First Met

Deva lantas menganga saat Eren menuntunnya memasuki gedung Hardiyata Group. Sebelumnya, Deva hanya bisa melihat betapa megahnya salah satu gedung pencakar langit di Ibukota itu ketika lewat di jalan raya menuju kantor lamanya. Tapi kini, Deva akhirnya bisa berdiri di tempat yang menjadi tujuan utama para pencari kerja. Termasuk dirinya.

Eren termasuk orang yang hebat dan beruntung menurut Deva. Dari sekian banyaknya pesaing, sahabatnya itu menjadi satu dari sekian karyawan—bahkan bisa dihitung jari—yang diterima pada saat Hardiyata Group sedang gembar-gembor membuka rekrutmen tiga tahun lalu.

Rejeki emang gak bakal tertukar.

“Kantor Pak Arga ada di sini,” ucap Eren sesaat setelah pintu lift di lantai enam puluh dua terbuka, “Kalau lantai yang di atas kantor Mamanya, Bu Ririn.”

Deva mengangguk mendengar penjelasan singkat Eren padanya. Ia kemudian kembali mengikuti langkah kaki sahabatnya hingga mereka sampai di depan sebuah pintu; yang ia yakini adalah pintu ruangan Arga. Deva pun menelan ludah ketika Eren mengetuknya pelan sejenak lalu membukanya.

“Siang, Pak Arga.”

Eren menyapa Arga yang sedang berdiri sambil melipat lengan di samping jendela. Nampak kalau lelaki bertubuh jangkung itu asik menatap hiruk-pikuk Ibukota.

Atau mungkin lagi ngelamun aja?

Hanya Arga yang tau, pikir Deva.

Ketika sosok bernama Arga itu berbalik, tatapannya seketika bertemu dengan Deva yang berdiri di samping Eren. Meski ada rasa gugup juga canggung, tapi Deva—sebisa mungkin—gak mau nunjukin itu. Ia tetap setia menatap Arga dengan mengulas senyum ramahnya. Beruntung Arga membalasnya; meski amat singkat dan terkesan ogah-ogahan. Entah, mungkin cuma pikirannya aja. Batin Deva.

Tapi ada hal lain—pula—yang justru membuat Deva ingin berlama-lama memandangi wajah Arga. Ya. Kalau dilihat secara kasat mata, Arga emang ganteng. Rahang tegas, hidung bangir, bibir penuh dan sorot mata teduhnya nyaris sempurna. Tapi bukan karena wajah yang rupawan itu lah yang membuat Deva lantas terpaku. Namun ia merasakan sensasi aneh timbul di balik dadanya ketika netranya dan Arga bertubrukan tadi.

Sensasi seolah dirinya baru saja bertemu dengan seseorang yang telah lama berpisah dengannya. Ada rasa senang, tapi juga gugup.

Aneh.

“Ini Deva, Pak. Sahabat saya yang saya ceritain ke Bapak kemarin.”

Arga mengangguk lalu duduk di kursi kerjanya. “Silakan duduk.”

“Terima kasih, Pak.” ucap Deva.

Deva kemudian duduk pada salah satu kursi, tepat di hadapan Arga. Pun Eren yang setia berada di sampingnya.

“Kamu mau jadi sekertaris juga?”

Mata Deva berkedip bingung kala Arga bersuara. Tapi melihat jika sosok di hadapannya itu sedang memandangi Eren, Deva lantas paham kalau yang Arga maksud barusan adalah sahabatnya.

“Saya, Pak?” tanya Eren sambil menunjuk wajahnya sendiri.

“Iya. Kamu.”

Eren cengar-cengir. “Gak kok, Pak. Saya cuma nemenin Deva.”

“Terus kamu ngapain ikutan duduk di situ?” Sela Arga. “Mau saya interview bareng Deva?”

“Gak, Pak.”

Eren tersenyum kikuk sebelum berdiri di samping meja Arga.

“Sekarang kamu mau ngapain lagi di situ?” Protes Arga—lagi.

“Berdiri, Pak. Kan saya gak mau di-interview bareng Deva,” kata Eren lalu kembali tersenyum.

