Restu
Deva menarik napasnya dalam-dalam sesaat sebelum melangkah ke meja Arga. Kini sudah hampir jam pulang kantor, ia pun akan merapikan barang-barangnya setelah mengantar berkas yang dititipkan oleh divisi operasional padanya beberapa menit lalu.
Jujur saja, Deva merasa tidak siap untuk bertemu Arga. Mengingat percakapan mereka di Whatsapp tadi membuatnya panas dingin. Meski di kepalanya sudah timbul jawab atas pertanyaan Arga, tapi Deva sendiri masih sedikit ragu. Sebab jawaban Deva nanti akan menjadi keputusan terbesar dan terberat selama ia hidup di bumi.
Bukan hal mudah untuk menikah dengan seseorang yang bahkan belum genap sebulan ia kenali. Apalagi sosok itu adalah seorang laki-laki, yang notabennya bukan ketertarikan seksualnya. Terlebih jika Deva mengingat lagi bahwa ia ingin memiliki pasangan yang sifatnya seperti Davis. Rasanya Deva ingin pingsan saja saat ini.
Sifat Davis dan Arga bagai langit dan bumi. Sangat jauh berbeda.
Sesampainya di depan meja sang CEO, Deva lantas menelan ludah. Sementara itu, Arga yang semula sibuk memeriksa pekerjaan yang terpampang pada layar MacBook seketika mendongak kala wangi Deva menguar; meski sudah tidak se-kuat kemarin. Membuat pusat ereksinya pun sudah bisa lebih tenang dan tidak agresif.
“Pak Arga, ini berkas yang orang operasional titip sama saya tadi.”
“Mm,” gumam Arga lalu kembali menatap layar MacBooknya, “Itu kamu simpen aja di meja depan sofa, terus buku yang ada di sana kamu taroh ke rak yang ketiga.”
“Baik, Pak.”
Deva menyanggupi titah Arga. Ia meletakkan map yang dibawanya di atas meja, beralih melihat tiga buku yang tergelak di samping map itu lalu mengumpulkannya. Dibawanya ketiga buku yang telah bertumpuk itu ke arah rak, meletakkannya pada rak ketiga seperti yang Arga inginkan. Tapi persekian sekon kemudian, Deva lantas dibuat memekik. Pasalnya, sebuah buku tebal tiba-tiba jatuh dari rak ke-empat lalu menimpa sudut keningnya. Padahal Deva sama sekali tidak membuat rak di hadapannya bergerak. Kalau mau dibikin bergerak sekali pun, Deva gak mungkin sanggup sendirian.
Arga yang mendengar pekikan sekertarisnya itu pun menoleh. Menautkan alis heran melihat Deva sedang meringis kesakitan sambil mengusap-usap kening.
“Kenapa sih kamu? Bikin kaget aja teriak-teriak gitu,” tutur Arga.
“Saya ketiban buku itu, Pak.”
Arga mengikuti arah telunjuk Deva, mendapati buku yang amat tebal tergeletak di atas lantai. Ia pun refleks bergumam, “Buset.”
Pasalnya, buku yang jatuh dan menimpa Deva itu ketebalannya nyaris mirip dengan kamus besar Bahasa Indonesia. Arga kembali memandangi wajah bawahannya lalu geleng-geleng. Setelahnya ia berdiri dari kursi, melangkah dan menghampiri sekertarisnya itu.
“Coba saya liat.”
Deva menahan napas ketika Arga menyentuh sudut keningnya. Ia pun buru-buru menghindari kontak mata saat atasannya itu meniup daerah yang menjadi tempat buku tadi mendarat sembari mengusapnya dengan ibu jari. Alhasil, sensasi aneh itu kembali. Tubuh Deva mendadak panas, namun tidak menyiksa seperti kemarin. Pun rasa nyeri di perutnya seketika reda kala Arga terus mengelus dahinya.
Ini gak masuk akal, batinnya.
“Kamu sih, ceroboh banget. Ck! Kalau ngerjain sesuatu tuh hati-hati. Masih mending kamu cuma ketiban buku, kalau vas bunga? Bisa berdarah tau kepala kamu.”
