jaesweats

Arga sepenuhnya tau bahwa keputusannya untuk bercerita kepada Deva tentang karangan fiksi dunia Alpha dan Omega yang sejak kemarin ia baca sama saja dengan menjatuhkan harga dirinya. Bukan tidak mungkin jika setelah ini Deva akan melihat dirinya sebagai sosok yang tidak bisa membedakan mana fiksi dan realita. Bahkan Deva mungkin akan lari karena mengira kalau ia sudah ikutan gila seperti orang yang mereka temui tempo hari.

Hanya saja, Arga merasa jika apa yang dibacanya semalam justru tidak jauh berbeda dengan apa yang ia alami kemarin. Terlebih setelah ia membaca chat Deva tadi. Mana mungkin Deva telah mengganti parfum tapi wangi yang menusuk hidungnya masih sama? Apalagi Arga sangat tau bagaimana wangi Wood Sage; sebab dirinya pun menggunakan parfum itu. Dan memang benar, satu Minggu awal Deva berada di kantor, ia mengenali wangi lain.

Arga pun menyatukan titik demi titik kejadian yang telah ia alami dengan isi cerita fiksi Alpha dan Omega semalam. Tentang wangi, ia lantas mengingat bahwa: saat Omega sedang mengalami masa heat, feromon akan menguar dari tubuhnya hingga memicu hasrat berahi sang Alpha. Arga seketika berpikir jika wangi yang ia kira adalah parfum Deva mungkin saja feromon; terbukti saat ia turn on karena menghirupnya.

Keputusan Arga akhirnya sudah bulat. Ia tidak bisa menyimpan pikiran aneh di dalam kepalanya sendirian. Meski harus dianggap gila, Arga akan membuktikannya. Dan tidak ada orang lain yang bisa Arga jadikan tempat untuk menceritakan masalah ini selain Deva. Apalagi hanya Deva pula yang tau tentang ucapan orang gila yang mereka temui itu.

“Pak Arga.”

Arga yang semula terjebak dalam lamunan lantas tersentak ketika mendengar suara Deva. Lelaki itu telah berdiri di depan mejanya, bersamaan dengan wangi segar yang kembali menguar darinya.

“Duduk,” titah Arga.

Deva yang melihat tatapan serius Arga diam-diam menelan ludah. Namun saat sang CEO menyisir rambutnya gusar hingga nampak berantakan, Deva pun tertegun.

Kok Pak Arga ganteng banget ya?

Sadar akan pikirannya yang mulai ngaco, buru-buru Deva membuang pandangan sejenak sebelum menarik napas dalam. Ia lalu kembali menatap sang CEO yang wajahnya terlihat bimbang.

“Pak Arga mau ngomong apa sama saya?” Deva to the point.

“Dev, kamu akhir-akhir ini…” Arga menggantungkan ucapan di ujung lidahnya. Berpikir ulang apa ia harus menanyakan hal ini.

“Apa, Pak?”

Arga menggeleng lalu berdeham, “Kamu... Lagi sakit perut gak?”

Deva mengangguk kikuk. Kok Pak Arga tau? Padahal sejak kemarin ia tidak pernah memberitahunya. Tapi mungkin saja Arga tau dari Eren, pikir Deva lalu menyahut.

“Iya, Pak.”

“Diare?”

“Enggak, Pak. Sakit perut saya ini udah sejak kemarin. Cuman pas saya ke dokter semalam, katanya saya paling abis salah makan.”

Arga mengulum bibir. Ia meraih pulpen di atas mejanya, meremas alat tulis itu guna meredam rasa gugupnya yang tiba-tiba muncul. Pasalnya, Deva benar-benar sakit perut seperti Omega yang heat.

Enggak. Ini kayaknya kebetulan, batin Arga lalu menghela napas.

“Deva.”

“Iya, Pak?”

“Kamu pernah gak sih kepikiran sama ucapan orang gila yang kita temui pekan lalu?” tanya Arga.

Deva meremas-remas tangan di bawah meja. Apa ia harus jujur?

“Pernah, Pak. Apalagi apa yang orang gila itu bilang ke saya tuh emang sesuai sama apa yang saya alami. Saya sial,” jelasnya.

“Menurut kamu… Itu kebetulan gak?” Arga menatap Deva serius.

Sang sekertaris pun menggeleng, “Saya gak tau, Pak. Tapi entah itu kebetulan atau gak, ucapan dia bikin saya mikir semingguan ini. Apalagi cukup aneh karena orang itu gak keliatan di mana-mana. Menurut saya itu janggal banget. Saya takut kalau ternyata dia penunggu kantor Pak Arga.”

Arga sadar jika ia tidak sendirian.

“Kamu pernah coba-coba nyari tau soal Alpha dan Omega yang menikah gak?” tanya Arga lagi, “Atau pernah baca fiksi gitu?”

“Saya gak nyari tau, Pak. Tapi kebetulan pas SMA dulu Eren suka baca manga dan saya sering diceritain sama dia. Jadi saya tau sedikit tentang ABO,” jelas Deva.

Deva, jujur saja, bingung kenapa sang CEO tiba-tiba melayangkan banyak pertanyaan tentang hal itu. Baru kali ini juga Arga tidak mengomel atas jawaban yang ia berikan. Apa mungkin Arga juga resah sepertinya karena ucapan orang gila pekan lalu? Pikirnya.

“Kalau boleh tau, ada apa ya Pak Arga nanya soal ini?” balas Deva.

“Saya mau ngasih tau kamu sesuatu, tapi kamu harus janji dulu bakal jaga rahasia ini. Cukup saya sama kamu yang tau,” kata Arga, Deva lantas mengangguk.

“Saya bisa jaga rahasia kok, Pak. Baik itu rahasia pribadi Pak Arga sebagai atasan saya, juga rahasia perusahaan. Itu sudah tertuang dalam kontrak saya,” tutur Deva.

Arga menarik napasnya, “Jujur, saya juga kayak kamu. Seminggu terakhir ini, saya suka kepikiran sama ucapan orang gila yang kita temui pekan lalu. Apa yang dia bilang tentang saya juga benar... Percintaan saya tuh selalu gagal.”

“Dan akan terus gagal kecuali saya menikahi Omega saya sendiri. Saya Alpha yang harus menikah dengan Omega,” kata Arga, “Terus karena penasaran, saya coba nyari tau di internet. Jadi saya baca karangan fiksi soal Alpha yang menikahi Omega.”

Arga tiba-tiba mendengus.

“Saya tau kamu mungkin bakal nganggap saya gila. Tapi di sini saya pengen buktiin sendiri kalau pikiran saya udah ngaco. Bisa aja saya cuma stress karena kerjaan, makanya mulai mikir aneh-aneh.”

“Biasanya saya gak bakal peduli sama hal konyol kayak gini. Tapi kejadian aneh yang saya alami beberapa hari terakhir bikin saya cemas sama diri saya sendiri.”

Deva tersenyum, tapi Arga yang melihatnya seketika berdecak.

“Kamu mau ngetawain saya?”

“Gak kok, Pak. Tapi saya lega aja,” kata Deva lalu terkekeh, “Soalnya saya ternyata gak gila sendirian.”

“Enak aja. Saya gak bilang kalau saya gila ya. Saya cuma keganggu karena stress,” Arga mengomel.

Deva mengulum bibir sejenak. Ia menahan senyum melihat Arga yang angkuh sangat takut akan ditertawakan dan dianggap gila.

“Jadi apa yang Pak Arga pengen lakuin buat buktiin kalau pikiran Bapak ngaco?” Deva penasaran.

“Kamu tau istilah heat kan?”

Deva mengangguk, “Tau, Pak.”

“Semalem saya baca, Omega yang heat itu bakal ngeluarin feromon dari tubuhnya. Kalau kamu ngasih izin, saya pengen nyari wangi itu di tubuh kamu.”

Deva terbelalak. Arga yang sadar akan ekspresi bawahannya pun buru-buru mengibaskan tangan.

“Gak! Kamu jangan mikir yang macem-macem,” serunya. “Saya paham kamu pernah jadi korban pelecehan. Saya gak berniat buat nyentuh kamu sama sekali kok.”

“Saya bakal ngendus wangi itu satu jengkal dari tubuh kamu. Itu pun cuma di bagian kepala, leher sama pergelangan tangan kamu. Kalau wanginya gak ada di sana, berarti wangi itu ada di…” Arga menelan ludah lalu menghindari tatapan Deva, “Di kelamin kamu.”

“Jadi Bapak juga mau ngendus kelamin saya?!” Deva histeris.

“Ya enggak lah! Gila kamu. Saya kan bisa ngendus itu dari jauh!”

Deva mendesis. “Ya udah, Pak. Saya izinin. Mau dicoba kapan?”

“Tahun depan,” jawab Arga datar, “Ya sekarang lah. Kamu ini gak soal kerjaan, gak soal beginian, seneng banget nunda-nunda.”

Deva merenggut, “Baik, Pak.”

Arga kemudian mengeluarkan parfum dari laci. Ia menyodorkan parfum itu ke depan Deva lalu berkata, “Coba kamu pake dulu.”

Deva lantas menurut. Dipakainya parfum pemberian sang atasan di pergelangan tangannya. Ia lalu menyodorkan pergelangannya ke Arga, memberi instruksi kepada CEO itu agar mengendusnya.

Arga mencondongkan badan. Ia pun seketika dibuat terkejut saat mendapati bahwa wangi parfum yang Deva semprotkan tidak tercium dari sana sama sekali. Justru wangi segar bak bunga mawar lah yang menyengatnya.

“Gimana, Pak?”

“Kayaknya wanginya dari sini,” tutur Arga lalu berdiri dari kursi.

Deva pun hanya memerhatikan Arga yang kini menghampirinya. Atasannya itu mengendus kepala lalu turun ke lehernya dengan jarak sejengkal, seperti yang Arga janjikan tadi. Namun Deva—yang entah kenapa—kembali merasa panas justru dihinggapi kecewa ketika Arga lantas menjauhinya.

Ia ingin Arga selalu di dekatnya.

“Di kepala sama leher kamu gak ada,” Arga lalu membungkuk, kepalanya berada di depan perut Deva yang masih duduk di kursi.

Arga mencoba menghirup aroma yang bisa saja menguar dari area kelamin Deva, setelahnya ia pun mendongak lalu berkata, “Di sini juga gak ada sama sekali. Adanya di pergelangan tangan kamu.”

Penasaran, Deva pun mencoba untuk mengendus pergelangan tangannya. “Ini bau parfum tadi.”

“Enggak. Saya tau persis gimana bau parfum tadi, Deva. Coba deh kamu semprotin ke bagian yang lain terus saya coba endus lagi.”

Mengangguk paham, Deva pun menyemprotkan parfum itu ke ceruk lehernya. Ia lalu memberi instruksi kepada Arga untuk mengendus kembali spot itu.

“Tuh kan,” kata Arga setelah ia mengendus ceruk leher Deva, “Kalau di sini baru kecium dikit. Soalnya wangi parfum ini masih kalah sama wangi di pergelangan tangan kamu. Masa kamu gak bisa nyium bau kamu sendiri?”

Arga pun refleks menggenggam pergelangan tangan Deva guna menghirup kembali wangi segar itu. Tapi yang kemudian terjadi, sensasi bagai sengatan listrik tiba-tiba mendera. Tidak hanya dirasakan oleh Arga, namun juga Deva. Kedua anak manusia itu lantas saling berbagi pandangan dengan sang CEO yang masih setengah membungkuk; wajah mereka sejajar. Alhasil, Deva bisa melihat secara dekat bagaimana Paras Arga yang amat rupawan.

Tanpa sadar tangan Arga lantas bergerak, beralih menggenggam jemari Deva. Sekertarisnya itu pun membalasnya, menyatukan jemarinya dengan Arga hingga semakin erat. Tatapan keduanya pun terkunci rapat bersamaan dengan wajah Deva yang mulai mendekati wajah sang atasan.

Jika saja telepon di meja Arga tidak berdering, keduanya mungkin telah hilang kendali. Suara nyaring itu pun seketika mengembalikan akal sehat Arga dan Deva. Alhasil, buru-buru Deva berdiri dengan jantungnya yang berdegup amat kencang. Pun Arga yang mengatur napas.

“Kamu boleh kembali ke meja kamu sekarang,” titah sang CEO.

“Baik, Pak.”

Deva pun berlalu. Ia kembali ke meja kerjanya dengan langkah terburu-buru. Sementara itu Arga yang merasa lemas lantas duduk di kursi sambil menatap kosong ke arah meja. Bahkan ia tak memedulikan lagi pekikan nyaring dari teleponnya karena terlalu sibuk dengan pikirannya.

Gak mungkin…

Ini mustahil…

Semuanya pasti cuma mimpi.

Arga membatin frustasi sambil menarik pelan rambutnya. Saat sadar jika sesuatu di balik celana dalamnya mengeras, Arga lantas menunduk. Setelahnya, ia hanya mampu menghela napas gusar sebelum menyandarkan kepala di atas mejanya. Entah dosa apa yang telah ia perbuat di masa lalu hingga sang empu semesta menghukumnya seperti saat ini.

Arga baru saja selesai memasang dasinya. Sebab saat berangkat ke kantor tadi ia hanya mengenakan celana kain dan kaos oblong, pun sendal jepit dari rumah akibat terburu-buru. Bukan karena ia kesiangan, tapi justru karena sang Mama yang terus memaksa agar mereka berangkat bersama dan datang ke kantor lebih awal.

Pada sekon berikutnya, wangi yang sempat ia cium ketika lewat di depan meja sekertarisnya tadi tiba-tiba semakin menyengat lubang hidungnya. Wangi yang Arga yakini adalah parfum Deva.

Wangi itu—sebenarnya—sama sekali tidak menusuk layaknya pengharum mobil varian jeruk yang ia benci. Arga justru amat menyukai wanginya yang segar nan ringan seperti bunga mawar di tepi hutan tropis. Tapi sensasi yang datang ketika ia menghirup wangi itu lah yang membuatnya pusing. Pasalnya, Arga merasa berahinya terpancing. Adiksinya pada wangi itu bahkan membuat ia ingin segera berlari ke toilet untuk melepas hasrat yang telah berada di ujung alat kelaminnya.

“Pak Arga.”

