Marking

Satu bulan. Waktu yang cukup singkat untuk mempersiapkan sebuah pernikahan. Bahkan Deva sendiri sempat skeptis mengenai usulan Arga agar mereka berdua menikah tepat satu bulan setelah meminta restu kepada Bapak dan Ibu. Namun dengan keyakinan yang Arga punya, pun kekuatan sang CEO menggerakkan orang lain dan menyelesaikan segala sesuatunya hanya dengan uang, hari sakral bagi mereka pun tiba, diselenggarakan sesuai rencana.

Meski persiapannya singkat, tapi pernikahan Arga dan Deva lantas berjalan lancar—sebagaimana mestinya—sejak prosesi akad hingga kini telah memasuki acara resepsi; dimana keduanya berdiri saling bersisian di atas panggung megah. Mengusung tema glamor seperti yang Arga mau, juga atas persetujuan Deva, acara resepsi pernikahan mereka digelar di sebuah ballroom yang amat luas. Gemerlap dekorasi mewah dalam ruangan itu menyilaukan mata, namun dua anak manusia yang kini telah sah menjadi sepasang suami tidak kalah bersinarnya di tengah-tengah tamu undangan.

Deva dengan balutan kemeja dan jas putih yang dipadukan celana kain hitam, pun dasi pita sebagai pemanis nampak amat bersahaja. Senyum hangat dan ramahnya ketika menyalami satu persatu tamu undangan yang memberi ucapan selamat membuat setiap hati luluh. Deva nampak begitu tenang, meski jauh di lubuk hati terdalamnya ia sangat gugup.

Sedikit berbeda dengan Deva, sang CEO mengenakan kemeja hitam sebagai dalaman. Jasnya putih, seperti yang dikenakan Deva, pun celana kain hitamnya. Arga lantas tidak lupa mengulas senyumnya kepada tamu yang menyalami dirinya juga Deva. Tapi saat sosok yang sebenarnya tidak ia harapkan untuk hadir hendak naik ke atas panggung, Arga seketika menghela napas berat. Deva yang menyadari hal itu pun menoleh, menatap sang suami lamat. Ia sedikit khawatir.

“Mas?”

“Mm?” Arga meliriknya, “Apa?”

“Kamu baik-baik aja?” tanya Deva sambil menatap wajah suaminya lekat-lekat, “Mau istirahat dulu?”

Arga menggeleng, “Saya gak apa-apa. Kenapa kamu nanya gitu?”

“Tadi kamu ngehela napas berat banget kayak orang capek, Mas.”

Deva sedikit tersentak saat Arga tiba-tiba memeluk pinggangnya dari samping. Deva lalu menahan napas saat merasakan bagaimana Ibu jari Arga bergerak, mengusap pelan pinggangnya penuh afeksi.

Padahal gue gak lagi heat, tapi kenapa Mas Arga lembut gini? Batin Deva, ia dibuat bingung. Sebab, Arga akan sedikit berhati-hati bersikap juga bertutur kata dengannya ketika sedang heat.

“Saya baik-baik aja,” balas Arga.

Deva berdeham, “Oke. Tapi kamu bilang sama aku ya kalau capek?”

“Emang kalau saya capek kamu mau ngapain hm?” tanya Arga, “Mau bawa tukang urut ke sini?”

“Enggak. Tapi biar kamu istirahat atau duduk bentar, Mas Arga.”

Deva lalu mengalihkan tatapan matanya ke arah tamu undangan yang kembali menghampirinya dan Arga di atas panggung. Salah satu dari mereka adalah Luna, yang telah ia kenal sebelumnya.

“Ga, selamat ya.”

Arga mengangguk. Luna telah berdiri di hadapannya sembari menjulurkan tangan. Meraihnya, ia menjabat tangan sang mantan sekertaris begitu singkat lalu kembali membuang pandangan ke arah lain. Sementara itu, Luna yang melihat sikap Arga lantas beralih menyalami tangan Deva.