Deva yang melihat bagaimana tingkah sang CEO dengan Eren lantas mulai menangkap watak Arga. Bawel sih emang, pikirnya. Tapi Deva justru menganggap hal itu lucu. Belum ada tanda-tanda kalau ucapan Arga pedas kayak yang udah Eren bilang kemarin.

“Di kepala kamu ada apa?”

Eren lalu mengusap rambutnya, “Eh? Ada sesuatu di kepala saya ya, Pak?” Tanyanya lalu melirik Deva dan berbisik, “Ada apaan?”

Deva menggeleng, “Gak ada.”

Eren lalu kembali menatap sang atasan. “Kata Deva gak ada apa-apa kok di kepala saya, Pak.”

“Pantes kamu tolol. Ternyata di kepala kamu gak ada otak,” kata Arga lalu menghela napasnya, “Sana. Kamu duduk di sofa. Masa gitu aja musti dikasih tau dulu?”

“Ooh,” Eren menggaruk-garuk tengkuknya. “Baik, Pak. Maaf.”

Deva menahan napas saat Arga beralih menatapnya. Ia yang tadi kaget mendengar Eren disebut tolol lantas bungkam. Sekarang dia paham kenapa Eren bilang kalau mulut Arga kayak cabe.

“Siang, Deva.”

“Siang, Pak. Bapak apa kabar?”

Mata Arga memicing, “Kamu sok kenal juga ya. Emang kalau kabar saya gak baik, kamu mau anterin saya berobat ke rumah sakit?”

Deva bisa mendengar bagaimana Eren yang duduk di sofa dalam ruangan Arga tengah menahan tawa. Padahal Deva cuma pengen nunjukin antusiasmenya buat di-interview sama Arga, tapi malah kena semprot duluan. Apes lagi.

Tenang, Deva.

Tenang.

Deva berusaha menyemangati dirinya sendiri dalam hati. Senyum di bibirnya pun masih terpatri. Ia tidak ingin menyerah.

“Saya bisa kok bawa Pak Arga ke rumah sakit kalau lagi gak enak badan,” balas Deva, “Tapi biaya ditanggung sendiri ya, Pak. Kan tadi Bapak nanya saya mau antar Bapak berobat ke RS apa gak.”

“Gak usah. Kabar saya baik,” kata Arga, “Kamu sendiri apa kabar?”

Deva senyum, “Kabar baik, Pak.”

Mengangguk pelan, Arga lalu meraih rubik kubus yang ada di atas mejanya. Deva pun lantas heran melihat Arga mengubah susunan warna rubik yang semula telah seragam itu jadi berantakan. Rasa heran Deva kemudian berganti menjadi rasa terkejut kala Arga menyodorkan rubik itu padanya sambil berkata.

“Coba kamu samain lagi warna rubik itu kayak tadi,” titah Arga, “Saya kasih waktu lima menit.”

Deva menelan ludah. Kenapa dia jadi disuruh nyusun rubik? Batin Deva resah. Meski begitu, Deva tetap menurut. Dengan sigap ia mengutak-atik rubik yang telah digenggamnya, mencari warna yang sama dengan tergesa-gesa.

“Kamu kenapa resign dari kantor lama kamu?” tanya Arga kepada Deva yang masih berusaha keras menyusun rubik warna warni itu.

“Saya merasa kalau kemampuan yang saya dapat di kantor lama sudah cukup, Pak. Jadi saya mau explore lebih jauh lagi skill yang bisa saya kembangkan di tempat baru. Khususnya di perusahaan Bapak ini,” jawab Deva tanpa menghentikan gerak jarinya.

Template,” sela Arga, “Jawab apa adanya aja. Saya di sini mau tau alasan kamu, bukan mau denger kamu promosiin diri sendiri.”

Arga lalu menatap jam tangan di pergelangannya, “Empat menit.”

Anjing.

Deva mengumpat dalam hati. Baru kali ini ia melakukan sesi interview yang amat tidak biasa. Bukan hanya karena ia diminta menyusun rubik sambil ditanya, tapi juga respon Arga yang selalu saja di luar ekspektasinya. Entah Arga cuma nge-tes dia atau CEO Hardiyata group itu emang beda.

“Jawaban saya sebelumnya sama sekali bukan template, Pak. Itu memang salah satu alasan saya.”

