Adiksi
Arga baru saja selesai memasang dasinya. Sebab saat berangkat ke kantor tadi ia hanya mengenakan celana kain dan kaos oblong, pun sendal jepit dari rumah akibat terburu-buru. Bukan karena ia kesiangan, tapi justru karena sang Mama yang terus memaksa agar mereka berangkat bersama dan datang ke kantor lebih awal.
Pada sekon berikutnya, wangi yang sempat ia cium ketika lewat di depan meja sekertarisnya tadi tiba-tiba semakin menyengat lubang hidungnya. Wangi yang Arga yakini adalah parfum Deva.
Wangi itu—sebenarnya—sama sekali tidak menusuk layaknya pengharum mobil varian jeruk yang ia benci. Arga justru amat menyukai wanginya yang segar nan ringan seperti bunga mawar di tepi hutan tropis. Tapi sensasi yang datang ketika ia menghirup wangi itu lah yang membuatnya pusing. Pasalnya, Arga merasa berahinya terpancing. Adiksinya pada wangi itu bahkan membuat ia ingin segera berlari ke toilet untuk melepas hasrat yang telah berada di ujung alat kelaminnya.
“Pak Arga.”
Mendapati Deva berjalan ke arah mejanya, Arga lantas berbalik. Ia menghadap ke jendela sambil berpura-pura merapikan dasi. Arga khawatir jika Deva akan melihat hingga menyadari bahwa pusat ereksinya—yang entah sejak kapan—menggembung. Terlebih saat ini Arga sendiri pun belum memasang jasnya. Gawat.
Dia gak mungkin bilang kalau dia turn on gara-gara parfum Deva, yang ada bawahannya itu bakal mikir kalau dia emang udah gila.
“Kamu ngapain ke sini?” ketus Arga, “Kenapa gak nunggu saya di meja kerja kamu aja sih? Ck!”
“Maaf, Pak. Saya izin ngasih Pak Arga ini,” Deva lantas meletakkan masker hitam yang masih dalam kemasan di atas meja atasannya.
Arga yang diam-diam melirik ke arah mejanya pun melihat hal itu. Membuatnya seketika menaruh tanya di kepala tentang masker yang baru saja Deva berikan.
“Ngapain kamu ngasih saya masker?” tanya Arga heran.
“Saya gak bawa parfum selain yang saya pakai sekarang, Pak. Mana parfum saya ini wanginya tahan lama,” jelas Deva, “Jadi saya ngasih Pak Arga masker biar pas saya temani ke kantor Bu Ririn nanti gak makin pusing,” katanya.
“Ya udah. Sana, kembali ke meja kamu. Saya udah hampir mual nih gara-gara parfum kamu,” titah Arga yang disanggupi Deva.
Tepat setelah sekertarisnya itu melenggang pergi, Arga lantas menghela napas lega. Berbalik, ia kemudian meraih masker yang Deva berikan; menatapnya lamat. Dan entah kenapa pikiran Arga tiba-tiba kembali berlabuh ke ucapan rancu orang gila yang ia—juga Deva—temui pekan lalu. Terlebih saat ia mengingat kalau Deva disebut sebagai Omega yang harus menikahi Alpha.
Sudah hampir satu Minggu Arga merasa dibayang-bayangi oleh kalimat tentang kegagalan dalam urusan asmara, pun terkait Alpha dan Omega. Bahkan Arga sempat berselancar di internet, mencari tau maksud Alpha yang menikahi Omega. Namun yang Arga dapati hanya karangan fiksi dari para penggemar K-pop juga manga. Ia pun mencoba membaca sedikit dari satu di antaranya, namun respon Arga selama memahami tulisan itu hanya tercengang.
Bagaimana tidak?
Seorang Alpha juga Omega yang ada di dalam karya yang ia baca digambarkan sebagai sepasang kekasih; dan dua-duanya pria. Keduanya akan melakukan sex, terlebih ketika sang Alpha Rut atau saat Omeganya Heat. See? Bahkan Arga sudah hapal dengan istilah yang entah artinya apa.
Sekarang Arga pun mengubah pikirannya tentang orang gila pekan lalu. Ia yakin orang itu gila bukan karena tidak lulus menjadi guru fisika, namun karena gagal menjadi penulis fiksi terkenal.
