jaesweats

Bunyi bel rumah sejenak mencuri atensi Athaya yang lagi rebahan dan bersiap untuk tidur. Meski masih jam sembilan malam, tapi efek kelelahan bikin dia ngantuk.

Siapa yang bertamu malam-malam gini? Pikir Athaya lalu bangkit dari tempat tidurnya. Dia berjalan ke arah pintu geser sekaligus jendela menuju balkon kamarnya. Mengintip dari celah tirai, guna melihat sosok itu.

Tapi hanya beberapa detik setelah Athaya mendapati presensi Rayyan di depan pagar rumahnya, dia lantas melotot. Jantungnya bertalu dengan cepat. Dia pun seketika panik.

Dengan segera Athaya meraih handphonenya. Menelpon kontak Rayyan hingga lelaki itu menjawab panggilannya.

“Lu ngapain dateng ke rumah gue lagi, anjing?” sergahnya.

Rayyan mendongak ke arah kamar Athaya. Menahan senyum saat mendapati sosok terkasihnya itu mengintip seperti kucing dari tirai jendela.

“Bukan urusan lu, botak.”

Athaya berdecak, “Ya tapi—”

Belum sempat Athaya selesai dengan ucapannya, dia lantas menahan napas. Sebab Athaya bisa melihat dengan jelas bahwa sosok yang akan membuka pintu pagar adalah Mami.

“Anjing,” ucap Athaya gugup.

“Ayyan, lari!”

Athaya menautkan alis lalu menggeleng pelan. Ketika dia kemudian sadar bahwa seseorang akan membuka pintu pagar untuknya, dia berkata.

“Udah dulu ya,” Rayyan pun mengakhiri panggilan Athaya.

Kaget.

Hanya itu yang Mami rasakan ketika mendapati Rayyan ada di hadapannya. Mengulas senyum lembut berlesung pipi.

“Malam, Tante.”

“Ngapain kamu ke sini?”

Nada suara yang tidak ramah bahkan dingin dari Mami seketika menyentuh gendang telinga Rayyan. Dia lantas melirik paper bag yang sedang ditentengnya sejenak lalu kembali memandangi Mami.

“Saya baru pulang dari Lembang, Tante. Ada kerjaan di sana tadi.”

“Terus saya tau dari Mama kalau Tante juga suka bolu susu,” Rayyan menyodorkan paper bag itu, “Ini buat, Tante.”

“Maksud kamu melakukan ini apa, Ayyan?” sela Mami, “Apa lagi yang kamu inginkan dari saya?”

Rayyan kembali menjatuhkan lengan di samping pahanya. Sebab Mami gak juga meraih paper bag yang dia sodorkan.

“Saya cuma bermaksud buat bawain makanan kesukaan Tante,” jawab Rayyan, “Gak ada tujuan lain atau karena ingin sesuatu dari Tante.”

Rayyan tersenyum tipis.

“Saya juga udah melepaskan Athaya kok, Tante. Kemarin itu hari terakhir saya sama Athaya menjalin hubungan.”

“Saya sama Athaya udah kayak dulu lagi. Kami gak ada hubungan apa-apa lagi.”

“Saya dateng ke sini buat Tante.”

Mami melipat lengan, “Dan apa kepentingan kamu sama saya kalau bukan soal Athaya?”

“Kamu mau saya ngobrol sama Mama kamu karena dia udah ngasih tau kamu makanan kesukaan saya?” timpalnya.

Rayyan menarik napas.

“Dua minggu terakhir, tiap saya datang ke sini, saya perhatiin Tante gak nafsu makan.”

“Athaya juga sempet cerita kalau Tante kadang cuma makan sekali dalam sehari,” katanya.

“Dan tiga hari yang lalu, pas saya jemput Athaya, Tante keliatan pucat banget. Saya juga sadar kalau berat badan Tante kayaknya berkurang.”

“Beda banget waktu saya datang pertama kali ke sini waktu itu.”

Mami menelan ludah. Sebab yang dibilang Rayyan benar adanya. Baru siang tadi dia memeriksakan diri ke klinik, dan ternyata berat badannya turun.

“Jadi saya pikir, dengan saya beli bolu susu yang Tante suka, Tante bisa makan meski dikit aja.”

Rayyan menunduk sejenak.

“Saya paham, Tante mungkin banyak pikiran akhir-akhir ini. Termasuk soal saya dan Aya.”

“Dan saya bener-bener minta maaf untuk hal itu,” lirihnya.

“Tapi Tante harus tetep jaga kesehatan ya? Tetep makan, istirahat yang cukup,” Rayyan berucap dengan raut memohon, “Kalau sampai Tante sakit, Athaya bakal sedih.”

“Tante itu bahagianya Athaya, lebih dari apapun dan siapa pun.”

Rayyan kembali menyodorkan paper bag itu ke arah Mami.

“Tolong diterima ya, Tante?”

Mami terlihat berpikir sejenak, sedang kedua tangannya mengepal resah di samping paha. Sementara Rayyan berpasrah.

Tapi gak lama berselang, Mami lantas meraihnya. Dia mengambil paper bag dari Rayyan. Membuat Rayyan refleks tersenyum lega.

“Saya harap ini yang terakhir kalinya,” ucap Mami, “Dan tolong, kamu gak perlu ke sini lagi ya?”

“Biar Athaya juga fokus sama dirinya sendiri,” jelas Mami.

Rayyan memaksakan senyum lalu mengangguk, “Iya, Tante.”

“Terima kasih,” ucap Mami.

“Kalau gitu saya pamit.”

Rayyan menyodorkan tangan. Ada harap terselip bahwa si wanita paruh baya, setidaknya, kali ini sudi untuk bersalaman.

Sementara itu, Mami terdiam. Matanya menatap ke tangan Rayyan yang terjulur padanya.

Hingga pada akhirnya, harap Rayyan pun terjawab. Mami meraih tangannya, membiarkan dia untuk menciumi punggung tangan si wanita paruh baya.