Mendapati Deva berjalan ke arah mejanya, Arga lantas berbalik. Ia menghadap ke jendela sambil berpura-pura merapikan dasi. Arga khawatir jika Deva akan melihat hingga menyadari bahwa pusat ereksinya—yang entah sejak kapan—menggembung. Terlebih saat ini Arga sendiri pun belum memasang jasnya. Gawat.

Dia gak mungkin bilang kalau dia turn on gara-gara parfum Deva, yang ada bawahannya itu bakal mikir kalau dia emang udah gila.

“Kamu ngapain ke sini?” ketus Arga, “Kenapa gak nunggu saya di meja kerja kamu aja sih? Ck!”

“Maaf, Pak. Saya izin ngasih Pak Arga ini,” Deva lantas meletakkan masker hitam yang masih dalam kemasan di atas meja atasannya.

Arga yang diam-diam melirik ke arah mejanya pun melihat hal itu. Membuatnya seketika menaruh tanya di kepala tentang masker yang baru saja Deva berikan.

“Ngapain kamu ngasih saya masker?” tanya Arga heran.

“Saya gak bawa parfum selain yang saya pakai sekarang, Pak. Mana parfum saya ini wanginya tahan lama,” jelas Deva, “Jadi saya ngasih Pak Arga masker biar pas saya temani ke kantor Bu Ririn nanti gak makin pusing,” katanya.

“Ya udah. Sana, kembali ke meja kamu. Saya udah hampir mual nih gara-gara parfum kamu,” titah Arga yang disanggupi Deva.

Tepat setelah sekertarisnya itu melenggang pergi, Arga lantas menghela napas lega. Berbalik, ia kemudian meraih masker yang Deva berikan; menatapnya lamat. Dan entah kenapa pikiran Arga tiba-tiba kembali berlabuh ke ucapan rancu orang gila yang ia—juga Deva—temui pekan lalu. Terlebih saat ia mengingat kalau Deva disebut sebagai Omega yang harus menikahi Alpha.

Sudah hampir satu Minggu Arga merasa dibayang-bayangi oleh kalimat tentang kegagalan dalam urusan asmara, pun terkait Alpha dan Omega. Bahkan Arga sempat berselancar di internet, mencari tau maksud Alpha yang menikahi Omega. Namun yang Arga dapati hanya karangan fiksi dari para penggemar K-pop juga manga. Ia pun mencoba membaca sedikit dari satu di antaranya, namun respon Arga selama memahami tulisan itu hanya tercengang.

Bagaimana tidak?

Seorang Alpha juga Omega yang ada di dalam karya yang ia baca digambarkan sebagai sepasang kekasih; dan dua-duanya pria. Keduanya akan melakukan sex, terlebih ketika sang Alpha Rut atau saat Omeganya Heat. See? Bahkan Arga sudah hapal dengan istilah yang entah artinya apa.

Sekarang Arga pun mengubah pikirannya tentang orang gila pekan lalu. Ia yakin orang itu gila bukan karena tidak lulus menjadi guru fisika, namun karena gagal menjadi penulis fiksi terkenal.

Mendengus pelan saat sadar jika ia memikirkan hal tidak penting terlalu jauh, Arga lalu menunduk. Mendapati kejantanannya masih menegang. Gak ada cara lain. Ia harus segera ke toilet. Sekarang.

Sementara itu, Deva yang saat ini memilih untuk menunggu Arga di depan pintu ruangan lantas melirik jam tangannya. Ia heran karena atasannya tidak kunjung datang. Mau memeriksa pun ia sudah pikir panjang, entar malah kena omel lagi gara-gara parfum.

Beruntung gak lama berselang, sosok yang Deva nanti akhirnya keluar dari ruang kerjanya. Arga datang dengan memakai masker yang ia berikan tadi. Deva lalu mempersilakan sang CEO untuk berjalan lebih dulu menuju lift, sedang dirinya lantas mengekori.

Ketika mereka telah berada di dalam lift, Arga lantas menyadari bahwa Deva telah mengenakan dasi berbeda. Di balik maskernya ia tersenyum geli lalu bersuara.

“Dasi baru?”

Deva yang tidak mendengar jelas ucapan sang atasan menautkan kedua alisnya, “Maaf, Pak? Tadi Pak Arga bilang apa?” Tanyanya.

“Budek ya kamu?” Arga berdecak.

“Punya bawahan kenapa ada aja sih gangguan kesehatannya. Ada yang minus, ada yang budek…” keluh Arga. “Ke THT sana. Kamu punya BPJS kan? Dipake dong.”

Ni orang bisa gak sih satu jam aja gak ngomel? Batin Deva pasrah lalu menarik napas dalam-dalam.

“Saya gak budek kok, Pak. Cuman Pak Arga kan lagi pake masker, jadi saya dengernya kurang jelas.”

Menghela napas, Arga kemudian mencondongkan badan ke arah Deva. Tapi melihat bawahannya itu refleks melangkah mundur hingga menubruk dinding lift, ia seketika kaget. Terlebih ketika ia menyadari napas Deva tersengal; nampak bahwa Deva ketakutan.

“Pak Arga mau ngapain?”

Arga membuka maskernya. “Saya mau ngomong di samping telinga kamu,” ia berdecak, “Budek sih.”

Saat sang CEO kembali memakai masker lalu menggeser langkah guna menjauhinya, Deva lantas menghela napas pelan. Entah. Ia tiba-tiba panas dingin kala Arga mendekat tadi. Mungkin ini efek traumanya setelah dilecehkan, pikir Deva. Anehnya, Deva justru tidak merasa takut. Tapi sensasi seolah perutnya ditarik kuat oleh magnet untuk menempeli Arga lantas membuat Deva ketakutan. Alhasil, ia memaksakan tubuhnya agar bergegas menghindari Arga.

Apa jangan-jangan kantor ini berhantu? Batin Deva gelisah.

Tapi di tengah kegelisahannya, Deva nyaris dibuat pingsan saat Arga tiba-tiba saja berteriak.

“Tadi saya tuh nanya! Kamu pake dasi baru?!” Arga bertanya sambil meninggikan suara, sama sekali tidak terdengar kalau ia marah. Tapi ia justru berteriak seolah sedang hilang di tengah labirin dan berusaha mencari bantuan.

Mengusap kupingnya sejenak, Deva lalu mengangguk pelan.

“Iya, Pak. Saya beli dasi di market place semalem, pake uang yang Pak Arga kasih.” jawabnya sambil berusaha untuk tetap tenang.

“Cepet juga nyampenya! Kamu pake pengiriman instant ya?!”

Lagi.

Arga kembali berbicara sambil berteriak di balik maskernya. Dia bener-bener kayak lagi berusaha ngomong sama orang yang budek.

Jangan tanya Deva bagaimana. Ia sudah nyaris ikut berteriak kesal karena gendang telinganya sakit mendengar suara tinggi Arga.

“Pak Arga,” Deva mendesis pelan, “Kalau Pak Arga teriak-teriak gini mulu, entar suara Bapak keburu hilang pas ketemu client nanti.”

“Saya denger kok, Pak. Cuman yang pertama tadi emang rada gak jelas di telinga saya,” timpal Deva, “Saya minta maaf ya, Pak.”

“Kamu sih, segala pake alasan gak denger karena saya pakai masker. Kalau budek ya budek aja,” ketus Arga lalu menatap ke atas pintu lift. Ia heran, sebab sedari tadi mereka belum sampai juga. Padahal kantor Mamanya hanya berada satu lantai di atas kantornya. Tapi yang kemudian terjadi, Arga dibuat kaget saat melihat bahwa angka lift turun sangat jauh ke lantai bawah.

“Loh? Kok kita malah turun?”

Deva ikut mendongak, matanya terbelalak. Pasalnya, ia sangat yakin bahwa tadi ia memencet lantai enam puluh tiga. Lift pun gak menunjukkan tanda-tanda akan turun sebelumnya. Tapi kenapa sekarang mereka justru sudah ada di lantai lima puluh?

“Pak Arga…”

“Ditanya malah manggil saya,” protes Arga. Tapi ia kemudian heran saat Deva mendekatinya.

“Kamu mau ngapain?” tanyanya.

Deva bergidik, “Pak, kayaknya di kantor Pak Arga ada hantu deh.”

“Minggu lalu kita ketemu orang gila, terus sekarang liftnya malah turun. Padahal Pak Arga liat kan tadi saya mencet angka lantainya udah bener, liftnya mau ke atas.”

“Omong kosong. Ini error doang. Udah biasa,” kata Arga, “Cepetan kamu pencet lagi gih. Mama saya udah nungguin kita dari tadi tau.”

“Baik, Pak.”

Deva melakukan perintah Arga. Tapi pikirannya masih tertuju ke berbagai macam keanehan yang dirasakannya. Terlebih saat Deva berada di samping sang atasan.

Terlalu sibuk dengan pikirannya nyaris membuat Deva gak sadar kalau ia dan Arga telah sampai di lantai enam puluh tiga, dimana kantor Bu Ririn berada. Ia lalu mempersilakan Arga keluar lebih dulu sekaligus membiarkan sang atasan menuntunnya menyusuri kantor sang Mama. Meski sudah satu Minggu bekerja di Hardiyata Group, baru kali ini Deva akan bertemu pemilik saham terbesar sekaligus generasi kedua dari founder perusahaan besar itu.

Jujur saja Deva gugup. Ia takut jika nasib sial kembali melanda dirinya saat bertemu orang paling penting di kantornya itu.

Amit-amit, jangan sampai.

“Mama udah nunggu dari tadi.”

Deva menelan ludah ketika ia dan Arga akhirnya sampai di private lounge yang tidak jauh dari ruang kerja Bu Ririn. Wanita paruh baya itu pun telah duduk di salah satu meja, namun ia tak sendiri. Ada seorang wanita lain yang tak asing di mata Deva. Ia pun mengingat bahwa wanita itu adalah sosok yang kerap menjadi temen ngobrol Eren di Twitter.

“Tadi lift-nya error,” jelas Arga lalu membuka masker sebelum duduk di hadapan Mamanya, “Jadi aku ke lantai bawah dulu.”

“Kok kamu pakai masker, Ga? Lagi flu?” Bu Ririn pun khawatir.

“Enggak. Tadi ada bau gak enak aja di ruang kerja aku,” Tatapan Arga kemudian bergeser ke arah perempuan di samping sang Mama, “Ngapain dia di sini?”

“Kamu nanyanya kok gitu sih?” Mama berdecak, “Mama sekalian ngajak Luna sarapan bareng juga. Soalnya kemarin Luna tuh udah banyak bantuin Mama di kantor.”

Arga hanya menghela napas lalu melirik Deva yang justru masih berdiri di sampingnya. “Duduk.”

“Baik, Pak. Terima kasih.”

Sadar jika sang Mama sedang sibuk memerhatikan Deva, Arga kembali bersuara. “Ma, kenalin. Ini Deva, sekertaris baru aku.”

“Lagi?” Sindir Mama lalu melirik Deva sambil mengulas senyum tipis, “Selamat datang ya, Deva. Semoga kamu betah sama Arga.”

“Terima kasih, Bu.”

“Oh iya. Kenalin ini Luna,” Wanita paruh baya itu menepuk pelan pundak perempuan yang duduk di sebelahnya, “Dia ini mantan sekertaris Arga, sekarang Luna udah jadi Financial Manager.”

Deva tersenyum ke arah Luna, “Salam kenal, Bu. Saya Deva.”

“Gak usah manggil Ibu,” Luna terkekeh, “Panggil Mba aja. Kamu temennya Eren kan?” Tanyanya.

“Iya, Mba. Saya temennya Eren.”

“Jadi kita mau sarapan di sini apa basa-basi?” celetuk Arga dingin.

Bu Ririn geleng-geleng kepala, “Kamu yang telat tapi kamu juga yang gak sabaran. Bentar lagi juga pelayan yang tadi udah dateng ke sini bakal balik lagi.”

“Mama minta dibikinin apa?”

“American breakfast, Ga.”

“Kenapa gak minta dibikinin nasi uduk aja sih? Atau nasi goreng kek. Lebih ngenyangin daripada telor ceplok sama sosis doang.”

Mendengar bagaimana Arga bahkan melayangkan protes ke Mamanya sendiri membuat Deva merasa atasannya itu emang gak bisa diem. Mamanya aja diprotes apalagi orang lain? Batin Deva.

Sementara itu, Arga yang duduk bersebelahan dengan Deva pun kembali menghirup wangi segar dari parfum Deva. Beruntung kali ini pusat ereksinya tidak bangkit lagi, tapi justru timbul keinginan agar ia menghirup wangi itu langsung di tubuh Deva; ia amat menyukainya. Udah gila lu, Arga.

Menoleh, mata Arga kemudian memicing saat melihat keringat membanjiri pelipis Deva. Alhasil, ia pun merogoh saku celananya. Mengeluarkan sapu tangan yang selalu ia bawa lalu menyodorkan kain itu di depan perut Deva.

Deva yang bingung melihat Arga menyodorkan sapu tangan pun bertanya, “Ada apa ya, Pak?”

“Tuh, keringat di pelipis kamu.”

“Eh? Deva panas ya?” Bu Ririn heran, “Tapi ini suhu AC-nya udah sembilan belas loh. Apa mau diturunin lagi aja suhunya?”

Deva lantas mengibaskan tangan sopan, “Gak perlu, Bu. Saya gak apa-apa. Saya emang sering gini.”

Ya. Terpaksa Deva harus bohong. Sebab ia sendiri pun tidak paham kenapa tubuhnya tiba-tiba panas sedari tadi. Terlebih saat lengan Arga dan lengannya tidak sengaja bersentuhan; bersamaan dengan sensasi aneh dimana ia merasa ingin Arga terus menyentuhnya.

Deva, Arga emang nyebelin tapi jangan gila sekarang ya? Batin Deva sembari berusaha untuk mengembalikan akal sehatnya.

Tak lama berselang, pelayan pun datang. Membawa menu sarapan seperti yang Bu Ririn inginkan serta kopi sebagai minumannya. Namun baru saja sang pelayan hendak meletakkan kopi tepat di hadapan Deva, Arga menyeletuk.

“Mas, kopi yang itu diganti.”

Deva menoleh, menatap Arga heran—Pak Arga kenapa lagi sih?

“Tolong bawain susu full cream tapi yang plain,” Arga menimpali.

“Baik, Pak.” kata si pelayan.

