Perlahan tapi gengsi

“Na! Una!”

Aruna menghembuskan napasnya pelan saat Jessy yang sedari tadi mengekorinya, sejak di dalam balai, justru tiba-tiba menghadang jalannya. Membuat mereka berdiri saling berhadapan di lobi. Aruna kemudian menatap hampa ke dalam bola mata Jessy sebelum bersuara.

“Tolong kasih saya jalan.”

Suara Aruna begitu tenang namun juga amat dingin di saat yang bersamaan. Sementara Jessy yang mendengarnya seketika menatap sedu ke arah sahabatnya itu. Jelas jika Aruna ingin bergegas pergi untuk menghindarinya.

“Na, aku minta maaf.”

“Maaf untuk apa lagi?” tanya Aruna.

Mata Jessy berkaca-kaca.

“Maaf karena aku gak bisa jadi sahabat yang baik buat kamu,” jawabnya, “Maaf juga karena aku udah bikin kamu terluka, sampai-sampai rasa sakit itu bikin kamu tersiksa bertahun-tahun lamanya.”

“Aku tau, gak ada lagi jalan buat bikin persahabatan kita kembali kayak dulu. Meskipun aku sebenarnya kangen banget bisa ngobrol lagi sama kamu. Tapi aku ikhlas, mungkin itu hukuman buat aku.”

“Tapi aku mohon, Na. Tolong kasih Rayyan kesempatan sekali aja buat bikin Athaya bahagia. Rayyan tulus cinta sama Athaya.”

Aruna tersenyum miring

“Kamu lucu ya,” katanya, “Kamu menyadari kesalahan kamu, tapi sekarang kamu malah minta aku supaya ngelepas Athaya buat anak kamu?”

“Kamu gak mikir gimana takutnya aku kalau Athaya juga bisa berakhir dibohongi?” timpal Aruna.

Jessy menggeleng lemah. Air matanya bercucuran hingga kedua pipinya basah.

“Karena aku sadar sama kesalahan aku yang lalu, jadi aku gak pengen anak aku ngulangin kesalahan yang sama. Aku mendidik Rayyan supaya tumbuh jadi anak yang baik, gak pembohong kayak Mamanya.”

“Sama kayak kamu, aku juga takut kalau aja suatu saat nanti anak aku kehilangan seseorang yang dia sayang karena sebuah kebohongan.”

“Aku selalu berpikir, cukup aku yang kehilangan sahabat sekaligus saudara perempuan aku, Na. Jangan Rayyan.”

Jessy lalu meraih tangan Aruna.

“Aku yang salah, Na. Bukan Rayyan. Tolong hukum aku aja, jangan anak aku.”

“Hati aku sakit ngeliat Rayyan yang justru harus nanggung semua ini,” timpalnya.

Aruna menepis pelan tangan Jessy.

“Athaya udah bahagia sekarang, jadi anak kamu gak perlu lagi bikin dia bahagia.”

“Lebih baik dia juga mulai mencari bahagianya sendiri. Lagian udah berapa bulan loh sejak dia dan anak aku putus.”

“Dia pasti bisa kok ketemu sama seseorang yang bisa bikin dia bahagia—lebih dari Athaya,” sambung Aruna.

“Jadi anak kamu dan anak aku bisa sama-sama bahagia tanpa harus bersama. Kita juga gak perlu lagi ada urusan apa-apa.”

“Na, kamu yakin mereka sama-sama bahagia dengan berpisah kayak gini?” sela Jessy, “Kamu yakin kita gak nyakitin mereka?”

“Iya,” jawab Aruna, “Udah ya? Saya mau pulang.”

Aruna kemudian melewati Jessy yang masih berdiri di tempatnya semula. Dia berjalan sambil mengatur deru napasnya yang tiba-tiba sesak. Hingga saat Aruna sudah sampai di tepi jalan dan hendak mencari mobilnya, dia justru harus menghentikan langkah. Sebab seorang pria dengan tato di lengan kanannya tiba-tiba menghadang jalannya sembari menodongnya dengan pisau.

“Kalo lu teriak, gue abisin lu.”

Kedua tungkai Aruna melemas. Tangannya bergetar hebat. Dia ketakutan. Akhirnya, Aruna pun cuma bisa berpasrah saat pria itu menarik paksa tas yang ditentengnya. Sesaat setelahnya pria itu lantas berlari, meninggalkan Aruna yang mulai mengumpulkan suara untuk berteriak.

“Tolong! Tolong! Copet!”

Rayyan yang berjalan dari sisi berlawanan sembari menikmati es krim seketika mematung saat mendengar teriakan seorang wanita. Rasa panik pun membuat dia gak sengaja melempar es krimnya ke sembarang arah sebelum mencari sumber suara. Namun baru saja dia berlari beberapa detik, Rayyan justru berpapasan dengan pria ber-tato yang tengah membawa tas wanita. Saat itu pula Rayyan sadar jika sosok di hadapannya ini lah yang menjadi alasan dibalik teriakan wanita tadi.

“Balikin tasnya,” ucap Rayyan tenang.

“Minggir lu,” ucap pria itu lalu menodong Rayyan dengan pisau, “Lu mau mati?”

“Gue gak takut, gue punya Allah.”

Pria ber-tato itu mendesis kesal. Dia kemudian melangkah maju, hendak menendang perut Rayyan. Namun Rayyan dengan sigap menangkap kakinya, setelahnya dia lalu mendorong kuat tubuh pria itu hingga jatuh terlentang di trotoar. Pisau dan tas yang dibawanya pun berakhir tergeletak.

