jaesweats

Athaya memicingkan mata saat melihat Rayyan berjalan masuk ke dalam ruang divisi. Pacarnya itu memasang tampang songong, menaik-turunkan alisnya lalu sesekali menyisir rambut yang menutupi sebagian keningnya sambil berjalan ke meja barunya.

Setelah menyimpan tas kerjanya, Rayyan lalu menghampiri Athaya. Dia duduk pada kursi lamanya sebelum menggesernya hingga berdekatan dengan kursi Athaya.

“Gue udah ganteng kan?”

“Belum,” ujar Athaya sebelum meraih dasi Rayyan, “Pake dasi yang bener aja lu gak bisa, Yan.”

Rayyan hanya menahan senyum sembari memerhatikan Athaya merapikan dasi yang dia pakai.

“Udah,” ucap Athaya.

Rayyan terkekeh, “Udah apa?”

“Udah ganteng.”

Athaya mengerutkan keningnya ketika Rayyan perlahan mengikis jarak wajah mereka. Tatapannya pun berpusat pada bibir Athaya.

“Mau ngapain lu?”

Rayyan gak menjawab. Dia hanya memanyunkan bibirnya sebelum kembali mempersempit jaraknya.

Namun Athaya dengan sigap menahan bahu pacarnya itu lalu berkata, “Jangan. Entar ada yang masuk terus ngeliat kita, anjing.”

Rayyan menipiskan bibir.

“Lu gak mau ada yang liat kan?”

Athaya curiga, “Ayyan…”

Rayyan hanya tersenyum usil sebelum menarik lengan Athaya. Dia menuntun pacarnya itu agar berdiri sebelum menyeretnya menuju rest room ruang divisi.

Athaya pun cuma bisa pasrah ketika Rayyan membawanya untuk duduk di sofa; setelah mengunci pintu res room. Tapi Athaya kemudian dibuat kaget saat pacarnya itu mendorong pelan tubuhnya. Dia berbaring dengan lengan sofa sebagai bantalnya, sementara Rayyan mengungkungnya lalu terkekeh.

“Udah gak ada yang liat kan?”

Athaya mendengus kecil diikuti senyum tipis. Dia kemudian melingkarkan kedua lengannya di tengkuk Rayyan, menariknya pelan hingga jarak wajah mereka hanya terpaut persekian senti.

Keduanya lalu berbagi senyum lembut sebelum Rayyan perlahan mengecup singkat bibir Athaya. Dia pun kembali memandangi wajah pacarnya itu sejenak, tapi Athaya semakin mempererat pelukannya di tengkuk Rayyan hingga bibir mereka menempel.

Ketika Athaya membuka mulut, Rayyan lantas menangkap bibir bawahnya. Melumatnya dengan hati-hati dan sesekali memberi hisapan juga gigitan kecil yang membuat empunya melenguh.

Gak tinggal diam, Athaya ikut membalasnya. Mengimbangi lumatan pelan Rayyan yang berganti menjadi tergesa ketika dia dengan sengaja menggoda pacarnya untuk bermain lidah.

Dan Athaya bersumpah, ciuman Rayyan semakin luar biasa. Entah karena sudah dua tahun berlalu sejak mereka gak pernah lagi melakukannya, atau memang, pacarnya itu juga semakin hebat dalam urusan memakan bibirnya.

“Anjing,” kata pertama yang Athaya ucapkan setelah Rayyan menghentikan pagutan mereka.

Rayyan terkekeh. Terlebih saat melihat Athaya ngos-ngosan di bawah kungkungannya dengan mulut yang setengah terbuka.

“Capek-capek gue bikinin lu nasi uduk, tapi malah bibir gue yang lu makan,” Athaya ikut terkekeh.

“Kalo makan bibir lu, kenyangnya sampe seminggu. Kalo nasi uduk, paling cuma sampe entar siang.”

Rayyan menggesek-gesekkan hidungnya dengan milik Athaya.

Your lips are the best breakfast ever,” timpalnya dengan bisikan.

Athaya tersenyum mengejek lalu menoyor pelan kepala pacarnya.

“Udah kan?”

“Mm,” Rayyan lantas tersenyum sumringah, “Makasih ya, sayang.”

“Ya udah, bantu gue bangun.”

Athaya merentangkan tangan. Menunggu Rayyan membantu. Tapi bukannya meraih lalu menuntun pacarnya itu untuk bangkit, Rayyan justru menjabat tangan Athaya. Membuat Athaya mendesis kesal lalu buru-buru bangun dan berakhir menepuk pelan belakang kepala Rayyan.

Sementara itu, Rayyan hanya tertawa kecil. Dia kemudian meraih kedua tangan Athaya. Menggenggamnya, sembari mengusap punggung tangannya.

“Ya, akhirnya kejawab juga ya alasan kenapa kita ketemu lagi.”

Athaya tersenyum.

“Kita ketemu buat meluruskan apa yang terjadi di antara kita, sampai akhirnya kita berdua justru saling cinta kayak gini.”

“Kita juga ketemu lagi ternyata buat jadi jalan supaya hubungan orang tua kita bisa membaik.”

“Mm,” Athaya bergumam setuju, “Gue seneng banget liat Mami bisa ngubah sudut pandangnya tentang lu sama orang tua lu.”

“Gue juga seneng karena Mami udah selesai sama rasa sakitnya dan jauh lebih bahagia sekarang.”

Rayyan mengangguk.

“Lu tau gak sih, Ya. Mama tuh sampe nangis pas cerita kalau Mami lu bales chatnya kemarin.”

“Mama bahagia banget,” katanya.

Athaya yang gak tau apa-apa seketika melotot mendengarnya.

“Ha? Jadi kemarin Mami sama Mama lu chat-an?” tanyanya.

“Iya,” jawab Rayyan, “Terus Mama mau ngajak Mami lu makan siang pas jam istirahat nanti katanya.”

Athaya tersenyum haru.

“Mama juga bilang, dia sekalian mau ngajak Mami, Papi sama lu buat dateng ke rumah pas hari Minggu,” Rayyan menambahkan.

“Supaya kalau hubungan mereka udah semakin membaik, kita bisa nentuin tanggal resepsi nikahan.”

Rayyan lalu mencubit pipi kiri Athaya, “Terus bisa ngewe deh.”

“Bangsat,” gumam Athaya.

Mereka sama-sama terkekeh.

“Tapi tadi lu nyebut tanggal dua puluh satu bulan depan,” Rayyan seketika penasaran, “Emang ada apa sama tanggal segitu, botak?”

Athaya menggeleng pelan, “Gue ngasal doang tadi. Soalnya gue inget, kita ketemu lagi di kantor ini tuh tanggal dua puluh satu.”

Rayyan memicingkan mata menggoda, “Dasar bucin.”

“Gue gak bucin ya, anjing. Gue selalu inget, soalnya itu hari paling buruk dalam hidup gue.”

“Halah.”

Rayyan mencolek dagu Athaya. Sedang Athaya dengan sigap menggigit pelan pundak Rayyan. Membuat Rayyan tertawa kecil.

“Sarapan yuk, gue laper.”

Rayyan mengangguk, “Ayo.”

“Pagi, Tante Una.”

Mami yang semula lagi sibuk ngatur makanan di meja lantas menoleh. Mendapati Rayyan berjalan ke arahnya sambil tersenyum sumringah sebelum bergegas menciumi tangannya.

“Gak sekalian dateng jam lima subuh?” Mami geleng-geleng.

Rayyan cengar-cengir.

“Kalo saya datengnya malem, entar dikira orang aneh lagi. Jadi ya udah, saya dateng pagi-pagi.”

“Tapi gak se-pagi ini juga.”

Athaya pun hanya tersenyum tipis mendengar obrolan mereka.

“Kamu bawa apa?” Mami melirik kantongan yang dibawa Rayyan.

“Oh iya,” Rayyan menyodorkan, “Mama nitip ini buat Tante Una.”

Athaya begitu juga Rayyan lantas memerhatikan respon Mami. Keduanya kemudian tersenyum lalu saling melirik sekilas ketika si wanita paruh baya meraihnya. Membuka kotak yang ada dalam kantongan itu hingga mendapati sebuah cheese cake besar di sana.

“Mama kamu yang bikin?”

“Iya, Tante. Itu dibikin semalem.”

Mami mengangguk kecil lalu melirik Rayyan, “Makasih ya.”

Rayyan tersenyum. Dia lalu menengadahkan tangan di hadapan Mami lalu berkata,

“Ongkirnya sepuluh ribu. Boleh diganti sama Athaya kalau gak ada cash,” ucapnya yang bikin Athaya yang berdiri di sisi kanan Mami seketika mendengus pelan.

“Jadi maksud lu harga diri gue cuma sepuluh ribu gitu?”

Rayyan menjetikkan jari, “Pinter.”

Athaya menipiskan bibirnya lalu mengacungkan jari tengahnya.

Sementara itu, Mami kemudian bersiap-siap untuk mencubit Rayyan. Tapi pemilik lesung pipi itu sudah lebih dulu menghindar.

“Kak, Mami mau ke depan bentar. Mau manggil Papi.”

“Oke, Mi.”

“Liatin makanan di meja. Ada kucing gede soalnya,” kata Mami.

Athaya hanya tertawa sebagai jawaban. Sebab, Mami melirik Rayyan pas nyebut kucing gede.

Selepas si wanita paruh baya meninggalkan ruang makan, Athaya lantas duduk di salah satu kursi. Diikuti Rayyan yang duduk pada kursi di samping kirinya.

“Mana sini tangan kamu.”

Athaya mengulum senyum lalu menyodorkan tangannya yang masih terasa nyeri dan perih. Rayyan pun seketika menautkan alis sambil memerhatikan tangan Athaya yang telah memerah.

“Tadi udah dibasuh pake air?”

“Iya. Udah,” jawab Athaya, “Sama tanah juga tujuh kali,” candanya.

“Lu abis kena minyak panas ye, mohon maaf. Bukan najis gede.”

Athaya tersenyum. Membiarkan Rayyan mengolesi bekas cipratan minyak di jarinya dengan krim khusus luka bakar yang dibeli si pemilik lesung pipi di apotek.

Ketika Rayyan sedang fokus mengusap pelan jemarinya, Athaya lantas memandangi wajah sang pujaan hati lekat-lekat. Dia kemudian mengecup lembut pipi Rayyan hingga empunya kaget. Tapi setelahnya, Rayyan seketika mengulas senyum mengejeknya.

“Sekarang siapa coba yang pengen banget dicium, hm?”

“Gue,” gumam Athaya.

Dia lalu memeluk leher Rayyan dari samping. Menghirup aroma yang membawa kesegaran bagai deburan ombak yang menguar.

Dan Athaya selalu menyukainya.

“Lu yang clingy ya sekarang.”

Athaya tersenyum lembut lalu mendongak, menatap Rayyan.

“Gimana gak clingy? Gue tuh gak bisa meluk lu kayak gini dua tahun lebih tau gak?” tuturnya.

Rayyan tersenyum tipis sebelum mengecup puncak kepala Athaya.

“Masih pagi.”

Rayyan begitu juga Athaya buru-buru melepaskan tautan mereka saat mendengar Mami berbicara. Pipi mereka bersemu, terlebih saat Papi meledek dengan bilang,

“Padahal semalem abis ketemu, tapi sekarang kalian malah kayak dua orang yang abis LDR-an.”

“Tau nih, Om. Aya clingy banget.”

“Tapi lu demen juga kan?”

Rayyan hanya tersenyum lalu mengedipkan satu matanya.

“Dasar ganjen,” cibir Mami.

“Udah,” Papi menengahi, “Yuk sarapan. Papi udah laper nih.”

“Bisa makan pake tangan yang itu gak?” tanya Rayyan ke Athaya.

“Emang kenapa kalau gue gak bisa? Mau disuapin?” balasnya.

“Gak, lu makan pake kaki aja.”

Mendesis kesal, Athaya lantas menginjak kaki Rayyan. Tapi pujaan hatinya itu hanya terkekeh sebelum mengoleskan selai pada roti di hadapannya.

“Nih,” Rayyan menyodorkan.

Thank you,” ucap Athaya.

Papi, juga Mami tersenyum tipis. Sedikit gak menyangka dengan apa yang mereka lihat sekarang. Sebab Athaya—yang mereka tau nyaris gak pernah bergantung ke orang lain—saat ini justru bisa bermanja-manja dengan Rayyan.