Bu Ririn heran. “Kok kamu ganti kopinya Deva pake susu sih, Ga?”

“Dia gak biasa minum kopi, Ma. Entar kalau dia asam lambung, aku juga yang susah. Kerjaan dia buat hari ini banyak,” jawab Arga.

“Tapi kamu gak nanya dulu ke Deva dia suka susu apa gak,” kata Bu Ririn lalu menatap bawahan anaknya kasihan, “Deva suka?”

“Suka. Dia tiap hari minum susu gitu. Udah deh, jangan dibikin ribet.” sergah Arga, sedang Deva hanya mampu tersenyum pasrah.

Tapi jauh di lubuk hatinya, Deva benar-benar berterima kasih ke Arga. Sebab jika bukan sang CEO yang meminta untuk mengganti kopinya dengan susu, mau gak mau dia harus meminum cairan hitam pekat yang bisa membuat Deva seketika insomnia itu. Ia tidak mungkin berani meminta untuk mengganti minum sendiri, apalagi di hadapan Bu Ririn.

“Halo, Pak.”

Arga keluar dari lift bersamaan dengan Eren yang baru saja menjawab panggilan teleponnya. Ia kemudian menghentikan langkah kakinya lalu bersuara.

“Ren, tolong bawain hard copy proposal program pertukaran karyawan ke ruangan saya ya.”

“Sekarang, Pak?” balas Eren.

“Enggak. Tahun depan,” Arga berdecak, “Ya sekarang lah.”

“Tapi kemarin… Pak Arga minta saya bawa proposal siang nanti.”

“Terus kenapa kalau saya minta dibawain sekarang? Salah?” Sela Arga, “Kamu mau mecat saya?”

Dapat Arga dengar kekehan Eren di seberang sana. “Gak kok, Pak. Kalau gitu saya ke ruangan Pak Arga sekarang. Itu aja kan, Pak?”

“Iya, itu aja. Cepetan. Abis ini saya ada meeting,” ujar Arga sebelum memutus sambungan telepon dengan sang bawahan.

“Alpha kejam.”

Baru saja Arga hendak berjalan menuju ruang kerjanya, suara seorang pria justru mencuri atensinya. Ia kemudian berbalik, sedikit kaget saat sosok pria—yang ia yakini—berbicara tadi nyatanya berdiri di belakangnya.

Alis Arga pun refleks berkerut heran ketika ia memerhatikan pakaian laki-laki itu dari atas ke bawah. Kacamata hitam, kemeja pantai lengan pendek, celana boxer juga sendal jepit. Pria itu tidak nampak seperti pekerja melainkan wisatawan yang baru saja kembali dari pantai. Aneh.

“Anda siapa?” tanya Arga.

Membuka kacamata hitamnya, sosok yang kini berdiri tepat di hadapan Arga lantas tersenyum. Arga yang melihatnya bergidik, sebab tarikan bibir pria aneh itu terkesan misterius dan… Seram. Ia hanya pernah melihat senyum semacam itu di film-film thriller.

“Kegagalan kamu dalam urusan percintaan bukan tanpa alasan.”

Mata Arga menyipit. Pasalnya, bukannya menjawab pertanyaan yang tadi ia layangkan, pria itu justru kembali bertutur rancu; seperti yang ia dengar beberapa menit lalu. Orang gila apa ya? Batin Arga lalu menelan ludah.

“Tapi karena takdir kamu sudah terikat dengan seorang Omega.”

Arga mendengus, “Terus takdir kamu terikat dengan Gamma? ”

“Ck!” Pria itu memasukkan kedua tangannya di saku celana boxer yang ia pakai, “Susah ngomong sama orang kayak kamu, Alpha.”

“Nama saya Arga, bukan Alpha. Anda salah orang,” tutur Arga, “Tolong pergi dari kantor saya.”

Senyum kembali terukir di bibir sosok pria yang masih menatap wajah Arga lekat-lekat, “Sekuat apapun kamu mencoba untuk mencari pasangan, usaha kamu akan berakhir gagal. Kecuali—”

“Anda nyumpahin saya?” Arga menyela dengan tampang kesal.

Pria di hadapannya pun hanya geleng-geleng kepala sebelum berkata, “Dulu, Alpha memotong leher orang lain. Sekarang, Alpha memotong ucapan orang lain.”

“Alpha, Alpha,” Arga mengomel, “Udah stress ya anda? Pergi atau saya panggil satpam sekarang!”

“Kamu hanya akan bisa menikah dengan Omega, Alpha. Kamu gak akan pernah berhasil memiliki pasangan kecuali kamu menikah dengan Omega kamu sendiri…”

“Omega yang sudah ditakdirkan untuk menjadi pasangan sehidup dan semati kamu,” ia menimpali sebelum melenggang pergi dari hadapan Arga yang kini melongo.

“Dasar orang gila.”

“Saya, Pak?”

“Astaga!”

Arga tersentak saat suara lain kembali menyentuh gendang telinganya. Tapi untuk yang satu ini sudah tidak asing lagi. Ia tau kalau sosok yang menyeletuk itu adalah Eren. Berbalik, Arga pun menghela napas saat mendapati Eren berdiri di depan lift sambil cengar-cengir. Setelahnya sang bawahan pun menghampirinya.

“Pak Arga kok berdiri di sini?”

“Tadi saya ketemu sama orang gila,” Arga mengangkat pundak, ia bergidik. “Kayaknya dia stress gara-gara gak lulus CPNS jadi guru Fisika. Masa saya dipanggil Alpha terus katanya saya cuma bisa nikah sama Omega? Sinting.”

Eren mengulum bibirnya. Sebisa mungkin Eren menahan tawanya agar tidak terbebas. Tapi Arga yang menyadari itu mendelik.

“Kenapa? Kamu mau ngetawain saya?” Arga berang, “Mana sini proposalnya. Saya udah telat.”

“Ini, Pak.”

Setelah meraih berkas proposal yang disodorkan Eren, sang CEO lantas melanjutkan langkah ke ruang kerjanya. Suasana hatinya mendadak buruk karena ucapan orang gila tadi. Apalagi memang benar kalau kehidupan asmara Arga gak pernah berjalan mulus.

Masa lu tersinggung gara-gara omongan orang gila sih, Ga?

Arga menarik napasnya dalam-dalam sebelum duduk di kursi. Tangannya pun bergerak pelan, menyentuh kotak bekal yang ada di mejanya. Ini pasti nasi kuning yang Deva bilang, batin Arga. Ia kemudian bersandar pada badan kursi sambil memejamkan mata. Sampai ketika Arga mendengar derap langkah mendekat, ia pun membuka mata; dan hal pertama yang Arga dapati adalah Deva. Sekertarisnya itu datang dengan membawa kopi di tangan kanan, sedang tangan kirinya membawa kantongan. Namun melihat noda yang amat besar di kemeja putih Deva—di bagian perut—membuat Arga memicingkan mata heran.

“Kamu abis merayap di mana?” Arga menunjuk baju Deva, “Dekil banget baju kamu. Niat kerja gak sih? Ini hari pertama kamu loh.”

Deva tau dia bakal diomelin lagi. Dia pun udah siap untuk itu. Tapi setelah kesialan yang ia alami di cafetaria tadi, Deva benar-benar ingin berteriak saja saat ini. Dada Deva sudah sesak, ia lantas ingin menyerah saja rasanya. Tapi saat mengingat kembali tujuan awal mengapa ia bekerja di Hardiyata Group, Deva pun mencoba untuk mengontrol emosinya lagi. Sabar.

“Malah diem. Sakit gigi kamu?”

Deva berdeham pelan, “Gak kok, Pak. Sebelumnya saya mau minta maaf karena masuk ke ruangan Pak Arga dengan baju dekil gini.”

“Di Cafetaria tadi saya ditabrak sama orang, Pak. Saya udah mikir mau ke store buat beli baju, tapi saya bawain kopi Bapak dulu biar gak dingin. Kalau Pak Arga—”

“Udah, udah,” Arga mengibaskan tangannya, “Ini udah jam berapa. Entar saya malah telat meeting.”

Sang CEO lalu menunjuk kursi di hadapannya dengan dagu, “Kamu duduk di situ. Coba makan nasi kuning yang kamu bawa duluan.”

“Baik, Pak.”

Deva mengikuti perintah Arga. Ia duduk di hadapan atasannya itu sambil mengulas senyum. Deva kemudian meminta izin ke Arga.

“Saya izin buka kotak bekalnya ya, Pak.” katanya yang dibalas dengan anggukan oleh Arga.

Deva pun mulai menyendok nasi kuning buatan Ibunya. Meski di rumah tadi ia sudah memakan satu piring, namun jika Ibu yang memasak, Deva gak akan pernah merasa kenyang. Arga bakal rugi kalau gak nyoba masakan Ibunya, pikir Deva sambil mengunyah.

“Ibu saya bikin nasi kuning ini supaya saya sama Abang saya gak sarapan sembarangan di luar,” Deva bercerita setelah ia menelan nasi kuning yang tadi dikunyahnya, “Padahal Ibu saya musti ke sekolah jam tujuh pagi. Tapi karena Ibu gak mau anaknya salah makan, Ibu sampai bangun subuh buat bikin nasi kuning ini.”

“Jadi Pak Arga gak perlu khawatir bakal sakit perut,” ia menimpali.

Entah kenapa perasaan aneh itu timbul kembali. Deva lega setelah ia berceloteh ke sang atasan. Ia pun sudah siap jika setelah ini ia harus menerima protes Arga lagi.

“Ibu kamu guru?”

Deva lantas kaget akan respon Arga yang di luar ekspektasinya.

“Iya, Pak. Guru SMA.”

Deva kemudian menatap kotak bekal di hadapannya sejenak sebelum kembali memandangi Arga, “Bapak gak mau nyobain?”

“Coba kamu makan sesendok lagi,” titah Arga yang kembali diindahkan oleh sang bawahan.

Melihat Deva begitu menikmati nasi kuning itu membuat Arga refleks menelan ludah. Terlebih ketika Deva melahap perkedel kentang beserta sambelnya.

“Kamu laper apa doyan sih?”

Deva terbatuk saat mendengar pertanyaan Arga, sedang sang CEO lantas meraih satu botol air mineral yang ada di atas meja. Sudah pasti Deva yang membawa air mineral itu, pikirnya. Arga kemudian membuka tutup botol yang kini ia genggam sebelum menyodorkannya kepada Deva.

“Minum.”

“Gak apa-apa, Pak. Buat Pak Arga aja,” ucap Deva sambil menepuk dadanya, “Saya juga ada minum sendiri kok, Pak.” Ia menimpali.

“Ya udah,” gumam Arga sebelum mengambil kembali air mineral tadi lalu menenggaknya sambil memerhatikan Deva. Sekertaris barunya itu sedikit membungkuk guna meraih kantongan yang ia letakkan di bawah meja Arga.

Persekian sekon berikutnya, Arga kemudian dibuat menahan tawa. Pasalnya, Deva justru menenggak susu kotak full cream yang ia ketahui adalah varian plain.

“Kamu umur berapa sih, Deva?”

“Dua puluh enam tahun, Pak.” Jawab Deva setelah meminum susu kesukaannya, “Jadi gimana, Pak? Bapak mau makan nasi—”

Ucapan Deva bahkan belum selesai, tapi Arga sudah lebih dulu meraih kotak bekalnya. Deva yang paham akan hal itu pun seketika tersenyum lega.

“Kalau gitu saya ke dapur dulu ya, Pak. Saya ambilin sendok lain buat Pak Arga,” pamit Deva yang dibalas anggukan oleh atasannya.

Pandangan Arga pun gak pernah lepas dari figur Deva hingga sang bawahan hilang dari tangkapan matanya. Entah kenapa ia selalu merasa bahwa mereka pernah bertemu sebelumnya. Tapi jika Arga ingat lagi, benar kata Deva tempo hari; mereka gak pernah bertemu. Namun sesuatu di balik dadanya justru selalu memberi respon aneh ketika Deva berada di sekitarnya. Arga merasa jika Deva seperti orang yang tidak asing. Orang yang telah lama gak pernah ia jumpai hingga timbul rasa haru kala mereka bertemu.

Deva, sebenarnya kamu siapa?

Deva lantas menganga saat Eren menuntunnya memasuki gedung Hardiyata Group. Sebelumnya, Deva hanya bisa melihat betapa megahnya salah satu gedung pencakar langit di Ibukota itu ketika lewat di jalan raya menuju kantor lamanya. Tapi kini, Deva akhirnya bisa berdiri di tempat yang menjadi tujuan utama para pencari kerja. Termasuk dirinya.

Eren termasuk orang yang hebat dan beruntung menurut Deva. Dari sekian banyaknya pesaing, sahabatnya itu menjadi satu dari sekian karyawan—bahkan bisa dihitung jari—yang diterima pada saat Hardiyata Group sedang gembar-gembor membuka rekrutmen tiga tahun lalu.

Rejeki emang gak bakal tertukar.

“Kantor Pak Arga ada di sini,” ucap Eren sesaat setelah pintu lift di lantai enam puluh dua terbuka, “Kalau lantai yang di atas kantor Mamanya, Bu Ririn.”

Deva mengangguk mendengar penjelasan singkat Eren padanya. Ia kemudian kembali mengikuti langkah kaki sahabatnya hingga mereka sampai di depan sebuah pintu; yang ia yakini adalah pintu ruangan Arga. Deva pun menelan ludah ketika Eren mengetuknya pelan sejenak lalu membukanya.

“Siang, Pak Arga.”

Eren menyapa Arga yang sedang berdiri sambil melipat lengan di samping jendela. Nampak kalau lelaki bertubuh jangkung itu asik menatap hiruk-pikuk Ibukota.

Atau mungkin lagi ngelamun aja?

Hanya Arga yang tau, pikir Deva.

Ketika sosok bernama Arga itu berbalik, tatapannya seketika bertemu dengan Deva yang berdiri di samping Eren. Meski ada rasa gugup juga canggung, tapi Deva—sebisa mungkin—gak mau nunjukin itu. Ia tetap setia menatap Arga dengan mengulas senyum ramahnya. Beruntung Arga membalasnya; meski amat singkat dan terkesan ogah-ogahan. Entah, mungkin cuma pikirannya aja. Batin Deva.