Buru-buru Rayyan menendang pisau itu ke arah lain hingga jauh dari jangkauan si pria ber-tato yang kini kembali bangkit. Rayyan pun dengan sigap menepis pukulan yang dilayangkan pria itu sebelum membalasnya. Mengenai sudut bibirnya.

Tapi gak lama berselang, pria itu mendaratkan pukulan kencang di pipi kiri Rayyan. Membuat Rayyan yang belum siap membalasnya kembali mendapatkan pukulan lain di perut hingga pria itu tiba-tiba mendorongnya dengan keras. Rayyan terjatuh, sudut alisnya mengenai pembatas jalan hingga kulit di area itu sedikit sobek dan mengeluarkan darah.

“Anjing,” gumam Rayyan.

Pria ber-tato itu pun hendak berlari. Namun kaki panjang Rayyan turut serta menjadi juru penyelamat. Sebab Rayyan meluruskan kakinya, tepat saat pria itu melangkah, membuatnya tersandung hingga jatuh di samping kaki Rayyan.

Dengan sigap Rayyan bangkit. Dia kemudian membalikkan badan pria itu hingga terlentang. Rayyan lalu mencengkeram kuat kerah bajunya sembari berkata, “Balikin tasnya atau gue panggil polisi sekarang juga.”

“Ampun, Bang.”

“Di sana, Pak!”

Rayyan, begitu juga pria ber-tato yang masih terlentang lantas menoleh ke sumber suara. Aruna berada di sana, bersama seorang satpam dari balai; tempat dimana acara reuni diselenggarakan.

“Tante,” gumam Rayyan.

Dia kemudian berdiri. Gak lupa pula meraih tas yang berada di samping pria ber-tato yang kini sudah diamankan oleh petugas keamanan balai.

“Ini tas Tante?”

Aruna mengangguk lemah sebelum meraih tasnya yang disodorkan oleh Rayyan.

“Terima kasih,” ucapnya.

Aruna kemudian memandangi wajah Rayyan yang dihiasi beberapa titik lebam. Namun yang membuatnya semakin lemas adalah saat melihat sudut alis Rayyan berdarah.

“Alis kamu luka,” katanya, “Kita ke rumah sakit sekarang.”

“Gak perlu, Tante. Ini cuma luka kecil kok,” balas Rayyan, “Tante gak apa-apa kan?”

“Saya gak apa-apa,” jawab Aruna, “Tapi tolong, biarin saya nganterin kamu ke rumah sakit. Saya gak mau ada utang apa-apa sama kamu, Rayyan.”

“Daripada Tante nganterin saya ke rumah sakit cuma karena luka sekecil ini, mending Tante gantiin es krim saya deh.”

Rayyan menjatuhkan pundaknya, “Tadi saya baru makan sedikit, tapi gara-gara ngejar si jambret, es krimnya jatuh.”

Aruna geleng-geleng kepala, dia lalu mengeluarkan uang dari dompetnya.

“Ini, buat ganti es krim kamu. Jadi urusan kita udah selesai kan?”

“Tapi tadi saya makan es krim, Tante. Bukan uang.”

“Ya kamu bisa beli es krim lagi pake uang ini.”

“Tapi saya pengen nerima gantinya dalam bentuk es krim, bukan uang.”

Rayyan mengulum senyumnya saat melihat Aruna menghela napas gusar.

“Kamu beli es krim di mana?”

“Di Indomaret sana, Tante.”

Aruna berdecak sebelum melangkahkan kaki ke arah swalayan yang berada di seberang jalan. Rayyan pun mengekorinya. Hingga saat mereka telah sampai di sana, Aruna lantas membiarkan Rayyan memilih es krim yang dia suka.

“Tante, saya pengen beli air minum. Boleh?”

“Mm,” gumam Aruna, “Udah?”

“Udah,” Rayyan tersenyum sumringah.

Keduanya pun berjalan ke arah kasir. Dengan Aruna yang menunggu total belanjaan. Namun, Aruna seketika menautkan alis saat melihat Rayyan diam-diam mengambil kinder joy lalu meletakkannya di atas meja kasir. Persis seperti anak kecil yang berusaha mencari celah agar orang tuanya membeli mainan untuknya. Rayyan pun cuma cengengesan saat sadar jika Aruna sedang memerhatikannya.

Seusai membayar, Aruna dan Rayyan kemudian keluar dari Indomaret itu.

“Tante.”

“Apa lagi?”

Rayyan menyodorkan air minum yang telah dia buka tutup botolnya untuk Aruna.

“Tante minum dulu.”

“Gak. Terima kasih,” kata Aruna, “Urusan kita udah selesai kan? Saya mau pulang sekarang.”

“Tante ke sini sendiri?”

“Iya.”

“Yakin bisa pulang sendiri?” Rayyan terkekeh, “Itu tangan Tante aja masih gemeteran loh aku perhatiin. Muka Tante juga pucat banget dari tadi.”

Rayyan kembali menyodorkan air minum kepada Aruna, “Minum dulu, Tante. Dikit aja gak apa-apa. Abis panik musti haus.”

Aruna pasrah. Dia meraih air minum yang diberikan Rayyan lalu menenggaknya pelan. Hal itu pun membuatnya sedikit lebih tenang, sebab sedari tadi dia masih ketakutan.

“Saya telpon Aya buat jemput Tante ya?” kata Rayyan, “Ini ada kursi. Tante duduk di sini dulu.”

Rayyan menuntun Aruna untuk duduk di kursi yang ada di sana. Setelahnya, dia kemudian menelpon Athaya. Memberitahu bahwa sang Mami kecopetan.