“Makasih udah datang ya, Mba.” kata Deva ramah diikuti senyum.

“Selamat,” Luna melirik sang CEO sekilas. Ia lalu kembali menatap wajah Deva, “Jaga Arga ya, Dev.”

Deva tersenyum kikuk. Jujur saja ia sedikit terkejut mendengar ucapan Luna barusan. Sebab ia lantas dibuat teringat dengan pesan Mama mertuanya dahulu saat ia dan Arga meminta restu. Mama juga menanyakan tentang sanggupkah ia menjaga Arga.

Deva mengangguk, “Pasti, Mba.”

Mantan sekertaris wanita Arga itu pun tersenyum tipis sebelum turun dari panggung. Deva yang kembali menoleh ke sang suami, hendak memeriksa keadaan Arga yang ia khawatirkan kelelahan. Ia kemudian refleks menautkan alis saat mendapati wajah suaminya masam dan nampak amat dingin.

“Senyum, Mas.”

Mendengar bisikan Deva, Arga menoleh. Matanya memicing.

“Kamu gak liat apa kalau daritadi saya udah senyum sampai bibir saya pegel?” Arga geleng-geleng.

“Tapi wajah kamu yang aku liat sekarang kayak lagi bete banget.”

Menarik napasnya dalam-dalam, Arga lantas menarik kedua ujung bibirnya hingga tersenyum lebar. Deva yang melihatnya terkekeh.

“Muka Mas Arga jadi kayak joker,” ucap Deva dengan tampang tidak bersalah. Sedang Arga yang tidak menyangka tentang respon Deva barusan refleks melipat lengan.

“Kita baru nikah sehari loh, tapi kamu udah berani ngatain saya.”

“Ih. Aku gak ngatain kamu, Mas. Tapi kalau senyum, yang tulus.”

Arga hanya mendengus sebelum kembali menatap ke arah tamu. Persekian sekon berikutnya, ia tersenyum. Deva yang melihat hal itu pun ikut tersenyum tipis.

Satu persatu rangkaian acara resepsi pernikahan Arga dan Deva terlewati. Kini mereka telah duduk di sofa bak tahta raja yang ada di atas panggung, menikmati alunan musik dan suara merdu penyanyi di panggung hiburan. Setelah lantunan lagu indah yang dibawakan sang penyanyi selesai, master ceremony lantas kembali mengambil kendali acara resepsi.

“Nah kalau tadi kan kita udah dengerin lagu dari guest star kita hari ini,” kata sang MC setelah tadi mempersilakan sang bintang tamu untuk turun dari stage.

“Gimana kalau sekarang kita sama-sama dengerin satu lagu lagi dari mempelai kita. Setuju?”

“Setujuuu!” sahut para tamu.

Deva terbelalak. Jangan sampai Arga menyuruhnya untuk pergi ke atas panggung hiburan untuk bernyanyi. Sungguh, itu adalah sebuah ide buruk, pikir Deva. Ia tidak pandai bernyanyi. Ia pun hanya berani menarik suaranya ketika berada di kamar mandi.

“Pak Arga, udah siap?” tanya si MC kepada sang CEO. Arga lalu mengangguk mantap, sementara Deva yang tidak tau apa-apa hanya diam dalam bingungnya.

Perasaan pas gladi kemarin gak ada acara spesial gini, batinnya.

Seorang anggota tim wedding organizer kemudian bergegas ke arah panggung di mana Arga dan Deva berada sembari membawa mic. Deva yang memerhatikan Arga perlahan bangkit sebelum meraih mic yang disodorkan pun diam-diam tidak sabar untuk mendengarkan suara suaminya.

“Lagu ini saya persembahkan untuk Deva…” ucap Arga lalu menoleh ke Deva yang masih duduk di sofa, “Suami saya.”

