Makan malam

Rayyan tersenyum mengejek saat Athaya keluar dari kamar, berdiri di balkon sebelum menjawab panggilan teleponnya. Ingatan tentang bagaimana dia dan Athaya pernah melakukan hal ini saat mereka berpacaran secara sembunyi-sembunyi dahulu pun seketika menyambangi otaknya.

“Lempar dompet gue aja sampe lewatin pagar, bisa kan?” kata Athaya, “Entar dah gue ambil.”

“Heh, botak. Gak ada sopan santun bener lu ye. Heran.”

Rayyan mendengus, “Ini gue lagi nolongin elu, bawain dompet tua lu yang ketinggalan di kantor.”

“Terus se-enak jidat aja lu pake nyuruh-nyuruh gue,” katanya.

Athaya mendesis, “Ya udah, lu tunggu di situ. Gue ke bawah.”

“Mm.”

Panggilan telepon mereka pun terputus setelahnya. Rayyan lalu menghela napas dan berjalan ke depan pintu pagar. Dia berdiri di sana sembari menunggu Athaya.

Sampai gak lama berselang, dia lantas mendengar suara pintu pagar dibuka dari dalam. Rayyan pun udah bersiap buat meledek Athaya. Tapi niatnya itu seketika sirna tepat saat pintu pagar di hadapannya terbuka. Pasalnya, bukan Athaya yang berdiri di sana, namun Aruna; Maminya.

“Malam, Tante.”

Rayyan menyapa Aruna. Sedang Athaya yang berdiri gak jauh di belakang Mami pun mendadak gelisah. Dia lalu memberi kode kepada Rayyan agar segera pergi saja. Athaya mengibas-ngibaskan kedua tangannya dengan panik.

“Kenapa kamu ada di sini?”

Rayyan menelan ludah.

“Tante, maaf kalau saya ganggu. Tapi saya datang ke sini cuma buat balikin dompetnya Aya.”

“Tadi ketinggalan di kantor, terus besok sampai lusa gak ngantor. Jadi saya mau balikin sekarang, soalnya saya tau Aya lagi kere.”

Athaya lantas menghela napasnya kasar saat mendengar ucapan Rayyan pada Maminya. Dia lalu berdiri di samping si wanita paruh baya dan berkata,

“Mana dompet gue?”

“Nih, ambil.”

Rayyan menyodorkan dompet yang dipegangnya ke Athaya.

“Dompet bangkotan gini masih aja dipake. Kek gak pernah digaji sama kantor aja lu,” cibir Rayyan.

Athaya yang mendengarnya pun menendang dengkul Rayyan setelah meraih dompetnya itu. Rayyan yang gak mau kalah juga ikut menendang dengkul Athaya.

Menoleh ke arah sang Mami, Athaya kemudian berkata, “Mi, masuk sekarang yuk. Aku laper.”

“Kamu masuk sana, kak. Tadi Mami udah nyiapin makan malam di meja makan,” katanya.

“Saya boleh ikut makan gak, Tante?” tanya Rayyan yang bikin Athaya refleks menganga.

Mami hanya menghela napas.

“Apaan sih lu? Pergi sono.”

“Gue kan nanya sama Mami lu,” balas Rayyan lalu cengar-cengir ke arah Aruna, “Canda ya, Tante.”

Dia pun kembali menatap Athaya, “Eh, lu juga belum bilang makasih sama gue ya, botak.”

“Makasih,” ucap Athaya, “Udah?”

Athaya kemudian memajukan posisinya selangkah. Dia lalu mendorong pelan tubuh Rayyan. Berpura-pura ingin menutup pintu pagar. Setelahnya, Athaya menggerakkan bibirnya tanpa bersuara buat bilang, “Pulang, Yan! Entar Mami ngatain lu lagi!”

“Ha?” Rayyan menautkan alis bingung, “Lu ngomong apa sih?”

Menghela napasnya gusar, Athaya lantas memukul lengan atas Rayyan, “Gue bilang pergi.”

“Aduh! Kok lu mukul gue?!”

“Ya soalnya lu nyebelin!”

“Kalian berdua mau makan malam apa berantem sih?”

“Makan!”

“Makan!”

Athaya dan Rayyan menjawab pertanyaan itu bersamaan. Tapi setelahnya mereka juga sama-sama melotot sebelum menoleh ke arah Mami saat sadar jika wanita paruh baya itu yang baru saja bersuara di antara mereka.

Mami sendiri gak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya berbalik lalu masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Meninggalkan Rayyan dan Athaya yang kembali berbagi tatapan kebingungan.

“Tadi Mami lu bilang kalian kan?” Rayyan memastikan, “Berarti Mami ngitung gue juga kan, Ya?”

“Iya, tapi kan—woi, anjing!”

Athaya berteriak. Sebab Rayyan justru dengan santai mendorong pelan tubuhnya sebelum berlalu. Masuk ke dalam rumahnya tanpa mendengarkan apa yang ingin dia ucapkan terlebih dahulu.

Athaya pun bergegas menyusul Rayyan. Hingga dia mendapati mantan pacarnya itu bersalaman dengan Papi di ruang keluarga.

“Udah lama banget ya kamu gak main ke sini,” kata Papi sebelum menepuk pundak Rayyan, “Yuk. Kita ngobrol sambil makan, Yan.”

“Iya, Om.”

“Kak, ayo. Mami udah nunggu di meja makan,” Papi ngajak Athaya.