Sarapan bersama itu pun berlangsung dengan tenang. Hingga saat Rayyan telah merasa siap untuk mengatakan apa yang sedari tadi bersarang di kepala, dia kemudian berdeham pelan.

“Om, Tante.”

Rayyan menelan ludah saat Papi dan Mami refleks menatapnya.

“Kenapa, Yan?”

“Saya…” Rayyan menarik napas sejenak, “Saya ada rencana buat melamar Athaya tahun ini, Om.”

Athaya seketika terbatuk. Dia lalu menatap Rayyan sambil melotot.

Mereka emang udah berdiskusi tentang rencana pernikahan pas sleep call semalam. Tentang kesiapan, tentang komitmen, bahkan tentang bagaimana impian pernikahan mereka. Tapi Athaya gak pernah mikir kalau Rayyan justru bakal ngomong ke Mami dan Papinya hari ini juga.

“Kalau Om sama Tante ngasih restu, saya pengen bawa Athaya, juga Om dan Tante ke rumah saya buat silaturahmi keluarga.”

Rayyan melanjutkan.

“Bukan cuma buat ngomongin tentang rencana saya, tapi yang paling utama itu supaya Mama dan Papa saya bisa menyambung tali persaudaraan kembali sama Tante Una, Om juga Athaya.”

Papi mengangguk paham.

“Saya seneng denger niat baik kamu, Yan. Soal restu, pasti saya bakal merestui apapun yang bisa bikin anak semata wayang saya bahagia,” jelasnya, “Asalkan kalian berdua sudah sama-sama siap mental buat memasuki bahtera rumah tangga, saya dukung kok.”

“Karena pernikahan itu bukan urusan sepele. Bukan cuma soal status berubah terus se-rumah.”

“Tapi pernikahan itu tentang menyatukan dua orang dengan isi kepala berbeda untuk selalu bersama dan punya tujuan yang sama pula. Dan itu bukan buat sehari aja, tapi seumur hidup.”

Rayyan mengangguk mantap.

“Saya siap, Om.”

“Kalau kamu, kak?”

Athaya melirik Rayyan sejenak sebelum berkata, “Aku siap, Pi.”

Rayyan lalu melirik Mami.

“Tante,” panggilnya, “Saya mau nepatin janji saya ke anak Tante.”

Rayyan menyodorkan kedua tangannya. Tangan kirinya telah dikepal, sementara tangan kanannya dia buka lebar. Bikin Athaya, Mami juga Papi refleks menautkan alis mereka heran.

“Tante Una pilih kanan apa kiri?”

Mami memicingkan mata.

“Kanan berarti Tante mau ngasih restu. Kiri sama aja, tapi dikepal.”

Athaya hanya memijat keningnya pasrah, sedang Mami melempar satu buah anggur ke Rayyan.

“Ck! Abisin tuh sarapan kamu.”

Rayyan terkekeh.

“Saya tunggu pilihannya, Tante.”

Mami menggeleng pelan. Rayyan dan Athaya pun hanya berbagi tatapan sesaat sebelum kembali melanjutkan sarapan mereka; meski Mami gak bilang apa-apa.

Tapi gak lama berselang, di tengah keheningan yang hanya diisi dengan dentingan sendok, suara Mami tiba-tiba menggema.

“Bilangin ke Mama kamu supaya masak sop buntut buat saya.”

Saat itu pula Rayyan dan Athaya mendongak. Menatap Mami lalu mengulas senyum haru mereka.

“Makasih, Tante.” ucap Rayyan.

“Saya kan gak bilang kalau saya udah ngasih restu,” kata Mami.

“Saya juga gak berterima kasih untuk itu kok, Tante Una.”

Mami mengernyit, “Terus?”

“Makasih karena Tante udah ngajarin saya banyak hal,” Rayyan tersenyum lalu melirik Athaya, “Aya pasti bangga banget punya Mami yang kuat kayak Tante.”

“Iya lah, anaknya aja kuat banget apalagi Maminya. Iya kan, Mi?”

Mami mengangguk mendengar ucapan anaknya, “Mm, kita juga gak cengeng kayak seseorang.”

Rayyan mengusap dada sejenak.

“Saya gak tersindir kok, Tante.”

Mami tertawa kecil sebelum menyodorkan lauk ke Rayyan.

“Nih, makan yang banyak.”

“Mami sama Papi lu lagi ngapain di lantai dua?” tanya Rayyan.

“Tadi sih Papi minta dibantu sama Mami buat nyari berkas apa gitu di ruang kerjanya.”

“Tapi kok lama banget ya? Gue mau pamitan nih,” kata Rayyan, “Apa jangan-jangan Mami sama Papi lu lagi bikin adek buat lu?”

“Saya denger ya kamu ngomong apa,” suara Mami menggema.

Athaya dan Rayyan pun lantas menoleh ke sumber suara. Mendapati Mami dan Papi telah berdiri gak jauh dari mereka.

“Saya bercanda, Tante.”

“Pukul dia aja, Mi.”

“Pukul Aya aja, Tante.”

“Setan,” Athaya menoyor Rayyan.

Rayyan juga Athaya lalu berdiri. Menghampiri Papi dan Mami yang berada di ambang pintu geser menuju kolam renang. Tapi belum sempat Athaya atau pun Rayyan bersuara lagi, bunyi bel rumah lantas mencuri atensi mereka; termasuk Mami Papi.

“Siapa yang datang jam segini ya, Mi?” tanya Papi kepada sang istri.

“Gak tau, Pi. Biasanya orang aneh doang sih yang bertamu malem-malem gini,” ucap Mami sebelum melirik sekilas ke arah Rayyan.

“Saya gak tersindir kok, Tante.”

Mami hanya menggeleng pelan mendengar ucapan Rayyan.

“Mami bukain pintu gih,” titah Papi. Mami pun mengangguk.

“Saya udah mau pamit juga, Om, Tante,” tutur Rayyan, “Sekalian aja saya nemenin Tante Una ke depan, ngeliat orang anehnya.”

“Gak usah. Masa saya ngeliat orang aneh bareng orang aneh?”

Rayyan pun mengulum senyum hingga Mami melenggang pergi. Setelah si wanita paruh baya hilang dari pandangan, Rayyan kemudian kembali menatap Papi.

“Saya pamit ya, Om.”

“Kok buru-buru amat, Yan?”

“Udah malem nih, Om. Entar saya dicariin Mama sama Papa,” Kata Rayyan, “Om sama Tante juga musti istirahat abis ini.”

“Ya udah. Kamu hati-hati ya.”

“Siap, Om.”

Papi kemudian menuntun Rayyan untuk kembali masuk ke dalam rumah bersama Athaya. Hingga saat mereka telah sampai di ruang tengah, Mami lantas telah datang juga. Bersama seorang pria bertubuh tinggi dan tampan dengan kulit tan-nya.

“Malam, Om.”

“Loh? Zaky?”

Papi tersenyum cerah sebelum menerima dekapan pria itu.

“Sejak kapan kamu balik ke Jakarta?” tanya si paruh baya.

“Udah sejak dua hari yang lalu,” jawab pria bernama Zaky itu, “Tapi aku baru sempet mampir.”

“Kok gak ngabarin sih, Mas?”

Zaky terkekeh. Dia lalu beralih mengacak-acak rambut Athaya. Membuat Rayyan yang tengah memerhatikan mereka seketika menaruh tanya; tentang siapa sosok Zaky yang terlihat amat dekat dengan Athaya juga Papi.

“Kan biar surprise,” kata Zaky.

“Aku dibawain oleh-oleh gak?”

“Ada,” Zaky menyodorkan paper bag yang dibawanya, “Nih.”

“Makasih, Mas!” seru Athaya.

Zaky—lebih kerap disapa Kiki lantas tersenyum lalu melirik ke arah Rayyan sejenak. Mami yang menyadarinya pun berdeham sebelum berkata, “Ki, Kenalin. Dia Rayyan. Temen kerja Aya.”

Mami lalu menatap Rayyan.

“Yan, kenalin, dia Zaky,” katanya sambil memeluk pinggang Zaky dari samping sebelum kembali bersuara, “Calon suami Athaya.”

Athaya yang mendengar ucapan Mami lantas melotot, “Mi!”

Mami hanya menatap lurus ke dalam netra legam Athaya lalu kembali menatap Rayyan yang sedang memaksakan senyumnya.

Rayyan pun paham, bukan tanpa alasan Mami memperkenalkan Zaky padanya. Mami, jelas, ingin memberitahunya tentang batas.

“Salam kenal, Mas.”

“Salam kenal, Rayyan.”

“Kak, kamu bikin kopi buat Kiki sana,” titah Mami dengan santai.

Athaya mendengus lalu melirik Rayyan yang justru sedang sibuk sendiri menatap Zaky dan Mami.

“Tante, Mas, saya izin pamit.”

“Kenapa buru-buru, Rayyan?”

“Saya udah dicari sama orang rumah, Mas. Soalnya pas pulang kantor langsung ke sini. Terus gak bilang-bilang juga,” katanya.

“Oh gitu.”

“Kak, kenapa kamu masih berdiri di situ?” Mami berdecak, “Bikin kopi buat Kiki gih,” ucapnya lagi.

“Aku mau nganterin Ayyan ke depan bentar, Mi. Bentar doang.”

“Biar Mami aja yang nganterin.”

Rayyan menepuk pundak Athaya.

“Gue cabut ya,” katanya sebelum bergegas pergi. Mengikuti Mami yang udah melangkah duluan.

Sesampainya di ambang pintu pagar, Rayyan lantas berbalik. Kini Rayyan dan Mami berdiri saling berhadapan. Persis seperti saat Rayyan baru datang tadi.

“Tante, bisa tunggu di sini bentar gak?” tanya Rayyan, “Bentar aja.”

“Mm.”

Mami hanya bergumam kecil lalu melihat Rayyan berjalan ke arah mobilnya. Mengambil sesuatu yang entah apa lalu kembali lagi. Berdiri di depannya seperti tadi.

“Itu apa?” tanya Mami ketika Rayyan menyodorkan paper bag kecil berwarna putih kepadanya.

“Ini cincin, Tante.”

Mami lantas menautkan alis.

“Kemarin saya nemenin Mas Heri beli cincin buat pertunangannya. Terus saya ngeliat cincin ini dan saya langsung kepikiran sama Aya,” tatapan Rayyan amat sedu.

“Soalnya saya pernah janji mau nikahin dia,” tuturnya, “Dan saya pikir, cincin ini cocok buat Aya.”

Rayyan memaksakan senyumnya, meski kini matanya telah berair.

“Tapi tolong Tante jangan salah paham ya?” ucapnya lirih, “Saya gak ada maksud apa-apa lagi kok dengan ngasih cincin ini ke Aya.”

“Waktu beli cincin ini, saya emang udah meniatkan dalam hati…” Rayyan melanjutkan.

“Kalau saya berjodoh sama Aya, saya bakal masangin cincin ini buat dia. Tapi kalau ternyata saya gak berjodoh sama Aya, cincin ini juga bakal tetap jadi milik dia.”

“Dan sekarang… Saya tau kalau Aya udah punya calon ternyata.”

Rayyan memaksakan tawanya, tapi air matanya justru menetes.

“Saya ikut seneng ngeliat Athaya udah ketemu sama orang baik.”

Rayyan melirik paper bag-nya.

“Tolong kasih cincin ini ke Aya ya, Tante?” pinta Rayyan, “Gak perlu dipake kok. Disimpen aja sebagai hadiah dari saya. Gak apa. Biar niat saya juga lunas.”

“Kenapa bukan kamu aja yang ngasih ke Aya?” sela Mami.

Rayyan menggeleng lemah.

“Saya gak bisa, Tante.”

Rayyan, lebih tepatnya, gak tau gimana caranya ngasih cincin itu ke Athaya tanpa menangisinya. Dia gak mungkin bisa menahan tangisnya di hadapan Athaya—yang nantinya bisa bikin Athaya justru ngerasa gak enak ke dia.

“Tolong diterima ya, Tante.”

Mami pun meraihnya. Membuat Rayyan tersenyum meski pipinya telah dibasahi dengan air mata.

“Makasih,” ucapnya, “Malam ini saya seneng banget bisa makan bareng Tante, Om, sama Athaya.”

Rayyan menahan isakan dengan mengulum bibirnya sejenak. Dia lalu meraih tangan Mami Athaya. Membungkuk, pun menyalami si paruh baya yang hanya terdiam.