Tapi ada hal lain—pula—yang justru membuat Deva ingin berlama-lama memandangi wajah Arga. Ya. Kalau dilihat secara kasat mata, Arga emang ganteng. Rahang tegas, hidung bangir, bibir penuh dan sorot mata teduhnya nyaris sempurna. Tapi bukan karena wajah yang rupawan itu lah yang membuat Deva lantas terpaku. Namun ia merasakan sensasi aneh timbul di balik dadanya ketika netranya dan Arga bertubrukan tadi.

Sensasi seolah dirinya baru saja bertemu dengan seseorang yang telah lama berpisah dengannya. Ada rasa senang, tapi juga gugup.

Aneh.

“Ini Deva, Pak. Sahabat saya yang saya ceritain ke Bapak kemarin.”

Arga mengangguk lalu duduk di kursi kerjanya. “Silakan duduk.”

“Terima kasih, Pak.” ucap Deva.

Deva kemudian duduk pada salah satu kursi, tepat di hadapan Arga. Pun Eren yang setia berada di sampingnya.

“Kamu mau jadi sekertaris juga?”

Mata Deva berkedip bingung kala Arga bersuara. Tapi melihat jika sosok di hadapannya itu sedang memandangi Eren, Deva lantas paham kalau yang Arga maksud barusan adalah sahabatnya.

“Saya, Pak?” tanya Eren sambil menunjuk wajahnya sendiri.

“Iya. Kamu.”

Eren cengar-cengir. “Gak kok, Pak. Saya cuma nemenin Deva.”

“Terus kamu ngapain ikutan duduk di situ?” Sela Arga. “Mau saya interview bareng Deva?”

“Gak, Pak.”

Eren tersenyum kikuk sebelum berdiri di samping meja Arga.

“Sekarang kamu mau ngapain lagi di situ?” Protes Arga—lagi.

“Berdiri, Pak. Kan saya gak mau di-interview bareng Deva,” kata Eren lalu kembali tersenyum.

Deva yang melihat bagaimana tingkah sang CEO dengan Eren lantas mulai menangkap watak Arga. Bawel sih emang, pikirnya. Tapi Deva justru menganggap hal itu lucu. Belum ada tanda-tanda kalau ucapan Arga pedas kayak yang udah Eren bilang kemarin.

“Di kepala kamu ada apa?”

Eren lalu mengusap rambutnya, “Eh? Ada sesuatu di kepala saya ya, Pak?” Tanyanya lalu melirik Deva dan berbisik, “Ada apaan?”

Deva menggeleng, “Gak ada.”

Eren lalu kembali menatap sang atasan. “Kata Deva gak ada apa-apa kok di kepala saya, Pak.”

“Pantes kamu tolol. Ternyata di kepala kamu gak ada otak,” kata Arga lalu menghela napasnya, “Sana. Kamu duduk di sofa. Masa gitu aja musti dikasih tau dulu?”

“Ooh,” Eren menggaruk-garuk tengkuknya. “Baik, Pak. Maaf.”

Deva menahan napas saat Arga beralih menatapnya. Ia yang tadi kaget mendengar Eren disebut tolol lantas bungkam. Sekarang dia paham kenapa Eren bilang kalau mulut Arga kayak cabe.

“Siang, Deva.”

“Siang, Pak. Bapak apa kabar?”

Mata Arga memicing, “Kamu sok kenal juga ya. Emang kalau kabar saya gak baik, kamu mau anterin saya berobat ke rumah sakit?”

Deva bisa mendengar bagaimana Eren yang duduk di sofa dalam ruangan Arga tengah menahan tawa. Padahal Deva cuma pengen nunjukin antusiasmenya buat di-interview sama Arga, tapi malah kena semprot duluan. Apes lagi.

Tenang, Deva.

Tenang.

Deva berusaha menyemangati dirinya sendiri dalam hati. Senyum di bibirnya pun masih terpatri. Ia tidak ingin menyerah.

“Saya bisa kok bawa Pak Arga ke rumah sakit kalau lagi gak enak badan,” balas Deva, “Tapi biaya ditanggung sendiri ya, Pak. Kan tadi Bapak nanya saya mau antar Bapak berobat ke RS apa gak.”

“Gak usah. Kabar saya baik,” kata Arga, “Kamu sendiri apa kabar?”

Deva senyum, “Kabar baik, Pak.”

Mengangguk pelan, Arga lalu meraih rubik kubus yang ada di atas mejanya. Deva pun lantas heran melihat Arga mengubah susunan warna rubik yang semula telah seragam itu jadi berantakan. Rasa heran Deva kemudian berganti menjadi rasa terkejut kala Arga menyodorkan rubik itu padanya sambil berkata.

“Coba kamu samain lagi warna rubik itu kayak tadi,” titah Arga, “Saya kasih waktu lima menit.”

Deva menelan ludah. Kenapa dia jadi disuruh nyusun rubik? Batin Deva resah. Meski begitu, Deva tetap menurut. Dengan sigap ia mengutak-atik rubik yang telah digenggamnya, mencari warna yang sama dengan tergesa-gesa.

“Kamu kenapa resign dari kantor lama kamu?” tanya Arga kepada Deva yang masih berusaha keras menyusun rubik warna warni itu.

“Saya merasa kalau kemampuan yang saya dapat di kantor lama sudah cukup, Pak. Jadi saya mau explore lebih jauh lagi skill yang bisa saya kembangkan di tempat baru. Khususnya di perusahaan Bapak ini,” jawab Deva tanpa menghentikan gerak jarinya.

Template,” sela Arga, “Jawab apa adanya aja. Saya di sini mau tau alasan kamu, bukan mau denger kamu promosiin diri sendiri.”

Arga lalu menatap jam tangan di pergelangannya, “Empat menit.”

Anjing.

Deva mengumpat dalam hati. Baru kali ini ia melakukan sesi interview yang amat tidak biasa. Bukan hanya karena ia diminta menyusun rubik sambil ditanya, tapi juga respon Arga yang selalu saja di luar ekspektasinya. Entah Arga cuma nge-tes dia atau CEO Hardiyata group itu emang beda.

“Jawaban saya sebelumnya sama sekali bukan template, Pak. Itu memang salah satu alasan saya.”

“Tapi kalau Pak Arga ingin tau alasan saya yang lain, jujur saja, kemarin atasan saya mecat saya sepihak. Jauh sebelumnya saya sudah mengajukan resign, tapi gak di-approve waktu itu sama atasan saya. Beruntung tim HRD kantor lama saya memihak saya dan ngeluarin surat resign tadi.”

“Kalau tim HR memihak kamu seharusnya kamu bertahan dulu di posisi kamu dong?” Sela Arga, “Apalagi belum tentu juga saya nerima kamu di sini nanti kan?”

Deva menghela napasnya setelah ia selesai menyusun rubik dalam waktu kurang dari lima menit. Ia lalu menatap mata Arga, sang CEO jelas menanti jawabannya.

“Saya gak akan bisa dan gak akan sanggup untuk kembali ke posisi lama saya di sana, Pak.” ujarnya.

“Alasannya?” Tanya Arga.

“Saya dilecehkan,” jawab Deva.

“Sama atasan kamu?”

Deva mengangguk, “Iya, Pak.”

“Terus kenapa gak dilaporin?”

Deva tersenyum. “Kalau pun saya laporin, belum tentu juga orang lain percaya sama saya. Bahkan kalau mereka tau kebenarannya pun, belum tentu juga mereka akan memihak sama saya lagi.”

“Atasan saya udah berkontribusi banyak untuk perusahaan, lalu saya? Saya kerja di sana baru tiga bulan. Jomplang, Pak. Jadi saya memilih buat pergi saja seperti tujuan awal saya yang ingin nyari tempat baru buat berkembang.”

“Apa yang saya alami mungkin emang udah nasib apes saya.”

Pasrah; satu kata yang terbesit di dalam benak Deva saat ini. Ia tau apa yang baru saja diutarakannya pada Arga mungkin akan menjadi nilai minus baginya. Tapi Deva—entah kenapa—tiba-tiba merasa lega ketika meluapkan semuanya kepada Arga. Ia pun tidak bisa mengontrol diri untuk berhenti.

Meraih rubik yang disodorkan Deva tadi, Arga lalu menarik napasnya dalam-dalam sejenak. Ia kemudian kembali menatap wajah Deva lamat setelahnya.

“Saya gak bisa nerima kamu kerja di kantor saya hari ini,” kata Arga.

Deva kaget. Ia pikir keputusan tentang diterima atau tidaknya ia akan disampaikan melalui Eren. Tapi Arga ternyata mengatakan hal itu langsung di hadapannya.

“Soalnya abis ini saya juga udah mau balik. Gak ada kerjaan buat kamu,” sambung Arga yang bikin Deva menahan senyumnya. “Jadi kamu mulai kerjanya Senin aja.”

Arga menjulurkan tangannya, mengajak Deva bersalaman. Deva pun meraihnya, menjabat tangan sang atasan beberapa sekon.

“Selamat bergabung di sini.”

“Makasih banyak, Pak Arga.”

Ada rasa tidak percaya di benak Deva kalau ia akan diterima oleh sang CEO dengan se-mudah ini. Ia pun masih penasaran apa Arga memang melihat potensi dalam dirinya atau justru ia diterima hanya karena bisa menyelesaikan susunan rubik tadi lebih awal.

Ketika tautan tangan keduanya terlepas, Eren pun menghampiri. Deva lalu melirik sang sahabat sambil tersenyum sumringah.

“Kalian nunggu apa lagi?” Arga bersuara, “Sana, pulang. Apa mau beresin ruang kerja saya dulu?”

Eren menggeleng. “Gak, Pak.”

“Ya udah. Keluar.”

“Terima kasih banyak waktunya untuk hari ini, Pak. Saya permisi,” tutur Deva lalu bangkit dari kursi setelah Arga mengangguk kecil.

Deva kemudian melangkah pelan di belakang Eren yang berjalan lebih dulu. Tapi belum sempat Deva melewati sekat—yang ia yakini—adalah pemisah antara ruang kerjanya dengan Arga nanti, sang CEO lantas bersuara.

“Deva!”

Deva menoleh. “Iya, Pak?”

“Kamu sama saya udah pernah ketemu sebelum hari ini gak?”

“Seingat saya enggak, Pak.”

Arga mengangguk, masih sambil menatap Deva. “Berarti emang muka kamu aja yang pasaran.”

Deva, sabar.

“Aku gak bisa ngelanjutin hubungan ini sama kamu.”

Jantung dibalik dada bidang Deva seakan berhenti berdetak untuk sesaat, tepat setelah kalimat itu tiba-tiba diutarakan oleh wanita yang kini duduk di hadapannya. Pasalnya, gak ada angin atau pun hujan yang menerpa. Sebelum bertemu di restoran tadi pun ia mengatur janji secara baik-baik dengan sosok yang gak lain adalah pacarnya sendiri untuk makan siang bersama pada jam istirahat. Alhasil, apa yang baru saja Deva dengar lantas ditolak mentah-mentah oleh nalarnya.

“Kamu jangan bercanda ah,” Deva memaksakan tawa, “Anniversary kita udah lewat bulan lalu, Yang.”

“Aku serius, Deva.”

Kedua tungkai Deva yang berada di bawah meja seketika lemas. Ia masih enggan percaya atas apa yang didengarnya. Gak mungkin mereka pisah tanpa ada masalah.

“Kamu lagi PMS ya, Sayang?” Deva meraih jemari pacarnya, “Bentar ya. Aku panggil pelayan dulu. Biar aku pesenin es krim—”

“Aku bakal dijodohin sama orang tua aku,” potong wanita cantik itu sebelum Deva selesai dengan ucapannya, “Maafin aku, Dev.”

“Sayang, aku juga bakal nikahin kamu. Aku udah pernah bilang kan kalau aku mau serius sama kamu?” jelas Deva, “Aku masih ngumpulin uang sambil nunggu Abang aku nikah duluan bulan depan. Kamu tau itu kan, Yang?”

“Aku ngerti, Dev. Tapi Mama Papa aku enggak,” kata wanita di hadapan Deva lalu menunduk, “Aku udah dikejar umur. Belum lagi soal Papa aku yang masih berpegang teguh sama tradisi uang panaik. Aku udah pernah cerita kan dulu? Kamu inget?”

Ya, Deva sangat ingat akan hal itu. Sepanjang yang Deva tau, uang panaik adalah salah satu bagian dalam tradisi pernikahan suku Bugis Makassar dimana calon mempelai pria memberi sejumlah uang kepada calon mempelai wanita saat lamaran. Bedanya dengan mahar, panaik justru diminta oleh pihak calon mempelai wanita sebagai bentuk penghargaan. Tidak ada patokan pasti atau pun tuntutan tentang jumlah uang panaik. Tapi zaman telah semakin maju, gengsi yang ada dalam masyarakat pun makin tinggi. Alhasil, tidak jarang pihak keluarga dari mempelai wanita akan mematok panaik tinggi sesuai dengan status sosialnya bakan jenjang pendidikan hingga pekerjaan anak wanitanya; bisa bernilai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Nyeremin kata Deva.

“Emang berapa panaik yang kamu dapat kalau kamu nikah sama pilihan orang tua kamu?” tanya Deva dengan suara lirih.

“Lima ratus juta, Dev.”

Dan begitu lah kisah cinta Deva harus kandas di tengah jalan. Dia ditinggal nikah perkara enggak mampu memberi panaik seperti yang orang tua pacarnya mau. Mau kerja bagai kuda sampai tahun depan pun belum tentu juga dia bisa ngumpulin sebanyak itu. Apalagi kalau cuma dikasih waktu sampai bulan depan?

Deva hanya seorang sekertaris dari sosok kepala divisi salah satu perusahaan swasta Ibukota. Gajinya masih belum seberapa, beda dari calon suami pacarnya yang seorang pengusaha batu bara. Deva kalah. Kalah telak.

Deva pun kembali ke kantornya dengan hati yang dirundung pilu. Jujur saja ia merasa perlu untuk pulang secepatnya. Deva hanya ingin mengurung diri di kamar sambil mendengarkan lagu galau. Lagu ‘Tak Ingin Usai’ cocok bener nih, batin Deva. Tapi realita tidak se-mudah itu. Ia harus kembali bekerja supaya bisa tetap hidup.

“Deva makan siang di mana?”

Baru saja Deva duduk di kursi kerjanya, tapi sang atasan telah datang dan memberi pertanyaan. Mau gak mau Deva harus ngasih jawaban. Apalagi si pria paruh baya punya watak yang sensitif. Ngerasa dicuekin dikit, eh marah.