Dada Rayyan sedikit lebih ringan. Ada secuil beban yang terangkat ketika Mami akhirnya memberi dirinya akses untuk bersalaman.

“Saya pamit, Tante.”

Mami hanya mengangguk. Bersamaan dengan lepasnya tautan tangan dia dan Rayyan.

Tapi baru saja Rayyan berbalik, hendak masuk ke mobilnya, dia justru kembali menoleh ke Mami.

“Tante.”

“Kenapa lagi?”

Rayyan terkekeh, sementara matanya telah berkaca-kaca. Sebab gaya bicara Mami dan Athaya ketika udah pasrah bercampur kesal amat sama.

“Kalau misalnya besok atau entah kapan saya ketemu sama Tante di jalan dan dimana aja, saya boleh nyapa Tante kan?”

Mami melirik ke arah lain.

“Iya,” jawabnya, “Tapi saya harap kita gak akan pernah ketemu.”

“Saya gak mau ada urusan lagi sama kamu,” ini seperti dejavu.

Tawa ringan Rayyan bikin Mami kembali melirik ke arah pemuda berlesung pipi itu. Sedikit kaget, sebab Mami melihat Rayyan sibuk menyeka air mata.

“Kenapa kamu ketawa?” tanya Mami masih dengan suaranya yang dingin, “Apa yang lucu?”

“Tante bener-bener mirip sama Athaya ya,” katanya, “Bahkan cara Tante ngomong persis banget.”

“Lucu,” ucap Rayyan diikuti senyum, “Saya pulang ya, Tante.”

Athaya yang sedari tadi telah keluar dan berdiri di balkon kamarnya sembari menangis dalam diam lantas terkekeh pelan. Sebab dia melihat Rayyan tiba-tiba membentuk pola hati di atas kepala dengan lengan.

Dan itu ditujukan ke Maminya.

Athaya pun buru-buru masuk ke kamarnya saat Mami udah nutup pintu pagar. Takut jika si wanita paruh baya memergokinya.

Setelah menutup pintu balkon, Athaya lalu berjalan ke arah lemarinya. Mengambil baju yang pernah ditumpahi minuman di mall dulu—lalu dicuci Rayyan.

Athaya kemudian memeluk baju itu. Membayangkan jika saat ini dirinya sedang memeluk Rayyan.

Rayyan telah berusaha sebisanya. Rayyan telah melakukan yang terbaik untuknya juga hubungan mereka. Tapi memang, mungkin, ini jalan yang harus mereka tempuh. Sebelum nanti, takdir menunjukkan kemana dirinya dan Rayyan akan berlabuh.

“Nih, Kak.”

Mami meletakkan sebuah piring berisi siomay beserta sayuran pendampingnya, pun saus kacang yang menjadi bagian tak terpisahkan, tepat di depan Athaya. Kini mereka berada di meja makan, bersiap untuk sarapan. Bersama Papi tentunya.

“Mami bangun jam empat subuh loh buat bikinin kamu siomay.”

Normalnya, mata Athaya akan berbinar antusias saat tau kalau sang Mami membuat siomay. Sebab dari sekian gerobak hingga resto siomay, bagi Athaya, buatan Maminya lah yang paling luar biasa enak. Sangat enak.

Jangan katakan Athaya hanya hiperbola atau membangga-banggakan Maminya. Sebab, saat kecil dulu Athaya bahkan sampai menangis agar sang Mami berjualan siomay juga. Hanya untuk menunjukkan kalau siomay Maminya yang terbaik.

Athaya kecil yang polos.

Tapi hari ini, binaran mata itu gak ada. Athaya justru hanya terdiam, entah berapa sekon hanya untuk menatap kosong ke arah siomay di depannya.

Ingatannya berlabuh kepada Rayyan. Bahkan hal sederhana seperti siomay ini saja membuatnya mengingat Rayyan.

“Kak?” Mami menyadarkan.

“Eh iya, Mi. Makasih ya.”

Athaya memaksakan senyum. Dengan sigap dia menusuk satu siomay dengan garpu. Membawanya masuk ke mulut.

“Enak, Mi.”

Athaya bersuara dengan mulutnya yang masih penuh. Membuat Mami terkekeh.

“Ya udah, abisin.”

Anggukan menjadi jawaban Athaya. Dia terus mengunyah siomay yang ada di mulutnya. Tapi semakin lama, matanya justru semakin memanas. Dan tanpa mengenal tempat, air mata Athaya tiba-tiba menetes.

Mami pun melihatnya.

“Kak,” panggil Mami, “Kenapa?”

Buru-buru Athaya menyeka air matanya lalu tertawa hambar.

“Ini enak banget, Mi. Aku sampe nangis gini karena amazed.”

Athaya lalu menenggak air minumnya, “Minta dimasukin ke kotak bekal boleh, Mi? Aku mau lanjut makan di kantor aja.”

“Oke, sayang. Bentar.”

Ketika Mami berdiri dan mengambil piring siomay itu, Athaya menunduk. Sorot matanya sedu. Tapi dia lantas kembali mendongak saat merasa telapak tangan sang Papi, yang duduk di sebelahnya, mengusap lembut belakang kepalanya.

Hal itu membuat Athaya semakin merasa jika dia udah berada di batas mampunya. Dia hanya ingin melepas tangisnya.

Tapi tidak sekarang.

Tidak di depan Maminya lagi.

Dan di dalam perjalan menuju kantor lah Athaya melepas hasrat itu. Menangis sambil menyetir cukup membuat sedikit rasa sesak di dadanya mengambang.

Tapi Athaya tau, obat dari sesak itu cuma satu. Dia cuma butuh memeluk Rayyan. Rayyannya.

Jika boleh jujur, ini pula yang menjadi satu dari sekian alasannya agar mereka berdua berjuang bersama. Athaya ingin ada Rayyan yang menemani, memeluk, dan menguatkannya.