“Saya pamit,” ucap Rayyan lagi dengan suaranya yang tercekat.

“Dasar cengeng.”

Rayyan pun tertawa, tapi sambil menangis. Dia menatap Mami.

“Saya cengengnya kalau lagi patah hati doang kok, Tante.”

“Gak usah patah hati,” kata Mami, “Kiki itu sepupu Aya, dari Papi.”

Rayyan terdiam. Mencoba untuk mencerna ucapan Mami barusan.

Mami lalu melipat lengan, “Kamu kan suka banget bercanda. Jadi saya bercandain kamu juga tadi.”

“Tante,” Rayyan lantas memelas.

Si wanita paruh baya tersenyum mengejek lalu menghela napas.

“Pulang gih. Udah malem,” kata Mami, “Mama Papa kamu pasti udah nungguin kamu dari tadi.”

Wanita paruh baya itu kemudian menyodorkan paper bag yang berisi cincin tadi kepada Rayyan.

“Nih,” ujar Mami, “Katanya pengen masangin buat Aya.”

Rayyan menahan napasnya. Gak percaya dengan yang dia dengar.

“Tante,” dia gugup, “Jadi saya boleh pacaran lagi sama Aya?”

“Saya gak bilang kamu boleh pacaran sama Aya,” balas Mami lalu meraih tangan Rayyan dan menuntun pemilik lesung pipi itu agar memegangi paper bag-nya.

“Tepatin tuh janji kamu,” katanya.

Rayyan tersenyum haru. Untuk sesaat dia gak bisa berkata-kata. Matanya pun kembali memanas, tapi terselip rasa lega di sana.

“Tante Una.”

“Apa lagi?”

“Saya boleh meluk Tante gak?”

Mami gak mengatakan apa-apa. Tapi dia lantas merentangkan kedua lengannya. Rayyan lalu ikut melakukan hal serupa. Tapi bukannya memeluk Mami, dia justru mengusili si paruh baya.

Dia menggeser lengannya lalu berkata, “Eh? Meleset, Tante.”

“Kamu bener-bener ya.”

Mami lantas mencubit lengan Rayyan, tapi empunya ketawa. Setelahnya, Rayyan kemudian benar-benar memeluk Mami.

“Maafin saya ya,” gumam Mami.

“Tante gak ada utang minta maaf sama saya,” balas Rayyan lirih.

“Kamu nangis lagi?”

Rayyan menggeleng, “Gak kok.”

Mami terkekeh. Dia lalu beralih menatap wajah Rayyan. Jelas jika mata pemuda di hadapannya itu berkaca-kaca. Mami kemudian mengusap pelan bahu Rayyan.

“Pulang sana.”

“Saya pulang sekarang ya, Tante.”

“Mm. Hati-hati.”

Saat berjalan ke arah mobilnya, Rayyan kemudian mendongak sejenak. Memandangi balkon kamar Athaya. Saat itu pula dia tersenyum sumringah, sebab sang pujaan hati ternyata ada di sana. Jelas jika Athaya juga baru saja menangis, matanya sembab.

“Aya! Gue cinta banget sama lu!”

Athaya pun melotot saat Rayyan berteriak. Sementara Mami yang masih berdiri di ambang pagar lantas geleng-geleng kepala.

“Heh! Pulang,” titah Mami.

“Aya! Gue udah bisa teriak di sini kalau mau ketemu sama lu lagi!”

Mami menghela napasnya lalu membuka satu sendal jepit yang dia pakai. Setelahnya, Mami lantas berpura-pura mengambil ancang-ancang untuk melempar Rayyan. Membuat pemilik lesung itu seketika berlari terbirit ke arah mobilnya sambil tertawa.

Rayyan berjalan mengendap-endap sembari menatap usil ke arah Athaya. Mantan pacarnya itu duduk menghadap ke kolam renang, membelakangi Rayyan.

“Hya!”

“Anjing!”

Athaya kaget. Sementara Rayyan refleks tertawa kencang. Melihat raut wajah panik Athaya saat dia berpura-pura ingin mendorong pemilik mata belo itu ke kolam renang begitu menyenangkan.

Meski pada akhirnya Rayyan pun harus mendesis seraya menahan sakit. Sebab Athaya dengan sigap memukulnya brutal karena kesal.

“Aduh! Botak! Udah dong,” katanya, “Lu mukulnya udah kek orang kesurupan aja, anjing.”

“Bodo amat,” balas Athaya lalu menoyor keras kepala Rayyan.

“Biar lu tau rasa,” timpalnya.

Rayyan hanya terkekeh sebelum ikut duduk—dengan kaki dilipat tepat di samping Athaya. Mereka lalu sama-sama menatap ke arah kolam renang sejenak, sebelum Rayyan lantas kembali bersuara.

“Bisa makan malam bareng lu, Mami sama Papi lu tuh bener-bener kek mimpi indah buat gue.”

Athaya menoleh. Mendapati si pemilik lesung pipi menatapnya sambil tersenyum, begitu manis.

“Lu masih beruntung karena Mami gak ngatain lu tadi. Kalau iya, gimana? Mimpi buruk kan yang ada,” Athaya berdecak kesal.

“Lagian lu kenapa berani banget sih nanya ke Mami boleh ikut makan apa gak tadi?” timpalnya.

“Gue cuma becandain Mami tau. Gue beneran gak ada kepikiran buat ikut makan beneran, Ya.”

“Maksudnya, gue udah tau diri. Gue tuh mikir respon Mami juga bakal kayak biasanya kan, abis itu nyuruh gue pulang,” jelasnya.

“Tapi ternyata gue dibolehin ikut,” Rayyan senyum, “Bercanda membawa berkah gak sih ini?”

Athaya mendengus.

“Yan, bisa gak sih lu serius dikit? Jangan apa-apa dibawa becanda.”

“Gue sayang sama lu,” tutur Rayyan, “Nih gue udah serius.”

Menghela napasnya pelan, Athaya kemudian membuang pandangannya ke arah kolam renang. Setelahnya, dia berkata.

“Lu tau gak sih gimana takutnya gue tadi?” tutur Athaya, “Gue takut lu bakal kena marah Mami.”

“Apalagi Mami juga gak bilang apa-apa. Mami gak bilang kenapa lu bisa masuk ke rumah ini lagi.”

“Pikirin diri lu juga dong, Yan.”

Rayyan menggeleng.

“Gue gak masalah kok kalau kena marah,” dia terkekeh, “Lagian nih ya, dengan gue berani datang ke Mami, berarti gue juga udah siap kok buat nerima respon Mami.”

“Mau Mami marah kek, atau bahkan diem, that’s totally okay.”

“Asal bukan lu yang dimarahin.”

“Emang gak bener dah otak lu,” gumam Athaya lalu mendengus.

“Tadi lu beneran gak dimarahin kan? Pas Mami liat gue dateng?”

“Mm,” respon Athaya.

Sejenak keduanya terdiam. Baik itu Athaya maupun Rayyan, kini, kembali menatap ke arah kolam.

“Aya,” panggil Rayyan.

“Apa?”

“Lu pernah gak sih ngebayangin gimana jadinya kita berdua kalau aja Mami, Mama sama Papa gue gak punya masalah?” tanyanya.

Athaya tersenyum hambar lalu melirik Rayyan, “Gak. Kalo lu?”

“Gue juga gak pernah.”

Mereka sama-sama terkekeh.

“Tapi, yang jelas, gue bakal tetep gak suka sama lu sih. Soalnya lu ngeselin,” Rayyan menimpali.

Athaya pun membalas, “Gue juga bakal tetep gak suka sama lu sih.”

“Soalnya lu annoying,” katanya.

Rayyan senyum.

“Tapi coba deh lu bayangin, Ya. Kalau aja orang tua kita gak ada masalah, kayaknya Mama gue sama Mami lu tetep sahabatan sampai sekarang,” tutur Rayyan.

“Terus pas gue manggil lu botak di SD dulu, kita gak bakal ngeliat Mami sama Mama berantem.”

Athaya menyimak penuturan Rayyan sembari tersenyum. Dia benar-benar membayangkan hal manis yang sebatas angan itu.

“Paling Mama gue bakal bilang gini ke Mami,” Rayyan berdeham.

“Ya ampun, Na. Jadi Aya gak mau ke sekolah gara-gara dipanggil botak sama Ayyan?” dia meniru suara Mama, membuat Athaya seketika tertawa. Sebab baru kali ini Athaya mendengar Rayyan berbicara dengan suara wanita.

“Tenang aja. Entar Ayyan bakal aku omelin di rumah,” timpalnya.

“Abis itu Mami nge-bales gini,” Rayyan berdeham lagi, “Gak usah, Jes. Kan yang dibilang Ayyan bener. Aya emang botak.”

“Bangsat,” ucap Athaya di sela-sela tawanya sebelum menoyor kepala Rayyan, “Anjing lu emang.”

“Terus nih ya, yang pas kejadian pidato. Kalau aja orang tua kita gak ada masalah, pasti Mami lu gak bakal datang ke sekolah buat marah-marah,” tutur Rayyan.

“Paling Mami bilang gini—oh jadi Ayyan ya yang gantiin Aya, Jes?”

“Bentar,” potong Athaya, “Kok lu gak pake suara Mami gue lagi?”

Rayyan memutar bola matanya.

“Tenggorokan gue sakit, botak.”

Athaya kembali tertawa. Sedang Rayyan tersenyum melihatnya.

“Terus Mami bilang apa abis itu?” Athaya ingin mendengarnya lagi.

“Terus Mami bilang, ya udah gak apa-apa. Aya emang masih harus istirahat di rumah. Lagian Ayyan kan anak sahabat aku juga. Aku seneng kok dia yang gantiin Aya.”

“Abis itu Mama jawab gini ke Mami—tenang aja, Na. Ayyan bakal menangin lomba itu dan bawa pulang piala demi Aya…”

“Juga demi persahabatan kita,” timpalnya. Athaya pun ketawa.

“Kayaknya Mama lu gak se-lebay itu deh?” ucap Athaya di sela-sela tawanya, “Ada-ada aja.”

Kedua ujung bibir Rayyan lantas terangkat dengan sempurna. Kilauan kedua matanya lantas gak bisa menyembunyikan rasa cinta yang setia terselip di sana.

Hatinya menghangat melihat Athaya bisa tertawa lepas lagi.

Hingga saat tawa Athaya sudah reda, Rayyan kembali bersuara.

“Dan kalau aja orang tua kita gak ada masalah, gue bakal ngejawab ‘iya’ pas Pak Diman nanya kalau gue udah ada calon apa belum.”

Athaya bungkam. Dia menatap lurus ke dalam netra Rayyan.

“Gue bakal bilang, coba tanya ke Athaya, Pak. Dia siap dilamarnya kapan kira-kira?” timpal Rayyan.

Athaya tersenyum mengejek.

“Udah dua tahun dan lu masih belum bisa move on dari gue.”

Rayyan berdecih, “Ngaca dong.”

“Lu aja masih nyimpen foto gue di dompet lu. Maksudnya apa?”

“Itu jimat,” jawab Athaya, “Buat ngusir tuyul sama bakekok.”

“Bangsat,” Rayyan tertawa kecil.

“Yan,” panggil Athaya.

“Hm?” Rayyan menatap Athaya yang justru gak menoleh ke dia.

“Kayaknya lu musti mikirin ucapan Pak Diman tadi deh.”

“Ucapan yang mana?”

“Soal jodoh…”

Athaya menelan ludah se-kuat tenaga. Sebab, amat gak mudah baginya untuk bisa mengucap kalimat yang sebentar lagi akan Athaya bebaskan dari lidahnya.

“Lu harus tetep berusaha supaya bisa ketemu sama jodoh lu, Yan.”

“Kalau kata Pak Diman, lu gak bisa dapet jodoh gitu aja kalau lu bahkan gak mau membuka hati.”

Rayyan menghela napas.

“Dua tahun lalu gue udah lepasin lu supaya Mami liat kalau gue cinta sama lu,” balas Rayyan, “Itu juga termasuk usaha kan, Ya?”

“Jadi gue tinggal nunggu aja sih gimana rencana Tuhan buat kita.”

“Gue juga gak mungkin bisa membuka hati kalau di hati gue aja masih ada lu,” sambungnya.

“Tapi gimana kalau ternyata Tuhan tuh pengen ngeliat lu berusaha buat ketemu sama orang yang bisa bikin lu bahagia lebih dari gue?” tanya Athaya.

Rayyan mengangkat pundak.