Athaya hanya mengangguk sebagai jawaban sebelum mengekori Papi dan Rayyan.

Sesampainya di meja makan, Athaya tiba-tiba merasa gugup. Takut jika Mami justru akan mengatakan hal yang tidak mengenakkan kepada Rayyan.

“Wah, kebetulan banget nih Mami masak banyak pas ada Ayyan juga,” celetuk Papi yang jelas ingin mencairkan suasana.

“Sini, Yan. Duduk di samping kursi Maminya Aya,” timpalnya.

Rayyan pun menurut. Dia duduk pada kursi yang berada di sisi kanan meja. Tepat di samping kursi Mami. Sementara Papi berada di tengah-tengah, dan Athaya sendiri di sisi sebelah kiri.

“Sini piringnya, Pi.”

Papi senyum lalu menyodorkan piringnya ke arah sang istri. Membiarkan Mami mengambil nasi dari wadah ke piringnya.

“Kak,” panggil Mami setelah mengembalikan piring Papi.

Athaya yang sudah paham pun lantas menyodorkan piringnya. Sampai ketika sang Mami telah mengembalikan piringnya yang telah terisi dengan nasi, Athaya refleks menahan napas. Sebab Rayyan tiba-tiba menyodorkan piring kepada Mami sambil cengar-cengir. Seolah gak ada sedikit pun rasa khawatir jika Mami akan memberi penolakan—yang tentu berbuah kekecewaan.

Sejenak, Mami memandangi Rayyan lalu menggeleng pelan. Tapi pada akhirnya Mami juga mengisi piring Rayyan. Papi pun tersenyum, sedang Athaya kaget.

“Kalau kurang, tambahin sendiri. Saya gak tau porsi makan kamu.”

“Makasih, Tante.”

“Makan yang banyak ya, Yan.”

Papi lantas menimpali sebelum mempersilakan Rayyan, anak dan sang istri untuk segera makan.

Makan malam itu pun dimulai dengan damai. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang menggema di ruang makan. Tapi degup dibalik dada Athaya tidak lah demikian. Dia gak bisa tenang. Terlebih Mami belum mengatakan apa-apa sedari tadi; tentang alasan Rayyan berada di tengah-tengah mereka saat ini.

Mungkinkah Mami sudah mulai mengubah sudut pandangnya tentang Rayyan dan berhasil mengikis ketakutannya? Atau justru ada maksud tertentu di baliknya, pikir Athaya gelisah.

“Gimana kerjaan di kantor, Yan?”

Papi membuka topik.

“Gitu-gitu aja sih, Om. Bikin capek. Tapi musti disyukuri.”

Rayyan mengulas senyum.

“Mending capek kerja kan, daripada capek nyari kerja.”

Athaya berdecih, “Gitu-gitu aja, tapi lu bisa jadi kepala seksi tuh juga bukan karena gitu-gitu aja.”

“Merendah buat melambung tinggi nih ceritanya?” cibir Athaya lalu menyeringai tipis.

Rayyan berdecak. Dia kemudian menendang kaki Athaya di bawah meja. Athaya pun membalasnya.

“Oh? Ayyan kepala seksi?” Papi menatap Rayyan kagum, “Hebat.”

“Belum, Om. Masih promosi.”

“Tapi kan promosi itu udah jalan menuju resmi, Yan. Selamat ya.”

“Makasih, Om.”

Rayyan lalu menoleh ke Mami.

“Tante gak mau ngasih saya ucapan selamat juga?”

“Gak.”

Rayyan menyipitkan mata sembari tersenyum, “Yakin?”

“Cepet abisin makanan kamu,” kata Mami, “Terus cuci piring.”

Rayyan terkekeh, “Siap, Tante.”

“Yan, gak usah dianggep serius. Maminya Athaya becanda kok.”

“Mami gak becanda, Pi.”

Papi menatap Mami pasrah.

Rayyan senyum, “Gak apa-apa kok, Om. Kerjaan saya kalau lagi di rumah juga cuci piring kok.”

“Gak sekalian lu ngepel juga di rumah gue?” ketus Athaya.

“Boleh. Sama muka lu juga bakal gue pel kok sampe bersih, Ya.”

“Anjing,” ucap Athaya tanpa bersuara. Sedang Rayyan yang melihatnya menjulurkan lidah.

Mereka pun kembali melanjutkan makan malamnya. Sesekali Papi bercerita tentang pekerjaannya. Hingga saat Rayyan mendapati lalapan—lebih tepatnya timun di piring Athaya telah habis, dia lalu memberikan timun yang ada di piringnya, yang belum tersentuh sama sekali, kepada Athaya.

“Loh, Yan. Kok malah dikasih ke Athaya?” Papi yang menyadari hal itu bersuara, “Di belakang masih ada kok kayaknya. Ya, Mi?”

“Kak, masih pengen timun?” kata Mami, “Mau Mami ambilin lagi?”

“Gak usah, Mi. Aku juga udah kenyang,” Athaya berdeham lalu menatap Rayyan, “Ambil lagi nih. Ngapain sih lu ngasih ke gue?”

“Gak usah. Buat lu aja,” Rayyan senyum, “Lu lebih butuh itu.”

Athaya menelan ludah sebelum melirik sekilas ke Maminya. Si wanita paruh baya menatapnya, gak mengatakan apa-apa setelahnya hingga Mami kembali melanjutkan makan malamnya.