“Saya udah hati-hati, Pak. Buku itu juga ada di rak ke-empat loh bukan rak ke-tiga, saya juga gak bikin rak ini gerak. Tapi bukunya malah jatuh,” Deva mendesis, “Ini emang nasib sial saya aja keknya.”
Arga melongo sejenak, masih sambil mengusap kening Deva.
“Nasib sial kamu nyeremin ya,” gumamnya, Deva mengangguk.
Perlahan, Deva memberanikan diri untuk kembali memandangi wajah Arga. Tatapan mereka pun terkunci di satu poros. Menurut Deva, Arga benar-benar sangat memesona ketika tak mengomel.
Deva jangan ngaco lu, batinnya.
“Kamu ngerasain sesuatu kan?”
Deva mengangguk mendengar tanya yang terucap dari bibir penuh Arga. “Tubuh saya panas pas Pak Arga nyentuh saya tadi.”
“Nyeri perut saya juga tiba-tiba reda. Aneh,” gumam Deva lirih, “Saya juga ngerasa gak pengen Pak Arga berhenti nyentuh saya.”
Menipiskan bibirnya, Arga lantas meraih jemari Deva dengan satu tangannya yang terbebas. Deva pun mengulum bibir saat sang CEO menggenggam jemarinya.
“Saya juga ngerasain hal aneh,” tutur Arga, “Tapi gak separah yang kemarin sama tadi pagi.”
“Aneh gimana, Pak?” tanya Deva.
Arga menghela napas, “Saya turn on kalau nyium feromon kamu.”
Deva menelan ludah, “Pak.”
“Jangan mikir macem-macem ya, kamu. Sekarang saya gak gitu.”
Deva menahan senyum.
“Jadi gimana jawaban kamu?”
Deva terdiam sejenak sebelum menuntun tangan sang atasan yang masih mengusap keningnya agar segera berhenti. Arga pun menyanggupi, namun tangannya yang lain tetap menggenggam jemari Deva di samping paha.
“Saya…”
“Gak usah sok ngegantung deh, kamu gak lagi main sinetron.”
Deva mencebik, “Saya lagi mikir, Pak. Bukan ngegantungin Bapak.”
“Kamu gimana sih? Kan saya udah ngasih kamu waktu buat mikir sejak pagi tadi,” sela Arga.
Mendesis, Deva lalu menghela napas dan berkata, “Saya mau.”
Arga mengangkat alisnya, “Mm?”
“Saya mau nikah sama Bapak,” jelas Deva yang membuat Arga lantas mengacungkan jempol.
“Kalau gitu kamu ikut ke rumah saya sekarang,” ucap sang CEO santai, sedang Deva terbelalak.
“Kita mau ngapain di rumah Bapak?” Deva seketika panik.
Jangan-jangan dia mau diewe? Batin Deva, dia mulai cemas.
“Ya mau minta restu sama Mama saya lah,” jawab Arga, “Ayo.”
“Tapi, Pak.”
“Tapi apa lagi sih, Deva?”
Deva gelisah, “Kita harus bilang apa ke Bu Ririn nanti? Pasti—”
“Udah. Kamu serahin aja sama saya,” Potong Arga, “Nanti biar saya yang ngomong sama Mama.”
Deva pun hanya bisa pasrah kala Arga menarik lengannya dengan tangan yang masih ia genggam. Arga menuntunnya ke arah meja kerjanya, mengambil tasnya, lalu kembali berjalan ke arah pintu.
“Pak, tangan saya.” gumam Deva, sebab Arga masih menggenggam jemarinya bahkan ketika mereka sudah berada di dalam lift yang akan membawa mereka ke lobi.
“Tangan kamu kenapa? Gatel?”
“Gak, Pak. Tapi Pak Arga masih megang tangan saya,” kata Deva, “Entar ada yang ngeliat kita.”
“Emang kenapa kalau mereka liat? Mata dipake buat ngeliat.”
“Tapi entar kita berdua malah diomongin sama mereka, Pak.”