“Kalau emang rencana Tuhan kayak gitu, cepat atau lambat, Tuhan bakal bikin gue sadar kalau ada orang lain yang bisa bikin lu jauh lebih bahagia lagi.”

“Dan di saat lu udah ketemu sama orang itu, gue juga bakal berusaha kok buat ngerelain lu terus nyari bahagia gue sendiri.”

Sebelumnya, Athaya gak pernah percaya dengan kalimat—kalau abis banyak ketawa, biasanya bakal ada hal yang bikin nangis setelahnya. Tapi sekarang, dia nyaris percaya. Sebab kini mata Athaya berkaca-kaca begitu saja saat mendengar ucapan Rayyan. Padahal belum berapa lama sejak dia ketawa karena Rayyan pula.

“Kok lu nangis?” Rayyan ketawa.

Athaya menyeka air mata yang sialnya jatuh tanpa permisi dulu.

“Gue gak nangis,” katanya.

“Terus itu yang keluar dari mata lu apa? Bensin?” cibir Rayyan.

“Diem lu,” ketus Athaya sebelum menghindari tatapan Rayyan.

Sementara itu, Rayyan hanya tersenyum. Gak lama berselang, pandangan Rayyan kemudian turun ke tangan Athaya—yang digunakannya untuk menopang tubuhnya. Sebab kini Athaya duduk melipat kaki di tepi kolam renang sembari mendorong sedikit tubuhnya ke belakang.

Rayyan perlahan menggerakkan tangannya. Hasratnya berkata agar dia menggenggam jemari Athaya. Tapi belum sempat dia menyentuh kulit Athaya, Rayyan lantas mengurungkan niatnya. Rayyan takut pertahanannya akan runtuh ketika dia akhirnya menggenggam tangan yang sejak dua tahun terakhir dia rindukan.

Dia sangat rindu menggengam jemari lentik Athaya lagi sembari mengusap punggung tangannya.

Alhasil, Rayyan pun kembali membawa tangannya sendiri beristirahat di atas pahanya. Tapi tanpa Rayyan duga, rasa hangat tiba-tiba saja menyambangi punggung tangannya, gak lama setelahnya. Dan saat dia nunduk, Rayyan mendapati jemari Athaya menggenggam erat tangannya.

Ketika Rayyan kemudian beralih memandangi wajah Athaya, dia lantas tertegun. Sebab Athaya menatap wajahnya lekat-lekat. Meski gak ada sepatah kata yang terucap, namun Rayyan bisa merasakan afeksi hanya dari binaran mata indah Athaya.

Mereka hanya saling berbagi tatap dengan posisi yang sama dalam hening. Hingga baik itu Athaya maupun Rayyan gak sadar kalau sedari tadi, Mami dan Papi memerhatikan mereka di balkon yang mengarah ke kolam renang. Keduanya telah berdiri di sana sejak Athaya dibuat berteriak oleh Rayyan.

Rayyan tersenyum mengejek saat Athaya keluar dari kamar, berdiri di balkon sebelum menjawab panggilan teleponnya. Ingatan tentang bagaimana dia dan Athaya pernah melakukan hal ini saat mereka berpacaran secara sembunyi-sembunyi dahulu pun seketika menyambangi otaknya.

“Lempar dompet gue aja sampe lewatin pagar, bisa kan?” kata Athaya, “Entar dah gue ambil.”

“Heh, botak. Gak ada sopan santun bener lu ye. Heran.”

Rayyan mendengus, “Ini gue lagi nolongin elu, bawain dompet tua lu yang ketinggalan di kantor.”

“Terus se-enak jidat aja lu pake nyuruh-nyuruh gue,” katanya.

Athaya mendesis, “Ya udah, lu tunggu di situ. Gue ke bawah.”

“Mm.”

Panggilan telepon mereka pun terputus setelahnya. Rayyan lalu menghela napas dan berjalan ke depan pintu pagar. Dia berdiri di sana sembari menunggu Athaya.

Sampai gak lama berselang, dia lantas mendengar suara pintu pagar dibuka dari dalam. Rayyan pun udah bersiap buat meledek Athaya. Tapi niatnya itu seketika sirna tepat saat pintu pagar di hadapannya terbuka. Pasalnya, bukan Athaya yang berdiri di sana, namun Aruna; Maminya.

“Malam, Tante.”

Rayyan menyapa Aruna. Sedang Athaya yang berdiri gak jauh di belakang Mami pun mendadak gelisah. Dia lalu memberi kode kepada Rayyan agar segera pergi saja. Athaya mengibas-ngibaskan kedua tangannya dengan panik.

“Kenapa kamu ada di sini?”

Rayyan menelan ludah.

“Tante, maaf kalau saya ganggu. Tapi saya datang ke sini cuma buat balikin dompetnya Aya.”

“Tadi ketinggalan di kantor, terus besok sampai lusa gak ngantor. Jadi saya mau balikin sekarang, soalnya saya tau Aya lagi kere.”

Athaya lantas menghela napasnya kasar saat mendengar ucapan Rayyan pada Maminya. Dia lalu berdiri di samping si wanita paruh baya dan berkata,

“Mana dompet gue?”

“Nih, ambil.”

Rayyan menyodorkan dompet yang dipegangnya ke Athaya.

“Dompet bangkotan gini masih aja dipake. Kek gak pernah digaji sama kantor aja lu,” cibir Rayyan.

Athaya yang mendengarnya pun menendang dengkul Rayyan setelah meraih dompetnya itu. Rayyan yang gak mau kalah juga ikut menendang dengkul Athaya.

Menoleh ke arah sang Mami, Athaya kemudian berkata, “Mi, masuk sekarang yuk. Aku laper.”

“Kamu masuk sana, kak. Tadi Mami udah nyiapin makan malam di meja makan,” katanya.

“Saya boleh ikut makan gak, Tante?” tanya Rayyan yang bikin Athaya refleks menganga.

Mami hanya menghela napas.

“Apaan sih lu? Pergi sono.”

“Gue kan nanya sama Mami lu,” balas Rayyan lalu cengar-cengir ke arah Aruna, “Canda ya, Tante.”

Dia pun kembali menatap Athaya, “Eh, lu juga belum bilang makasih sama gue ya, botak.”

“Makasih,” ucap Athaya, “Udah?”

Athaya kemudian memajukan posisinya selangkah. Dia lalu mendorong pelan tubuh Rayyan. Berpura-pura ingin menutup pintu pagar. Setelahnya, Athaya menggerakkan bibirnya tanpa bersuara buat bilang, “Pulang, Yan! Entar Mami ngatain lu lagi!”

“Ha?” Rayyan menautkan alis bingung, “Lu ngomong apa sih?”

Menghela napasnya gusar, Athaya lantas memukul lengan atas Rayyan, “Gue bilang pergi.”

“Aduh! Kok lu mukul gue?!”

“Ya soalnya lu nyebelin!”

“Kalian berdua mau makan malam apa berantem sih?”

“Makan!”

“Makan!”

Athaya dan Rayyan menjawab pertanyaan itu bersamaan. Tapi setelahnya mereka juga sama-sama melotot sebelum menoleh ke arah Mami saat sadar jika wanita paruh baya itu yang baru saja bersuara di antara mereka.

Mami sendiri gak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya berbalik lalu masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Meninggalkan Rayyan dan Athaya yang kembali berbagi tatapan kebingungan.

“Tadi Mami lu bilang kalian kan?” Rayyan memastikan, “Berarti Mami ngitung gue juga kan, Ya?”

“Iya, tapi kan—woi, anjing!”

Athaya berteriak. Sebab Rayyan justru dengan santai mendorong pelan tubuhnya sebelum berlalu. Masuk ke dalam rumahnya tanpa mendengarkan apa yang ingin dia ucapkan terlebih dahulu.

Athaya pun bergegas menyusul Rayyan. Hingga dia mendapati mantan pacarnya itu bersalaman dengan Papi di ruang keluarga.

“Udah lama banget ya kamu gak main ke sini,” kata Papi sebelum menepuk pundak Rayyan, “Yuk. Kita ngobrol sambil makan, Yan.”

“Iya, Om.”

“Kak, ayo. Mami udah nunggu di meja makan,” Papi ngajak Athaya.

Athaya hanya mengangguk sebagai jawaban sebelum mengekori Papi dan Rayyan.

Sesampainya di meja makan, Athaya tiba-tiba merasa gugup. Takut jika Mami justru akan mengatakan hal yang tidak mengenakkan kepada Rayyan.

“Wah, kebetulan banget nih Mami masak banyak pas ada Ayyan juga,” celetuk Papi yang jelas ingin mencairkan suasana.

“Sini, Yan. Duduk di samping kursi Maminya Aya,” timpalnya.

Rayyan pun menurut. Dia duduk pada kursi yang berada di sisi kanan meja. Tepat di samping kursi Mami. Sementara Papi berada di tengah-tengah, dan Athaya sendiri di sisi sebelah kiri.

“Sini piringnya, Pi.”

Papi senyum lalu menyodorkan piringnya ke arah sang istri. Membiarkan Mami mengambil nasi dari wadah ke piringnya.

“Kak,” panggil Mami setelah mengembalikan piring Papi.

Athaya yang sudah paham pun lantas menyodorkan piringnya. Sampai ketika sang Mami telah mengembalikan piringnya yang telah terisi dengan nasi, Athaya refleks menahan napas. Sebab Rayyan tiba-tiba menyodorkan piring kepada Mami sambil cengar-cengir. Seolah gak ada sedikit pun rasa khawatir jika Mami akan memberi penolakan—yang tentu berbuah kekecewaan.

Sejenak, Mami memandangi Rayyan lalu menggeleng pelan. Tapi pada akhirnya Mami juga mengisi piring Rayyan. Papi pun tersenyum, sedang Athaya kaget.

“Kalau kurang, tambahin sendiri. Saya gak tau porsi makan kamu.”

“Makasih, Tante.”

“Makan yang banyak ya, Yan.”

Papi lantas menimpali sebelum mempersilakan Rayyan, anak dan sang istri untuk segera makan.

Makan malam itu pun dimulai dengan damai. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang menggema di ruang makan. Tapi degup dibalik dada Athaya tidak lah demikian. Dia gak bisa tenang. Terlebih Mami belum mengatakan apa-apa sedari tadi; tentang alasan Rayyan berada di tengah-tengah mereka saat ini.

Mungkinkah Mami sudah mulai mengubah sudut pandangnya tentang Rayyan dan berhasil mengikis ketakutannya? Atau justru ada maksud tertentu di baliknya, pikir Athaya gelisah.

“Gimana kerjaan di kantor, Yan?”

Papi membuka topik.

“Gitu-gitu aja sih, Om. Bikin capek. Tapi musti disyukuri.”

Rayyan mengulas senyum.

“Mending capek kerja kan, daripada capek nyari kerja.”

Athaya berdecih, “Gitu-gitu aja, tapi lu bisa jadi kepala seksi tuh juga bukan karena gitu-gitu aja.”

“Merendah buat melambung tinggi nih ceritanya?” cibir Athaya lalu menyeringai tipis.

Rayyan berdecak. Dia kemudian menendang kaki Athaya di bawah meja. Athaya pun membalasnya.

“Oh? Ayyan kepala seksi?” Papi menatap Rayyan kagum, “Hebat.”

“Belum, Om. Masih promosi.”

“Tapi kan promosi itu udah jalan menuju resmi, Yan. Selamat ya.”

“Makasih, Om.”

Rayyan lalu menoleh ke Mami.

“Tante gak mau ngasih saya ucapan selamat juga?”

“Gak.”

Rayyan menyipitkan mata sembari tersenyum, “Yakin?”

“Cepet abisin makanan kamu,” kata Mami, “Terus cuci piring.”

Rayyan terkekeh, “Siap, Tante.”

“Yan, gak usah dianggep serius. Maminya Athaya becanda kok.”

“Mami gak becanda, Pi.”

Papi menatap Mami pasrah.

Rayyan senyum, “Gak apa-apa kok, Om. Kerjaan saya kalau lagi di rumah juga cuci piring kok.”

“Gak sekalian lu ngepel juga di rumah gue?” ketus Athaya.

“Boleh. Sama muka lu juga bakal gue pel kok sampe bersih, Ya.”

“Anjing,” ucap Athaya tanpa bersuara. Sedang Rayyan yang melihatnya menjulurkan lidah.