Sayangnya, Rayyan bukan lagi sosok yang bisa dengan bebas merentangkan kedua lengan untuknya. Dan Athaya, kini, belajar untuk menghargai itu.

Sesampainya di lobi kantor, Athaya yang sebelumnya udah memastikan penampilannya gak awut-awutan pun menghela napas. Sesekali bercermin di handphone, mastiin matanya gak sembab. Athaya gak mau Rayyan meledeknya habis-habisan.

Tapi pada beberapa detik berikutnya, nyaris saja handphone Athaya terlepas dari genggamannya. Sebab bahunya disenggol oleh seseorang.

“Anjing.”

Sosok yang baru saja disebut demikian menahan senyum.

“Baru disenggol dikit udah peok,” kata Rayyan, “Masih galau ya? Makanya rapuh kek kertas.”

“Sorry?” telunjuk Athaya menoyor kening Rayyan, “Gue makan enak dan tidur nyenyak semalem. I’m fine, Thanks.”

Athaya menatap Rayyan dari ujung kaki hingga kepala.

“Dari penampilan sih keknya lu yang masih galau,” katanya.

“Ngikat tali sepatu aja lupa,” Athaya berdecak, “Kasian.”

Rayyan menipiskan bibir.

“Sorry? Ini kelepas, bukan kelupaan. Dan gue mau ngikat lagi pas di ruangan.”

“Siapa?”

Rayyan nautin alis, “Apanya?”

“Yang nanya,” balas Athaya lalu menjulurkan lidahnya.

Pada detik itu juga, pintu lift terbuka. Athaya pun hendak masuk lebih dulu, tapi Rayyan justru kembali menyenggol. Berujung membuat keduanya saling mendorong, memukul, gak lupa juga mengumpat hingga mereka masuk ke lift.

Saat sudah berada di ruangan pun Rayyan dan Athaya masih sesekali mengusili satu sama lain. Entah itu Rayyan yang mendorong kursi Athaya, dan Athaya yang gak terima lantas membalasnya dengan serupa.

Tapi ketika suasana ruang divisi yang masih amat sepi itu mulai kondusif—tanpa pertikaian mereka, Athaya lantas menikmati siomay yang dibawanya dengan damai. Sementara Rayyan diam-diam menatap Athaya yang terlihat begitu lahap.

Rayyan tersenyum lembut.

Sayangnya, senyum yang baru terlukis beberapa detik itu seketika lenyap. Sebab Rayyan buru-buru menoleh ke komputer saat Athaya memergokinya.

Athaya pun menahan senyum melihatnya. Jelas Rayyan salah tingkah. Sebab Rayyan justru menyalakan komputer. Padahal hari ini dia gak akan bekerja di kantor. Tapi di Lembang.

“Berangkat jam berapa?”

“Mm?” Rayyan menoleh.

“Ke Lembang,” kata Athaya.

“Jam delapan.”

“Sekarang aja bisa gak sih?” Athaya mendesis pelan, “Gue muak banget liat lu di sini.”

Rayyan tersenyum mengejek.

“Muak sama ‘gue gak mau lu pergi cepet-cepet’ emang beda tipis sih,” balasnya.

Athaya hanya memutar bola mata sebelum kembali memusatkan atensi ke komputer.

Gak lama berselang, Janu dan Dina pun datang bersama. Menyapa Athaya dan Rayyan.

“Ini nih dua orang yang selalu dateng lebih awal biar bisa pacaran, sungguh teladan.”

Janu berucap usil sambil mengarahkan handphone ke Athaya dan Rayyan.

“Lu ngapain, Nu?”

“Bikin instastory,” Janu menjawab pertanyaan Athaya.

“Hapus, Nu. Jangan di-post.”

“Lah, kenapa?” Janu heran, “Gak apa-apa kali pacaran.”

Athaya menghela napas.

“Gue sama Ayyan udah gak pacaran,” Athaya menegaskan.

Janu begitu juga Dina yang udah duduk di tempatnya lantas terdiam. Jelas mereka kaget mendengar ucapan Athaya.

“Lu becandanya jangan gitu, Ya.”

“Aya gak becanda,” Rayyan menimpali, “Jangan ngeledek gue sama dia kek gitu lagi.”

“Boong lu ah,” Janu masih gak percaya, “Putus kenapa coba? Kemarin aja abis nge-date kan?”

Athaya mendengus.

“Gue sama Ayyan punya alasan, dan itu privasi kita berdua. Jadi lu ngerti aja ya, Nu.”

Dina menatap serius ke arah Rayyan dan Athaya bergantian.

“Okay,” Janu sedikit ragu, “Tapi lu berdua baik-baik aja?”

Dia berdeham, “Maksudnya, kalau kalian gak nyaman duduk sebelahan, gue bisa kok tukeran sama salah satu dari kalian.”

“Gue sebenernya gak nyaman sih,” sahut Rayyan, “Tapi gue harus professional lah, Nu.”

“Gue juga sebenernya gak nyaman,” balas Athaya, “Tapi kalau gue pindah, kayaknya temen lu itu bakal kangen.”

“Lu yang bakal kangen, botak.”

“Lu, anjing.”

“Elu.”

“Elu.”

Janu menganga. Sementara Dina hanya tersenyum paham.

Sudah hampir jam pulang kantor, beberapa karyawan pun mulai sibuk berbenah dan bersiap untuk kembali ke rumah mereka. Tapi Athaya masih di sini. Duduk di depan meja sang kepala divisi yang sedang membaca kertas berisi penilaian internshipnya.

“Athaya, setelah melihat nilai kinerja kamu selama menjadi intern dan sedikit menimbang.”

Athaya menahan napas.

“Dengan berat hati, saya harus bilang kalau kamu belum bisa menjalani tugas kamu sebagai karyawan tetap hari ini.”

Lutut Athaya lemas.

