Dipta mengulas senyum tipis saat merasakan telapak tangan Dikta menggerayangi perut ratanya. Memberikan usapan lembut, namun juga sensual, yang membuat Dipta refleks memejamkan mata.
“Tangan kamu dingin, Ta.”
Dikta yang semula sedang sibuk menjajah ceruk leher pacarnya dengan ciuman basah sembari mengungkung Dipta lantas mengangkat kepala. Dia menatap Dipta lekat-lekat sambil tersenyum tipis.
“Dingin banget ya?” tanyanya.
“Mm,” gumam Dipta, “Gugup?”
“Dikit,” jawab Dikta lalu mengecup bibir tipis Dipta sekilas, “Kamu gak nyaman ya kalau tangan aku dingin gini?”
“Aku gak apa-apa,” satu tangan Dipta mengusap pipi kanan Dikta, “Tapi kok kamu gugup sih?” dia terkekeh.
“Ini kan bukan pertama kalinya buat kita berdua,” timpalnya, “Kamu mikirin apa?”
Dikta mengusap lembut rambut hitam pacarnya, “Aku mikirin kamu, Dip.”
“Aku takut bikin kamu kesakitan lagi kayak waktu itu, pas kita di puncak,” katanya.
Dipta terkekeh, “Kalau yang itu kan first time kita. Aku sama kamu masih sama-sama belajar buat saling ngerti.”
“Apalagi kita gak ada pengalaman sama sekali sebelumnya,” jelas Dipta.
“Sakit itu wajar tau,” sambungnya, “Kamu gak usah takut. Pacar kamu ini kan kuat.”
“Kuat apa?” Dikta mencubit dagu Dipta, “Hm?”
Dipta cengar-cengir.
“Kuat diewe sama kamu.”
“Kamu kalau ngomong gini pas ada orang lain, aku cubit loh, Dip. Beneran.”
Dipta mengulum senyum. Setelahnya, dia lalu menarik tengkuk Dikta. Menyatukan belahan bibir mereka hingga saling melumat mesra. Tidak ada sekon yang terbuang, sebab, baik itu Dikta maupun Dipta sama-sama mengejar kenikmatan dari ciuman yang berangsur tergesa.
Decak lidah menggema.
Saliva yang entah milik siapa ditelan.
Suhu tubuh kian mendekati puncaknya.
Dan kedua anak cucu Adam itu perlahan hanyut ke dalam nafsu yang terus merayu.
Cukup puas berbagi pagutan, Dipta kemudian berinisiatif untuk memimpin. Dia mendorong pelan tubuh pacarnya, menuntun Dikta agar berbaring terlentang di atas tempat tidur. Dikta pun seketika menurut. Membiarkan Dipta melakukan apa yang diinginkannya.
Dipta lalu bangkit, mengungkung Dikta hingga pacarnya itu pasrah di bawahnya. Dipta mendaratkan kecupan-kecupan ringan di tubuh Dikta yang sedari tadi tidak lagi ditutupi baju; sama sepertinya. Mereka topless. Dipta mengecupnya mulai dari ceruk leher, dada, perut, hingga turun ke bagian selatan Dikta yang masih dibungkus boxer.
Sejenak Dipta menenggelamkan wajahnya di sana. Menghirup aroma Dikta yang selalu dia rindukan. Setelahnya, Dipta lalu meremat kuat tonjolan itu, membuat empunya mengerang tertahan. Dipta yakin rasanya pasti sangat ngilu. Namun dengan cara itu pula gairah Dikta bisa semakin membara dan malam panjang mereka di hari ulang tahun pacarnya akan bermula.
“Mmh—sayang—hhh!”
Dipta tersenyum mendengar geraman rendah Dikta yang merdu di telinga. Tanpa membuang waktunya, dia lalu membuka boxer beserta celana dalam Dikta. Begitu juga dengan dirinya, hingga mereka berdua sama-sama telah bertelanjang bulat di dalam kamar kos si pemilik lesung pipi.
Dikta pun hanya tersenyum lembut saat melihat Dipta berbalik badan lalu membungkuk. Kepala Dipta berada di depan kejantanannya, sedang bokong kenyal Dipta kini berada tepat di hadapannya.
Saat Dipta mulai memanjakan alat kelaminnya di bawah sana, Dikta lantas mendesis. Dia lalu melampiaskan rasa nikmat yang adiktif itu dengan meremas kuat bokong Dipta sebelum menenggelamkan wajahnya di sana. Dikta mengecup, menjilat bahkan sesekali menggigitnya pelan.
“Nghh… Dikta… ah!”
Dipta menghentikan aksinya sejenak hanya untuk meracau. Sebab lidah Dikta yang kini menusuk-nusuk lubangnya memberi sensasi menggelitik namun juga membuatnya ingin lagi bahkan lebih.
Sementara itu, Dikta yang merasa bahwa Dipta menikmatinya lantas meraih lubricant di samping bantal. Dia membasahi jemarinya sendiri dengan cairan pelumas itu sebelum memasukkan satu jemarinya ke dalam lubang Dipta.
“Ta, enak banget.”