Deva berdeham. Ia menghindari tatapan Arga, beralih menatap tamu yang bersorak meledek. Deva masih bingung sebenarnya. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa Arga akan melakukan hal semacam ini di hari pernikahan mereka. Sedikit manis bagi Deva, tapi untuk apa? Mereka berdua sama sekali tidak saling cinta.

Perlahan, alunan musik mulai menggema. Arga yang berdiri di hadapan tamu pun bernyanyi mengikuti nada dengan merdu. Deva yang mendengarkan bait pertama lagu itu pun tersenyum.

Beautiful in White, batinnya. Ia mengingat jelas judul lagu itu.

Not sure if you know this But when we first met I got so nervous I couldn't speak In that very moment I found the one and My life had found its missing piece

Deva tidak menyangka bahwa suara Arga sangat lembut nan merdu ketika bernyanyi. Bahkan ia dibuat terbawa suasana kala Arga melanjutkan bait demi bait lagu indah milik Shane Filan itu.

So as long as I live I love you Will have and hold you You look so beautiful in white And from now 'til my very last breath This day I'll cherish You look so beautiful in white Tonight

Tanpa Deva sadari, bola matanya lantas berkaca-kaca. Ia kembali mengingat bahwa saat ini dirinya telah menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak ia cintai, pun sebaliknya. Padahal, ia juga pernah bermimpi untuk bisa menyanyikan lagu itu di hadapan sosok tercintanya. Namun takdir berkata lain. Deva harus mampu menerima fakta bahwa takdirnya terikat dengan Arga, sosok Alpha yang telah mengikrarkan janji dengannya dalam sebuah ikatan suci pernikahan tepat hari ini.

What we have is timeless My love is endless And with this ring I Say to the world You're my every reason You're all that I believe in With all my heart I mean every word

Air mata Deva sukses mengalir deras di pipinya. Namun ia buru-buru menyeka pipinya ketika Arga menghampirinya, masih sambil bernyanyi. Suaminya itu lalu menjulurkan satu tangannya. Deva yang paham pun meraihnya sebelum bangkit dari sofa. Ia lalu mengikuti langkah Arga yang kini menuntunnya agar berdiri di tengah panggung. Mereka saling berhadapan dengan Deva yang setia menemani Arga bernyanyi sambil bertukar tatapan lamat.

So as long as I live I love you Will haven and hold you You look so beautiful in white And from now 'til my very last breath This day I'll cherish You look so beautiful in white Tonight

Na na na na So beautiful in white Tonight

Tepat setelah lagu yang Arga bawakan selesai, riuh tepuk tangan dari tamu undangan seketika menggema. Deva pun melakukan hal serupa bersama senyum bangganya. Tapi hanya persekian sekon berikutnya, ia dibuat kaget saat satu persatu sorakan tamu menggoda mereka.

“Cium!”

“Cium!”

Deva melirik sekilas ke arah meja tamu. Ia bisa melihat bagaimana Eren juga ikut berteriak sambil menggoyang-goyangkan badan. Sungguh, sahabatnya itu hanya membuatnya semakin tertekan. Perlu dicatat, saat ini Deva tidak sedang dalam masa heat; dimana ia akan selalu menginginkan sentuhan Arga, pun sebaliknya. Jadi untuk berciuman saat tidak heat rasanya masih canggung.

“Deva.”

Mendengar Arga memanggilnya, Deva yang hanya berdiri satu langkah dari suaminya itu pun menoleh. Ia mengangkat alisnya.

“Boleh gak?”

Deva menatap lurus ke dalam netra madu sosok yang hari ini telah sah menjadi suaminya. Ia menelan ludah, melihat betapa serius raut wajah Arga saat ini.

“Boleh apa, Mas?”

Maju satu langkah, ujung sepatu Arga pun bertemu dengan milik Deva. Jarak berdiri mereka tipis.

“Saya boleh gak cium kamu di sini?” jelas Arga sebelum satu tangannya perlahan membelai pipi Deva, ibu jarinya kemudian mengusap lembut pipi suaminya.