“Boleh saya tau alasannya, Pak?”

Pria paruh baya di hadapan Athaya menghela napasnya.

“Karena sekarang sudah jam pulang kantor, dan besok sampai lusa itu hari libur. Jadi kamu bisa menjalankan tugas kamu pada hari Senin nanti.”

“Pak.”

Athaya gak bisa menahan senyum leganya sebelum meraih uluran tangan sang atasan yang mengajak dia bersalaman.

“Selamat ya, Athaya. Kinerja kamu sangat bagus. Semoga terus ditingkatkan,” ucapnya.

“Terima kasih banyak, Pak.”

Setelah sedikit berbincang dengan sang kepala divisi, Athaya lalu kembali ke mejanya. Mendapati Dina, Janu, Heri dan Rayyan senyum meledek.

“Cie yang udah resmi jadi karyawan tetap,” sahut Janu, “Besok kayaknya bakal ada ajakan makan bareng nih.”

“Gak ada,” justru Rayyan yang menjawab, “Besok dia milik gue seharian penuh. Sorry.”

“Buseeet.”

Athaya cuma menahan senyum ketika Dina, Heri dan Janu meledek Rayyan. Setelahnya, dia pun menoyor kepala sang pacar yang sedari tadi menatapnya.

“Ya udah, kita pulang yuk.”

“Mas Heri ngajakin kita-kita apa Mba Dina doang?” sela Janu.

“Saya ngajakin Dina, tapi kalau kalian juga mau pulang, ayo.”

“Mas Heri sama Mba Dina duluan aja deh,” ledek Athaya.

“Bener-bener ya kalian,” ucap Dina pasrah lalu mengambil tasnya, “Kalo gitu gue duluan.”

“Bye, Mba Dina. Mas Heri.”

“Gue juga cabut yak.”

Janu menyusul gak lama setelah Heri dan Dina pergi. Kini yang tersisa di ruang divisi hanya Rayyan bersama Athaya yang masih berdiri di tempatnya.

Rayyan lalu dengan sigap menarik lengan pacarnya. Membuat Athaya berakhir jatuh di atas pangkuan Rayyan yang masih duduk di kursinya.

Refleks Athaya pun menuntun kedua lengannya agar melingkari tengkuk Rayyan. Dan hanya dalam hitungan detik, Rayyan lantas menciumi bibirnya.

Satu tangan Rayyan menahan pinggangnya, sementara yang lain mengusap punggungnya. Membuat Athaya merasa jika ciuman itu lebih manis dan penuh afeksi dari biasanya.

Hingga saat pagutan mereka berakhir, Rayyan pun menutupnya dengan satu kecupan lembut di bibir merah Athaya yang masih basah.

“Selamat ya,” ucapnya.

Athaya tersenyum, “Mm.”

Rayyan kemudian kembali mendaratkan kecupan-kecupan lain di wajah Athaya. Membuat empunya terkekeh geli sekaligus heran. Terlebih saat Rayyan menenggelamkan wajah di ceruk lehernya. Begitu lama, seolah spot itu tempat ternyaman.

“Lu akhir-akhir ini makin clingy aja dah,” kata Athaya.

Rayyan pun mendongak. Mengulas senyum manis berlesung pipi ke Athaya.

“Lu juga makin ngangenin soalnya,” dia pun terkekeh.

Athaya tersenyum mengejek lalu menyentil kening Rayyan.

“Besok beneran mau jalan?”

“Iya lah,” jawab Rayyan, “Kan gue mau ditraktir sama lu.”

“Hm. Ini sih pemerasan dalam berpacaran,” canda Athaya.

Rayyan senyum.

“Besok pagi aku jemput ya?”

“Oke,” Athaya setuju.

***

“Ngapain sih lu ngajak gue ragunan?” tanya Athaya, tepat setelah Rayyan membeli tiket.

“Pake nanya,” Rayyan lantas menyeringai, “Ya biar lu ketemu sama sodara-sodara lu lah.”

“Anjing,” gumam Athaya lalu menginjak kaki pacarnya itu.

Rayyan pun hanya tertawa sebelum melingkarkan satu lengannya di pinggang Athaya.

“Yuk,” katanya, “Asik tau jalan di kebun binatang pagi-pagi.”

“Mm, jadi temanya menyatu dengan alam gitu ya?”

“Cowok gue pinter banget,” Rayyan nyubit pipi Athaya.

Yang diperlakukan demikian hanya menahan senyumnya sebelum mengikuti langkah sang pacar. Rayyan menuntun dia melihat satu persatu satwa.

Hingga saat keduanya sampai di area dimana reptil berada, Rayyan pun menahan tawa ketika melihat raut wajah Athaya terlihat ketakutan. Bahkan pacarnya itu gak mau mendekat, meski ada pagar penghalang.

“Hya!”

“Ayyan!”

Athaya menepuk keras bahu pacarnya itu. Sebab Rayyan tiba-tiba mendorongnya agar lebih mendekat ke area reptil. Tapi setelahnya Rayyan lalu memeluknya, mengusap kepalanya sambil tertawa.

“Kamu takut ya?”

“Mm,” gumam Athaya ngeri.

“Gak usah takut, kan ada aku.”

Athaya mendongak. Entah kenapa suara Rayyan terdengar begitu lembut dan manis ketika memakai sapaan aku–kamu.

“Emang kamu gak takut?”

“Takut,” jawab Rayyan, “Tapi kan kita bisa lari sama-sama.”

Athaya memutar bola mata. Rayyan terkekeh dibuatnya.

“Kamu laper gak?”

Rayyan lalu menyibak helai rambut yang dipikirnya bisa mengganggu mata Athaya.

“Gak laper, tapi haus.”

“Ya udah, kita istirahat dulu.”

Athaya setuju.

Dan di sinilah mereka berada saat ini. Duduk beralaskan karpet di antara pepohonan yang rindang, semilir angin pun membawa sejuk meski sang mentari semakin tinggi.