Mendengus pelan saat sadar jika ia memikirkan hal tidak penting terlalu jauh, Arga lalu menunduk. Mendapati kejantanannya masih menegang. Gak ada cara lain. Ia harus segera ke toilet. Sekarang.
Sementara itu, Deva yang saat ini memilih untuk menunggu Arga di depan pintu ruangan lantas melirik jam tangannya. Ia heran karena atasannya tidak kunjung datang. Mau memeriksa pun ia sudah pikir panjang, entar malah kena omel lagi gara-gara parfum.
Beruntung gak lama berselang, sosok yang Deva nanti akhirnya keluar dari ruang kerjanya. Arga datang dengan memakai masker yang ia berikan tadi. Deva lalu mempersilakan sang CEO untuk berjalan lebih dulu menuju lift, sedang dirinya lantas mengekori.
Ketika mereka telah berada di dalam lift, Arga lantas menyadari bahwa Deva telah mengenakan dasi berbeda. Di balik maskernya ia tersenyum geli lalu bersuara.
“Dasi baru?”
Deva yang tidak mendengar jelas ucapan sang atasan menautkan kedua alisnya, “Maaf, Pak? Tadi Pak Arga bilang apa?” Tanyanya.
“Budek ya kamu?” Arga berdecak.
“Punya bawahan kenapa ada aja sih gangguan kesehatannya. Ada yang minus, ada yang budek…” keluh Arga. “Ke THT sana. Kamu punya BPJS kan? Dipake dong.”
Ni orang bisa gak sih satu jam aja gak ngomel? Batin Deva pasrah lalu menarik napas dalam-dalam.
“Saya gak budek kok, Pak. Cuman Pak Arga kan lagi pake masker, jadi saya dengernya kurang jelas.”
Menghela napas, Arga kemudian mencondongkan badan ke arah Deva. Tapi melihat bawahannya itu refleks melangkah mundur hingga menubruk dinding lift, ia seketika kaget. Terlebih ketika ia menyadari napas Deva tersengal; nampak bahwa Deva ketakutan.
“Pak Arga mau ngapain?”
Arga membuka maskernya. “Saya mau ngomong di samping telinga kamu,” ia berdecak, “Budek sih.”
Saat sang CEO kembali memakai masker lalu menggeser langkah guna menjauhinya, Deva lantas menghela napas pelan. Entah. Ia tiba-tiba panas dingin kala Arga mendekat tadi. Mungkin ini efek traumanya setelah dilecehkan, pikir Deva. Anehnya, Deva justru tidak merasa takut. Tapi sensasi seolah perutnya ditarik kuat oleh magnet untuk menempeli Arga lantas membuat Deva ketakutan. Alhasil, ia memaksakan tubuhnya agar bergegas menghindari Arga.
Apa jangan-jangan kantor ini berhantu? Batin Deva gelisah.
Tapi di tengah kegelisahannya, Deva nyaris dibuat pingsan saat Arga tiba-tiba saja berteriak.
“Tadi saya tuh nanya! Kamu pake dasi baru?!” Arga bertanya sambil meninggikan suara, sama sekali tidak terdengar kalau ia marah. Tapi ia justru berteriak seolah sedang hilang di tengah labirin dan berusaha mencari bantuan.
Mengusap kupingnya sejenak, Deva lalu mengangguk pelan.
“Iya, Pak. Saya beli dasi di market place semalem, pake uang yang Pak Arga kasih.” jawabnya sambil berusaha untuk tetap tenang.
“Cepet juga nyampenya! Kamu pake pengiriman instant ya?!”
Lagi.
Arga kembali berbicara sambil berteriak di balik maskernya. Dia bener-bener kayak lagi berusaha ngomong sama orang yang budek.
Jangan tanya Deva bagaimana. Ia sudah nyaris ikut berteriak kesal karena gendang telinganya sakit mendengar suara tinggi Arga.
“Pak Arga,” Deva mendesis pelan, “Kalau Pak Arga teriak-teriak gini mulu, entar suara Bapak keburu hilang pas ketemu client nanti.”
“Saya denger kok, Pak. Cuman yang pertama tadi emang rada gak jelas di telinga saya,” timpal Deva, “Saya minta maaf ya, Pak.”