Melihat kesungguhan di wajah Arga, juga bagaimana suaminya itu tak henti-henti memberinya rasa hangat dan ketenangan dari sentuhan jemarinya, Deva lantas menghela napas pelan. Deva, lu udah jadi suami Mas Arga. Walau pun kalian gak saling cinta, tapi lu gak pernah main-main soal pernikahan ini kan? batinnya.

Deva mengangguk kaku, “Boleh.”

Perlahan, Arga mengikis jarak wajah mereka. Ia memiringkan kepala sebelum mendaratkan satu kecupan ringan di bibir tipis Deva. Arga kemudian kembali menatap lurus ke dalam netra suaminya itu. Ujung hidungnya nyaris bersentuhan dengan milik Deva, ia bahkan bisa merasakan betapa hangat deru napas Deva.

“Maaf karena saya yang harus ada di depan kamu hari ini,” bisik Arga yang membuat napas Deva lantas tercekat. Arga jelas paham perasaannya, sebab mereka ada di posisi yang sama. Namun Deva tidak pernah berpikir jika sang suami akan mengatakan kalimat itu padanya. Bahkan baru kali ini ia mendengar Arga mengucap maaf secara lisan dan tersurat.

“Aku juga minta maaf ya, Mas.”

Arga mengangguk kecil, kembali mengusap lembut pipi kiri Deva.

“Walaupun alasan kita disatukan karena status Alpha dan Omega, tapi tetap, sekarang kamu udah resmi jadi suami saya,” kata Arga.

“Saya akan mempertahankan kamu dan rumah tangga kita, apapun kondisinya,” timpalnya, “Kamu hanya akan menikah satu kali seumur hidup seperti yang kamu mau, Deva. Hanya hari ini, sama saya, Arga, suami kamu.”

Deva mengulum bibirnya. Ia mati-matian menahan tangis.

“Kamu yang pertama buat saya dan akan jadi yang terakhir,” kata Arga penuh kesungguhan, “Saya janji,” katanya lalu menurunkan pandangan ke bibir tipis Deva.

Mata Deva pun refleks terpejam ketika Arga kembali mengecup bibirnya. Namun tidak seperti yang sebelumnya, kini Arga telah memberikan lumatan lembut. Ia pun tidak tinggal diam. Kala satu tangan sang suami yang masih memegangi mic melingkari pinggangnya, Deva pun refleks mengalungkan kedua lengan di leher Arga. Kedua anak manusia itu memperdalam ciumannya, membuat tamu undangan dan tak terkecuali orang tua mereka tidak henti-henti bersorak riuh.

***

“Kamu sama Arga beneran gak mau bulan madu, Dev?” tanya Bu Ririn pada sang menantu yang sedari tadi memijat lengannya. Mereka sama-sama duduk santai di sofa ruang keluarga setelah asik menonton series di televisi.

“Iya, Ma. Lain kali aja kalau Deva sama Mas Arga udah senggang.”

Bu Ririn menahan tangan Deva, menuntun agar menantunya itu berhenti memijat lengannya. Ia kemudian duduk miring ke arah Deva guna memandangi wajah sang menantu lekat-lekat.

“Investor sama stakeholder bakal ngerti kok, Dev. Kalian kan baru aja nikah. Entar biar Mama deh yang ketemu mereka. Gimana?” usul Mama, “Kalian bisa sekalian refreshing, healing dari kerjaan.”

Deva tersenyum, ia menggeleng.

“Mama gak boleh capek-capek,” katanya, “Lagian aku sama Mas Arga cuti gak masuk kantor tiga hari abis ini, Ma. Itu cukup kok.”

Helaan napas Bu Ririn menjadi awal kepasrahannya, “Ya udah kalau menurut kalian itu baik.”

“Kamu ke kamar gih,” Bu Ririn mengusap bahu Deva, “Kayaknya Arga udah nungguin kamu tuh.”