“Nih, aku bawain roti kesukaan kamu,” kata Rayyan seraya mengeluarkan bekalnya.

Athaya yang lagi menenggak air nyaris terbatuk. Sebab Rayyan bahkan menyiapkan roti menyerupai hotdog itu.

“Botak, aaaaa!”

Athaya menahan senyum sebelum membuka mulutnya. Sebab sang pacar bersikeras menyuapinya dengan roti.

“Abis nyari makan siang, kita ke Ancol yuk?” ajak Rayyan.

Jika tadi Athaya nyaris terbatuk, sekarang dia pun tersendak.

“Ngapain?” balasnya, “Kirain kita mainnya deket sini doang.”

“Ya masa di sini-sini mulu,” Rayyan senyum, “Gimana?”

“Ya udah.”

“Kok ya udah?”

“Lah terus lu mau gue jawab apa, anjing? Katanya lu mau ke sana.”

Rayyan merengut.

“Kalo lu bilang ya udah kan kesannya gue maksa. Padahal, gue minta persetujuan loh.”

Athaya ketawa.

“Iya, Ayang. Gue mau kok.”

Rayyan tersenyum lembut lalu mengacak-acak rambut Athaya.

“Abisin dulu roti lu.”

Athaya lantas menurut.

Dan seperti kesepakatan mereka, setelah makan siang di food court mall, Rayyan mengemudikan mobilnya. Menyusuri jalan menuju Ancol.

Meski mereka sebenarnya agak ngaret. Sebab setelah menyantap makan siang, Rayyan justru mengajak Athaya memasuki photo booth yang ada di mall.

Sesampainya di tempat tujuan, setelah melewati halang rintang macet, Athaya dan Rayyan pun bergegas ke pantai ria. Sebab hari juga udah semakin sore.

Dan menurut Athaya, sangat pas untuk menghabiskan waktu di pantai pada sore hari.

“Lu bener-bener bawa gue dari ujung ke ujung hari ini.”

Rayyan terkekeh lalu mendekap tubuh pacarnya dari belakang. Mereka menghadap pantai.

“Capek ya?”

“Mm,” gumam Athaya lalu menoleh, menciumi pipi pacarnya, “Tapi gue seneng.”

Mendengar ucapan Athaya membuat Rayyan tersenyum lega. Dia lalu mengecup puncak kepala pacarnya sebelum kembali menatap pantai.

“Eh, jembatan dermaga cinta itu deket dari sini kan, Yan?”

“Iya. Kamu mau ke sana?”

“Mau,” Athaya cengengesan.

“Pengen foto-foto,” timpalnya.

“Ya udah, entar kita ke sana. Aku pengen di sini dulu. Pengen meluk kamu,” balas Rayyan.

Athaya hanya menggeleng melihat tingkah pacarnya itu.

Waktu terus berjalan, langit pun telah berubah warna menjadi kemerahan. Athaya dan Rayyan kini juga sudah berada di destinasi terakhir mereka sebelum meninggalkan Ancol.

Athaya, dengan handphonenya, sibuk mengambil foto. Sementara Rayyan justru gak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Athaya.

“Yan, coba liat ke si—”

Athaya menautkan alis saat mendapati Rayyan menatap dia begitu dalam. Athaya lalu semakin merasa heran saat pacarnya itu celingukan sejenak sebelum berjalan ke arahnya.

“Kenapa sih?” tanya Athaya saat Rayyan ada di depannya.

Rayyan tersenyum. Dia lalu menarik pinggang Athaya dengan satu lengannya. Membuat tubuh mereka saling menghimpit. Gak berjarak.

Satu tangan Rayyan yang terbebas kemudian membelai lembut pipi kanan Athaya. Sementara matanya masih memandangi lekuk wajah nyaris sempurna di hadapannya.

“Semakin hari—aku semakin jatuh cinta sama kamu, Ya.”

“Kamu indah. Indah banget.”

Athaya tersenyum. Setelahnya, dia lantas memejamkan mata. Sebab Rayyan mengkikis jarak antara wajah mereka.

Rayyan menciuminya. Begitu lembut, namun juga begitu lambat dan penuh afeksi. Menikmati lumatan demi lumatan yang tercipta.

“I love you,” bisik Rayyan.

“I do,” balas Athaya.

Rayyan mencubit pipi Athaya.

“Cabut yuk.”

“Sekarang?”

“Iya, biar kita bisa makan malam di warung Bang Alwi.”

“Tetep ya,” Athaya terkekeh.

***

Setelah makan malam di warung Bang Alwi, Rayyan pun mengantar Athaya pulang ke rumahnya. Kini laju mobilnya pun telah berhenti, tepat di depan rumah sang pacar. Sebab dia beralasan; gak mau Athaya yang udah capek harus jalan kaki lagi kalau aja mereka markirin mobil di depan rumah tetangga.

“Kamu hati-hati pulangnya.”

Rayyan mengangguk.

“Aku masuk sekarang ya.”

“Tunggu.”

Athaya hanya menggeleng melihat Rayyan keluar dari mobilnya. Berakhir membuka pintu mobil untuknya. Athaya kemudian turun dari mobil Rayyan, dengan sang pacar berdiri di belakangnya. Sementara dia sibuk membuka pintu pagar rumah.

Saat pintu pagar terbuka, Athaya pun berbalik ke pacarnya.

“Pulang gih,” Athaya mengusap pipi kiri Rayyan, “Makasih ya.”

Rayyan menggeleng. Dia lalu beralih menggenggam kedua tangan Athaya. Selagi netra madunya menatap pacarnya.

“Aku yang harus bilang makasih.”

“Makasih karena udah bikin aku bahagia selama ini, Aya.”

“Makasih karena udah cinta sama cowok yang taunya cuma gangguin kamu sampe kesel.”

Mata Rayyan berkaca-kaca.

