Pertemuan keluarga
“Ma,” panggil Rayyan, “Aya sama Mami Papinya udah dateng loh.”
Mama yang semula lagi menata meja makan seketika terbelalak. Nampak kaget tapi juga antusias mendengar penuturan Rayyan yang baru saja menghampirinya.
“Ya ampun, kok gak manggil Mama sih? Terus sekarang mereka mana? Udah masuk?”
“Kan ada aku sama Papa,” jawab Rayyan, “Mereka udah di ruang tamu. Lagi ngobrol sama Papa.”
“Tanteee!”
Mama lantas melebarkan mulut sebelum merentangkan tangan ketika melihat Athaya tiba-tiba datang ke ruang makan; berlari kecil ke arahnya. Mereka lalu berakhir saling berpelukan erat sambil terkekeh. Sementara Rayyan yang melihat tingkah keduanya hanya tersenyum tipis.
“Tante, aku kangen.”
Mama mengangguk, mengusap pelan punggung Athaya lalu berkata, “Tante juga kangen banget sama kamu, sayang.”
Athaya melepaskan dekapannya. Beralih memandangi wajah si wanita paruh baya yang sibuk mengusap lembut kepalanya.
“Kamu makin ganteng aja, Ya.”
“Jangan dipuji, Ma. Entar dia kegeeran terus sombong.”
“Gak apa-apa, Tante. Puji aku aja, biar Rayyan kupingnya panas.”
Mama hanya tersenyum sambil geleng-geleng saat Athaya dan Rayyan saling menoyor kepala.
“Udah, kalian tunggu di sini ya. Mama mau manggil Mami sama Papinya Aya buat makan siang.”
Athaya mengangguk pelan lalu menoleh ke arah meja makan.
“Ya ampun, Tante kok masaknya banyak banget?” Athaya melotot.
“Loh gak apa-apa. Kan hari ini—” Mama tiba-tiba terdiam sesaat lalu berdeham pelan, “Hari ini kalian baru pertama kali datang, jadi Tante harus masak banyak.”
“Tante juga udah bikin perkedel kentang kesukaan kamu,” ucap Mama lalu mencubit pipi Athaya.
“Makasih, Tante.”
Mama mengangguk kecil, “Tante ke ruang tamu dulu ya, sayang.”
Athaya tersenyum tipis sembari melihat Mama melenggang pergi dari ruang makan. Dia kemudian melirik perkedel kentang di meja.
“Gue boleh nyoba gak?”
Rayyan menggeleng, “Gak boleh.”
Athaya memicingkan mata lalu menjulurkan tangannya, hendak meraih perkedel itu. Tapi Rayyan dengan sigap menepuknya keras.
Mendesis kesal, Athaya lantas melakukan hal serupa. Membalas perlakuan Rayyan hingga mereka saling memukuli sambil tertawa kecil. Terlebih saat Rayyan lantas memeluk Athaya dari belakang lalu menggelitiki perut ratanya.
“Ayyan… Udah…”
Athaya merengek pasrah.
“Ngapain lagi tuh mereka?”
Rayyan dan Athaya buru-buru melepaskan tautan mereka saat suara Mami menggema. Mereka pun hanya cengar-cengir, melihat Mama, Papa, Mami, juga Papi berjalan ke ruang makan.
“Ya ampun, Jes. Kamu masaknya kok banyak banget?” ucap Mami.
“Gak banyak kok ini,” balas Mama lalu mempersilakan Mami dan Papi Athaya untuk segera duduk.
Athaya dan Rayyan pun ikut bergabung. Mereka duduk bersebelahan, tepat di depan Mami dan Mama. Sedang Papi berseberangan dengan Papa di sisi tengah meja persegi itu.
“Abisin,” bisik Rayyan setelah meletakkan empat perkedel kentang di piring Athaya.
“Ini masih kurang by the way,” balas Athaya. Dia ikut berbisik.
Acara makan siang—sekaligus pertemuan dua keluarga itu pun berlangsung. Dan baik itu Athaya maupun Rayyan seketika merasa terharu saat melihat orang tua mereka mulai bercengkerama.
Sampai ketika Mami menatap Athaya dan Rayyan bergantian, wanita paruh baya itu bertanya,
“Jadi kalian udah milih tanggal?”
Hal itu sontak membuat Athaya juga Rayyan refleks menautkan kedua alis mereka kebingungan.
“Tanggal apa, Mi?” tanya Athaya.
“Ya tanggal buat lamaran sama tanggal resepsi nikahan kalian.”
Athaya menoleh ke Rayyan. Jelas kalau pacarnya itu juga terkejut.
Athaya dan Rayyan lantas saling menatap wajah satu sama lain sejenak. Otak mereka tiba-tiba blank mendengar ucapan Mami. Rasa terkejut dan bingung sudah bercampur dengan rasa bahagia.
“Yan, kamu kok diem aja sih? Tante Una nanya loh tadi,” Mama menimpali dengan santai, “Hari ini semuanya harus diomongin.”
Rayyan menghela napas pelan. Ada yang gak beres, pikirnya.
“Ya, kayaknya kita diusilin deh.”
Rayyan menatap Mama dan Mami lalu kembali memandangi Athaya yang masih membisu.
“Diusilin gimana?” sela Mama, “Tante Una nanya serius, Yan.”
“Tapi Mama bilang kalau hari ini kita cuma mau makan siang loh, bukan ngomongin soal nikahan.”
Mama dan Mami menahan senyum, sementara Rayyan menggeleng pelan melihatnya.
“Ini ide calon mertua kamu,” kata Mama lalu melirik Mami Athaya.