Gumaman Dipta begitu lirih, namun masih bisa didengar oleh Dikta. Seolah mendapat instruksi untuk memberi yang lebih, Dikta pun perlahan menambah jemari yang berada di dalam lubang pacarnya. Membuat Dipta yang masih memberinya blow job sesekali mendesah keenakan.
Kejantanan Dikta di bawah sana pun semakin mengeras saat Dipta menjilati lubang pipisnya seraya memijat batang kemaluannya. Hingga dia pun ingin yang lebih. Dia ingin berada di dalam Dipta.
“Dip… Sayang…”
Suara Dikta bergetar. Dipta pun paham. Dengan sigap dia bangkit, berbalik, lalu meraih kondom di samping bantal Dikta. Memasangkannya pada kejantanan sang pacar yang telah mengacung kokoh.
“Kamu gak apa-apa?”
Dikta memastikan. Sebab ini menjadi kali pertama Dipta berada di atasnya. Gaya yang baru tentu akan berbeda sensasinya, dan Dikta mendadak takut jika Dipta hanya akan tersiksa demi memuaskannya semata.
Dipta kemudian tersenyum. Dia mengangguk pelan sebelum perlahan menuntun pusat ereksi Dikta agar masuk ke lubangnya. Dipta pun menggigit bibir bawahnya sembari memejamkan mata hingga kejantanan Dikta masuk seutuhnya.
Sejenak, Dipta membiarkan lubangnya terbiasa. Sebab sudah cukup lama semenjak dia dan Dikta tidak bercinta. Terhitung sejak mereka masih berada di penghujung semester lima.
“Pegang tangan aku, Ta.”
Dikta menurut. Dia meraih kedua tangan Dipta, menggenggamnya erat. Sementara pacarnya itu mulai menungganginya. Dipta menggerakkan bokongnya pelan hingga berangsur cepat. Dikta pun turut membantu, dia menggerakkan pinggulnya berlawanan arah hingga Dipta berdesah.
“Dip, kamu sempit banget.”
Dipta terkekeh.
“Kirain punya kamu yang gede.”
Mereka sama-sama tersenyum.
“Cium aku, Dip.”
Ucapan Dikta bagai perintah yang dengan mudah disanggupi oleh Dipta. Dia membungkuk, menciumi bibir pacarnya. Masih dengan bokongnya yang bergerak. Namun tanpa Dipta duga, Dikta tiba-tiba memegangi pinggangnya. Setelahnya, Dikta mempercepat gerakannya. Menggenjot lubang sempit Dipta yang kini mengerang sensual di sela-sela ciumannya.
“Ngh! Di situ, Ta.”
“Enak?”
“Mmh... Enak banget… Lagi...”
Kepala Dipta mendadak pusing akibat sensasi nikmat yang dirasakannya. Alat kelaminnya yang menyentuh perut Dikta pun telah mengacung tegak dan semakin mengeras. Dipta paham kalau gak lama lagi, dia akan sampai pada pelepasannya. Tapi dia gak mau mengakhirinya begitu cepat.
Dipta ingin memuaskan Dikta malam ini.
“Ta, aku pengen di bawah.”
“Capek?”
“Gak capek, tapi aku pengen di bawah.”
Meski napasnya telah memburu, Dikta tetap berusaha untuk mengubah posisinya juga Dipta dengan pelan dan penuh kehati-hatian. Saat Dipta telah berada di bawahnya, dia kemudian menuntun kaki sang pacar agar melingkari pinggangnya. Dikta lalu kembali menggerakkan pinggulnya dengan cepat hingga Dipta menganga, namun tidak bersuara sesaat.
“Dikta, jangan dulu—ahh.”
“Jangan apa, sayang?”
“Jangan berhenti.”
Dikta tersenyum lalu menghentikan pergerakannya sejenak, “Tapi kamu bentar lagi loh.”
Dikta tau, batin Dipta.
“Tapi kan aku yang pengen ngasih kamu hadiah,” balas Dipta, “Masa aku duluan.”
“Gak apa-apa, sayang.”
“Ih, tapi kan—”
Dikta tidak membiarkan Dipta meneruskan ucapannya. Dia kembali menubruk titik terdalam Dipta dengan cepat sembari menciumi bibir pacarnya itu tergesa. Dipta pun pasrah, kakinya lemas, sementara otot perutnya mengencang. Pun napasnya yang semakin memburu. Satu tangan Dipta kemudian bergerak, mengocok kejantanannya sendiri hingga gak lama berselang pelepasannya lantas datang.
Dikta pun memberinya istirahat sejenak. Dikta memandangi wajahnya lekat-lekat sembari mengulas senyum lembut.
“Kamu indah banget, Dip.”
Dikta meraba-raba perut rata Dipta.
“Saking terpakunya sama keindahan kamu, aku sampai lupa nanya, kamu kesakitan atau gak?”
“Gak kok,” jawab Dipta, “Aku suka.”
“Tolong ingetin aku ya kalau aku terlalu kasar sama kamu. Pukul aku, gak apa-apa.”
Dipta mengangguk.