“Tapi kalau Pak Arga ingin tau alasan saya yang lain, jujur saja, kemarin atasan saya mecat saya sepihak. Jauh sebelumnya saya sudah mengajukan resign, tapi gak di-approve waktu itu sama atasan saya. Beruntung tim HRD kantor lama saya memihak saya dan ngeluarin surat resign tadi.”

“Kalau tim HR memihak kamu seharusnya kamu bertahan dulu di posisi kamu dong?” Sela Arga, “Apalagi belum tentu juga saya nerima kamu di sini nanti kan?”

Deva menghela napasnya setelah ia selesai menyusun rubik dalam waktu kurang dari lima menit. Ia lalu menatap mata Arga, sang CEO jelas menanti jawabannya.

“Saya gak akan bisa dan gak akan sanggup untuk kembali ke posisi lama saya di sana, Pak.” ujarnya.

“Alasannya?” Tanya Arga.

“Saya dilecehkan,” jawab Deva.

“Sama atasan kamu?”

Deva mengangguk, “Iya, Pak.”

“Terus kenapa gak dilaporin?”

Deva tersenyum. “Kalau pun saya laporin, belum tentu juga orang lain percaya sama saya. Bahkan kalau mereka tau kebenarannya pun, belum tentu juga mereka akan memihak sama saya lagi.”

“Atasan saya udah berkontribusi banyak untuk perusahaan, lalu saya? Saya kerja di sana baru tiga bulan. Jomplang, Pak. Jadi saya memilih buat pergi saja seperti tujuan awal saya yang ingin nyari tempat baru buat berkembang.”

“Apa yang saya alami mungkin emang udah nasib apes saya.”

Pasrah; satu kata yang terbesit di dalam benak Deva saat ini. Ia tau apa yang baru saja diutarakannya pada Arga mungkin akan menjadi nilai minus baginya. Tapi Deva—entah kenapa—tiba-tiba merasa lega ketika meluapkan semuanya kepada Arga. Ia pun tidak bisa mengontrol diri untuk berhenti.

Meraih rubik yang disodorkan Deva tadi, Arga lalu menarik napasnya dalam-dalam sejenak. Ia kemudian kembali menatap wajah Deva lamat setelahnya.

“Saya gak bisa nerima kamu kerja di kantor saya hari ini,” kata Arga.

Deva kaget. Ia pikir keputusan tentang diterima atau tidaknya ia akan disampaikan melalui Eren. Tapi Arga ternyata mengatakan hal itu langsung di hadapannya.

“Soalnya abis ini saya juga udah mau balik. Gak ada kerjaan buat kamu,” sambung Arga yang bikin Deva menahan senyumnya. “Jadi kamu mulai kerjanya Senin aja.”

Arga menjulurkan tangannya, mengajak Deva bersalaman. Deva pun meraihnya, menjabat tangan sang atasan beberapa sekon.

“Selamat bergabung di sini.”

“Makasih banyak, Pak Arga.”

Ada rasa tidak percaya di benak Deva kalau ia akan diterima oleh sang CEO dengan se-mudah ini. Ia pun masih penasaran apa Arga memang melihat potensi dalam dirinya atau justru ia diterima hanya karena bisa menyelesaikan susunan rubik tadi lebih awal.

Ketika tautan tangan keduanya terlepas, Eren pun menghampiri. Deva lalu melirik sang sahabat sambil tersenyum sumringah.

“Kalian nunggu apa lagi?” Arga bersuara, “Sana, pulang. Apa mau beresin ruang kerja saya dulu?”

Eren menggeleng. “Gak, Pak.”

“Ya udah. Keluar.”

“Terima kasih banyak waktunya untuk hari ini, Pak. Saya permisi,” tutur Deva lalu bangkit dari kursi setelah Arga mengangguk kecil.

Deva kemudian melangkah pelan di belakang Eren yang berjalan lebih dulu. Tapi belum sempat Deva melewati sekat—yang ia yakini—adalah pemisah antara ruang kerjanya dengan Arga nanti, sang CEO lantas bersuara.

“Deva!”

Deva menoleh. “Iya, Pak?”

“Kamu sama saya udah pernah ketemu sebelum hari ini gak?”

“Seingat saya enggak, Pak.”

Arga mengangguk, masih sambil menatap Deva. “Berarti emang muka kamu aja yang pasaran.”

Deva, sabar.