Kiss

“Deva.”

Sang empu nama mengabaikan Arga yang baru saja datang dan menghampiri meja kerjanya. Ia memandangi layar MacBook di hadapannya sambil mengetik sesuatu yang entah apa. Ia tidak sekali pun menoleh pada Arga.

Melihat sikap Deva saat ini lantas membuat kening Arga berkerut heran. Pasalnya, Deva yang telah ia kenal selama satu bulan tidak seperti ini; yang akan mendiami tanpa memberi alasan kenapa ia memilih untuk bungkam. Aneh.

“Kamu kenapa sih?” tanya Arga.

“Itu mulut dipake dong. Kasih tau saya kamu kenapa,” timpal sang CEO, tapi Deva masih diam.

“Kamu marah sama saya?” Arga masih tidak menyerah, “Lebay banget deh kamu, diajak diskusi soal persiapan nikah aja marah. Emang yang kamu gak suka di bagian mana? Bilang sama saya.”

Arga mengacak rambutnya kasar saat Deva tak kunjung memberi respon. Seolah ia hanya nyamuk yang sedari tadi berdenging di samping telinga. Bahkan nyamuk aja masih bikin manusia risih. Tapi Deva tidak, ia seperti batu.

Mendengus, Arga kemudian menghampiri kursi Deva. Ia pun memutar kursi sang bawahan agar menghadap ke arahnya, meraih pergelangan tangannya, dan bersiap untuk menariknya agar segera berdiri. Tapi niat Arga harus tertunda saat ia bisa menghirup wangi feromon sang Omega. Ia kaget. Arga refleks membungkuk lalu mengendus pergelangan tangan Deva sejenak sebelum mendongak, menatap wajah sekertarisnya itu lamat.

“Kamu heat lagi?” tanya Arga. Ia kembali mengendus pergelangan tangan Deva untuk memastikan.

“Tapi wanginya gak menyengat banget kayak bulan lalu,” katanya, “Saya juga gak turn on sekarang.”

Pandangan Deva tertuju ke objek lain, jelas ia tidak ingin netranya berjumpa dengan milik Arga. Hal itu seketika membuat sang CEO kembali berdiri tegak, menarik lengan Deva sekuat tenaga.

“Ikut saya.”

Deva menolak, “Saya gak mau.”

“Ikut saya, Deva.”

“Saya gak mau, Pak!”

Arga tersentak mendengar Deva meninggikan suara, membuat ia hilang keseimbangan. Alhasil, Deva yang tadi membalas tarikan Arga untuk berontak pun tidak bisa berbuat apa-apa saat tubuh sang atasan condong ke arahnya. Beruntung Arga refleks menahan beban tubuhnya pada pegangan kursi kerja Deva, jika tidak, maka kepala mereka mungkin akan saling bertuburkan; amat keras.

Meskipun begitu, tetap saja Deva dan Arga tidak bisa menghindari insiden dimana bibir keduanya saling menempel seperti saat ini. Mereka sama-sama diam dalam keterkejutan, terlebih Deva yang seketika menyadari sikapnya kepada Arga sedari tadi. Tak bisa Deva pungkiri, ia begitu sensitif hari ini. Namun saat mencoba mengendalikannya, tetap saja ia tidak mampu. Ia merasa kalah pada hasrat yang entah datang dari mana. Namun saat Arga baru saja—tanpa unsur kesengajaan—mengecup bibirnya, Deva lantas merasa lega. Sensasi yang ia rasakan ini persis seperti saat Arga menggenggam tangannya ketika ia heat bulan lalu hingga rasa nyeri di perutnya mereda.

Gue heat lagi? Batin Deva resah.

“Pak,” lirih Deva sesaat setelah Arga memberi jarak antara wajah mereka hingga tautan bibirnya dengan sang atasan terlepas.

“Saya minta maaf,” timpal Deva, “Saya gak tau kenapa tadi saya malah kayak gitu ke Pak Arga.”

“Tadi saya kayak… Ada dorongan buat nyuekin Pak Arga. Hari ini saya juga gampang banget kesel, gak tau kenapa,” jelas Deva, Arga yang masih membungkuk tepat di depannya pun menyimaknya.