“Makasih juga karena kamu udah berjuang untuk bisa punya hubungan sama aku.”

“Sampai-sampai hubungan kamu sama Mami jadi gak baik.”

Rayyan meneteskan air mata lalu mengecup tangan Athaya sejenak sebelum kembali natap dia.

“Ya, maafin aku ya karena selama ini aku belum bisa jadi pacar yang terbaik buat kamu.”

“Maafin aku karena cuma bisa menjaga kamu sebatas ini.”

“Aku bener-bener minta maaf karena belum bisa jadi versi terbaik dari diri aku,” katanya.

“Yan, kamu kok ngomong gini sih?” tanya Athaya, “Kenapa?”

Air mata Rayyan semakin bercucuran di kedua pipinya.

“Aya,” suaranya bergetar.

“Mulai malam ini, perbaiki hubungan kamu sama Mami ya?”

“Bilang sama Mami kalau kamu sayang dia dan memilih dia.”

“Bilang sama Mami kalau dia itu bahagia kamu yang utama.”

Athaya menggeleng. Gak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Yan, maksud kamu apa?”

Dia kemudian menghempas tangan Rayyan. Beralih mencengkeram bahu lelaki itu.

“Kamu kenapa bilang gini sama aku, Ayyan?” lirihnya.

Rayyan terdiam.

“Kamu udah nyerah?”

Rayyan menggeleng.

“Aku gak nyerah. Tapi ini awal dari perjuangan aku buat kamu.”

Rayyan memaksakan senyum.

“Aku pengen buktiin ke Mami kamu kalau aku bener-bener cinta sama kamu,” katanya.

“Aku pengen Mami liat kalau kebahagiaan kamu di atas segalanya buat aku, Athaya.”

“Tapi kamu juga kebahagiaan aku,” balas Athaya, “Ayyan.”

Mendengar rengekan Athaya saat memanggil namanya membuat Rayyan terisak pelan.

“Ya, aku belajar banyak dari kesalahan Papa. Aku belajar kalau cinta itu gak egois.”

“Dan dengan aku membiarkan hubungan kamu sama Mami gak baik, berarti aku egois.”

“Aku selalu bilang sama kamu, kalau aku juga pengen kamu jadi versi terbaik dari diri kamu.”

“Jadi ini yang harus aku lakukan, Ya. Aku harus rela melepas kamu supaya kamu bisa jadi anak yang lebih baik lagi bagi Mami.”

Rayyan sesenggukan.

“Aku tau, kamu udah jadi anak yang baik selama ini. Tapi aku gak mau jadi orang yang bikin kamu sama Mami berselisih.”

“Kayak yang Mami bilang, cinta itu gak akan memaksa buat bersama kan?” katanya.

Athaya mengeraskan rahang lalu mendorong tubuh Rayyan.

“Jadi ini maksud kamu ngajak aku jalan seharian ini, Yan?”

“Kamu pengen liat aku bahagia sebelum nyakitin aku?”

“Ya, aku cuma pengen nge-date sama kamu. Karena abis ini aku sama kamu gak mungkin bisa.”

Athaya terisak.

“Kamu tau? Aku udah siap kalau kamu bakal ninggalin aku di malam itu, pas kita udah tau tentang semuanya.”

“Tapi ternyata kamu gak ninggalin aku bahkan setelah kita pulang dari hotel hari itu.”

“Jadi aku berpikir kalau kamu gak akan nyerah. Kamu bakal terus berjuang buat dapetin restu.”

Athaya membebaskan isakan kencangnya sejenak. Sebab dia kesusahan berbicara.

“Kamu bilang supaya kita lewatin ini sama-sama,” tuturnya.

“Tapi kenapa sekarang kamu nyerah, Yan?” kata Athaya, “Kenapa kamu ninggalin aku?”

“Aku gak ninggalin kamu, Aya.”

“Terus kenapa?!”

Rayyan menunduk sejenak.

“Ya, kita gak akan bisa mengubah perasaan seseorang kalau bukan dia sendiri yang memutuskan.”

“Seperti halnya Mami, kita gak akan bisa mengubah rasa sakitnya kecuali dia sendiri.”

Athaya seketika mengingat ucapan Papi padanya dulu.

“Tapi begitu juga aku, Athaya.”

“Gak akan ada yang bisa mengubah perasaan aku ke kamu,” ucap Rayyan, “Karena sejak awal, aku memutuskan untuk mencintai kamu.”

“Lu bohong.”

Athaya memukul bahu Rayyan.

“Gue gak suka sama lu, Yan.”

Rayyan memaksakan senyum.

“Gue juga gak suka sama lu.”

Keduanya sama-sama terisak.

“Sekarang lu udah bukan intern lagi, lu itu udah jadi saingan gue.”

Rayyan mengusap pipinya.

“Gue gak bakal biarin lu jadi employee of the month, botak. Gue gak bakal biarin lu tenang.”

“Lu yang gak bakal tenang!”

“Pergi!” teriak Athaya, “Pergi lu dari sini, Ayyan anjing!”

“Gak usah teriak, botak! Gue gak budek!” balas Rayyan.

Athaya kemudian menendang dengkul Rayyan hingga lelaki itu berbalik, hendak masuk ke dalam mobilnya. Tapi gak lama berselang, Rayyan justru kembali lagi ke hadapan Athaya.

“Ingus lu keluar,” kata Rayyan.

Athaya pun hendak kembali menendang dengkul Rayyan. Tapi pemilik lesung pipi itu lebih sigap masuk ke mobil.

Masih dengan isak tangisnya, Athaya lalu menutup pintu gerbang. Setelahnya, dia pun masuk ke dalam rumah hingga mendapati Mami dan Papi berdiri di belakang pintu.

Athaya pun tertawa tapi sambil menangis tersedu-sedu.

“Mami bener,” katanya di sela isakan, “Dia bohong, Mi.”

“Dia... Dia... Bilang...”

“Kak.”