“Kamu sih, segala pake alasan gak denger karena saya pakai masker. Kalau budek ya budek aja,” ketus Arga lalu menatap ke atas pintu lift. Ia heran, sebab sedari tadi mereka belum sampai juga. Padahal kantor Mamanya hanya berada satu lantai di atas kantornya. Tapi yang kemudian terjadi, Arga dibuat kaget saat melihat bahwa angka lift turun sangat jauh ke lantai bawah.
“Loh? Kok kita malah turun?”
Deva ikut mendongak, matanya terbelalak. Pasalnya, ia sangat yakin bahwa tadi ia memencet lantai enam puluh tiga. Lift pun gak menunjukkan tanda-tanda akan turun sebelumnya. Tapi kenapa sekarang mereka justru sudah ada di lantai lima puluh?
“Pak Arga…”
“Ditanya malah manggil saya,” protes Arga. Tapi ia kemudian heran saat Deva mendekatinya.
“Kamu mau ngapain?” tanyanya.
Deva bergidik, “Pak, kayaknya di kantor Pak Arga ada hantu deh.”
“Minggu lalu kita ketemu orang gila, terus sekarang liftnya malah turun. Padahal Pak Arga liat kan tadi saya mencet angka lantainya udah bener, liftnya mau ke atas.”
“Omong kosong. Ini error doang. Udah biasa,” kata Arga, “Cepetan kamu pencet lagi gih. Mama saya udah nungguin kita dari tadi tau.”
“Baik, Pak.”
Deva melakukan perintah Arga. Tapi pikirannya masih tertuju ke berbagai macam keanehan yang dirasakannya. Terlebih saat Deva berada di samping sang atasan.
Terlalu sibuk dengan pikirannya nyaris membuat Deva gak sadar kalau ia dan Arga telah sampai di lantai enam puluh tiga, dimana kantor Bu Ririn berada. Ia lalu mempersilakan Arga keluar lebih dulu sekaligus membiarkan sang atasan menuntunnya menyusuri kantor sang Mama. Meski sudah satu Minggu bekerja di Hardiyata Group, baru kali ini Deva akan bertemu pemilik saham terbesar sekaligus generasi kedua dari founder perusahaan besar itu.
Jujur saja Deva gugup. Ia takut jika nasib sial kembali melanda dirinya saat bertemu orang paling penting di kantornya itu.
Amit-amit, jangan sampai.
“Mama udah nunggu dari tadi.”
Deva menelan ludah ketika ia dan Arga akhirnya sampai di private lounge yang tidak jauh dari ruang kerja Bu Ririn. Wanita paruh baya itu pun telah duduk di salah satu meja, namun ia tak sendiri. Ada seorang wanita lain yang tak asing di mata Deva. Ia pun mengingat bahwa wanita itu adalah sosok yang kerap menjadi temen ngobrol Eren di Twitter.
“Tadi lift-nya error,” jelas Arga lalu membuka masker sebelum duduk di hadapan Mamanya, “Jadi aku ke lantai bawah dulu.”
“Kok kamu pakai masker, Ga? Lagi flu?” Bu Ririn pun khawatir.
“Enggak. Tadi ada bau gak enak aja di ruang kerja aku,” Tatapan Arga kemudian bergeser ke arah perempuan di samping sang Mama, “Ngapain dia di sini?”
“Kamu nanyanya kok gitu sih?” Mama berdecak, “Mama sekalian ngajak Luna sarapan bareng juga. Soalnya kemarin Luna tuh udah banyak bantuin Mama di kantor.”
Arga hanya menghela napas lalu melirik Deva yang justru masih berdiri di sampingnya. “Duduk.”
“Baik, Pak. Terima kasih.”
Sadar jika sang Mama sedang sibuk memerhatikan Deva, Arga kembali bersuara. “Ma, kenalin. Ini Deva, sekertaris baru aku.”
“Lagi?” Sindir Mama lalu melirik Deva sambil mengulas senyum tipis, “Selamat datang ya, Deva. Semoga kamu betah sama Arga.”
“Terima kasih, Bu.”
“Oh iya. Kenalin ini Luna,” Wanita paruh baya itu menepuk pelan pundak perempuan yang duduk di sebelahnya, “Dia ini mantan sekertaris Arga, sekarang Luna udah jadi Financial Manager.”