“Pas Pak Arga megang tangan saya tadi, saya ngerasa pengen yang lebih. Sesuatu dalam diri saya seolah bilang supaya saya makin nyuekin Pak Arga biar saya makin dibujuk,” katanya.

Deva menghela napas frustasi. Arga pun bisa melihat dengan jelas bagaimana sekertarisnya itu kebingungan, sama sepertinya.

“Terus pas bibir Pak Arga gak sengaja nyentuh bibir saya…” Deva menelan ludah, “Saya tuh ngerasain sensasi yang persis kayak pas Pak Arga ngegenggam tangan saya waktu saya lagi heat bulan lalu. Bedanya, kalau dulu nyeri di perut saya hilang. Kalau sekarang, rasa gak enak di dada saya yang hilang, saya pengen Pak Arga selalu nyentuh saya.”

Deva menggeleng pelan dengan raut wajah tidak yakin, “Masa saya heat lagi, Pak?” tanyanya, “Tapi tadi Pak Arga gak ngerasain wangi feromon saya kan kalau aja gak narik pergelangan saya?”

Arga mengangguk.

“Kalau misal masa heat saya datang tiap bulan, seharusnya saya heat Minggu depan. Bukan sekarang,” sambung Deva lirih.

Sekertaris CEO itu pun kembali menatap wajah Arga dengan raut bersalah, “Sekali lagi saya minta maaf atas tingkah saya tadi, Pak.”

“Tutup mata kamu.”

Deva bingung mendengar titah sang CEO barusan, “Maaf, Pak?”

“Saya bilang, tutup mata kamu.”

Deva tidak bisa menolak perintah telak dari atasannya itu. Hanya dengan mendengar sang CEO memberi sedikit penekanan pada suaranya membuat Deva luluh.

Apa mungkin ini yang pernah ia dengar dari Eren tentang Alpha tone? Dimana suara sang Alpha akan membuat Omega tunduk? Jujur saja, apa yang dialaminya dan Arga masih tidak masuk di akal sehat Deva hingga sekarang.

Sementara itu, Arga yang melihat Deva telah memejamkan mata lantas beralih menatap bibir tipis sekertarisnya itu. Ia menghela napas pelan sebelum perlahan mengikis jarak wajah mereka.

Persekian sekon kemudian, Deva bisa merasakan bagaimana Arga mengecup bibirnya. Jujur saja ia kaget, namun hasratnya enggan untuk menolak perlakuan sang CEO. Justru Deva menyukainya. Meski pada kenyataannya baru kali ini ia diciumi seorang pria.

Lambat laun kecupan Arga pun berubah menjadi sebuah pagutan ketika Deva membuka mulutnya. Ia melumat lembut bibir bawah dan atas sekertarisnya itu sambil memejamkan mata, decak lidah mereka saling bersahut-sahutan.

Deva pun tak tinggal diam, kedua tangannya meremas kuat pundak Arga sementara ia mengimbangi lumatan sang CEO. Kepalanya sesekali bergerak miring ke kiri dan ke kanan, ia mencari posisi ternyaman untuk mereka saling melahap bibir satu sama lain.

Ini gak masuk akal, batin Deva. Bisa-bisanya ia amat menikmati ciuman dengan seorang pria. Ia bahkan merasa jika pagutannya dengan Arga membuat gairahnya bangkit lebih cepat ketimbang saat berciuman dengan wanita. Entah karena Arga yang memang seorang good kisser atau justru karena status Alpha dan Omega mereka yang turut ikut andil.

“Mmh…”

Deva refleks melenguh saat Arga menggigit pelan bibir bawahnya. Namun setelahnya Deva lantas membuka mata saat merasakan bagaimana Arga mengecup spot yang ia gigit tadi amat lembut. Ia lalu menahan napas ketika sang atasan beralih menatapnya lamat dalam jarak yang begitu minim.

“Sekarang gimana?” tanya Arga, “Dada kamu masih gak enak?”

“Udah enggak, Pak.” jawab Deva.

“Kamu masih marah sama saya?”

Deva menggeleng pelan, “Saya gak pernah marah sama Bapak.”

Arga berdeham, “Bagus deh.”

Sang CEO kemudian berdiri tegak, merapikan jasnya sejenak sebelum kembali menatap Deva.

“Lain kali bilang dong kalau emang kamu ada apa-apa. Saya kan gak tau harus gimana kalau kamu diem aja,” protes Arga.