Deva terkekeh, “Ya udah. Mama juga masuk ke kamar abis ini ya.”

“Iya, sayang.”

Deva memeluk Bu Ririn sejenak, “Tidur yang nyenyak ya, Ma.”

Si wanita paruh baya terkekeh, “Iya,” balasnya sebelum melepas pelukan Deva, beralih menatap wajah menantunya itu, “Entar kalau misal Arga mainnya gak bikin kamu ngerasa enak, jangan dipendem ya? Bilang ke Arga.”

“Maksudnya, Ma?” Deva bingung.

Bu Ririn tersenyum menggoda, “Itu... Malam pertama kalian.”

Deva hanya bungkam sejenak lalu geleng-geleng kepala. Mana mungkin juga ia dan Arga akan melakukan hal itu malam ini, pikirnya sebelum berpamitan lagi dengan sang Mama mertua. Ia kemudian berjalan ke lantai dua, dimana kamar Arga berada.

Sesampainya di depan pintu kamar sang suami, Deva lantas berhati-hati. Ia takut jika Arga justru telah tertidur setelah tadi meminta izin untuk mandi. Ya, suaminya itu mandi pada jam sepuluh malam karena merasa gerah setelah tadi membantunya mengangkut pakaian bawaanya. Sebab setelah acara resepsi pagi tadi selesai, mereka kembali ke rumah Bapak dan Ibu terlebih dahulu, mengemasi pakaiannya sebelum ke rumah Bu Ririn dan beristirahat hingga sore hari.

“Udah kelar seriesnya?”

Baru saja Deva membuka pintu dengan hati-hati dan berniat untuk berjalan mengendap-endap, namun suara sang suami sudah lebih dahulu menyapanya. Arga tengah berbaring di atas ranjang sambil memeluk selimut.

Deva yang melihatnya menahan senyum. Sebab Arga yang selalu terlihat angkuh bahkan galak di depan orang lain justru memiliki sisi yang sedikit manis bagi Deva.

“Udah,” jawab Deva, “Mas Arga kok belum tidur?” tanyanya lalu duduk di tepi ranjang. Ia meraih segelas air yang ada di atas nakas lalu menenggaknya, nyaris habis.

“Saya nungguin kamu.”

Deva pun terbatuk. Ia kemudian menatap Arga heran, sedang sang suami seketika bangun dengan raut wajah paniknya.

“Pelan-pelan,” Arga berdecak lalu menepuk-nepuk punggung Deva.

Deva seharusnya bersyukur karena tidak mendengar Arga mengomel malam ini. Bahkan sang suami bertutur kata amat lembut padanya sedari tadi. Tapi melihat sisi lain Arga seperti ini justru membuat Deva merasa aneh. Apa jangan-jangan Mas Arga pengen minta jatah? Duh! Batin Deva lalu menelan ludah.

“Aku gak apa-apa kok, Mas.”

“Ya udah, cuci muka dulu sana.” titah Arga sebelum kembali ke posisinya, berbaring terlentang.

Deva pun menyanggupi. Ia buru-buru ke kamar mandi, mencuci muka dan tidak lupa memakai skincare setelahnya. Deva lalu kembali ke tempat tidur dengan pikiran bahwa Arga sepertinya telah terlelap. Namun ternyata tidak. Arga masih terlentang di atas ranjang, memeluk selimut.

Berdeham pelan, Deva kemudian naik ke atas ranjang king size itu lalu ikut berbaring di sisi kosong yang disisakan oleh Arga. Sama seperti sang suami, Deva pun menarik selimutnya hingga sebatas dada. Pandangan Deva tertuju pada langit-langit kamar. Tak sekali pun ia berani menoleh ke Arga. Tapi dari ekor matanya, Deva justru bisa merasakan jika Arga tengah memandanginya.

Jantung Deva berdebar-debar.

