya, menyodorkan tiga paper bag yang ditentengnya.
“Nih buat Ibu, Bapak sama Abang kamu yang ngeselin itu,” tutur Arga, “Bilangin ini ucapan terima kasih saya karena diajak makan.”
Jujur saja Deva tidak menyangka jika Arga menyiapkan bingkisan sebelum datang ke rumahnya. Ia pun meraihnya lalu mengangguk.
“Baik, Pak. Terima kasih.”
“Saya pulang.”
Arga berjalan ke pintu mobil di sebelah kanan, membukanya dan bersiap untuk masuk. Namun, pergerakan Arga terhenti saat Deva tiba-tiba memanggilnya.
“Pak Arga.”
“Apa lagi?”
Deva menatap wajah Arga lamat lalu berdeham, “Hati-hati, Pak.”
“Mm,” gumam Arga sebelum masuk ke dalam mobilnya.