“Udah deh, kamu diem aja. Saya udah baik mau megang tangan kamu biar perut kamu gak sakit.”
Berdeham, Deva pun hanya diam lalu menatap pintu lift. Sesekali ia melirik bayangan sang atasan yang terpantul di sana sembari berpikir, bagaimana bisa sosok yang berdiri di sampingnya ini akan menjadi suaminya nanti?
Rasanya sangat konyol.
***
“Ayo ikut saya.”
Jantung Deva seperti ingin copot ketika Arga mulai menuntunnya memasuki rumah bak istana di hadapannya. Berbagai macam skenario telah terbayang-bayang di kepala Deva. Ia benar-benar takut akan respon Bu Ririn nanti.
“Ma.”
Deva lemas. Melihat si wanita paruh baya telah ada di depan mata membuat Deva ingin buang air saking gugupnya. Tungkainya pun seolah kehilangan tulang.
“Kirain mau lembur kamu, Ga.”
“Tadinya pengen, tapi aku mau ngomong sesuatu sama Mama. Jadi aku pulang,” tutur Arga lalu melirik Deva yang berdiri di sisi kanannya, “Kamu duduk dulu.”
Bu Ririn yang sedang terduduk di sofa ruang keluarga pun lantas mengulas senyum ketika Deva sedikit membungkuk sebelum ikut mendaratkan bokongnya di sofa; berseberangan dengan si paruh baya. Nampak kalau Bu Ririn menyimpan tanya mengapa ada ia di tengah-tengah mereka.
“Kamu mau ngomong apa sama Mama?” Tanya Bu Ririn setelah Arga ikut duduk di sisi kiri Deva.
“Arga mau nikah, Ma.”
Si wanita paruh baya tersenyum.
“Bagus,” katanya, “Udah dapet ya calonnya?” Bu Ririn penasaran.
“Udah,” Arga lalu menunjuk Deva dengan dagu, “Nih orangnya.”
Bu Ririn tertawa, “Deva, maafin Arga ya. Kayaknya dia lagi agak stress karena belum ketemu—”
“Arga serius,” potong sang CEO.
Arga menghela napas. Ia meraih tangan Deva, menggenggamnya.
“Aku pengen nikahin Deva.”
“Arga, ini gak lucu. Mama tau, kamu gak tertarik sama laki-laki.”
“Siapa yang lagi ngelucu sih, Ma?Mama gak liat aku daritadi udah serius kayak gini?” Protes Arga.
“Tiga aspek yang Mama saranin gak bisa aku temuin di wanita manapun,” timpal Arga, “Tapi itu ada di Deva. Sikapnya, empati dia, caranya mengontrol emosi…”
“Aku gak peduli kalau Deva itu laki-laki. Aku pengen hidup sama dia, Ma. Cuma Deva,” katanya.
“Kalau bukan Deva yang jadi pasangan aku, aku gak mau nikah. Ini pilihan aku,” tegas Arga, sedang Deva diam-diam menahan hasratnya untuk tidak pipis saat melihat Bu Ririn shock.
“Lebih baik aku sendiri seumur hidup daripada berakhir dengan orang yang salah, Ma. Aku gak mau hal pahit yang udah Mama lewati terulang ke aku. Karena aku tau, kalau aku sedih, Mama yang bakal lebih sedih dan sakit.”
“Gak mudah buat aku buka hati lagi. Tapi Deva bikin aku yakin kalau dia orang yang tepat buat aku. Deva yang bisa melengkapi aku,” Arga lalu menghela napas, “Kalau Mama tetep pengen liat aku nikah, aku mohon restu, Ma.”
“Restuin aku sama Deva.”
Kening dipijit, mata terpejam. Bu Ririn jelas amat kaget mendengar apa yang baru saja Arga katakan. Pandangannya pun tiba-tiba menggelap bersama rasa pusing. Bu Ririn hanya bisa mendengar bagaimana Arga dan Deva lantas memekik lalu menghampirinya yang telah terkulai di badan sofa.
“Ma!” Arga panik, “Ma, jangan kayak gini. Arga kan gak bawa Deva buat bikin Mama mati.”