Deva tersenyum ke arah Luna, “Salam kenal, Bu. Saya Deva.”
“Gak usah manggil Ibu,” Luna terkekeh, “Panggil Mba aja. Kamu temennya Eren kan?” Tanyanya.
“Iya, Mba. Saya temennya Eren.”
“Jadi kita mau sarapan di sini apa basa-basi?” celetuk Arga dingin.
Bu Ririn geleng-geleng kepala, “Kamu yang telat tapi kamu juga yang gak sabaran. Bentar lagi juga pelayan yang tadi udah dateng ke sini bakal balik lagi.”
“Mama minta dibikinin apa?”
“American breakfast, Ga.”
“Kenapa gak minta dibikinin nasi uduk aja sih? Atau nasi goreng kek. Lebih ngenyangin daripada telor ceplok sama sosis doang.”
Mendengar bagaimana Arga bahkan melayangkan protes ke Mamanya sendiri membuat Deva merasa atasannya itu emang gak bisa diem. Mamanya aja diprotes apalagi orang lain? Batin Deva.
Sementara itu, Arga yang duduk bersebelahan dengan Deva pun kembali menghirup wangi segar dari parfum Deva. Beruntung kali ini pusat ereksinya tidak bangkit lagi, tapi justru timbul keinginan agar ia menghirup wangi itu langsung di tubuh Deva; ia amat menyukainya. Udah gila lu, Arga.
Menoleh, mata Arga kemudian memicing saat melihat keringat membanjiri pelipis Deva. Alhasil, ia pun merogoh saku celananya. Mengeluarkan sapu tangan yang selalu ia bawa lalu menyodorkan kain itu di depan perut Deva.
Deva yang bingung melihat Arga menyodorkan sapu tangan pun bertanya, “Ada apa ya, Pak?”
“Tuh, keringat di pelipis kamu.”
“Eh? Deva panas ya?” Bu Ririn heran, “Tapi ini suhu AC-nya udah sembilan belas loh. Apa mau diturunin lagi aja suhunya?”
Deva lantas mengibaskan tangan sopan, “Gak perlu, Bu. Saya gak apa-apa. Saya emang sering gini.”
Ya. Terpaksa Deva harus bohong. Sebab ia sendiri pun tidak paham kenapa tubuhnya tiba-tiba panas sedari tadi. Terlebih saat lengan Arga dan lengannya tidak sengaja bersentuhan; bersamaan dengan sensasi aneh dimana ia merasa ingin Arga terus menyentuhnya.
Deva, Arga emang nyebelin tapi jangan gila sekarang ya? Batin Deva sembari berusaha untuk mengembalikan akal sehatnya.
Tak lama berselang, pelayan pun datang. Membawa menu sarapan seperti yang Bu Ririn inginkan serta kopi sebagai minumannya. Namun baru saja sang pelayan hendak meletakkan kopi tepat di hadapan Deva, Arga menyeletuk.
“Mas, kopi yang itu diganti.”
Deva menoleh, menatap Arga heran—Pak Arga kenapa lagi sih?
“Tolong bawain susu full cream tapi yang plain,” Arga menimpali.
“Baik, Pak.” kata si pelayan.
Bu Ririn heran. “Kok kamu ganti kopinya Deva pake susu sih, Ga?”
“Dia gak biasa minum kopi, Ma. Entar kalau dia asam lambung, aku juga yang susah. Kerjaan dia buat hari ini banyak,” jawab Arga.
“Tapi kamu gak nanya dulu ke Deva dia suka susu apa gak,” kata Bu Ririn lalu menatap bawahan anaknya kasihan, “Deva suka?”
“Suka. Dia tiap hari minum susu gitu. Udah deh, jangan dibikin ribet.” sergah Arga, sedang Deva hanya mampu tersenyum pasrah.
Tapi jauh di lubuk hatinya, Deva benar-benar berterima kasih ke Arga. Sebab jika bukan sang CEO yang meminta untuk mengganti kopinya dengan susu, mau gak mau dia harus meminum cairan hitam pekat yang bisa membuat Deva seketika insomnia itu. Ia tidak mungkin berani meminta untuk mengganti minum sendiri, apalagi di hadapan Bu Ririn.