Calon
“Selamat ya, Ayyan.”
Riuh tepuk tangan dan sorakan beberapa rekan kerja Rayyan seketika menggema. Terlebih saat sang kepala divisi memberinya ucapan selamat sekaligus bersalaman dengannya.
Memang, posisinya sebagai kepala seksi eksternal belum resmi di-sahkan. Namun ucapan selamat gak henti-hentinya mengalir sejak Rayyan datang ke kantor pagi tadi hingga kini sudah memasuki jam pulang.
“Jadi gimana nih, Yan? Udah ada calonnya?” tanya Pak Diman.
Rayyan pun sedikit bingung dengan pertanyaan sang atasan.
“Calon apa ya, Pak?”
“Calon pasangan hidup,” Pak Diman terkekeh, “Kamu kan udah mapan, umur kamu juga udah cukup matang. Apa lagi yang kamu tunggu, Yan?”
“Jangan mau kalah sama Heri. Tuh, dia bentar lagi punya istri.”
Rayyan hanya tersenyum sebelum melirik sekilas ke arah Athaya yang masih duduk di meja kerjanya. Tatapan mereka bertemu, namun Athaya buru-buru membuang pandangannya ke arah komputer setelah itu.
“Pak, kasian Ayyan. Dia tertekan langsung ditanyain soal jodoh tiba-tiba,” celetuk Heri lalu terkekeh bersama Pak Diman.
“Saya bercanda ya, Ayyan. Jangan dimasukin ke hati,” katanya.
Pak Diman lalu menepuk pundak Rayyan, “Hidup itu bukan perlombaan, tapi perjalanan, proses. Dan itu harus dinikmati.”
“Setiap orang punya perjalanan dan prosesnya masing-masing.”
“Apa yang udah kamu raih hari ini adalah buah dari perjalanan dan proses yang kamu lewati.”
“Kalau kamu mengingat lagi setiap proses itu sekarang, pasti kamu bakal sadar kalau momen yang ada di dalamnya berharga, sampai akhirnya berujung indah.”
Rayyan terenyuh akan ucapan sang atasan. Sebab kalimat itu amat dia butuhkan sekarang.
“Soal jodoh, biar itu jadi urusan yang Maha kuasa,” Pak Diman mengangkat satu telunjuknya, “Tapi ingat, kita sebagai manusia, juga harus tetep berusaha.”
“Kan gak bisa kamu langsung dapat jodoh gitu aja kalau kamu justru gak mau membuka hati.”
“Gak cuma urusan jodoh loh, tapi urusan pekerjaan pun begitu.”
“Ayyan contohnya, gak bisa kan dia langsung dapet posisi ini tanpa usaha dan perjuangan untuk selalu melakukan yang terbaik di setiap pekerjaannya.”
“Saya punya pesen nih, bukan cuma buat Ayyan ya, tapi buat kalian semua di sini. Ingat, gak akan ada usaha dan perjuangan yang berakhir sia-sia.”
Karyawan lain pun tersenyum, menyimak petuah Pak Diman.
“Pasti akan ada hal indah yang menanti pada bagian akhirnya. Capek boleh, tapi jangan sampai patah semangat. Oke?”
“Terima kasih, Pak.”
Pak Diman tersenyum sembari mengangguk, “Sama-sama, Yan.”
“Udah jam pulang kantor nih,” si pria paruh baya melanjutkan, “Yuk, semuanya beres-beres.”
Rayyan mengangguk paham sebelum kembali ke meja kerja lamanya di samping Athaya. Duduk di sana sembari memerhatikan komputer di Athaya yang masih menyala.
“Aya, Ayyan, duluan ya!” Pamit Dina bersama Mas Heri.
“Lu berdua gak cabut?” Janu juga udah bersiap untuk pergi.
“Gue mau kelarin kerjaan dulu.”
“Elah, Ya. Besok libur, lanjut Senin aja. Buru-buru amat.”
Athaya menggeleng.
“Mau gue kelarin sekarang aja.”
Janu hanya bergumam pasrah lalu melirik Rayyan, “Kalo lu kenapa gak pulang, Yan?”
“Gue mau beresin barang-barang gue,” jawabnya, “Kan hari Senin udah pindah ke meja baru.”
“Iya dah, Pak Ayyan.”
Janu terkekeh, “Gue duluan ya!”
Gak lama setelah Janu meninggalkan ruang divisi, beberapa karyawan lain yang tersisa pun ikut pergi. Kini hanya Athaya dan Rayyan yang masih setia menyamankan posisi di kursi mereka masing-masing.
“Bilang aja pengen lama-lama di sini sama gue for the last time.”
“Bilang aja lu bakal kesepian di meja baru lu karena gak ada gue.”
Keduanya saling berbagi tatapan menantang sejenak sebelum Rayyan mencondongkan badannya ke arah Athaya.
“Kayaknya lu deh yang bakal kesepian,” Rayyan menyeringai.
Athaya ikut mencondongkan badan, “Sorry? Tapi gue malah gak sabar buat ngeliat meja lu ini ditempati orang baru yang gak kek lu, taunya ganggu mulu.”
Rayyan menipiskan bibirnya, begitu juga dengan Athaya. Hingga gak lama berselang mereka lantas saling memukul.
“Beresin noh kerjaan lu.”
“Beresin noh barang-barang lu.”
Rayyan tersenyum mengejek, dia lalu kembali mencondongkan badannya ke arah Athaya, menatap bibirnya sebelum berbisik, “Mau gue traktir gak?”
Mendengar hal itu, Athaya yang sejak semalam telah diganggu oleh Rayyan dengan kalimat yang sama pun refleks menepuk bibir si pemilik lesung pipi. Membuat Rayyan seketika menjerit.
“Aya, anjing! Gue cuma becanda!”
“Gue nepuknya kenceng ya?”
“Iya, bangsat.”
“Rasain,” kata Athaya santai.
Mendesis kesal, Rayyan pun menendang kaki Athaya di bawah meja. Gak ingin kalah, Athaya juga melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya sampai Athaya tiba-tiba mencondongkan badan lalu mengecup bibir Rayyan yang memerah—akibat tepukannya tadi. Alhasil, Rayyan mematung.
“Kalo lu mau pulang, matiin komputer gue juga,” ucap Athaya tanpa melirik ke arah Rayyan.
Athaya lalu buru-buru mengambil tasnya sebelum bergegas pergi dari ruang divisi. Dia berlari, meninggalkan Rayyan yang hanya mampu bersandar pada kursi sembari memegangi bibirnya sendiri.
Rayyan tersenyum.
Tapi senyumnya itu kemudian berganti menjadi tawa ketika pandangannya terhenti pada sebuah dompet di samping mouse komputer Athaya.
Rayyan kemudian meraihnya, membuka dompet itu hingga mendapati foto Athaya saat masih kecil dulu terselip di sana. Membuat dia kembali mengulas senyum. Athaya sangat lucu.
Namun yang kemudian menarik perhatian Rayyan, ada satu lagi foto dibalik foto itu dan sedikit tertutupi. Alhasil, Rayyan pun mengeluarkannya. Hingga akhirnya dia mendapati bahwa sosok yang ada di foto itu adalah dirinya. Foto yang Athaya ambil pada kencan terakhir mereka.
Saat itu pula Rayyan mengulum bibirnya rapat-rapat. Matanya pun telah berkaca-kaca. Dia lalu memeluk dompet Athaya sambil membayangkan bahwa saat ini dirinya sedang memeluk sosok yang dicintainya itu erat-erat.