Deva yang memijat kepala Bu Ririn lantas mendesis, “Ih, Pak Arga! Kok ngomong gitu sih?”
“Mending sekarang Pak Arga telepon dokter,” saran Deva.
“Oke.”
Arga merogoh saku jasnya, tapi melihat Bu Ririn melenguh, ia pun mengurungkan niat untuk meraih gawainya. Arga beralih mengusap lengan Mamanya saat si wanita paruh baya siuman.
“Mama haus?” tanya Arga.
Bu Ririn menggeleng lemah. Ia lalu menoleh ke arah Deva yang duduk di sebelah kirinya, sedang Arga berada di sisi berlawanan.
“Deva…”
“Iya, Bu?”
“Apa saya bisa percaya sama kamu buat jaga Arga kalau saya udah gak ada?” tanyanya lirih.
“Ma, jangan gini. Ayo. Arga bawa Mama ke rumah sakit sekarang.”
Arga berdiri, hendak membopoh Mamanya agar ikut bangkit. Tapi tanpa ia duga, wanita paruh baya itu justru menarik lengannya. Ia pun kembali terduduk di sebelah kanan sosok tercintanya itu.
“Mama gak lagi sekarat,” tutur Bu Ririn, kembali menoleh ke Deva, “Gimana, Deva? Apa kamu bisa?”
Deva melirik Arga sejenak. Sang CEO hanya menatapnya dalam. Seolah menyerahkan keputusan tentang apa yang akan ia katakan ke Bu Ririn padanya sepenuhnya.
Menarik napasnya, Deva kembali menatap Bu Ririn, mengangguk. “Bahkan saat Ibu masih ada di tengah-tengah kami pun, saya akan selalu jagain Pak Arga, Bu.”
“Jujur saja, awalnya, saya juga sedikit ragu untuk menerima ajakan Pak Arga untuk menikah. Bagaimana pun juga, kami belum lama saling kenal. Saya sendiri pun khawatir akan bagaimana kehidupan rumah tangga kami.”
“Tapi Pak Arga meyakinkan saya tentang komitmennya. Pak Arga juga bilang kalau kami menikah untuk saling melengkapi. Artinya tanpa Pak Arga, ada yang hilang dari saya. Begitu juga sebaliknya. Jadi kami yakin, kami gak akan bisa saling meninggalkan, Bu.”
Bu Ririn mengangguk, “Tolong jangan pernah tinggalin Arga ya? Jangan mengkhianati dia apapun alasannya. Pegang janji kalian di depan penghulu nanti sampai kalian dipisahkan maut. Bisa?”
Deva menelan ludah, “Bisa, Bu.”
“Jadi Mama restuin aku sama Deva kan?” Arga menyeletuk.
“Kamu. Dengerin Mama dulu.”
Bu Ririn menggenggam tangan Arga, “Mama ngasih kebebasan untuk kamu bisa memilih karena Mama yakin kamu udah belajar banyak dari pengalaman Mama.”
“Mama juga pernah memilih, tapi ternyata pilihan Mama gak tepat. Dan Mama gak pernah menyesal untuk itu,” timpalnya, “Karena dari pilihan itu, Mama akhirnya punya kamu di sini. Kamu hadiah terindah buat Mama, Arga.”
“Mama selalu percaya dan gak pernah bosan bilang sama kamu, dibalik kegagalan pasti akan ada sesuatu yang lebih indah di hari mendatang,” katanya, “Jadi Mama cuma bisa berpesan, pilihan yang kamu bilang di depan Mama hari ini jangan pernah kamu sesali.”
“Mama pengen kamu bahagia. Cuma itu. Dan bagi Mama, anak Mama berhak untuk memilih bahagianya sendiri. Peran Mama sebagai orang tua kamu hanya membimbing supaya kamu gak salah langkah,” jelas Bu Ririn.
Arga mengangguk paham.
“Mama doain yang terbaik buat kalian,” si wanita paruh baya lalu menuntun tangan Deva dan Arga agar saling menggenggam di atas pahanya, “Mama restuin kalian.”