Dikta kemudian kembali mencari kepuasannya. Kini dia menuntun satu kaki Dipta agar berada di atas pundaknya. Membuat kejantanannya semakin tenggelam dalam lubang sempit Dipta.
“Ah—Dikta—aaah.”
Dikta mendongak. Matanya terpejam. Mulutnya setengah terbuka. Hangat dan ketatnya lubang Dipta membuat dia ikut berdesah pelan. Decitan tempat tidur pun semakin keras saat dia menambah tempo genjotannya. Sementara Dipta yang berada di bawahnya meremas kuat spreinya.
“Dipta… Sayang… Aaah…”
Dipta mengatur napasnya ketika Dikta mengeluarkan kejantanan dari lubangnya. Pacarnya itu kemudian melepas kondom sebelum mengocok alat kelaminnya sendiri di atas perut Dipta. Hingga gak lama berselang, mani mengucur deras dari sana.
Dipta, yang melihat bagaimana Dikta memejamkan mata keenakan sembari mengulum bibirnya lantas tersenyum. Sebab sungguh, Dikta jauh lebih tampan berkali-kali lipat ketika mereka bercinta seperti sekarang.
“Dikta,” Dipta tersengal, “Happy birthday.”
Dikta lalu menjatuhkan tubuhnya di samping Dipta. Setelahnya, dia mencubit pipi kanan pacarnya itu gemas.
“Kamu pas lagi telanjang aja lucu.”
“Ih,” rengek Dipta, “Aku malu tau.”
“Gak usah malu, kan tadi kamu yang mau.”
“Diktaaaa.”
Dikta terkekeh, “Makasih ya, Dip.”
“Suka gak?”
“Suka. Sukaaa banget,” kata Dikta.
Dipta tersenyum lega.
“Oh iya, aku juga punya hadiah buat kamu.”
“Kok aku? Kan yang ulang tahun kamu.”
“Bentar, Dip.”
Dikta lalu membuka laci nakas di sisi kanannya, mengambil sebuah kotak di sana lalu menunjukkannya kepada Dipta.
“Kok kayak kotak cincin?” celetuk Dipta, “Kamu mau ngelamar aku, Ta?”
“Hahaha!”
Dipta manyun, “Bukan ya?”
“Coba kamu buka.”
Dipta pun meraih kotak itu lalu membukanya. Mendapati dua cincin di sana.
“Ya ampun. Masa aku dilamar pas lagi telanjang gini sih, Ta?” celoteh Dipta.
“Siapa suruh kamu pura-pura ngambek sama aku tadi,” balas Dikta, “Aku ke rumah kamu tuh buat ngasih ini. Aku nunggu sejak jam delapan malam sampai jam sebelas demi ngasih kamu cincin ini. Tapi kamu malah gak mau keluar kamar. Gak mau ketemu aku. Nyuruh aku pulang aja.”
Dipta terkekeh, “Iya, maaf. Abisnya, aku kan pengen ngasih kamu kejutan, Ta.”
“Mana sini tangan kanan kamu.”
Dipta menahan senyum seraya menyodorkan tangannya ke Dikta. Membiarkan pacarnya itu memasangkan satu cincin di jari manisnya. Setelahnya, Dikta lantas mengusap cincin itu sebelum menatap lurus ke dalam mata Dipta.
“Dip, maaf ya aku baru bisa beliin kamu cincin yang murah. Tapi aku belinya dari gaji magang aku bulan ini loh,” katanya diikuti kekehan, “Kamu suka gak?”
“Aku mana pernah sih bilang gak suka kalau udah menyangkut kamu, Ta.”
“Dasar,” Dikta tersenyum lalu menciumi punggung tangan Dipta sejenak, “Dip.”
“Mm?”
“Makasih ya udah hadir di hidup aku. Ini ulang tahun pertama aku bareng kamu. Dan aku bahagiaaa banget karena ada kamu di samping aku hari ini,” ucap Dikta.
“Ulang tahun aku sebelum-sebelumnya gak pernah se-spesial ini buat aku tau. Tapi karena ada kamu, semuanya jadi berbeda. You bring so much joy to my life, Dipta.”
“Aku harap, semoga di tahun-tahun berikutnya, kita masih bisa ngelewatin hari ulang tahun kita bareng-bareng ya, Dip?”
“Sampai nanti, cincin di tangan kamu ini udah berubah jadi cincin yang lebih mahal. Cincin pernikahan kita,” katanya.
Dipta menggeleng, “Gak perlu mahal. Selagi niat kamu tulus, pasti cincin ini bakal keganti jadi cincin pernikahan kok.”
“Tapi kan aku pengen ngasih yang terbaik buat kamu,” balas Dikta, “Pokoknya pas udah lulus nanti, aku bakal kerja keras terus ngumpulin uang yang banyak buat kamu.”
Dipta tersenyum, “Sini, tangan kamu.”
Dikta pun menyanggupi. Dia tersenyum melihat Dipta memasangkan cincin couple mereka di jari manisnya.
“Aku juga berharap semoga tahun depan kamu ngelamar aku,” canda Dipta. Membuat Dikta kembali tertawa.
“Aku sayang kamu, Dip.”
“Aku juga sayang kamu, Ta.”