“Lagian apa lagi sih yang kalian tunggu?” timpal Mami, “Kalian kan udah sama-sama siap. Kita semua juga udah ngasih restu.”
“Buat apa nunda-nunda?” Mami menambahkan, “Saya juga udah pengen banget liat Athaya nikah.”
“Mi,” Athaya memelas. Masih gak nyangka kalau Maminya udah yakin se-jauh ini kepada Rayyan.
“Kenapa, kak? Kamu belum dikasih cincin sama Ayyan?”
Athaya tersenyum haru lalu mengangguk kecil. Matanya berkaca-kaca melihat Mami. Si wanita paruh baya pun gak jauh berbeda. Matanya memanas melihat senyum bahagia Athaya.
“Yan, cincin buat Athaya mana?” tanya Mami jenaka, “Kok belum kamu pasangin di jarinya sih?”
Rayyan tersenyum, “Entar saya pasanginnya pas lamaran, Tante.”
***
“Makasih ya, Jes.”
“Aku yang harus bilang makasih karena kamu udah dateng, Na.”
Athaya dan Rayyan tersenyum saat melihat kedua wanita paruh baya itu berpelukan erat setelah Mami berpamitan untuk pulang. Sebab hari sudah berganti jadi malam. Perbincangan panjang tentang rencana pernikahan dua anak adam itu pun telah usai.
“Kak, jadi kamu mau pulang bareng Ayyan aja?” tanya Papi.
“Iya, Pi. Aku nyusul kok abis ini.”
“Jangan ngebut kamu,” Mami memperingati sebelum masuk ke mobil sang suami. Rayyan pun seketika membalasnya dengan melakukan gerakan hormat.
Setelah mobil Papi melaju, meninggalkan area rumah Rayyan, Athaya pun menyalami Mama dan Papa lalu berkata,
“Tante, Om, aku juga izin pamit.”
“Iya, sayang. Hati-hati ya.”
Papa menepuk pundak Rayyan, “Kamu hati-hati bawa mobilnya.”
“Iya, Pa.”
Rayyan lalu mempersilakan Athaya untuk masuk di dalam mobilnya. Setelahnya, dia pun ikut masuk lalu menginjak pedal gas hingga kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan area pekarangan rumahnya.
Selama dalam perjalanan pulang, senyum manis di bibir Athaya juga Rayyan gak pernah pudar. Sesekali mereka saling melirik, lalu berakhir tersipu sendiri.
“Ternyata orang tua kita lebih gak sabaran ya,” tutur Rayyan.
“Kaget banget gue pas mereka bilang lamarannya Minggu depan aja,” sambungnya lalu terkekeh.
“Mm,” Athaya bergumam, “Tapi kok gue jadi deg-degan gini ya?”
“Sama,” balas Rayyan lalu menggenggam tangan Athaya.
Mereka saling berbagi senyum sejenak sebelum kembali natap jalan raya di depan mereka. Tapi gak lama berselang, Athaya lalu dibuat heran saat Rayyan justru gak membawa mobilnya menuju arah pulang ke rumah.
“Yan, kita mau ke mana?”
“Ke warung Bang Alwi,” Rayyan menoleh, “Kita udah lama gak makan berdua di sana tau, Ya.”
Athaya hanya mengangguk lalu menyandarkan kepalanya dengan nyaman di bahu Rayyan.
Sampai gak lama berselang, dia dan pacarnya itu udah sampai di area parkir yang gak jauh dari warung Bang Alwi. Mereka pun sama-sama turun dari mobil lalu nyamperin Bang Alwi yang sibuk menerima pesanan pelanggan.
“Kamu nunggu di meja gih.”
Athaya tersenyum tipis sebelum melangkah ke salah satu meja yang masih kosong. Sementara Rayyan memberitahu pesanan nasi gorengnya ke Bang Alwi.
“Oh iya, Bang. Tolong diitung ya, yang lagi makan di sini sekarang ada berapa orang. Biar saya yang bayarin,” katanya diikuti senyum.
Bang Alwi kaget, “Serius, Mas?”
“Serius, Bang.”
“Mashaallah,” Bang Alwi berdecak kagum, “Udah ganteng, baik lagi.”
Rayyan ketawa, “Makasih, Bang.”
“Jadi entar saya bilang apa nih ke yang lain, Mas?” tanya bang Alwi.
“Bilang aja, yang bayarin nasi goreng mereka bentar lagi mau nikah. Jadi minta doanya aja semoga semuanya dilancarin.”
“Siap,” Bang Alwi senyum.
“Saya juga ikut doain ya, Mas. Semoga Mas sama Mas ganteng yang satu lagi langgeng, sampai maut memisahkan,” jelasnya.
“Aamiin. Makasih, Bang.”
Setelah mengucap terima kasih, Rayyan lalu bergegas nyamperin Athaya. Pacarnya itu menatap wajahnya lekat-lekat sebelum bertanya, “Kok lama banget?”
“Tadi aku ngomongin konspirasi sama Bang Alwi,” jawab Rayyan.
“Konspirasi apaan lagi, anjing.”
Athaya menoyor kepala Rayyan. Tapi pacarnya itu hanya tertawa kecil sebelum meraih tangannya. Menggenggamnya begitu erat, sesekali mengecupnya lembut.
“Ayyan.”
“Mm?”
“I love you.”
Rayyan terkekeh mendengar ungkapan cinta Athaya yang begitu tiba-tiba. Dia pun beralih mengusap pelan puncak kepala pacarnya itu sebelum berkata,
“I do love you, botak.”