Mereka pun kembali melanjutkan makan malamnya. Sesekali Papi bercerita tentang pekerjaannya. Hingga saat Rayyan mendapati lalapan—lebih tepatnya timun di piring Athaya telah habis, dia lalu memberikan timun yang ada di piringnya, yang belum tersentuh sama sekali, kepada Athaya.

“Loh, Yan. Kok malah dikasih ke Athaya?” Papi yang menyadari hal itu bersuara, “Di belakang masih ada kok kayaknya. Ya, Mi?”

“Kak, masih pengen timun?” kata Mami, “Mau Mami ambilin lagi?”

“Gak usah, Mi. Aku juga udah kenyang,” Athaya berdeham lalu menatap Rayyan, “Ambil lagi nih. Ngapain sih lu ngasih ke gue?”

“Gak usah. Buat lu aja,” Rayyan senyum, “Lu lebih butuh itu.”

Athaya menelan ludah sebelum melirik sekilas ke Maminya. Si wanita paruh baya menatapnya, gak mengatakan apa-apa setelahnya hingga Mami kembali melanjutkan makan malamnya.

“Selamat ya, Ayyan.”

Riuh tepuk tangan dan sorakan beberapa rekan kerja Rayyan seketika menggema. Terlebih saat sang kepala divisi memberinya ucapan selamat sekaligus bersalaman dengannya.

Memang, posisinya sebagai kepala seksi eksternal belum resmi di-sahkan. Namun ucapan selamat gak henti-hentinya mengalir sejak Rayyan datang ke kantor pagi tadi hingga kini sudah memasuki jam pulang.

“Jadi gimana nih, Yan? Udah ada calonnya?” tanya Pak Diman.

Rayyan pun sedikit bingung dengan pertanyaan sang atasan.

“Calon apa ya, Pak?”

“Calon pasangan hidup,” Pak Diman terkekeh, “Kamu kan udah mapan, umur kamu juga udah cukup matang. Apa lagi yang kamu tunggu, Yan?”

“Jangan mau kalah sama Heri. Tuh, dia bentar lagi punya istri.”

Rayyan hanya tersenyum sebelum melirik sekilas ke arah Athaya yang masih duduk di meja kerjanya. Tatapan mereka bertemu, namun Athaya buru-buru membuang pandangannya ke arah komputer setelah itu.

“Pak, kasian Ayyan. Dia tertekan langsung ditanyain soal jodoh tiba-tiba,” celetuk Heri lalu terkekeh bersama Pak Diman.

“Saya bercanda ya, Ayyan. Jangan dimasukin ke hati,” katanya.

Pak Diman lalu menepuk pundak Rayyan, “Hidup itu bukan perlombaan, tapi perjalanan, proses. Dan itu harus dinikmati.”

“Setiap orang punya perjalanan dan prosesnya masing-masing.”

“Apa yang udah kamu raih hari ini adalah buah dari perjalanan dan proses yang kamu lewati.”

“Kalau kamu mengingat lagi setiap proses itu sekarang, pasti kamu bakal sadar kalau momen yang ada di dalamnya berharga, sampai akhirnya berujung indah.”

Rayyan terenyuh akan ucapan sang atasan. Sebab kalimat itu amat dia butuhkan sekarang.

“Soal jodoh, biar itu jadi urusan yang Maha kuasa,” Pak Diman mengangkat satu telunjuknya, “Tapi ingat, kita sebagai manusia, juga harus tetep berusaha.”

“Kan gak bisa kamu langsung dapat jodoh gitu aja kalau kamu justru gak mau membuka hati.”

“Gak cuma urusan jodoh loh, tapi urusan pekerjaan pun begitu.”

“Ayyan contohnya, gak bisa kan dia langsung dapet posisi ini tanpa usaha dan perjuangan untuk selalu melakukan yang terbaik di setiap pekerjaannya.”

“Saya punya pesen nih, bukan cuma buat Ayyan ya, tapi buat kalian semua di sini. Ingat, gak akan ada usaha dan perjuangan yang berakhir sia-sia.”

Karyawan lain pun tersenyum, menyimak petuah Pak Diman.

“Pasti akan ada hal indah yang menanti pada bagian akhirnya. Capek boleh, tapi jangan sampai patah semangat. Oke?”

“Terima kasih, Pak.”

Pak Diman tersenyum sembari mengangguk, “Sama-sama, Yan.”

“Udah jam pulang kantor nih,” si pria paruh baya melanjutkan, “Yuk, semuanya beres-beres.”

Rayyan mengangguk paham sebelum kembali ke meja kerja lamanya di samping Athaya. Duduk di sana sembari memerhatikan komputer di Athaya yang masih menyala.

“Aya, Ayyan, duluan ya!” Pamit Dina bersama Mas Heri.

“Lu berdua gak cabut?” Janu juga udah bersiap untuk pergi.

“Gue mau kelarin kerjaan dulu.”

“Elah, Ya. Besok libur, lanjut Senin aja. Buru-buru amat.”

Athaya menggeleng.

“Mau gue kelarin sekarang aja.”

Janu hanya bergumam pasrah lalu melirik Rayyan, “Kalo lu kenapa gak pulang, Yan?”

“Gue mau beresin barang-barang gue,” jawabnya, “Kan hari Senin udah pindah ke meja baru.”

“Iya dah, Pak Ayyan.”

Janu terkekeh, “Gue duluan ya!”

Gak lama setelah Janu meninggalkan ruang divisi, beberapa karyawan lain yang tersisa pun ikut pergi. Kini hanya Athaya dan Rayyan yang masih setia menyamankan posisi di kursi mereka masing-masing.

“Bilang aja pengen lama-lama di sini sama gue for the last time.

“Bilang aja lu bakal kesepian di meja baru lu karena gak ada gue.”

Keduanya saling berbagi tatapan menantang sejenak sebelum Rayyan mencondongkan badannya ke arah Athaya.

“Kayaknya lu deh yang bakal kesepian,” Rayyan menyeringai.

Athaya ikut mencondongkan badan, “Sorry? Tapi gue malah gak sabar buat ngeliat meja lu ini ditempati orang baru yang gak kek lu, taunya ganggu mulu.”

Rayyan menipiskan bibirnya, begitu juga dengan Athaya. Hingga gak lama berselang mereka lantas saling memukul.

“Beresin noh kerjaan lu.”

“Beresin noh barang-barang lu.”

Rayyan tersenyum mengejek, dia lalu kembali mencondongkan badannya ke arah Athaya, menatap bibirnya sebelum berbisik, “Mau gue traktir gak?”

Mendengar hal itu, Athaya yang sejak semalam telah diganggu oleh Rayyan dengan kalimat yang sama pun refleks menepuk bibir si pemilik lesung pipi. Membuat Rayyan seketika menjerit.

“Aya, anjing! Gue cuma becanda!”

“Gue nepuknya kenceng ya?”

“Iya, bangsat.”

“Rasain,” kata Athaya santai.

Mendesis kesal, Rayyan pun menendang kaki Athaya di bawah meja. Gak ingin kalah, Athaya juga melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya sampai Athaya tiba-tiba mencondongkan badan lalu mengecup bibir Rayyan yang memerah—akibat tepukannya tadi. Alhasil, Rayyan mematung.

“Kalo lu mau pulang, matiin komputer gue juga,” ucap Athaya tanpa melirik ke arah Rayyan.

Athaya lalu buru-buru mengambil tasnya sebelum bergegas pergi dari ruang divisi. Dia berlari, meninggalkan Rayyan yang hanya mampu bersandar pada kursi sembari memegangi bibirnya sendiri.

Rayyan tersenyum.

Tapi senyumnya itu kemudian berganti menjadi tawa ketika pandangannya terhenti pada sebuah dompet di samping mouse komputer Athaya.

Rayyan kemudian meraihnya, membuka dompet itu hingga mendapati foto Athaya saat masih kecil dulu terselip di sana. Membuat dia kembali mengulas senyum. Athaya sangat lucu.

Namun yang kemudian menarik perhatian Rayyan, ada satu lagi foto dibalik foto itu dan sedikit tertutupi. Alhasil, Rayyan pun mengeluarkannya. Hingga akhirnya dia mendapati bahwa sosok yang ada di foto itu adalah dirinya. Foto yang Athaya ambil pada kencan terakhir mereka.

Saat itu pula Rayyan mengulum bibirnya rapat-rapat. Matanya pun telah berkaca-kaca. Dia lalu memeluk dompet Athaya sambil membayangkan bahwa saat ini dirinya sedang memeluk sosok yang dicintainya itu erat-erat.

“Mami udah di cafe kantor kamu nih,” ucap si wanita paruh baya sesaat setelah anaknya menjawab panggilan teleponnya.

“Aku masih di ruangan, Mi. Ada urusan dikit sama Mas Heri,” jawab Athaya dari seberang sana.

“Mami nunggu bentar gak apa-apa, kan? Pesen minum duluan aja kalau Mami haus,” timpalnya.

“Gak apa-apa, kelarin aja dulu urusan kamu. Mami tunggu.”

“Oke, Mi. See you.

See you, kak.”

Mami pun memutus sambungan telepon itu sebelum meletakkan handphone-nya di atas meja. Tapi gak lama berselang, dia dibuat sedikit tersentak saat seseorang tiba-tiba menghampiri mejanya.

“Tante?”

Rayyan senyum saat mendapati bahwa orang yang dia lihat dari arah pintu masuk cafe tadi benar-benar Aruna.

“Bareng siapa, Tante?”

Mami menghela napas, “Emang kamu liat saya lagi sama siapa?”

Rayyan menelan ludah. Salah pertanyaan nih gua, batinnya.

“Sama saya,” jawab Rayyan lalu cengar-cengir, sementara Mami hanya menggeleng pelan.

“Tante apa kabar?”

“Baik.”

“Udah di sini dari tadi?”

“Gak.”

“Tante nungguin Aya ya?”

“Mm,” gumam Mami.

Wanita paruh baya itu lalu meraih handphone-nya. Berpura-pura memeriksa pesan yang ada di sana. Sementara Rayyan masih berdiri di sana.

“Oh,” Rayyan mengangguk paham lalu mendesis, “Tante udah lama kenal sama Aya?”

Mami seketika mendongak, menatap Rayyan dengan sorot mata pasrahnya. Sedang Rayyan lantas menahan senyumnya.

“Canda, Tante.”

“Sampai kapan kamu mau berdiri di situ?” tanya Mami.

Rayyan kaget.

“Tante mau saya duduk di sini?”

“Gak, saya mau kamu pergi.”

“Tapi entar Tante sendirian loh.”

Mami mendengus, “Kamu yang pergi atau saya yang pergi?”

“Tante yang pergi.”

Mami seketika melotot. Tapi Rayyan buru-buru mengibaskan tangannya, sembari berkata,

“Gak, Tante. Gak. Saya bercanda.”

“Kurang ajar ya kamu sama orang tua,” kata Mami heran.

“Maaf ya, Tante. Pukul saya aja deh gak apa-apa,” balas Rayyan.

“Ck! Udah. Pergi sana.”

Rayyan hanya tersenyum. Sebab melihat Mami mengomel gak jauh berbeda dengan Athaya. Tapi sesaat setelahnya dia lantas mendesis. Sebab seseorang tiba-tiba meninju lengan atasnya.

Dan Rayyan sebenarnya sudah bisa menebak sosok itu tanpa harus menoleh terlebih dahulu.

“Ngapain lu di sini?”

“Nyuci piring,” sarkas Rayyan.

“Pergi lu, ganggu aja.”

Rayyan hanya berkomat-kamit mengikuti ucapan Athaya lalu menoleh ke Mami yang sedari tadi memerhatikan mereka.

“Tante, saya pamit ya.”

Mami pun hanya mendengus saat melihat Rayyan menoyor kepala Athaya sebelum berlari ke arah meja bartender. Sedang Athaya lantas mengomel sendiri.

“Udah, kak. Gak usah peduliin dia,” kata Mami lalu merapikan rambut sang anak yang telah duduk di sampingnya, “Gimana tadi evaluasinya? Lancar?”

Athaya menjatuhkan pundak.

“Lancar sih, Mi. Tapi aku kehabisan energi banget deh abis ditanya-tanya sama yang namanya Bu Cindy,” curhatnya.

“Pantes Mami ajak makan di luar, tapi malah minta Mami ke sini.”

Athaya melengkungkan bibirnya ke bawah lalu memeluk Mami dari samping, “Aku capek, Mi.”