“Saya makan di Marugame, Pak.”

“Kok gak ngajak saya?”

Deva menghela napasnya, “Tadi saya juga cuma diajak sih sama mantan pacar saya. Maaf ya, Pak.”

“Pacar kamu gak marah kalau kamu makan sama mantan?”

“Itu yang makan sama saya tadi pacar saya kok, Pak. Tapi abis makan udah putus,” jujur Deva.

Persekian sekon berikutnya, Deva lantas tersentak ketika sang atasan tiba-tiba duduk di tepi mejanya. Encok tau rasa lu, batin Deva heran. Tapi Deva kemudian kembali dibuat kaget saat si pria paruh baya mengusap bahunya. Jelas Deva menghindar. Dia gak suka dipegang-pegang kayak gitu. Apalagi dengan raut wajah atasannya yang memelas.

“Berarti kamu udah single lagi ya, Dev?” pria paruh baya itu lalu mencolek dagu Deva, “Kamu mau gak kalau saya yang jadi pengganti mantan pacar kamu?”

Deva menelan ludah. Apaan lagi sih ini? Masa dia digoda aki-aki?

“Bapak udah punya istri,” Deva berusaha se-sopan mungkin meski amarahnya terpancing.

“Kamu juga laki-laki, Deva. Kamu pasti tau kalau satu wanita aja gak cukup kan?” balas atasannya.

“Tapi kalau pria, cukup satu kok. Kamu aja, Deva. Ya?” timpalnya lalu mencondongkan badannya.

Perasaan Deva makin gak enak. Alhasil, ia berdiri dari kursinya. Tapi sang atasan yang juga ikut berdiri justru menahan lengan Deva. Menariknya, hingga Deva dipeluk oleh si pria paruh baya. Ia merasa dilecehkan sekarang.

“Lepasin saya!” Pekik Deva.

“Deva, denger dulu. Kalau kamu mau jadi pacar saya, apapun yang kamu mau pasti bakal saya kasih.”

Bulu kuduk Deva merinding saat mendengar atasannya berbisik tepat di samping telinga kirinya. Dengan kekuatannya, Deva pun mendorong tubuh sang atasan sebelum beralih mencengkeram kerah kemeja pria paruh baya itu.

“Bapak jangan macam-macam ya sama saya,” Deva berang, “Bapak mau saya laporin ke istri Bapak kalau suaminya ini homo? Iya?”

“Berani ya kamu ngancam saya,” balas si pria paruh baya sembari berusaha menepis cengkeraman Deva, “Lepasin saya, Deva! Kamu saya pecat mulai detik ini. Pergi!”

Deva kemudian menghempaskan cengkeramannya. Ia menatap si paruh baya dengan mata yang berapi-api dan napas tersengal.

“Saya emang udah mau resign sebelum Bapak mecat saya,” katanya lalu mengambil tas di atas meja kerjanya, “Permisi.”

Ya. Dan begitu pula bagaimana Deva kehilangan pekerjaannya.

Dia pun pergi dari kantor dengan perasaan yang bercampur aduk. Deva marah, takut, sedih, dan heran kenapa semua ini harus ia alami. Apa yang telah terjadi dan menimpa Deva hari ini benar-benar bikin dia sakit kepala dan mau teriak kenceng aja selama di perjalanan pulang. Tapi Deva gak mungkin ngelakuin itu. Bisa-bisa dia diteriakin sebagai orang gila yang bawa kabur motor orang.

He’s really fucked up.

Dengan motor matic kesayangan pemberian Bapaknya saat masih kuliah dulu, Deva lantas memacu kecepatan tinggi. Meski ada satu pepatah yang bilang—mendung gak selamanya hujan, tapi Deva dan keyakinannya percaya kalau bentar lagi Jakarta akan diguyur hujan. Langit seolah tau kalau hatinya sedang sedu. Tapi please jangan hujan dulu, batin Deva.

Saat memasuki area kompleks rumahnya, Deva sudah sedikit lega. Kalau pun kehujanan, dia gak bakal basah-basah amat, pikirnya. Sebab hanya tinggal beberapa blok sebelum ia tiba di rumahnya. Deva sendiri masih berpikir akan bagaimana respon orang tua juga Abangnya nanti. Pasalnya, baru tiga bulan sejak ia bekerja di kantor tadi. Belum lagi ingatan Deva tentang pesan Ibu dan Bapaknya saat ia resign dari kantor terdahulu; agar ia mulai fokus pada satu tujuan dan gak gonta-ganti tempat kerja lagi. Apalagi umur Deva saat ini sudah matang, dua puluh enam tahun.

Tapi apa hendak dikata. Pasti ada aja alasan yang bikin Deva mau gak mau harus cabut dari kantor. Entah itu karena lingkungan, pun rekan kerja yang amat toxic. Dan sekarang, ia harus resign karena dilecehkan oleh atasannya.

Terlalu sibuk dengan pikirannya, Deva lantas gak melihat tukang bakso gerobak yang melintasi jalan. Ketika ia kemudian sadar dari lamunannya, semuanya sudah terlambat. Ia menyerobot gerobak bakso itu hingga jatuh di atas aspal, pun Deva yang lantas terbaring bersama motornya sambil menatap kosong ke arah si pemilik gerobak yang mulai mengomel atas kecerobohanya.

Tuhan, gue salah apa? Batin Deva lalu menunduk, menahan tangis.

Entah dosa atau karma apa yang diterimanya. Deva merasa kalau selama ia hidup di dunia, selalu saja ada kesialan yang menimpa dirinya. Entah itu hal-hal kecil seperti mati lampu ketika ia asik memakai sampo di bawah shower sebelum ke kantor, laptopnya tiba-tiba error pas mau sidang skripsi padahal sebelumnya gak apa-apa, sampai hal besar kayak sekarang. Deva merasa terlahir untuk menjadi anak yang sial.

Dan Deva gak tau sampai kapan kesialan itu akan mengikutinya.

Atau emang gak bakal ada akhir sampai ia menutup usia kelak?

Lagi. Deva gak tau dan gak akan pernah tau apa yang menantinya.

Sean yang telah menunggu Daffa di ambang pintu utama sembari memerhatikan si pemilik lesung pipi memarkirkan mobil di halaman depan rumahnya gak henti-henti mengulas senyum. Sampai saat sahabatnya itu udah keluar dari mobil lalu menghampirinya dengan membawa tas belanja yang entah isinya apa, Sean seketika memeluk Daffa erat. Dihirupnya aroma maskulin yang menguar dari tubuh Daffa. Sean pun diam-diam mencari apa ada wewangian wanita yang tersisa di sana. Entah, semenjak ngeliat foto Daffa bareng Sarah di RSIA siang tadi, Sean jadi risau sendiri. Terlebih saat mengingat kembali kalau Sarah pernah dicurigai memiliki hubungan dengan Daffa saat mereka SMA dulu. Tepatnya ketika hubungan Sean dan Daffa tidak baik-baik saja, akibat dari seksualitas keduanya yang telah diketahui oleh orang tua mereka.

Sementara itu, Daffa yang kaget karena tingkah Sean terbelalak. Dia melirik ke arah lain sejenak, takut jika saja ada yang melihat. Setelahnya, dia mendorong pelan tubuh Sean lalu berbisik.

“Yan, entar ada yang ngeliat.”

“Takut ada yang ngeliat apa kamu emang gak suka aku peluk?” Sean melipat lengan.

“Kamu kok ngomong gitu?” Daffa heran, “Aku suka dipeluk kamu, Yan. Tapi gak di sini. Kan berabe kalau ada yang liat kita pelukan.”

“Ya udah. Masuk gih. Orang rumah aku lagi makan. Kamu udah makan malam belum?”

“Belum. Kan aku mau makan di sini bareng kamu,” kata Daffa.

“Dasar,” Sean menahan senyum.

Daffa tertawa, mengusap lembut rambut Sean lalu menyodorkan tas belanja tadi pada sahabatnya.

“Ini apa?” tanya Sean.

“Cemilan. Tadi aku juga mampir beli martabak manis buat kamu.”

“Chatime gak ada?”

Daffa berdecak, “Kemarin udah aku gofood-in Chatime ke RS loh. Jangan keseringan minum yang manis-manis kamu, Yan.”

Sean terkekeh, “Yang dokter itu kamu apa aku sih sebenernya?”

“Aku juga dokter,” kata Daffa, “Tapi dokter buat Sean doang.”

Berdecih, Sean tersenyum lalu mengangkat tas belanja yang udah dia tenteng, “Makasih ya.”

“Mm,” gumam Daffa lalu merangkul bahu Sean yang perlahan menuntunnya masuk ke rumah menuju ruang makan, “Mama kamu masak apa tadi?”

“Banyak. Kamu liat aja sendiri pas udah di meja makan nanti.”

Daffa mengangguk, kembali melanjutkan langkah bersama Sean menuju ruang makan. Sampai saat mereka udah nyaris sampai di tempat tujuan, Daffa pun melepaskan rangkulannya.

“Eh, Daffa. Sini, Nak.”

Senyum sumringah tercetak di bibir penuh Daffa ketika Papa Sean menyadari kedatangannya lalu menyapanya dengan ramah. Pun Mama Sean juga Ibra yang refleks tersenyum ke arahnya.

“Ayo duduk sini, Daf. Ikut makan sama kita,” Mama ikut bersuara.

“Aku emang lagi kangen banget sama masakan Tante,” ucap Daffa sebelum duduk di samping Sean.

“Makan yang banyak, Kak. Mama sengaja masak banyak loh karena tau Kak Daffa mau nginep,” Ibra menyeletuk dan dibalas senyum manis berlesung pipi oleh Daffa.

“Padahal aku niatnya cuma mau ngerepotin Sean, kok malah jadi Tante yang repot?” canda Daffa.

Mama menggeleng, “Tante gak repot. Lagian udah lama juga kan kamu gak pernah nginep di sini.”

“Oh, jadi ini alesan lu nyuruh gue bersihin kamar tamu?” Sean mendesis, menatap Daffa kesal. Sedang yang menerima tatapan demikian hanya terkekeh pelan.

“Kok bersihin kamar tamu?” Ibra heran, “Emang entar Kak Daffa gak tidur di kamar Kak Sean?”

Daffa berdeham pelan, melirik ke arah Mama sejenak lalu beralih menatap Ibra yang jelas bingung.

“Iya, Ra. Soalnya kakak lu tuh lagi capek banget,” jawabnya, “Terus dia biasanya kalau lagi kecapean gini suka banyak gerak pas udah tidur. Pernah ya dulu, abis ujian praktik olahraga kalau gak salah, gue nginep di sini. Terus lu tau gak? Sean nendang gue sampai gue jatuh dari ranjang. Gimana gak trauma tidur sama dia coba?”

Ibra yang mendengarnya tertawa renyah, sedang Sean merhatiin Daffa yang jelas berusaha gak mau bikin Mama juga Papanya kepikiran soal mereka berdua. Khususnya bagi Mama yang dulu memergoki mereka di kamarnya hingga hubungan dan seskualitas keduanya terbongkar.

“Daffa suka pedes kan? Coba telur balado ini deh,” ujar Mama.

Daffa mengangguk setuju. Dia lalu mencoba masakan si wanita paruh baya yang telah dia ambil ke piringnya. Mama, Papa, Ibra dan gak terkecuali Sean pun kembali melanjutkan makan malamnya; sesekali berbincang.

“Eh iya, Daf. Kata Sean, kakak kamu abis lahiran ya tadi?” tanya Papa, “Kakak kamu sama bayinya gimana sekarang, Nak? Sehat?”

“Sehat kok, Om. Alhamdulillah. Cuman tadi emang sempet bikin panik. Gak tau tadi musti nunggu berapa jam sampai ponakan aku bisa lahir,” Daffa tertawa ringan.

“Anak pertama biasanya emang gitu kali ya, Daf. Tante pas mau ngelahirin Sean dulu udah sakit perut pas azan Asar, terus baru lahiran pas abis salat Isya coba.”

Daffa dan Sean tersenyum kala mendengar Mama ikut bercerita.

“Pa, besok kita ke RSIA yuk. Kita jengukin kakaknya Daffa,” timpal si Mama dengan ajakan ke Papa.

“Boleh,” si pria paruh baya setuju.

“Mama semangat banget keknya pengen liat debay,” celetuk Ibra.

Papa terkekeh, “Mama kamu emang gini. Seneng liat bayi.”

“Aku ada ngirim foto anaknya Kak Disty ke Sean tadi. Tante udah liat gak?” tanya Daffa.

“Mana? Tante belum liat.”

Bersemangat, Daffa kemudian meraih gawainya. Mencari foto keponakannya lalu menyodorkan benda persegi itu ke Mama Sean.

“Liat deh, Tante. Ganteng kan kayak aku?” canda Daffa yang membuat si paruh baya tertawa.

“Kalau Tante liat sih ponakan kamu jauh lebih ganteng, Daf.”

Daffa memelas, menyikut lengan Sean lalu berkata, “Yan, gue lagi butuh support lu sekarang juga.”

“Tapi yang dibilang Mama bener kok. Ponakan lu lebih ganteng.”

Mama hanya tersenyum sebelum kembali menatap foto di gawai Daffa. Menunjukkan foto itu ke suaminya, “Lucu banget ya, Pa?”

“Mm,” Papa senyum, “Ayahnya Daffa pasti seneng banget karena udah punya cucu ya sekarang.”

“Iya. Kita kapan ya, Pa?”

Sean yang mendengar harap dibalik gumaman Mama lantas berhenti mengunyah. Dia terdiam sambil menatap si wanita paruh baya sedu. Sementara itu, Mama yang kemudian sadar akan tatapan Sean pun berdeham gak enak lalu beralih menoleh ke Ibra.

“Ra, kamu jangan kelamaan ya pacarannya? Nikahin pacar kamu kalau udah siap, biar Mama juga punya cucu yang lucu kek gini.”

“Mama ah,” Ibra tertawa ringan, “Kan Ibra pengen kaya dulu, Ma.”

“Kamu ya,” Mama geleng-geleng.

“Tante yakin minta Ibra nikah?” Daffa lantas melirik Sean, “Nih, kakaknya yang udah mau kepala tiga masih jomblo gak ditanya?”