Mami menghampiri Athaya yang sudah kesusahan untuk berbicara. Mami memeluknya.

“Dia bilang bakal berusaha buat dapetin restu Mami.”

“Dia bilang bakal nikahin aku.”

Athaya terisak pilu.

“Tapi dia ninggalin aku, Mi.”

Athaya menggeleng. Dia kemudian melepaskan dekapan sang Mami lalu beralih menatap wajah si wanita paruh baya.

“Mami denger kan tadi?”

Athaya tertawa. Tapi dari sorot matanya tersirat kehancuran.

“Dia gak mau aku jadi employee of the month. Dia takut, Mi.”

Athaya mengusap kasar pipinya.

“Mami tenang aja, aku gak bakal biarin dia ngerebut apapun dari aku. Aku yang bakal ngerebut—”

“Kak,” Mami memotong ucapan Athaya sembari menangkup pipinya, “Kamu tenang ya.”

“Mami di sini, sayang.”

“Mi.”

Athaya kembali terisak pilu sebelum memeluk Maminya. Papi pun bergabung setelahnya, ikut mendekap anak dan istrinya.

“Di sini aja, Yan.”

Rayyan menuruti permintaan pacarnya. Dia menghentikan laju mobil di halaman depan rumah tetangga Athaya. Seperti biasa.

“Lu yakin pengen masuk sendiri?” tanya Rayyan khawatir, “Gue temenin mau ya?”

“Gak usah. Lu pulang aja.”

“Tapi kalau Mami marahin lu gimana?” Rayyan mendengus, “Biar gue yang ngomong. Ya?”

Lagi. Athaya menggeleng.

“Gue ngomong sama Mami. Lu ngomong sama Mama Papa lu.”

Sejenak, Athaya memandangi wajah tampan pacarnya. Gak sedikit pun melewatkan setiap inci dari mahakarya Tuhan yang berada di hadapannya saat ini.

“Yan.”

“Mhm?”

“Abis ini, semuanya mungkin gak bakal mudah buat kita. Tapi tolong inget satu hal ya.”

Athaya menarik napas.

“Jangan pernah ngerasa bersalah atau punya utang minta maaf ke gue atas apa yang udah Mama Papa lu lakuin ke Mami gue dulu.”

“It’s theirs, not ours.”

Mata Rayyan berkaca-kaca.

“Apapun yang udah terjadi gak bikin perasaan gue berubah.”

“Gue tetep cinta sama lu.”

Setetes air mata sukses jatuh di pipi kanan Rayyan. Dia lalu menarik Athaya ke dalam dekapannya sebelum berkata,

“Makasih ya,” ucapnya lirih.

“Makasih karena udah cinta sama orang yang nyebelin ini.”

Athaya mengangguk. Sama seperti Rayyan, dia juga meneteskan air matanya.

“Sampai ketemu di kantor besok,” gumam Rayyan lalu mengecup puncak kepala Athaya.

Perlahan, Athaya melepaskan dekapannya. Kembali menatap wajah Rayyan diikuti senyuman.

“Janji sama gue dulu.”

“Janji apa lagi, botak?”

“Dengerin penjelasan Mama sama Papa lu juga ya? Jangan menghakimi,” jelas Athaya.

“Iya, janji.”

“Gue masuk sekarang ya,” katanya, “Makasih juga udah nemenin gue sejak semalem.”

Rayyan mengangguk.

Athaya tersenyum. Dia lalu mengecup pipi kiri Rayyan sejenak sebelum berbalik dan turun dari mobil pacarnya itu.

Dengan langkah yang berat, Athaya pun masuk ke dalam rumahnya. Hingga saat dia sampai di ruang keluarga, Athaya lantas mendapati sang Mami juga Papi duduk di sofa.

Kedua orang tuanya itu berdiri saat dia menghampiri.

“Kamu nginep di mana, kak?”

Athaya menelan ludah ketika mendengar pertanyaan Mami.

“Di hotel, Mi.”

Athaya jujur. Dia gak mau membohongi sang Mami.

“Kamu nginep sama siapa?”

Napas Mami jelas memburu. Athaya yang melihatnya pun seketika dihantui rasa gugup.

“Ayyan, Mi.”

Hanya beberapa detik setelah Athaya menjawab pertanyaan Mami, suara tamparan lantas menggema. Bersamaan dengan rasa perih di pipi kirinya.

Mami menamparnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya.

“Mami!”

Papi memekik lalu mengusap dengan pelan bahu istrinya.

“Control yourself, Mi.”

Tangan Mami bergetar hebat. Matanya yang masih menatap Athaya seketika memanas.

“Semalem Mami lagi sakit, dan kamu lebih memilih buat ikut sama laki-laki itu ke hotel?”

“Cowok macam apa dia, kak?” tanya Mami penuh amarah.

Athaya menggeleng tegas.

“Aku yang ngajak Ayyan pergi.”

“Aku gak sanggup ngeliat wajah Mami semalem,” katanya, “Aku denger semuanya. Aku denger yang Mami bilang ke Ayyan.”

Tungkai Mami melemas. Dia refleks memegang lengan Papi.

“Mi, aku tau sulit buat Mami ngelupain pengalaman pahit dan menyakitkan kayak gitu.”

“Tapi coba Mami noleh. Liat di samping Mami ada siapa.”

Athaya meneteskan air mata.

“Ada Papi, Mi.”

“Papi itu lembaran baru buat Mami. Jadi ketika Mami udah memutuskan buat menjalani lembaran baru bersama orang yang baru, Mami juga harus menyelesaikan segala sesuatu di masa lalu—termasuk orang dari masa lalu itu sendiri.”

“Dan dengan Mami gak mau Ayyan ada hubungan sama aku, karena dia anak dari orang yang pernah nyakitin Mami, itu artinya Mami belum selesai dengan masa lalu.”

