We Never Know
Dina mengangkat alisnya heran saat melihat Rayyan datang dan menghampiri sekat meja mereka. Sebab baru beberapa menit yang lalu sang rekan kerja meninggalkan ruangan menuju divisi lain guna mendampingi Heri menghadiri meeting.
“Loh, Yan? Gak jadi meeting?”
“Jadi, Mba. Tapi gue izin ke Mas Heri supaya digantiin sama Gio.”
“Emang lu kenapa?” celetuk Janu yang juga sama herannya.
“Gue ada urusan lain,” jawab Rayyan lalu melirik meja Athaya sejenak, “Aya mana?”
“Ada di dapur,” sahut Dina, “Tadi katanya pengen bikin kopi.”
Rayyan mengangguk paham sebelum bergegas menuju dapur. Meninggalkan Janu dan Dina yang masih menatapnya heran.
Sesampainya di dapur ruang divisi, Rayyan seketika mendapati Athaya tengah berdiri di depan dispenser. Setelahnya, dia pun mengunci pintu lalu menghampiri Athaya yang jelas kaget karena kehadirannya.
Keduanya sama-sama gak bersuara. Hanya saling memandangi sejenak dengan pandangan yang begitu hampa. Hingga akhirnya Rayyan menyerah. Dia gak mampu lagi menahan hasratnya untuk tidak memeluk Athaya.
Dibawanya tubuh Athaya ke dalam dekapan, dengan satu tangan yang mengusap lembut belakang kepala si pemilik netra legam. Saat itu pula tangis yang sedari tadi Athaya tahan lantas pecah. Kedua lengannya pun refleks memeluk erat pinggang Rayyan, selagi wajahnya terbenam di bahu sang mantan.
Sejenak, gak ada percakapan di antara mereka. Rayyan hanya membiarkan Athaya melepas beban dibalik tangisnya. Tapi saat dia kemudian merasa jika tangis Athaya mulai reda, Rayyan pun berkata.
“Aya, gak akan pernah ada yang tau kita berdua bakal berakhir kayak gimana nantinya.”
“Entah kita berdua bakal berakhir bersama lagi, atau kita justru berakhir dipertemukan sama orang baru abis ini.”
“Tapi gue yakin, gimana pun akhirnya nanti, pasti itu yang terbaik dari Tuhan buat kita.”
“Apa yang terjadi dan kita lalui sekarang juga pasti ada alasannya,” sambungnya.
“Entah cuma untuk jadi kisah selewat yang bisa kita ambil sebagai pelajaran, atau justru untuk jadi jalan supaya kita bisa bersama dan memperbaiki hubungan orang tua kita.”
Rayyan lalu beralih membingkai wajah Athaya. Mengusap lembut pipinya dengan ibu jari.
“Jadi sampai saat itu belum tiba, jangan pernah berpikir kalau lu gak pantas buat siapa dan siapa yang lebih pantas buat siapa ya?”
Rayyan menghela napas.
“Kita cuma manusia, Ya. Rasa tau kita terbatas,” tuturnya lembut.
“Satu-satunya yang berhak nentuin gue atau lu pantas buat siapa tuh cuma Tuhan. Itu bukan urusan kita. We never know.”
Lagi, air mata Athaya menetes.
“Soal Mami, kita juga gak pernah tau se-berat apa rasa sakitnya selama ini dan sampai kapan dia bakal gini karena rasa sakit itu.”
“Dan gue, di sini, mencoba untuk tetap berbuat baik ke Mami. Apalagi orang tua gue gak ngelakuin itu dulu. Mama Papa gue malah nyakitin Mami.”
“Jadi gimana pun point of view Mami tentang gue, itu gak jadi masalah kok,” katanya, “Kalau Mami nganggep itu baik, ya gue bersyukur. Kalau gak, it’s okay.”
“Karena gue cuma melakukan apa yang udah seharusnya gue lakukan,” tutur Rayyan.
“Dan balik lagi, kita gak bisa mengubah perasaan seseorang kalau bukan dia sendiri yang memutuskan kan?” dia senyum.
“Sekarang, yang terpenting tuh hubungan lu sama Mami baik-baik aja. Gue juga berusaha supaya Mama Papa gue gak terus-terusan ngerasa bersalah ke gue. Dan kita berdua tetep bisa kayak gini. Aman kan?”
Athaya menahan senyumnya, “Emang kita kayak gimana?”
Bibir dikulum, Rayyan pun maju selangkah sebelum menepuk keras lengan atas Athaya sembari berkata, “Kayak gini.”
“Anjing.”
Athaya mendesis kesal sebelum mengejar Rayyan yang sudah lebih dahulu menghindar. Tapi pada akhirnya dia berhasil menahan lengan Rayyan lalu membalas pukulan yang tadi.
“Aduh!” Rayyan setengah memekik, “Lengan gue yang ini luka juga tau. Sakit banget nih.”
“Serius?” Athaya seketika panik, “Maaf, Yan. Coba sini gue liat.”
Rayyan tersenyum usil sebelum memeluk pinggang Athaya dengan satu lengannya, sementara satu tangannya yang lain menggeletik perut rekan kerjanya itu.
Athaya terkekeh geli.
“Yan, udah. Ampun.”
“Ya udah, bikinin gue kopi tapi.”
Athaya mengangguk pasrah. Dan tepat setelah Rayyan melepas tautannya, Athaya pun berjalan ke arah kitchen counter. Mengambil gelas, kopi, juga toples berisi garam.
“Heh, botak! Itu garem.”
“Gue kalo bikin kopi pake garem,” Athaya mengangkat pundak, “Jadi kalo lu gak mau minum kopi pake garem ya gak usah nyuruh.”
Menipiskan bibirnya sejenak, Rayyan kemudian menoyor keras kepala Athaya sebelum berlari kencang menuju pintu dapur. Membukanya, lalu pergi dan menguncinya dari luar. Membuat Athaya yang masih terjebak di dalam seketika berteriak kesal.
“Ayyan anjiiiing!”
Ya, mereka tetap kayak gini.
Sama-sama tau jika masih ada cinta yang terselip di benak mereka, namun harus menjadi rahasia. Sama-sama tau jika keduanya masih saling mendamba, namun harus berpasrah kepada takdir yang entah akan membawanya ke mana. Dan sama-sama tau jika mereka masih bisa mengais secuil bahagia, meski dengan cara yang sedikit berbeda.