Mendengar penuturan Daffa membuat Sean kehilangan selera makan. Dia lantas menatap sang sahabat dengan raut gak percaya sebelum meletakkan sendoknya. Daffa, Mama, Papa juga Ibra pun kaget pas Sean bangkit dari kursi dan bilang, “Aku udah kenyang.”

Tepat setelah Sean melenggang pergi meninggalkan meja makan, Daffa pun ikut bangkit dari kursi.

“Aku mau nyamperin Sean ya, Om, Tante. Makasih banyak makan malamnya,” ucapnya lalu mengejar Sean setelah mendapat anggukan setuju oleh si Mama.

Beruntung Daffa masih bisa menjangkau Sean yang baru saja hendak menaiki tangga menuju kamarnya. Alhasil, Daffa pun buru-buru menahan lengannya.

“Sean, tunggu.”

Berbalik, Sean lalu menepis kasar cengkeraman Daffa di lengannya.

“Yan, kamu kenapa?” tanya Daffa.

“Kenapa lu ngomong kayak tadi sama Mama, Daf? Lu pengen gue nyari pacar, nikah terus ngasih cucu buat Mama?” balas Sean.

Daffa mengedarkan pandangan sejenak. Takut kalau aja orang rumah Sean dengerin mereka.

“Kita ngobrol di luar ya?”

Daffa kembali meraih tangan Sean, namun buru-buru ditepis oleh sahabatnya. Dia pun hanya terdiam saat menyadari bahwa kedua mata Sean berkaca-kaca.

“Seharusnya lu ngomong sama gue kalau emang perasaan lu udah berubah,” tutur Sean lirih.

“Kamu kok mikirnya gitu?”

“Gimana gue gak mikir kayak gitu?” balas Sean, “Di RSIA tadi lu nunggu bareng Sarah kan? Tapi lu gak cerita apa-apa, seolah lu emang sengaja nyembunyiin itu.”

“Terus sekarang? Lu ngomong ke Mama seolah lu tuh pengen gue suka dan nikah sama orang lain.”

Daffa bungkam. Memilih untuk mendengarkan Sean lebih dulu.

“Padahal lu tau sendiri gue masih gak bisa move on dari lu. Lu juga tau kalau gue gak ada niat nikah.”

“Gue temen lu kan? Gue sahabat lu, Daf. You are free to talk to me. Termasuk tentang perasaan lu.”

“Gue gak masalah kalau lu suka sama orang lain. Gue juga pernah bilang sama lu kan dulu? Apalagi kalau yang lu sukain itu cewek, yang emang udah kodratnya jadi pasangan lu. It’s okay. Good for you,” katanya, “Tapi tolong…”

Sean mengulum bibir sejenak, “Bilang ke gue, Daf. Jangan malah bikin gue keliatan menyedihkan banget kayak gini. Sakit tau gak?”

Daffa menghela napasnya, “Aku minta maaf kalau ucapan aku ke Mama tadi bikin kamu sedih bahkan sakit. Tapi aku ngomong gitu karena aku tau, Mama kamu lagi jaga perasaan kita berdua.”

“Mama kamu jelas banget gak pengen kita ngerasa buruk atau berbeda—karena kita saling suka dan gak mungkin ngasih cucu.”

“Aku yakin kamu juga kepikiran kan tadi?” timpal Daffa, “Jadi aku mikirnya, kita musti bisa ngejaga perasaan Mama Papa kamu juga.”

“Karena meski pun mereka gak bisa terima kalau kita suka sama laki-laki, tapi Mama Papa kamu selalu nyoba buat hargain kita.”

“Tapi aku ternyata gak mikirin perasaan kamu lebih jauh. Aku gak mikir kalau ucapan aku bisa bikin kamu ngerasa kalau aku pengen kamu suka orang lain.”

“Aku salah, Yan. Aku minta maaf,” Daffa meraih jemari Sean, “Dan soal Sarah, aku cuma kebetulan ketemu sama dia di RSIA. Aku sama sekali gak ada niatan buat nyembunyiin itu dari kamu kok.”

“Tapi pertemuan aku sama dia emang se-singkat dan se-random itu sampai aku lupa cerita. Aku malah lebih excited buat ceritain soal Kak Disty dan ponakan kita.”

“Aku minta maaf, Sean.”

Sean menghindari tatapan Daffa.

“Kamu mau mukul aku gak? Ayo pukul aku aja deh,” tutur Daffa sembari menuntun tangan Sean agar memukuli wajahnya, “Tapi abis ini jangan ngambek lagi ya? Aku ke sini kan buat staycation, biar bisa liat kamu lama-lama.”

“Kalau kamu ngambek gini, kita kapan berduaannya?” timpalnya.

Sejenak Sean menarik napasnya dalam-dalam sembari mengingat kembali apa tujuan utama Daffa datang ke rumahnya sekarang. Dia bahkan lupa bahwa Daffa hanya ingin berdua dengannya, menghabiskan waktu yang gak bisa mereka dapatkan di hari kerja karena kesibukan mereka. Tapi terbakar api cemburu justru membuat Sean gak bisa berpikir jernih hingga menyalahartikan niat baik Daffa ke orang tuanya.

“Sean, liat aku.”

Sean pun menoleh. Dia menatap lurus ke dalam netra madu Daffa. Setelahnya, Daffa justru senyam-senyum sambil memandanginya.

“Kamu cemburu sama Sarah?”

Lagi, Sean menghindari kontak mata dengan Daffa. Namun Daffa lantas menarik dagunya hingga wajahnya kembali menghadap ke arah Daffa. Mereka pun saling bersitatap dengan senyum di bibir Daffa yang semakin lebar.

“Ternyata gini muka kamu kalau lagi cemburu ya,” gumam Daffa.

Melepaskan tautan jemarinya dengan Daffa, Sean mencebik.

“Aku ngantuk,” katanya lalu berbalik dan menaiki tangga.

Daffa yang masih setia berdiri di tempatnya semula tersenyum. Meski Sean sempat membuatnya panik, tapi kala sadar jika sahabat sekaligus orang yang dicintainya itu sedang cemburu, dia justru merasa gemas sendiri. Terlebih saat Sean kembali menggunakan sapaan “Aku–Kamu” lalu pergi. Sangat jarang Sean menunjukkan sikap yang seperti ini, pikirnya.

“Daf, kamu kok berdiri di situ?”

Daffa tersentak saat mendengar suara Mama Sean. Dia kemudian berbalik, tersenyum melihat si paruh baya menghampirinya.

“Tadi aku abis ngobrol sama Sean, Tante. Oh iya, Om sama Ibra juga udah selesai makan?”

“Udah, Daf.”

Daffa mengangguk, “Ya udah, kalau gitu aku izin ke dapur ya, Tante. Mau cuci piring. Boleh?”

“Gak usah,” kata Mama, “Udah ada Ibra kok. Mending kamu ke kamar Sean sekarang, istirahat.”

Daffa lantas menahan napas mendengar penuturan Mama.

“Tempat tidur Sean abis diganti kok, Daf. Udah jauh lebih luas dibanding pas kalian SMA dulu. Jadi gak usah khawatir bakal ketendang,” Mama terkekeh, “Saya mau ke depan bentar ya.”

Melihat si wanita paruh baya berbalik, Daffa pun berkata, “Aku gak mau Tante jadi kepikiran.”

Mama menoleh, alisnya saling bertautan mendengar Daffa.

“Tante punya ingatan buruk soal aku sama Sean di kamar—yang mungkin masih nyakitin Tante sampai sekarang. Dan aku gak mau Tante makin sakit,” timpal Daffa lirih, “Sekarang aku udah gak punya Bunda, satu-satunya yang aku anggap Ibu itu Tante...”

“Aku gak mau kehilangan Tante juga,” kata Daffa yang membuat Mama Sean lantas memeluknya.

Si wanita paruh baya mengusap punggung Daffa, “Saya baik-baik aja, Daffa. Saya gak apa-apa kok.”

Mama melepaskan dekapannya, beralih menatap wajah Daffa, “Sean kayaknya lagi butuh kamu, Daf. Temenin Sean ngobrol ya?”

“Iya, Tante.”

Athaya melenguh saat merasa bahwa tubuhnya diangkat oleh seseorang. Dan ketika Athaya perlahan membuka mata, dia pun terkejut. Sebab sang suami lah yang menggendongnya saat ini—brydal. Membuatnya heran.

“Lu mau bawa gue ke mana, anjing?” tanya Athaya dengan suara yang masih serak. Sebab Rayyan membawanya keluar dari kamar lalu menuruni tangga.

Tapi suaminya itu justru hanya menahan senyum. Gak sekali pun membuka suara sampai mereka udah sampai di lantai dasar rumah. Athaya berdecak.

“Ayyan, kalau lu pengen main-main sama gue, jangan sekarang.”

Athaya menghela napas lalu menoleh ke arah pintu utama rumah yang telah terbuka lebar. Membuatnya semakin bingung.

Hingga saat dia dan Rayyan keluar dari rumah, Athaya seketika menautkan alis kala melihat Mami juga Papi berdiri di samping mobilnya. Kedua orang tuanya tersenyum melihatnya.

“Jelasin ke gue, ini ada apa?”

“Diem, gue lagi nyulik lu.”

Rayyan terkekeh lalu membawa Athaya untuk segera duduk di jok belakang mobil. Sebab Mami sudah membuka pintu mobilnya lebar-lebar sedari tadi. Tapi, lagi, Athaya masih belum mengerti.

“Pintu rumah udah dikunci kan, Mi?” tanya Papi yang duduk di belakang kemudi dan dibalas anggukan oleh sang istri.

“Kita mau ke mana sih, Pi?” tanya Athaya lalu menguap lebar, “Aku masih ngantuk, masih pake baju tidur gini juga,” ucapnya pasrah.

“Bukan kita. Tapi kamu sama suami kamu,” celetuk Mami lalu menoleh, tersenyum ke Athaya.

“Katanya dia mau bawa kamu lari,” sambungnya, “Iya kan, Yan?”

Rayyan mengacungkan jempol.

“Bawa lari ke mana coba?” Athaya mendesis lalu memukul pelan lengan atas suaminya itu.

“Kamu jangan diem aja dong, kita mau ke mana sih ini?” tanyanya.

Rayyan terkekeh. Dia kemudian mengusap lembut kepala Athaya lalu berkata, “Kita mau ke Bali.”

“Jangan becanda deh lu.”

Rayyan lalu menunjukkan tiket yang ada di ponselnya. Hal itu pun membuat Athaya menganga.

“Anjing! Kenapa lu gak bilang-bilang?” protes Athaya kesal.

“Lah kan gue baru aja bilang. Mami sama Papi denger kan?”

“Iya, denger kok.”

“Papi juga denger.”

“Ih! Mami, Papi,” Athaya lantas merengut, “Malah belain dia.”

“Ya kan aku bener,” ejek Rayyan.

“Tapi masa aku pake baju tidur ke bandara?” Athaya merengek.

“Gak apa-apa. Kamu pake baju tidur gini terus masih ada iler di pipi juga tetep cakep kok, Ya.”

“Serius aku ada iler?” Athaya lalu mengusap pipinya sendiri, panik.

Mami, Papi juga Rayyan lantas tertawa. Setelahnya, Rayyan pun membawa kepala Athaya untuk bersandar di bahunya. Memeluk pujaan hatinya itu dari samping.

“Maaf ya aku baru bisa bawa kamu bulan madu sekarang.”

“Aku gak tau harus seneng apa marah,” Athaya mendongak, “Kamu gak liat pakaian aku apa?”

“Ini namanya fashion, Ya.”

“Fashion pale lu,” sela Athaya.

Rayyan tertawa, “Aku udah bawain kamu baju ganti kok.”

“Entar aku anterin ke toilet dulu buat ganti baju,” katanya lalu mengecup puncak kepala Athaya.

Athaya mencebik lalu menatap ke arah Mami dan Papi yang sibuk menatap jalanan di depan mereka, “Jadi sekarang Mami sama Papi sekongkol sama Ayyan ya buat ngusilin aku kayak gini.”

“Baguuus,” sambungnya sarkas.

“Suami kamu tuh yang idenya selalu ada-ada aja,” tutur Mami.

“Tapi Mami juga iya-iya aja loh pas aku minta tolong kemarin?”

Mami memutar bola matanya lelah, “Udah ah, terserah. Yang jelas kalian harus happy-happy di sana. Manfaatin waktu yang ada.”

Athaya senyum, “Iya, Mi.”

Rayyan pun ikut bersuara, “Makasih banyak ya, Mi, Pi.”

***

Athaya menarik napasnya dalam-dalam saat dia dan Rayyan telah sampai di sebuah villa yang telah suaminya booking jauh-jauh hari. Dia kemudian berdiri di depan pintu geser yang berhadapan langsung dengan kolam renang. Menghirup udara segar sembari menikmati cahaya sang mentari yang telah menyingsing hingga rasa hangat menggelitik wajah.

Gak lama berselang, Athaya lantas dibuat tersenyum saat merasa bahwa Rayyan memeluk tubuhnya dari belakang. Sang suami lalu mengecup pundak kanannya sebelum bersuara.

“Kamu suka gak?”

“Suka banget,” jawab Athaya lalu menoleh, menatap wajah Rayyan.

“Makasih ya, sayang. Aku seneng banget,” ucapnya diikuti senyum.

“Aku juga seneng banget bisa ke sini lagi bareng kamu, sayang.”

Athaya lalu berbalik, beralih memeluk tengkuk Rayyan. Sedang sang suami refleks melingkarkan kedua lengan pada pinggangnya sambil tersenyum.

“Kamu pasti udah mikirin yang iya-iya kan?” Athaya terkekeh.

“Suudzon banget kamu, Yang.”

“Terus kenapa kamu natap aku kayak gitu?” sanggah Athaya lalu mengecup sekilas bibir Rayyan.

“Cepet bilang kamu mau apa,” timpalnya, “Mau liat aku meeting sama Kenan?” canda Athaya.

Rayyan seketika tertawa.

“Gak, Kenan masih tenang kok.”

Pemilik lesung pipi itu kemudian mengecup kening Athaya sesaat sebelum kembali menatap lamat wajah rupawan suaminya itu.

“Aya.”

Athaya mengangkat alis, “Mm?”

“Aku gak bakal bosen buat selalu bilang terima kasih sama kamu.”