Sementara itu, gak jauh dari tempat dimana Athaya tengah berkeluh kesah kepada Mami, Rayyan diam-diam mengamati. Hingga tanpa sadar dia lantas mengulas senyum lembut.

Melihat betapa nyaman Athaya ketika bercerita dan mendekap Maminya membuat sesuatu dibalik dada Rayyan berdesir. Terlebih, jika dia mengingat kembali bagaimana Athaya dan Mami pernah berselisih dua tahun silam karena menjalin hubungan dengannya.

Tapi kini semuanya telah kembali seperti sedia kala. Mami kembali bersikap hangat kepada putra semata wayangnya. Mami mencurahkan kasih sayangnya yang amat Athaya butuhkan.

Meski di lain sisi dia dan Athaya harus mengorbankan hubungan mereka. Tapi bagi Rayyan, melihat Athaya bisa bercanda tawa kembali dengan sang Mami membuatnya ikut bahagia.

Sebab, gak ada lagi wajah murung Athaya karena sang Mami mendiaminya. Gak ada lagi tangis Athaya karena terus memikirkannya yang gak kunjung diberi kesempatan oleh Mami. Dan gak ada lagi rasa khawatir jika Mami gak mau makan, karena mikirin mereka.

Cinta memang se-luar biasa ini, pikir Rayyan. Meski dia harus menahan sakit karena melepas Athaya-nya, namun rasa sakit itu lantas terobati hanya dengan melihat senyum manis Athaya saat sang Mami memeluknya.

Menghela napas panjang, Rayyan kemudian beralih melirik ke arah Mami. Tapi saat itu pula bahunya seketika menjengkit, sebab Mami nyatanya tengah menatapnya.

Rayyan benar-benar payah dalam urusan memandangi seseorang diam-diam.

Alhasil, karena gak ingin keliatan terlalu jelas bahwa sedari tadi dia menatap Athaya, Rayyan lalu membuang pandangannya ke arah pintu masuk. Pura-pura sibuk dengan dunianya sembari menunggu minumannya jadi.

Setelah mengambil minumannya, Rayyan pun melenggang pergi dari dalam cafe. Gak menoleh sedikit pun ke meja Athaya.

Sementara itu, Athaya yang masih bersandar pada bahu Maminya lantas menautkan alis. Sebab dia mendengar Maminya terkekeh. Dia lalu bangkit, menatap sang Mami heran.

“Kenapa, Mi?”

“Gak apa-apa. Mami tiba-tiba mikirin sesuatu yang lucu aja tadi,” jawabnya, “Ya udah, kita pesen makan yuk.”

“Mm, aku juga udah laper.”

Athaya tersenyum sebelum memanggil pelayan yang seketika menghampiri meja mereka. Dia dan Mami pun mulai memilih menu makan siang lalu menanyakan total bill-nya.

“Ini ya, Mas. Udah dihitung sama minuman Mas Ayyan,” ucap si pelayan sambil menyerahkan kertas bill kepada Athaya.

“Gimana, Mba? Kok minuman Ayyan?” tanya Athaya heran.

“Tadi Mas Ayyan bilang, Mas Aya yang bayarin minumannya.”

Menarik napas dalam-dalam sembari menipiskan bibirnya, Athaya pun memaksakan senyum lalu berkata, “Oh oke, Mba.”

Selepas membayar dan pelayan tadi pun telah beranjak pergi; guna menyiapkan pesanannya, Athaya kemudian menoleh ke arah pintu berkaca bening cafe. Mendapati Rayyan ternyata ada di depan sana, menggoyang-goyangkan badannya sembari menjulurkan lidah mengejek.

“Ayyan anjing,” gumam Athaya.

“Kak, udah. Dia cuma caper. Tuh minum kamu udah dateng.”

Athaya mengangguk setuju dengan ucapan Mami sebelum berterima kasih kepada pelayan yang membawa minumannya. Athaya pun bersiap untuk segera menyeruput minumannya. Tapi sebelum bibirnya menyentuh sedotan, handphone Athaya tiba-tiba berdenting. Membuat dia bergegas melihat notifikasinya.

Athaya pun menautkan alis saat melihat bahwa notifikasi yang masuk adalah; saldo gopay-nya baru saja diisi. Dia pun bingung, apa mungkin seseorang telah salah kirim? Hingga gak lama setelahnya, notifikasi lain pun masuk. Kali ini dari Rayyan.

Saat itu pula Athaya menahan senyumnya. Sebab nyatanya Rayyan lah yang baru saja mengisi saldo gopay-nya.

“Ada apa, kak?”

Athaya berdeham pelan. Berusaha sebisa mungkin buat nyembunyiin senyumnya.

“Ayyan, Mi. Dia balikin duit minumnya tadi,” katanya lalu mengangkat pundak, “Bagus deh. Biar aku gak usah capek-capek nagih terus berantem lagi.”

Mami mengangguk.

Athaya lalu menyodorkan minumannya ke Mami.

“Mami mau nyoba?”

“Gak, kak. Kamu aja.”

Athaya bergumam paham sebelum menghindari tatapan Mami. Dia lalu menyeruput minumannya sembari mengulum senyum. Hingga dia gak sadar kalau Mami sibuk menatapnya.

Dina mengangkat alisnya heran saat melihat Rayyan datang dan menghampiri sekat meja mereka. Sebab baru beberapa menit yang lalu sang rekan kerja meninggalkan ruangan menuju divisi lain guna mendampingi Heri menghadiri meeting.

“Loh, Yan? Gak jadi meeting?”

“Jadi, Mba. Tapi gue izin ke Mas Heri supaya digantiin sama Gio.”

“Emang lu kenapa?” celetuk Janu yang juga sama herannya.

“Gue ada urusan lain,” jawab Rayyan lalu melirik meja Athaya sejenak, “Aya mana?”

“Ada di dapur,” sahut Dina, “Tadi katanya pengen bikin kopi.”

Rayyan mengangguk paham sebelum bergegas menuju dapur. Meninggalkan Janu dan Dina yang masih menatapnya heran.

Sesampainya di dapur ruang divisi, Rayyan seketika mendapati Athaya tengah berdiri di depan dispenser. Setelahnya, dia pun mengunci pintu lalu menghampiri Athaya yang jelas kaget karena kehadirannya.

Keduanya sama-sama gak bersuara. Hanya saling memandangi sejenak dengan pandangan yang begitu hampa. Hingga akhirnya Rayyan menyerah. Dia gak mampu lagi menahan hasratnya untuk tidak memeluk Athaya.

Dibawanya tubuh Athaya ke dalam dekapan, dengan satu tangan yang mengusap lembut belakang kepala si pemilik netra legam. Saat itu pula tangis yang sedari tadi Athaya tahan lantas pecah. Kedua lengannya pun refleks memeluk erat pinggang Rayyan, selagi wajahnya terbenam di bahu sang mantan.

Sejenak, gak ada percakapan di antara mereka. Rayyan hanya membiarkan Athaya melepas beban dibalik tangisnya. Tapi saat dia kemudian merasa jika tangis Athaya mulai reda, Rayyan pun berkata.

“Aya, gak akan pernah ada yang tau kita berdua bakal berakhir kayak gimana nantinya.”

“Entah kita berdua bakal berakhir bersama lagi, atau kita justru berakhir dipertemukan sama orang baru abis ini.”

“Tapi gue yakin, gimana pun akhirnya nanti, pasti itu yang terbaik dari Tuhan buat kita.”

“Apa yang terjadi dan kita lalui sekarang juga pasti ada alasannya,” sambungnya.

“Entah cuma untuk jadi kisah selewat yang bisa kita ambil sebagai pelajaran, atau justru untuk jadi jalan supaya kita bisa bersama dan memperbaiki hubungan orang tua kita.”

Rayyan lalu beralih membingkai wajah Athaya. Mengusap lembut pipinya dengan ibu jari.

“Jadi sampai saat itu belum tiba, jangan pernah berpikir kalau lu gak pantas buat siapa dan siapa yang lebih pantas buat siapa ya?”

Rayyan menghela napas.

“Kita cuma manusia, Ya. Rasa tau kita terbatas,” tuturnya lembut.

“Satu-satunya yang berhak nentuin gue atau lu pantas buat siapa tuh cuma Tuhan. Itu bukan urusan kita. We never know.”

Lagi, air mata Athaya menetes.

“Soal Mami, kita juga gak pernah tau se-berat apa rasa sakitnya selama ini dan sampai kapan dia bakal gini karena rasa sakit itu.”

“Dan gue, di sini, mencoba untuk tetap berbuat baik ke Mami. Apalagi orang tua gue gak ngelakuin itu dulu. Mama Papa gue malah nyakitin Mami.”

“Jadi gimana pun point of view Mami tentang gue, itu gak jadi masalah kok,” katanya, “Kalau Mami nganggep itu baik, ya gue bersyukur. Kalau gak, it’s okay.”

“Karena gue cuma melakukan apa yang udah seharusnya gue lakukan,” tutur Rayyan.

“Dan balik lagi, kita gak bisa mengubah perasaan seseorang kalau bukan dia sendiri yang memutuskan kan?” dia senyum.

“Sekarang, yang terpenting tuh hubungan lu sama Mami baik-baik aja. Gue juga berusaha supaya Mama Papa gue gak terus-terusan ngerasa bersalah ke gue. Dan kita berdua tetep bisa kayak gini. Aman kan?”

Athaya menahan senyumnya, “Emang kita kayak gimana?”

Bibir dikulum, Rayyan pun maju selangkah sebelum menepuk keras lengan atas Athaya sembari berkata, “Kayak gini.”

“Anjing.”

Athaya mendesis kesal sebelum mengejar Rayyan yang sudah lebih dahulu menghindar. Tapi pada akhirnya dia berhasil menahan lengan Rayyan lalu membalas pukulan yang tadi.

“Aduh!” Rayyan setengah memekik, “Lengan gue yang ini luka juga tau. Sakit banget nih.”

“Serius?” Athaya seketika panik, “Maaf, Yan. Coba sini gue liat.”

Rayyan tersenyum usil sebelum memeluk pinggang Athaya dengan satu lengannya, sementara satu tangannya yang lain menggeletik perut rekan kerjanya itu.

Athaya terkekeh geli.

“Yan, udah. Ampun.”

“Ya udah, bikinin gue kopi tapi.”

Athaya mengangguk pasrah. Dan tepat setelah Rayyan melepas tautannya, Athaya pun berjalan ke arah kitchen counter. Mengambil gelas, kopi, juga toples berisi garam.

“Heh, botak! Itu garem.”

“Gue kalo bikin kopi pake garem,” Athaya mengangkat pundak, “Jadi kalo lu gak mau minum kopi pake garem ya gak usah nyuruh.”

Menipiskan bibirnya sejenak, Rayyan kemudian menoyor keras kepala Athaya sebelum berlari kencang menuju pintu dapur. Membukanya, lalu pergi dan menguncinya dari luar. Membuat Athaya yang masih terjebak di dalam seketika berteriak kesal.

“Ayyan anjiiiing!”

Ya, mereka tetap kayak gini.

Sama-sama tau jika masih ada cinta yang terselip di benak mereka, namun harus menjadi rahasia. Sama-sama tau jika keduanya masih saling mendamba, namun harus berpasrah kepada takdir yang entah akan membawanya ke mana. Dan sama-sama tau jika mereka masih bisa mengais secuil bahagia, meski dengan cara yang sedikit berbeda.

“Na! Una!”

Aruna menghembuskan napasnya pelan saat Jessy yang sedari tadi mengekorinya, sejak di dalam balai, justru tiba-tiba menghadang jalannya. Membuat mereka berdiri saling berhadapan di lobi. Aruna kemudian menatap hampa ke dalam bola mata Jessy sebelum bersuara.

“Tolong kasih saya jalan.”

Suara Aruna begitu tenang namun juga amat dingin di saat yang bersamaan. Sementara Jessy yang mendengarnya seketika menatap sedu ke arah sahabatnya itu. Jelas jika Aruna ingin bergegas pergi untuk menghindarinya.

“Na, aku minta maaf.”

“Maaf untuk apa lagi?” tanya Aruna.

Mata Jessy berkaca-kaca.

“Maaf karena aku gak bisa jadi sahabat yang baik buat kamu,” jawabnya, “Maaf juga karena aku udah bikin kamu terluka, sampai-sampai rasa sakit itu bikin kamu tersiksa bertahun-tahun lamanya.”