Deva mengangguk, “Maaf, Pak.”

“Ayo, kita ke resto sekarang. Saya udah laper daritadi. Tapi karena kamu musti ditarik-tarik dulu, jadi lama kan,” Ia berdecak kesal.

Arga pun berbalik, ia hendak berjalan mendahului Deva yang masih duduk di kursinya. Namun saat sadar bahwa sekertarisnya itu masih tidak bergeming, Arga kembali memandangi Deva.

“Katanya kamu gak marah. Tapi diajak makan masih aja diem.”

Deva menelan ludah, “Pak Arga.”

“Apa?” Arga ingin mendengarnya.

“Saya boleh megang tangan Pak Arga?” pinta Deva tidak enakan, “Dari sini sampai di lift aja, Pak.”

Arga menjulurkan tangan, “Mm!”

Tersenyum tipis, Deva kemudian meraih tangan Arga. Jemarinya menggenggam erat milik sang CEO. Bersamaan dengan itu Arga menuntunnya agar bangkit lalu berjalan beriringan dengannya hingga mereka ke luar ruangan.

***

“Jadi gimana?”

Deva menghela napas. Arga kembali menanyakan tentang rencana untuk meminta restu kepada Ibu dan Bapak Minggu depan, di resepsi Davis, lalu menikah di bulan berikutnya.

“Terus kontribusi saya buat pernikahan kita apa, Pak? Pasang badan doang?” balas Deva, “Masa saya ngelimpahin semuanya ke Pak Arga, padahal kita berdua mau ngejalaninnya sama-sama.”

“Kamu itu aneh ya,” Arga heran, “Orang lain malah seneng kalau disuruh duduk manis aja sambil nunggu hari resepsinya tiba. Ini kamu malah pengen ngeribetin diri sendiri,” ia lalu meletakkan daging yang telah matang di atas piring Deva. Sebab kini mereka memilih untuk makan siang berdua di restoran Barbeque.

“Ya udah. Terserah Bapak,” kata Deva lalu melahap daging yang baru saja diberikan oleh Arga.

“Ya kalau ujung-ujungnya mau bilang terserah, ngapain kamu protes terus ngambek tadi?” Arga geleng-geleng kepala lalu kembali memberi daging lain kepada Deva. Namun melihat sekertarisnya itu makan dengan tidak berselera, Arga menghela napas gusar. Deva kenapa sih?

“Kamu mau saya cium di sini?”

Deva terbatuk. Ia menatap Arga tak percaya lalu melirik ke kiri dan ke kanan, jaga-jaga jika ada yang mendengarkan. Sementara itu sang CEO hanya mendengus lalu menyodorkan air padanya.

“Kamu bikin saya ngerasa serba salah deh hari ini,” Arga ngomel.

“Lagian kenapa juga Pak Arga peduli? Biasanya kan Bapak gak mau tau,” balas Deva sembari menahan sumpit Arga dengan sumpitnya, sebab atasannya itu hendak memberinya daging lagi.

Arga mendesis, “Saya kan udah pernah bilang sama kamu. Saya itu gak akan pernah menganggap sepele pernikahan. Wajar dong saya diskusi sama calon saya?”

“Pak!” Deva setengah memekik, “Entar ada yang dengerin kita.”

Deva lalu menunjuk sumpit Arga—yang masih ia tahan—dengan dagu lalu berkata, “Pak Arga juga makan. Tadi katanya udah laper.”

“Kamu sih, aneh banget hari ini. Saya jadi ikutan aneh kan,” kata Arga lalu melahap daging itu.

Menarik napasnya dalam-dalam, Deva pun berkata. “Ya udah, kalau menurut Pak Arga itu baik buat kita berdua, saya setuju.”

“Gitu dong dari tadi,” sindir Arga, “Gak usah bikin saya pusing.”

Deva mencebik, “Pak Arga mau makan apa ngomelin saya sih?”

“Mau ngomelin kamu biar gak aneh-aneh,” sahut Arga lantang.

Namun melihat raut wajah Deva tiba-tiba berubah menjadi sedu, Arga lantas memijat keningnya. Arga kemudian beralih meraih jemari Deva, menggenggamnya lalu bergumam, “Udah, makan.”