“Hari ini, besok, lusa dan hari-hari berikutnya sampai ajal menjemput, aku bakal selalu bilang terima kasih sama kamu.”

Athaya tersenyum; menyimak.

“Karena kamu itu sumber kebahagiaan aku. Aku selalu bahagia bahkan ketika ngeliat kamu berdiri kayak gini doang.”

Rayyan mengusap kedua pipi Athaya dengan ibu jarinya.

I love you, Athaya.”

Athaya mengangguk, “Aku juga bakal selalu berterima kasih sama kamu, Yan. Makasih banyak karena udah jadi bagian dari diri aku. Makasih juga udah mau ngelewatin banyak hal sama aku.”

I love you, Rayyan. I really do.”

Kedua anak manusia itu pun sama-sama tersenyum lalu berbagi dekapan hangat. Seolah dari sana pula mereka mendapat energi lebih untuk memulai hari. Sederhana, namun amat berarti.

Segala rasa sakit, perjuangan, juga air mata kini telah menjadi kenangan manis yang gak akan terulang lagi. Perjalanan panjang Athaya dan Rayyan akhirnya membawa mereka sampai ke titik bahagia yang sekaligus menjadi jawaban—mengapa mereka dipertemukan kembali.

“Ini jangan lupa kamu forward ke Mas Heri juga ya besok, Nat.”

“Baik, Pak.”

Rayyan tersenyum tipis ke arah Nathan yang duduk di depannya.

“Oke, itu aja kok dari saya. Kamu boleh pulang sekarang,” katanya.

“Makasih, Pak Rayyan.”

Nathan pun bangkit dari kursi di depan meja Rayyan dan bersiap untuk kembali ke meja kerjanya. Guna merapikan barang-barang juga tasnya sebelum bergegas pulang. Sebab jarum jam sudah menunjuk ke angka lima sore. Tapi sebelum dia berbalik badan, Rayyan justru kembali bersuara.

“Oh iya, Nat. Entar malem bisa dateng kan ke opening warung saya sama Aya?” tanya Rayyan.

Nathan tersenyum sumringah diikuti anggukan, “Bisa kok, Pak.”

“Sip, jangan lupa bawa duit.”

“Ayang,” Athaya yang baru saja menghampiri meja suaminya seketika berdecak lalu menepuk pundak Nathan, “Nat, Rayyan cuma becanda. Jangan dianggap serius ya. Dia emang suka gitu.”

Nathan yang telah paham pun terkekeh pelan, “Iya, Kak Aya.”

“Udah, lu beres-beres meja gih. Terus pulang,” ucap Athaya.

“Oke, Kak. See you.”

See you.”

Menghela napasnya pelan, Athaya kemudian berdiri di samping sang suami. Rayyan tersenyum lembut lalu meraih tangannya, menggenggamnya.

“Ayo pulang,” ajak Athaya.

Give me ten minutes,” tutur Rayyan, “Ya, sayang? Aku mau ngecek kerjaan dulu. Bentar kok.”

Pemilik lesung pipi itu kemudian berdiri dari kursinya. Melepas genggamannya dari pergelangan tangan Athaya guna mengambil kursi lain lalu meletakkannya tepat di samping kursi kerjanya.

“Kamu duduk di sini.”

Athaya hanya menggeleng pelan sebelum menyanggupi perintah suaminya. Dia duduk di kursi kerja Rayyan, sedang sosok yang juga atasannya itu mendaratkan bokong pada kursi lain yang dia ambil tadi. Setelahnya, Rayyan pun memusatkan pandangan ke arah MacBook di hadapannya. Gak peduli kalau orang-orang di dalam ruang divisi udah pergi, dan yang tersisa hanya mereka.

Sementara itu, Athaya yang gak henti-henti memandangi Rayyan lantas mengulas senyum tipis. Sebab Rayyan terlihat begitu serius dan berkonsentrasi pada pekerjaannya. Hal itu pula yang menjadi titik attractive dari sang suami—bagi Athaya. Pasalnya, Rayyan bisa menjadi sosok yang sangat serius bahkan ambisius ketika bekerja. Tapi juga bisa berubah menjadi jenaka saat berinteraksi dengan orang lain, terlebih saat bersama dirinya.

“Udah.”

Rayyan menghela napas lega lalu menoleh ke Athaya. Tapi saat itu juga dia mendapati Athaya justru sibuk menatap wajahnya lekat-lekat sambil tersenyum manis.

“Kenapa kamu liatin aku kayak gitu hm?” Rayyan lalu mencubit pelan dagu Athaya, “Sange ya?”

“Anjing lu,” gumam Athaya diikuti kekehan. Setelahnya, dia lantas memeluk Rayyan dari samping.

Rayyan pun tersenyum. Dia lalu mengecup puncak kepala sang pujaan hati sesaat lalu berkata,

“Pulang yuk. Kita musti siap-siap ke warung juga loh abis ini, Ya.”

“Mm,” Athaya lantas mendongak, menatap wajah Rayyan sejenak lalu mengecup bibir suaminya.

“Ayo,” katanya sebelum berdiri.

Tapi ketika Athaya hendak melangkah lebih dahulu guna meninggalkan meja suaminya, Rayyan justru menahannya.

“Kenap—anjing!”

Belum sempat Athaya bertanya; kenapa Rayyan mencengkeram pergelangan tangannya, namun dia justru sudah lebih dahulu dibuat berteriak. Sebab sang suami tiba-tiba mengangkat tubuhnya hingga terduduk di atas meja. Rayyan lalu berdiri di antara kedua pahanya, terkekeh.

Give me five minutes.”

“Buat apa lagi?” tanya Athaya dengan raut wajah pasrahnya.

“Aku pengen nyium kamu,” balas Rayyan sambil melingkarkan lengannya di pinggang Athaya.

Tersenyum mengejek, Athaya kemudian menarik tengkuk suaminya itu. Menyatukan kedua bilah bibir mereka hingga saling melumat lembut, penuh afeksi.

“Astaghfirullah!”

Baik itu Athaya maupun Rayyan buru-buru menghentikan aksi mereka saat mendengar pekikan dari arah pintu. Mereka lantas menoleh, melotot mendapati Nathan tengah berdiri di sana.

Cengar-cengir, Nathan menelan ludahnya lalu berkata, “Maaf saya mengganggu, Kak. Pak Rayyan.”

“Loh? Lu ngapain balik lagi ke kantor, Nat?” tanya Athaya lalu turun dari meja kerja sang suami. Rayyan pun berdeham, bersikap seolah gak terjadi apa-apa tadi.

“Ini, Kak. Aku mau ngambil kunci motor sama helm,” jawab Nathan yang membuat Athaya juga Rayyan menautkan alis heran.

“Jadi lu darimana aja tadi? Kirain udah pulang,” timpal Rayyan.

Nathan mengusap tengkuknya.

“Saya lupa kalau bawa motor ke kantor, Pak. Baru inget pas udah di gojek tadi. Jadi ya udah saya balik lagi,” Nathan cengengesan.

“Ya Allah, Nathaaan.”

***

“Gimana? Siomay Ayang enak kan?” tanya Rayyan ke sahabat juga rekan kerjanya yang telah duduk bersama di sebuah meja; awalnya dua, tapi dijadikan satu agar memanjang hingga cukup untuk delapan orang. Sudah termasuk dirinya dan Athaya

Di meja itu ada, Yasa, Danar, Janu, Dina, Heri, juga Nathan.

“Iya, enak banget. Apalagi siomay gratis. Beuh!” sahut Yasa hingga yang lainnya seketika tertawa.

“Gue gak bilang kalo itu gratis ya,” balas Rayyan lalu terkekeh.

“Tapi rame juga ya warung lu,” kata Janu, “Baru buka aja udah banyak yang ngantri noh. Pake tuyul jenis apa sih?” candanya.

“Lu belum pernah liat tuyul gue?” balas Rayyan lalu mengeluarkan handphone dari saku celananya.

Athaya yang sedari tadi asik melahap siomay pun seketika ikut penasaran melihat Rayyan.

“Nih,” Rayyan menunjukkan layar handphone ke arah Janu, “Tuyul paling gemes dan lucu se-dunia.”

“Bentar! Hahaha! Ini siapa?”

“Gue mau liat juga dong.”

“Liat coba, liat!” Danar ikutan.

“Liat apa sih mereka?” tanya Dina kepada Athaya yang cuma bisa mengangkat pundak—gak tau.

“Woi? Ini Aya?” Yasa tergelak.

Athaya seketika melotot. Dia lalu menatap sang suami sebelum merebut handphone-nya. Saat itu pula dia seketika mendesis kesal sebelum memukul brutal tubuh Rayyan. Sebab foto yang terpampang di sana—bahkan menjadi lockscreen Rayyan, gak lain adalah foto semasa kecilnya.

Saat kepala Athaya masih botak.

“Ih! Lucu banget,” Dina yang juga udah melihat foto kecil Athaya terkekeh, “Aya cakep sejak kecil.”

“Emang lucu kan, Mba? Gemes.”

Dina pun mengangguk. Sedang Rayyan mencubit pipi Athaya.

“Kamu nyebelin ah.”

Athaya mengerucutkan bibirnya lalu kembali melahap siomay di depannya dengan gak berselera.

“Hayolooo, Aya ngambek.”

Rayyan berdecak lalu menoyor kepala Danar. Setelahnya, dia kembali menatap wajah Athaya. Sementara satu tangannya lantas menggenggam jemari Athaya yang berada di bawah meja.

“Aku salah ya?” bisik Rayyan.

Tapi bukannya menjawab pertanyaan sang suami, Athaya seketika berdiri. Dia menatap sekilas ke arah teman-temannya di meja lalu berkata, “Gue izin ke toilet bentar ya. Kalian kalo mau nambah bilang aja ke pelayan.”

Setelahnya Athaya pun berlalu. Sementara Rayyan buru-buru mengejar suaminya itu. Dia lalu menahan lengan Athaya sebelum menariknya ke arah rest room bagi karyawan warung siomay.

“Sayang,” panggil Rayyan.

Athaya mendengus lalu melepas cengkeraman jemari Rayyan di lengannya, “Kamu ngapain sih nunjukin foto kecil aku, Yan?”

“Pengen aku dipanggil botak juga sama mereka semua?” timpalnya.

“Gak gitu, sayang. Aku cuma mau becandain kamu, sekalian biar mereka liat kalau kamu lucu pas masih kecil dulu,” balas Rayyan.

“Lucunya ya yang bener-bener lucu gemesin, bukan ngeledek.”

Rayyan meraih kedua tangan Athaya, menggenggamnya erat.

“Tapi kalau becandaan aku tadi kelewatan, aku minta maaf. Aku gak bermaksud bikin kamu gak nyaman, Ya. Maafin aku, sayang.”

Athaya menghela napas gusar.

“Aku gak suka, Yan.”

“Aku pengen kamu doang yang manggil aku botak. Aku juga pengen kamu doang yang tau kenapa kamu manggil aku gitu.”

“Kamu tau gak sih betapa spesial panggilan itu buat aku, Yan? Apalagi sejak tau alasan kenapa kamu manggil aku botak dulu.”

“Kayaknya aku yang berlebihan,” Athaya lalu menghindari tatapan Rayyan, “Tapi aku beneran gak mau ada yang ngeledekin aku ‘botak’ selain kamu. Itu panggilan sayang kamu buat aku, Rayyan.”

Menipiskan bibirnya, Rayyan pun tersenyum tipis lalu membawa Athaya ke dalam dekapannya. Dia kemudian mengusap belakang kepala sang pujaan hati sejenak sebelum mengecup pundaknya.

“Gak bakal ada yang manggil kamu botak selain aku,” Rayyan beralih mengecup puncak kepala Athaya, “Entar aku marahin kalau ada yang manggil kamu kek gitu.”

Melepaskan dekapannya, Rayyan lalu membingkai wajah Athaya.

“Maafin aku ya? Kamu boleh mukul aku sampe pu—anjing!”

Rayyan seketika memekik saat Athaya tiba-tiba meninju pelan perutnya. Bahkan sebelum dia menyelesaikan ucapannya tadi. Sementara itu, Athaya hanya terkekeh pelan lalu kembali memeluk erat tubuh suaminya.

“Iya, aku maafin.”

Rayyan pun tersenyum lalu berbisik rendah di samping telinga Athaya, “I love you.”

“Love you more,” balas Athaya.

Tapi gak lama berselang, Athaya seketika penasaran akan satu hal. Dia pun kembali menatap wajah Rayyan, masih dengan lengan sang suami melingkari pinggang.

“Tapi kamu dapet foto kecil aku yang tadi dari mana sih, Yang?”

“Dari Mami,” Rayyan terkekeh, “Mami nunjukin foto kecil kamu yang ada di album, jadi ya udah aku foto terus jadiin lockscreen.”

“Bucin,” ejek Athaya.

“Iya, aku emang bucin.”

Athaya senyum, “Aku juga bucin.”

Mereka sama-sama tertawa sebelum kembali berpelukan.

“Ayyan.”

“Bangun woi!”

“Sekarang hari Senin, anjing.”

Athaya berdecak. Sebab Rayyan masih juga terlelap meski dia udah berusaha bikin sang suami bangun dengan mengguncang tubuhnya. Tapi usahanya gagal.

Alhasil, Athaya kemudian meraih bantal. Memukul keras tubuh Rayyan sembari berkata, “Anjing, bangun lu! Gue gak mau telat!”

Rayyan pun akhirnya terusik. Pemilik lesung pipi itu perlahan membuka mata. Mendapati sang pujaan hati tengah memukul brutal tubuhnya dengan bantal.

Buru-buru Rayyan bangkit dari posisinya. Meski matanya masih setengah terbuka, namun dia pun bergegas mengambil satu bantal. Dia kemudian turun dari ranjang, mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya yang—sebagian—masih terjebak di alam mimpi.

Setelahnya, Rayyan pun berlari. Mengejar Athaya yang buru-buru menghindar karena tau bahwa sang suami juga ingin memukuli tubuhnya dengan bantal.

Dan begitulah sepasang suami itu mengawali Senin paginya. Saling berperang bantal sambil beradu mulut seperti biasanya.

“Kok jadi lu yang mukul gue sih, anjing?” Athaya lalu memukul bahu Rayyan dengan bantal.

Rayyan pun melakukan hal serupa lalu berkata, “Siapa suruh lu bangunin gue kek tadi, botak?”