“Aku tau, gak ada lagi jalan buat bikin persahabatan kita kembali kayak dulu. Meskipun aku sebenarnya kangen banget bisa ngobrol lagi sama kamu. Tapi aku ikhlas, mungkin itu hukuman buat aku.”

“Tapi aku mohon, Na. Tolong kasih Rayyan kesempatan sekali aja buat bikin Athaya bahagia. Rayyan tulus cinta sama Athaya.”

Aruna tersenyum miring

“Kamu lucu ya,” katanya, “Kamu menyadari kesalahan kamu, tapi sekarang kamu malah minta aku supaya ngelepas Athaya buat anak kamu?”

“Kamu gak mikir gimana takutnya aku kalau Athaya juga bisa berakhir dibohongi?” timpal Aruna.

Jessy menggeleng lemah. Air matanya bercucuran hingga kedua pipinya basah.

“Karena aku sadar sama kesalahan aku yang lalu, jadi aku gak pengen anak aku ngulangin kesalahan yang sama. Aku mendidik Rayyan supaya tumbuh jadi anak yang baik, gak pembohong kayak Mamanya.”

“Sama kayak kamu, aku juga takut kalau aja suatu saat nanti anak aku kehilangan seseorang yang dia sayang karena sebuah kebohongan.”

“Aku selalu berpikir, cukup aku yang kehilangan sahabat sekaligus saudara perempuan aku, Na. Jangan Rayyan.”

Jessy lalu meraih tangan Aruna.

“Aku yang salah, Na. Bukan Rayyan. Tolong hukum aku aja, jangan anak aku.”

“Hati aku sakit ngeliat Rayyan yang justru harus nanggung semua ini,” timpalnya.

Aruna menepis pelan tangan Jessy.

“Athaya udah bahagia sekarang, jadi anak kamu gak perlu lagi bikin dia bahagia.”

“Lebih baik dia juga mulai mencari bahagianya sendiri. Lagian udah berapa bulan loh sejak dia dan anak aku putus.”

“Dia pasti bisa kok ketemu sama seseorang yang bisa bikin dia bahagia—lebih dari Athaya,” sambung Aruna.

“Jadi anak kamu dan anak aku bisa sama-sama bahagia tanpa harus bersama. Kita juga gak perlu lagi ada urusan apa-apa.”

“Na, kamu yakin mereka sama-sama bahagia dengan berpisah kayak gini?” sela Jessy, “Kamu yakin kita gak nyakitin mereka?”

“Iya,” jawab Aruna, “Udah ya? Saya mau pulang.”

Aruna kemudian melewati Jessy yang masih berdiri di tempatnya semula. Dia berjalan sambil mengatur deru napasnya yang tiba-tiba sesak. Hingga saat Aruna sudah sampai di tepi jalan dan hendak mencari mobilnya, dia justru harus menghentikan langkah. Sebab seorang pria dengan tato di lengan kanannya tiba-tiba menghadang jalannya sembari menodongnya dengan pisau.

“Kalo lu teriak, gue abisin lu.”

Kedua tungkai Aruna melemas. Tangannya bergetar hebat. Dia ketakutan. Akhirnya, Aruna pun cuma bisa berpasrah saat pria itu menarik paksa tas yang ditentengnya. Sesaat setelahnya pria itu lantas berlari, meninggalkan Aruna yang mulai mengumpulkan suara untuk berteriak.

“Tolong! Tolong! Copet!”

Rayyan yang berjalan dari sisi berlawanan sembari menikmati es krim seketika mematung saat mendengar teriakan seorang wanita. Rasa panik pun membuat dia gak sengaja melempar es krimnya ke sembarang arah sebelum mencari sumber suara. Namun baru saja dia berlari beberapa detik, Rayyan justru berpapasan dengan pria ber-tato yang tengah membawa tas wanita. Saat itu pula Rayyan sadar jika sosok di hadapannya ini lah yang menjadi alasan dibalik teriakan wanita tadi.

“Balikin tasnya,” ucap Rayyan tenang.

“Minggir lu,” ucap pria itu lalu menodong Rayyan dengan pisau, “Lu mau mati?”

“Gue gak takut, gue punya Allah.”

Pria ber-tato itu mendesis kesal. Dia kemudian melangkah maju, hendak menendang perut Rayyan. Namun Rayyan dengan sigap menangkap kakinya, setelahnya dia lalu mendorong kuat tubuh pria itu hingga jatuh terlentang di trotoar. Pisau dan tas yang dibawanya pun berakhir tergeletak.

Buru-buru Rayyan menendang pisau itu ke arah lain hingga jauh dari jangkauan si pria ber-tato yang kini kembali bangkit. Rayyan pun dengan sigap menepis pukulan yang dilayangkan pria itu sebelum membalasnya. Mengenai sudut bibirnya.

Tapi gak lama berselang, pria itu mendaratkan pukulan kencang di pipi kiri Rayyan. Membuat Rayyan yang belum siap membalasnya kembali mendapatkan pukulan lain di perut hingga pria itu tiba-tiba mendorongnya dengan keras. Rayyan terjatuh, sudut alisnya mengenai pembatas jalan hingga kulit di area itu sedikit sobek dan mengeluarkan darah.

“Anjing,” gumam Rayyan.

Pria ber-tato itu pun hendak berlari. Namun kaki panjang Rayyan turut serta menjadi juru penyelamat. Sebab Rayyan meluruskan kakinya, tepat saat pria itu melangkah, membuatnya tersandung hingga jatuh di samping kaki Rayyan.

Dengan sigap Rayyan bangkit. Dia kemudian membalikkan badan pria itu hingga terlentang. Rayyan lalu mencengkeram kuat kerah bajunya sembari berkata, “Balikin tasnya atau gue panggil polisi sekarang juga.”

“Ampun, Bang.”

“Di sana, Pak!”

Rayyan, begitu juga pria ber-tato yang masih terlentang lantas menoleh ke sumber suara. Aruna berada di sana, bersama seorang satpam dari balai; tempat dimana acara reuni diselenggarakan.

“Tante,” gumam Rayyan.

Dia kemudian berdiri. Gak lupa pula meraih tas yang berada di samping pria ber-tato yang kini sudah diamankan oleh petugas keamanan balai.

“Ini tas Tante?”

Aruna mengangguk lemah sebelum meraih tasnya yang disodorkan oleh Rayyan.

“Terima kasih,” ucapnya.

Aruna kemudian memandangi wajah Rayyan yang dihiasi beberapa titik lebam. Namun yang membuatnya semakin lemas adalah saat melihat sudut alis Rayyan berdarah.

“Alis kamu luka,” katanya, “Kita ke rumah sakit sekarang.”

“Gak perlu, Tante. Ini cuma luka kecil kok,” balas Rayyan, “Tante gak apa-apa kan?”

“Saya gak apa-apa,” jawab Aruna, “Tapi tolong, biarin saya nganterin kamu ke rumah sakit. Saya gak mau ada utang apa-apa sama kamu, Rayyan.”

“Daripada Tante nganterin saya ke rumah sakit cuma karena luka sekecil ini, mending Tante gantiin es krim saya deh.”

Rayyan menjatuhkan pundaknya, “Tadi saya baru makan sedikit, tapi gara-gara ngejar si jambret, es krimnya jatuh.”

Aruna geleng-geleng kepala, dia lalu mengeluarkan uang dari dompetnya.

“Ini, buat ganti es krim kamu. Jadi urusan kita udah selesai kan?”

“Tapi tadi saya makan es krim, Tante. Bukan uang.”

“Ya kamu bisa beli es krim lagi pake uang ini.”

“Tapi saya pengen nerima gantinya dalam bentuk es krim, bukan uang.”

Rayyan mengulum senyumnya saat melihat Aruna menghela napas gusar.

“Kamu beli es krim di mana?”

“Di Indomaret sana, Tante.”

Aruna berdecak sebelum melangkahkan kaki ke arah swalayan yang berada di seberang jalan. Rayyan pun mengekorinya. Hingga saat mereka telah sampai di sana, Aruna lantas membiarkan Rayyan memilih es krim yang dia suka.

“Tante, saya pengen beli air minum. Boleh?”

“Mm,” gumam Aruna, “Udah?”

“Udah,” Rayyan tersenyum sumringah.

Keduanya pun berjalan ke arah kasir. Dengan Aruna yang menunggu total belanjaan. Namun, Aruna seketika menautkan alis saat melihat Rayyan diam-diam mengambil kinder joy lalu meletakkannya di atas meja kasir. Persis seperti anak kecil yang berusaha mencari celah agar orang tuanya membeli mainan untuknya. Rayyan pun cuma cengengesan saat sadar jika Aruna sedang memerhatikannya.

Seusai membayar, Aruna dan Rayyan kemudian keluar dari Indomaret itu.

“Tante.”

“Apa lagi?”

Rayyan menyodorkan air minum yang telah dia buka tutup botolnya untuk Aruna.

“Tante minum dulu.”

“Gak. Terima kasih,” kata Aruna, “Urusan kita udah selesai kan? Saya mau pulang sekarang.”

“Tante ke sini sendiri?”

“Iya.”

“Yakin bisa pulang sendiri?” Rayyan terkekeh, “Itu tangan Tante aja masih gemeteran loh aku perhatiin. Muka Tante juga pucat banget dari tadi.”

Rayyan kembali menyodorkan air minum kepada Aruna, “Minum dulu, Tante. Dikit aja gak apa-apa. Abis panik musti haus.”

Aruna pasrah. Dia meraih air minum yang diberikan Rayyan lalu menenggaknya pelan. Hal itu pun membuatnya sedikit lebih tenang, sebab sedari tadi dia masih ketakutan.

“Saya telpon Aya buat jemput Tante ya?” kata Rayyan, “Ini ada kursi. Tante duduk di sini dulu.”

Rayyan menuntun Aruna untuk duduk di kursi yang ada di sana. Setelahnya, dia kemudian menelpon Athaya. Memberitahu bahwa sang Mami kecopetan.

Dipta mengulas senyum tipis saat merasakan telapak tangan Dikta menggerayangi perut ratanya. Memberikan usapan lembut, namun juga sensual, yang membuat Dipta refleks memejamkan mata.

“Tangan kamu dingin, Ta.”

Dikta yang semula sedang sibuk menjajah ceruk leher pacarnya dengan ciuman basah sembari mengungkung Dipta lantas mengangkat kepala. Dia menatap Dipta lekat-lekat sambil tersenyum tipis.

“Dingin banget ya?” tanyanya.

“Mm,” gumam Dipta, “Gugup?”

“Dikit,” jawab Dikta lalu mengecup bibir tipis Dipta sekilas, “Kamu gak nyaman ya kalau tangan aku dingin gini?”

“Aku gak apa-apa,” satu tangan Dipta mengusap pipi kanan Dikta, “Tapi kok kamu gugup sih?” dia terkekeh.

“Ini kan bukan pertama kalinya buat kita berdua,” timpalnya, “Kamu mikirin apa?”

Dikta mengusap lembut rambut hitam pacarnya, “Aku mikirin kamu, Dip.”

“Aku takut bikin kamu kesakitan lagi kayak waktu itu, pas kita di puncak,” katanya.

Dipta terkekeh, “Kalau yang itu kan first time kita. Aku sama kamu masih sama-sama belajar buat saling ngerti.”

“Apalagi kita gak ada pengalaman sama sekali sebelumnya,” jelas Dipta.

“Sakit itu wajar tau,” sambungnya, “Kamu gak usah takut. Pacar kamu ini kan kuat.”

“Kuat apa?” Dikta mencubit dagu Dipta, “Hm?”

Dipta cengar-cengir.

“Kuat diewe sama kamu.”

“Kamu kalau ngomong gini pas ada orang lain, aku cubit loh, Dip. Beneran.”

Dipta mengulum senyum. Setelahnya, dia lalu menarik tengkuk Dikta. Menyatukan belahan bibir mereka hingga saling melumat mesra. Tidak ada sekon yang terbuang, sebab, baik itu Dikta maupun Dipta sama-sama mengejar kenikmatan dari ciuman yang berangsur tergesa.

Decak lidah menggema.

Saliva yang entah milik siapa ditelan.

Suhu tubuh kian mendekati puncaknya.

Dan kedua anak cucu Adam itu perlahan hanyut ke dalam nafsu yang terus merayu.

Cukup puas berbagi pagutan, Dipta kemudian berinisiatif untuk memimpin. Dia mendorong pelan tubuh pacarnya, menuntun Dikta agar berbaring terlentang di atas tempat tidur. Dikta pun seketika menurut. Membiarkan Dipta melakukan apa yang diinginkannya.