Menelan ludahnya, Deva lantas memberanikan diri untuk melirik Arga. Ia menggerakkan bola mata perlahan diikuti gerakan kepala. Dan benar saja dugaannya tadi, Arga sedang sibuk memandangi wajahnya begitu dalam. Tuhan...

“Kenapa, Mas?” tanya Deva.

“Kamu tuh yang kenapa. Daritadi saya perhatiin, kamu kayak orang abis ketahuan nonton bokep tau.”

Deva kembali menoleh ke arah langit-langit kamar, ia menarik selimutnya lagi hingga sebatas leher. Setelahnya, ia berdeham.

“Aku belum terbiasa di deket kamu kayak gini, Mas Arga.”

Arga tersenyum. Matanya masih menatap wajah Deva lekat-lekat. Sedang Deva sibuk menghindari tatapan Arga. Deva panas dingin.

“Kamu takut saya ngajak kamu ngewe malam ini?” celetuk Arga.

“Enggak,” Deva mengelak.

“Saya nungguin kamu tadi buat bicara soal ini,” tutur Arga, “Kita bisa having sex tiap kamu heat atau pas saya lagi rut. Gimana?”

Deva mengangguk, “Setuju, Mas.”

“Tapi Mas Arga udah pernah rut gak sih?” tanya Deva penasaran.

“Belum,” jawab Arga, “Kalau pun saya rut pasti kamu duluan yang tau. Kamu nyium feromon saya.”

Deva mengangguk, “Iya juga ya. Tapi rut kamu bakal dateng tiap bulan juga gak ya kira-kira, Mas?”

“Mana saya tau, kan saya belum rut. Kamu ini gimana sih,” Arga mengomel, “Tanyain tuh ke Nua.”

“Aku cuma penasaran doang kok, Mas. Jangan ngomel,” bujuk Deva.

“Penasaran sama waktu dinas kamu?” Arga senyum mengejek.

Kening Deva berkerut, “Dinas?”

“Kamu polos apa bego sih,” ucap Arga dengan suaranya yang telah setengah mengantuk, “Ngewe maksudnya, Deva. Jadwal ngewe.”

“Oh,” Deva bergumam.

Hening sejenak.

“Deva,” panggil Arga.

“Iya, Mas?”

“Kita emang having sex kalau lagi heat sama rut, itu jadwal rutin.”

Arga berdeham.

“Tapi kalau misal di luar itu kamu kepengen ya… Gak apa-apa juga sebenernya. Kamu boleh minta sama saya,” timpal Arga, “Lagian saya udah jadi suami kamu kok.”

Lagi.

Deva kembali menarik selimut, kali ini hingga sebatas hidung. Entah, wajahnya tiba-tiba panas. Arga yang melihat tingkah sang suami lantas mendengus pelan.

“Gak sekalian aja itu kamu tutup sampai kepala kamu? Biar saya tidurnya berasa di kamar mayat.”

“Mas Arga ish,” Deva mencebik.

Arga tertawa kecil lalu menarik selimut agar menutupi wajah Deva seutuhnya. Suaminya itu pun buru-buru berontak lalu ikut tertawa ringan bersamanya.

“Deva, satu lagi yang mau saya omongin sama kamu,” kata Arga.

“Apa, Mas?” tanya Deva yang kini telah berani menatap wajah Arga.

“Saya pengen dipeluk tiap pagi, pas baru bangun tidur. Bisa gak?” Arga meminta persetujuan Deva.

“Dipeluk aku, Mas?”

“Gak, dipeluk nenek kamu.”

Mengulum bibirnya, Deva lantas mengangguk. Ia menahan tawa.

“Bisa, Mas. Lagian, aku kan udah jadi suami kamu,” balas Deva.

“Ya udah, itu aja sih. Bobo kamu,” ucap Arga lalu menyamankan posisi sebelum menutup mata diikuti Deva yang melakukan hal serupa hingga mereka terlelap.