Pemilik lesung pipi itu melempar bantal yang dia pegang ke atas ranjang lalu berkacak pinggang.

“Kalau bangunin suami tuh yang romantis dikit. Kecup pipinya, usap-usap palanya, atau apa kek.”

“Lah elu? Bangun-bangun malah nyari gara-gara,” jelas Rayyan.

Athaya ikut melemparkan bantal ke ranjang, berkacak pinggang pula setelahnya. Dia pun berkata,

“Iya kalo suami gue gampang dibangunin,” sela Athaya, “Lah elu? Mau gue kecup sampe bibir gue dower sepuluh senti juga kaga bakalan bangun lu, anjing.”

“Hahahaha!”

“Kenapa lu ketawa hah?”

Athaya pun terkekeh sebelum memeluk Rayyan yang tergelak sambil merentangkan tangannya. Mereka berbagi dekapan hangat sejenak, sebelum sang suami beralih membingkai wajahnya. Rayyan lalu menciumi kening Athaya sesaat sebelum berucap,

Morning, sayang.”

Athaya senyum, “Mm, morning.”

“Kok kamu wangi sih?”

“Ya wangi lah. Orang aku udah mandi,” Athaya berdecak, “Tapi kayaknya udah bau lagi deh gara-gara dipeluk sama kebo.”

Rayyan mengendus tubuhnya sendiri, “Tapi aku gak bau kok.”

Athaya tersenyum lalu mengusap lembut kedua pipi suaminya itu.

“Aku bercanda,” katanya, “Mandi gih. Udah jam berapa loh ini.”

Rayyan melirik jam digital di atas nakas, “Sayang, sekarang baru jam setengah enam. Masih pagi.”

“Lagian kamu mandinya kenapa cepet banget sih? Tadi bangun jam berapa coba?” timpal Rayyan.

“Aku bangun jam setengah lima,” jawab Athaya, “Aku nyetrika baju kita berdua buat ke kantor, terus bersih-bersih, abis itu nyiapin air anget buat kamu mandi nanti.”

“Kalau aku baru bangun jam segini, bisa-bisa kita berdua telat ke kantor,” Athaya menjelaskan.

Senyum lembut menghiasi bibir Rayyan. Dia kemudian kembali memeluk Athaya lalu bergumam.

“Maafin aku ya,” sesal Rayyan, “Aku janji gak bakal telat bangun lagi besok pagi dan seterusnya.”

Rayyan kembali menatap Athaya.

“Kamu udah repot banget pagi ini,” sambungnya, “Maaf, sayang.”

Athaya menggeleng, “Aku gak repot, Yan. Itu udah tugas aku kok buat ngurusin suami aku.”

“Tapi aku gak pengen ngeliat kamu capek pagi-pagi,” balas Rayyan, “Kita kan bisa ngelakuin semuanya sama-sama. Jangan kamu sendiri,” dia menimpali.

“Aku gak capek,” kata Athaya sembari mengusap pipi kiri Rayyan, “Udah. Mandi gih.”

Rayyan mengangguk pelan. Tapi bukannya bergegas ke kamar mandi, dia justru menyejajarkan wajahnya dengan wajah Athaya.

Morning kiss aku mana?”

Athaya mendengus lalu menepuk pelan bibir sang suami dengan telapak tangannya, “Gak. Sikat gigi dulu sana. Napas lu bau.”

Tersenyum usil, Rayyan lantas mengecup kilat bibir Athaya sebelum berlari kencang ke arah kamar mandi. Sedang Athaya sendiri hanya mampu terkekeh melihat tingkah sang suami.

“Ma,” panggil Rayyan, “Aya sama Mami Papinya udah dateng loh.”

Mama yang semula lagi menata meja makan seketika terbelalak. Nampak kaget tapi juga antusias mendengar penuturan Rayyan yang baru saja menghampirinya.

“Ya ampun, kok gak manggil Mama sih? Terus sekarang mereka mana? Udah masuk?”

“Kan ada aku sama Papa,” jawab Rayyan, “Mereka udah di ruang tamu. Lagi ngobrol sama Papa.”

“Tanteee!”

Mama lantas melebarkan mulut sebelum merentangkan tangan ketika melihat Athaya tiba-tiba datang ke ruang makan; berlari kecil ke arahnya. Mereka lalu berakhir saling berpelukan erat sambil terkekeh. Sementara Rayyan yang melihat tingkah keduanya hanya tersenyum tipis.

“Tante, aku kangen.”

Mama mengangguk, mengusap pelan punggung Athaya lalu berkata, “Tante juga kangen banget sama kamu, sayang.”

Athaya melepaskan dekapannya. Beralih memandangi wajah si wanita paruh baya yang sibuk mengusap lembut kepalanya.

“Kamu makin ganteng aja, Ya.”

“Jangan dipuji, Ma. Entar dia kegeeran terus sombong.”

“Gak apa-apa, Tante. Puji aku aja, biar Rayyan kupingnya panas.”

Mama hanya tersenyum sambil geleng-geleng saat Athaya dan Rayyan saling menoyor kepala.

“Udah, kalian tunggu di sini ya. Mama mau manggil Mami sama Papinya Aya buat makan siang.”

Athaya mengangguk pelan lalu menoleh ke arah meja makan.

“Ya ampun, Tante kok masaknya banyak banget?” Athaya melotot.

“Loh gak apa-apa. Kan hari ini—” Mama tiba-tiba terdiam sesaat lalu berdeham pelan, “Hari ini kalian baru pertama kali datang, jadi Tante harus masak banyak.”

“Tante juga udah bikin perkedel kentang kesukaan kamu,” ucap Mama lalu mencubit pipi Athaya.

“Makasih, Tante.”

Mama mengangguk kecil, “Tante ke ruang tamu dulu ya, sayang.”

Athaya tersenyum tipis sembari melihat Mama melenggang pergi dari ruang makan. Dia kemudian melirik perkedel kentang di meja.

“Gue boleh nyoba gak?”

Rayyan menggeleng, “Gak boleh.”

Athaya memicingkan mata lalu menjulurkan tangannya, hendak meraih perkedel itu. Tapi Rayyan dengan sigap menepuknya keras.

Mendesis kesal, Athaya lantas melakukan hal serupa. Membalas perlakuan Rayyan hingga mereka saling memukuli sambil tertawa kecil. Terlebih saat Rayyan lantas memeluk Athaya dari belakang lalu menggelitiki perut ratanya.

“Ayyan… Udah…”

Athaya merengek pasrah.

“Ngapain lagi tuh mereka?”

Rayyan dan Athaya buru-buru melepaskan tautan mereka saat suara Mami menggema. Mereka pun hanya cengar-cengir, melihat Mama, Papa, Mami, juga Papi berjalan ke ruang makan.

“Ya ampun, Jes. Kamu masaknya kok banyak banget?” ucap Mami.

“Gak banyak kok ini,” balas Mama lalu mempersilakan Mami dan Papi Athaya untuk segera duduk.

Athaya dan Rayyan pun ikut bergabung. Mereka duduk bersebelahan, tepat di depan Mami dan Mama. Sedang Papi berseberangan dengan Papa di sisi tengah meja persegi itu.

“Abisin,” bisik Rayyan setelah meletakkan empat perkedel kentang di piring Athaya.

“Ini masih kurang by the way,” balas Athaya. Dia ikut berbisik.

Acara makan siang—sekaligus pertemuan dua keluarga itu pun berlangsung. Dan baik itu Athaya maupun Rayyan seketika merasa terharu saat melihat orang tua mereka mulai bercengkerama.

Sampai ketika Mami menatap Athaya dan Rayyan bergantian, wanita paruh baya itu bertanya,

“Jadi kalian udah milih tanggal?”

Hal itu sontak membuat Athaya juga Rayyan refleks menautkan kedua alis mereka kebingungan.

“Tanggal apa, Mi?” tanya Athaya.

“Ya tanggal buat lamaran sama tanggal resepsi nikahan kalian.”

Athaya menoleh ke Rayyan. Jelas kalau pacarnya itu juga terkejut.

Athaya dan Rayyan lantas saling menatap wajah satu sama lain sejenak. Otak mereka tiba-tiba blank mendengar ucapan Mami. Rasa terkejut dan bingung sudah bercampur dengan rasa bahagia.

“Yan, kamu kok diem aja sih? Tante Una nanya loh tadi,” Mama menimpali dengan santai, “Hari ini semuanya harus diomongin.”

Rayyan menghela napas pelan. Ada yang gak beres, pikirnya.

“Ya, kayaknya kita diusilin deh.”

Rayyan menatap Mama dan Mami lalu kembali memandangi Athaya yang masih membisu.

“Diusilin gimana?” sela Mama, “Tante Una nanya serius, Yan.”

“Tapi Mama bilang kalau hari ini kita cuma mau makan siang loh, bukan ngomongin soal nikahan.”

Mama dan Mami menahan senyum, sementara Rayyan menggeleng pelan melihatnya.

“Ini ide calon mertua kamu,” kata Mama lalu melirik Mami Athaya.

“Lagian apa lagi sih yang kalian tunggu?” timpal Mami, “Kalian kan udah sama-sama siap. Kita semua juga udah ngasih restu.”

“Buat apa nunda-nunda?” Mami menambahkan, “Saya juga udah pengen banget liat Athaya nikah.”

“Mi,” Athaya memelas. Masih gak nyangka kalau Maminya udah yakin se-jauh ini kepada Rayyan.

“Kenapa, kak? Kamu belum dikasih cincin sama Ayyan?”

Athaya tersenyum haru lalu mengangguk kecil. Matanya berkaca-kaca melihat Mami. Si wanita paruh baya pun gak jauh berbeda. Matanya memanas melihat senyum bahagia Athaya.

“Yan, cincin buat Athaya mana?” tanya Mami jenaka, “Kok belum kamu pasangin di jarinya sih?”

Rayyan tersenyum, “Entar saya pasanginnya pas lamaran, Tante.”

***

“Makasih ya, Jes.”

“Aku yang harus bilang makasih karena kamu udah dateng, Na.”

Athaya dan Rayyan tersenyum saat melihat kedua wanita paruh baya itu berpelukan erat setelah Mami berpamitan untuk pulang. Sebab hari sudah berganti jadi malam. Perbincangan panjang tentang rencana pernikahan dua anak adam itu pun telah usai.

“Kak, jadi kamu mau pulang bareng Ayyan aja?” tanya Papi.

“Iya, Pi. Aku nyusul kok abis ini.”

“Jangan ngebut kamu,” Mami memperingati sebelum masuk ke mobil sang suami. Rayyan pun seketika membalasnya dengan melakukan gerakan hormat.

Setelah mobil Papi melaju, meninggalkan area rumah Rayyan, Athaya pun menyalami Mama dan Papa lalu berkata,

“Tante, Om, aku juga izin pamit.”

“Iya, sayang. Hati-hati ya.”

Papa menepuk pundak Rayyan, “Kamu hati-hati bawa mobilnya.”

“Iya, Pa.”

Rayyan lalu mempersilakan Athaya untuk masuk di dalam mobilnya. Setelahnya, dia pun ikut masuk lalu menginjak pedal gas hingga kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan area pekarangan rumahnya.

Selama dalam perjalanan pulang, senyum manis di bibir Athaya juga Rayyan gak pernah pudar. Sesekali mereka saling melirik, lalu berakhir tersipu sendiri.

“Ternyata orang tua kita lebih gak sabaran ya,” tutur Rayyan.

“Kaget banget gue pas mereka bilang lamarannya Minggu depan aja,” sambungnya lalu terkekeh.

“Mm,” Athaya bergumam, “Tapi kok gue jadi deg-degan gini ya?”

“Sama,” balas Rayyan lalu menggenggam tangan Athaya.

Mereka saling berbagi senyum sejenak sebelum kembali natap jalan raya di depan mereka. Tapi gak lama berselang, Athaya lalu dibuat heran saat Rayyan justru gak membawa mobilnya menuju arah pulang ke rumah.

“Yan, kita mau ke mana?”

“Ke warung Bang Alwi,” Rayyan menoleh, “Kita udah lama gak makan berdua di sana tau, Ya.”

Athaya hanya mengangguk lalu menyandarkan kepalanya dengan nyaman di bahu Rayyan.

Sampai gak lama berselang, dia dan pacarnya itu udah sampai di area parkir yang gak jauh dari warung Bang Alwi. Mereka pun sama-sama turun dari mobil lalu nyamperin Bang Alwi yang sibuk menerima pesanan pelanggan.

“Kamu nunggu di meja gih.”

Athaya tersenyum tipis sebelum melangkah ke salah satu meja yang masih kosong. Sementara Rayyan memberitahu pesanan nasi gorengnya ke Bang Alwi.

“Oh iya, Bang. Tolong diitung ya, yang lagi makan di sini sekarang ada berapa orang. Biar saya yang bayarin,” katanya diikuti senyum.

Bang Alwi kaget, “Serius, Mas?”

“Serius, Bang.”

“Mashaallah,” Bang Alwi berdecak kagum, “Udah ganteng, baik lagi.”

Rayyan ketawa, “Makasih, Bang.”

“Jadi entar saya bilang apa nih ke yang lain, Mas?” tanya bang Alwi.

“Bilang aja, yang bayarin nasi goreng mereka bentar lagi mau nikah. Jadi minta doanya aja semoga semuanya dilancarin.”

“Siap,” Bang Alwi senyum.

“Saya juga ikut doain ya, Mas. Semoga Mas sama Mas ganteng yang satu lagi langgeng, sampai maut memisahkan,” jelasnya.

“Aamiin. Makasih, Bang.”

Setelah mengucap terima kasih, Rayyan lalu bergegas nyamperin Athaya. Pacarnya itu menatap wajahnya lekat-lekat sebelum bertanya, “Kok lama banget?”

“Tadi aku ngomongin konspirasi sama Bang Alwi,” jawab Rayyan.

“Konspirasi apaan lagi, anjing.”

Athaya menoyor kepala Rayyan. Tapi pacarnya itu hanya tertawa kecil sebelum meraih tangannya. Menggenggamnya begitu erat, sesekali mengecupnya lembut.

“Ayyan.”

“Mm?”

I love you.”

Rayyan terkekeh mendengar ungkapan cinta Athaya yang begitu tiba-tiba. Dia pun beralih mengusap pelan puncak kepala pacarnya itu sebelum berkata,

I do love you, botak.”