Dipta lalu bangkit, mengungkung Dikta hingga pacarnya itu pasrah di bawahnya. Dipta mendaratkan kecupan-kecupan ringan di tubuh Dikta yang sedari tadi tidak lagi ditutupi baju; sama sepertinya. Mereka topless. Dipta mengecupnya mulai dari ceruk leher, dada, perut, hingga turun ke bagian selatan Dikta yang masih dibungkus boxer.

Sejenak Dipta menenggelamkan wajahnya di sana. Menghirup aroma Dikta yang selalu dia rindukan. Setelahnya, Dipta lalu meremat kuat tonjolan itu, membuat empunya mengerang tertahan. Dipta yakin rasanya pasti sangat ngilu. Namun dengan cara itu pula gairah Dikta bisa semakin membara dan malam panjang mereka di hari ulang tahun pacarnya akan bermula.

“Mmh—sayang—hhh!”

Dipta tersenyum mendengar geraman rendah Dikta yang merdu di telinga. Tanpa membuang waktunya, dia lalu membuka boxer beserta celana dalam Dikta. Begitu juga dengan dirinya, hingga mereka berdua sama-sama telah bertelanjang bulat di dalam kamar kos si pemilik lesung pipi.

Dikta pun hanya tersenyum lembut saat melihat Dipta berbalik badan lalu membungkuk. Kepala Dipta berada di depan kejantanannya, sedang bokong kenyal Dipta kini berada tepat di hadapannya.

Saat Dipta mulai memanjakan alat kelaminnya di bawah sana, Dikta lantas mendesis. Dia lalu melampiaskan rasa nikmat yang adiktif itu dengan meremas kuat bokong Dipta sebelum menenggelamkan wajahnya di sana. Dikta mengecup, menjilat bahkan sesekali menggigitnya pelan.

“Nghh… Dikta… ah!”

Dipta menghentikan aksinya sejenak hanya untuk meracau. Sebab lidah Dikta yang kini menusuk-nusuk lubangnya memberi sensasi menggelitik namun juga membuatnya ingin lagi bahkan lebih.

Sementara itu, Dikta yang merasa bahwa Dipta menikmatinya lantas meraih lubricant di samping bantal. Dia membasahi jemarinya sendiri dengan cairan pelumas itu sebelum memasukkan satu jemarinya ke dalam lubang Dipta.

“Ta, enak banget.”

Gumaman Dipta begitu lirih, namun masih bisa didengar oleh Dikta. Seolah mendapat instruksi untuk memberi yang lebih, Dikta pun perlahan menambah jemari yang berada di dalam lubang pacarnya. Membuat Dipta yang masih memberinya blow job sesekali mendesah keenakan.

Kejantanan Dikta di bawah sana pun semakin mengeras saat Dipta menjilati lubang pipisnya seraya memijat batang kemaluannya. Hingga dia pun ingin yang lebih. Dia ingin berada di dalam Dipta.

“Dip… Sayang…”

Suara Dikta bergetar. Dipta pun paham. Dengan sigap dia bangkit, berbalik, lalu meraih kondom di samping bantal Dikta. Memasangkannya pada kejantanan sang pacar yang telah mengacung kokoh.

“Kamu gak apa-apa?”

Dikta memastikan. Sebab ini menjadi kali pertama Dipta berada di atasnya. Gaya yang baru tentu akan berbeda sensasinya, dan Dikta mendadak takut jika Dipta hanya akan tersiksa demi memuaskannya semata.

Dipta kemudian tersenyum. Dia mengangguk pelan sebelum perlahan menuntun pusat ereksi Dikta agar masuk ke lubangnya. Dipta pun menggigit bibir bawahnya sembari memejamkan mata hingga kejantanan Dikta masuk seutuhnya.

Sejenak, Dipta membiarkan lubangnya terbiasa. Sebab sudah cukup lama semenjak dia dan Dikta tidak bercinta. Terhitung sejak mereka masih berada di penghujung semester lima.

“Pegang tangan aku, Ta.”

Dikta menurut. Dia meraih kedua tangan Dipta, menggenggamnya erat. Sementara pacarnya itu mulai menungganginya. Dipta menggerakkan bokongnya pelan hingga berangsur cepat. Dikta pun turut membantu, dia menggerakkan pinggulnya berlawanan arah hingga Dipta berdesah.

“Dip, kamu sempit banget.”

Dipta terkekeh.

“Kirain punya kamu yang gede.”

Mereka sama-sama tersenyum.

“Cium aku, Dip.”

Ucapan Dikta bagai perintah yang dengan mudah disanggupi oleh Dipta. Dia membungkuk, menciumi bibir pacarnya. Masih dengan bokongnya yang bergerak. Namun tanpa Dipta duga, Dikta tiba-tiba memegangi pinggangnya. Setelahnya, Dikta mempercepat gerakannya. Menggenjot lubang sempit Dipta yang kini mengerang sensual di sela-sela ciumannya.

“Ngh! Di situ, Ta.”

“Enak?”

“Mmh... Enak banget… Lagi...”

Kepala Dipta mendadak pusing akibat sensasi nikmat yang dirasakannya. Alat kelaminnya yang menyentuh perut Dikta pun telah mengacung tegak dan semakin mengeras. Dipta paham kalau gak lama lagi, dia akan sampai pada pelepasannya. Tapi dia gak mau mengakhirinya begitu cepat.

Dipta ingin memuaskan Dikta malam ini.

“Ta, aku pengen di bawah.”

“Capek?”

“Gak capek, tapi aku pengen di bawah.”

Meski napasnya telah memburu, Dikta tetap berusaha untuk mengubah posisinya juga Dipta dengan pelan dan penuh kehati-hatian. Saat Dipta telah berada di bawahnya, dia kemudian menuntun kaki sang pacar agar melingkari pinggangnya. Dikta lalu kembali menggerakkan pinggulnya dengan cepat hingga Dipta menganga, namun tidak bersuara sesaat.

“Dikta, jangan dulu—ahh.”

“Jangan apa, sayang?”

“Jangan berhenti.”

Dikta tersenyum lalu menghentikan pergerakannya sejenak, “Tapi kamu bentar lagi loh.”

Dikta tau, batin Dipta.

“Tapi kan aku yang pengen ngasih kamu hadiah,” balas Dipta, “Masa aku duluan.”

“Gak apa-apa, sayang.”

“Ih, tapi kan—”

Dikta tidak membiarkan Dipta meneruskan ucapannya. Dia kembali menubruk titik terdalam Dipta dengan cepat sembari menciumi bibir pacarnya itu tergesa. Dipta pun pasrah, kakinya lemas, sementara otot perutnya mengencang. Pun napasnya yang semakin memburu. Satu tangan Dipta kemudian bergerak, mengocok kejantanannya sendiri hingga gak lama berselang pelepasannya lantas datang.

Dikta pun memberinya istirahat sejenak. Dikta memandangi wajahnya lekat-lekat sembari mengulas senyum lembut.

“Kamu indah banget, Dip.”

Dikta meraba-raba perut rata Dipta.

“Saking terpakunya sama keindahan kamu, aku sampai lupa nanya, kamu kesakitan atau gak?”

“Gak kok,” jawab Dipta, “Aku suka.”

“Tolong ingetin aku ya kalau aku terlalu kasar sama kamu. Pukul aku, gak apa-apa.”

Dipta mengangguk.

Dikta kemudian kembali mencari kepuasannya. Kini dia menuntun satu kaki Dipta agar berada di atas pundaknya. Membuat kejantanannya semakin tenggelam dalam lubang sempit Dipta.

“Ah—Dikta—aaah.”

Dikta mendongak. Matanya terpejam. Mulutnya setengah terbuka. Hangat dan ketatnya lubang Dipta membuat dia ikut berdesah pelan. Decitan tempat tidur pun semakin keras saat dia menambah tempo genjotannya. Sementara Dipta yang berada di bawahnya meremas kuat spreinya.

“Dipta… Sayang… Aaah…”

Dipta mengatur napasnya ketika Dikta mengeluarkan kejantanan dari lubangnya. Pacarnya itu kemudian melepas kondom sebelum mengocok alat kelaminnya sendiri di atas perut Dipta. Hingga gak lama berselang, mani mengucur deras dari sana.

Dipta, yang melihat bagaimana Dikta memejamkan mata keenakan sembari mengulum bibirnya lantas tersenyum. Sebab sungguh, Dikta jauh lebih tampan berkali-kali lipat ketika mereka bercinta seperti sekarang.

“Dikta,” Dipta tersengal, “Happy birthday.”

Dikta lalu menjatuhkan tubuhnya di samping Dipta. Setelahnya, dia mencubit pipi kanan pacarnya itu gemas.

“Kamu pas lagi telanjang aja lucu.”

“Ih,” rengek Dipta, “Aku malu tau.”

“Gak usah malu, kan tadi kamu yang mau.”

“Diktaaaa.”

Dikta terkekeh, “Makasih ya, Dip.”

“Suka gak?”

“Suka. Sukaaa banget,” kata Dikta.

Dipta tersenyum lega.

“Oh iya, aku juga punya hadiah buat kamu.”

“Kok aku? Kan yang ulang tahun kamu.”

“Bentar, Dip.”

Dikta lalu membuka laci nakas di sisi kanannya, mengambil sebuah kotak di sana lalu menunjukkannya kepada Dipta.

“Kok kayak kotak cincin?” celetuk Dipta, “Kamu mau ngelamar aku, Ta?”

“Hahaha!”

Dipta manyun, “Bukan ya?”

“Coba kamu buka.”

Dipta pun meraih kotak itu lalu membukanya. Mendapati dua cincin di sana.

“Ya ampun. Masa aku dilamar pas lagi telanjang gini sih, Ta?” celoteh Dipta.

“Siapa suruh kamu pura-pura ngambek sama aku tadi,” balas Dikta, “Aku ke rumah kamu tuh buat ngasih ini. Aku nunggu sejak jam delapan malam sampai jam sebelas demi ngasih kamu cincin ini. Tapi kamu malah gak mau keluar kamar. Gak mau ketemu aku. Nyuruh aku pulang aja.”

Dipta terkekeh, “Iya, maaf. Abisnya, aku kan pengen ngasih kamu kejutan, Ta.”

“Mana sini tangan kanan kamu.”

Dipta menahan senyum seraya menyodorkan tangannya ke Dikta. Membiarkan pacarnya itu memasangkan satu cincin di jari manisnya. Setelahnya, Dikta lantas mengusap cincin itu sebelum menatap lurus ke dalam mata Dipta.

“Dip, maaf ya aku baru bisa beliin kamu cincin yang murah. Tapi aku belinya dari gaji magang aku bulan ini loh,” katanya diikuti kekehan, “Kamu suka gak?”

“Aku mana pernah sih bilang gak suka kalau udah menyangkut kamu, Ta.”

“Dasar,” Dikta tersenyum lalu menciumi punggung tangan Dipta sejenak, “Dip.”

“Mm?”

“Makasih ya udah hadir di hidup aku. Ini ulang tahun pertama aku bareng kamu. Dan aku bahagiaaa banget karena ada kamu di samping aku hari ini,” ucap Dikta.

“Ulang tahun aku sebelum-sebelumnya gak pernah se-spesial ini buat aku tau. Tapi karena ada kamu, semuanya jadi berbeda. You bring so much joy to my life, Dipta.”

“Aku harap, semoga di tahun-tahun berikutnya, kita masih bisa ngelewatin hari ulang tahun kita bareng-bareng ya, Dip?”

“Sampai nanti, cincin di tangan kamu ini udah berubah jadi cincin yang lebih mahal. Cincin pernikahan kita,” katanya.

Dipta menggeleng, “Gak perlu mahal. Selagi niat kamu tulus, pasti cincin ini bakal keganti jadi cincin pernikahan kok.”

“Tapi kan aku pengen ngasih yang terbaik buat kamu,” balas Dikta, “Pokoknya pas udah lulus nanti, aku bakal kerja keras terus ngumpulin uang yang banyak buat kamu.”

Dipta tersenyum, “Sini, tangan kamu.”

Dikta pun menyanggupi. Dia tersenyum melihat Dipta memasangkan cincin couple mereka di jari manisnya.

“Aku juga berharap semoga tahun depan kamu ngelamar aku,” canda Dipta. Membuat Dikta kembali tertawa.

“Aku sayang kamu, Dip.”

“Aku juga sayang kamu, Ta.”