“Ayyan gak ada sangkut pautnya sama sekali dengan masalah Mami. Tapi kalau Mami benci sama Ayyan karena dia anak dari orang yang pernah nyakitin Mami, itu artinya Mami jadiin Ayyan pelampiasan dendam.”

Mami tertawa, tapi sambil meneteskan air matanya.

“Jadi itu yang kamu tangkep, kak? Kamu masih aja berpikir kalau Mami belum bisa lupa sama Papanya Ayyan. Gitu?”

Athaya menggeleng lemah.

“Tapi faktanya Mami belum bisa ngelupain semuanya kan?”

Mami mengusap air matanya sendiri sebelum menatap ke dalam netra legam Athaya.

“Kak, udah berapa kali Mami bilang, Mami itu mikirin kamu. Mami gak mau apa yang pernah alami terulang lagi sama kamu.”

“Karena Mami tau sakitnya kayak apa. Mami masih inget sakitnya.”

Si wanita paruh baya terisak.

“Mami udah mengobati luka dan perasaan Mami yang tersakiti dengan cara ikhlas melihat orang yang Mami cintai bahagia.”

“Mami udah menutup semua lembaran lama itu sebelum memulai yang baru sama Papi.”

“Mami juga udah memaafkan mereka. Mami gak benci sama mereka atau Rayyan anaknya.”

“Tapi kamu harus tau, kak. Memaafkan itu bukan berarti harus melupakan segalanya.”

“Karena dengan mengingat peristiwa yang pernah bikin kita sakit itu bisa jadi pelajaran agar hal yang sama gak terulang.”

“Dan di sini, posisinya, Mami tau kalau orang tua Ayyan pernah bohong selama bertahun-tahun. Jadi Mami pengen kita jaga jarak dari mereka. Cuma itu, kak.”

“Mami pengen menghindari kemungkinan-kemungkinan yang selalu Mami takutkan.”

Athaya mengerti. Dia paham bagaimana ketakutan Mami.

“Tapi Ayyan gak gitu, Mi.”

“Gimana kamu bisa tau, kak?”

“Di kantor, Ayyan yang selalu ngingetin aku buat gak bohong.”

“Dan hanya dengan itu kamu langsung percaya sama dia?”

“Mi, kasih Ayyan kesempatan buat nunjukin kalau dia—”

“Kamu pilih Mami apa dia?”

Mami memotong ucapan Athaya.

Athaya menghela napasnya kasar, dia lelah. Dia berbalik, hendak meninggalkan Mami. Namun sebelum berjalan ke arah tangga menuju kamar, Athaya pun menoleh sejenak.

“Aku sama Ayyan gak ngapa-ngapain di hotel semalam.”

“Ayyan juga bilang gak mau ngelakuin apa-apa sebelum dia nikahin aku,” jelas Athaya.

Dia lalu tersenyum miring. Air matanya bercucuran di pipi.

“Tapi dia gak mungkin bisa nikahin aku kan? Mami gak mau ngeliat aku bahagia sama Ayyan.”

“Kak! Athaya!”

Mami memekik sebelum terisak kencang saat sang anak berlari menaiki tangga. Dia lalu menatap tangan yang tadinya mendarat di pipi Athaya. Dadanya sakit.

“Mi,” Papi angkat bicara, “Kamu istirahat dulu ya di kamar.”

Dia lalu mendekap istrinya.

“Entar kalau kamu udah ngerasa lebih baik, kita ngobrol dikit.”

Mami pun mengangguk lemah dalam dekapan Papi.

***

“Yan, kamu dari mana aja sih. Kok baru pulang jam segini?”

Rayyan menatap kosong ke arah sang Mama. Si wanita paruh baya menghampirinya tepat di ambang pintu utama.

Namun bukannya menjawab, Rayyan justru ikut bertanya.

“Kenapa Mama bohongin Maminya Athaya?” lirihnya.

“Maksud kamu apa, Yan?”

Rayyan tersenyum kecut.

“Aku udah tau semuanya,” katanya, “Aku udah tau gimana Mama nyuruh Papa buat macarin Tante Una, padahal Mama tau kalau Papa suka sama Mama.”

Mama mengulum bibirnya.

“Tante Una gak pengen aku deket sama Athaya karena itu.”

“Dia takut kalau aja aku bakal bohongin Athaya juga, sama kayak yang Mama Papa lakuin ke dia selama bertahun-tahun.”

Mata Rayyan berkaca-kaca.

“Kenapa, Ma? Kenapa Mama tega bohongin sahabat yang udah Mama anggap saudara sendiri?”

“Karena Mama pengen jaga perasaan dia, Yan. Mama gak mau nyakitin hati dia.”

“Terus Mama pikir Tante Una gak sakit karena diboongin?”

Rayyan menggeleng pelan.

“Ma, dia lebih sakit karena diboongin daripada harus nerima kenyataan kalau laki-laki yang dia cintai suka sama sahabatnya sendiri.”

Mata Mama berkaca-kaca.

“Terus Mama harus ngapain, Yan?” lirihnya, “Mama harus ngapain pas ngeliat sahabat yang paling Mama sayangi bahagia karena bisa deket sama laki-laki yang dia suka.”

“Ngerusak kebahagiaan dia?” timpalnya, “Mama gak bisa.”

“Mama tau perasaan Papa kamu, tapi Mama nolak dan nyuruh dia belajar mencintai Aruna aja.”

“Karena dia itu bahagianya Aruna. Mama selalu denger cerita Aruna yang bahagia kalau udah tentang Papa.”

“Waktu itu Mama masih tujuh belas tahun, Ayyan. Mama belum bisa berpikir matang.”

“Mama cuma mikir supaya Aruna tetap jadi sahabat Mama. Mama gak mau kehilangan dia, Yan.”

“Karena Mama mikir, kalau Mama atau Papa jujur sama dia waktu itu, hubungan Mama sama dia gak akan lagi sama.”

Rayyan lantas membuang pandangannya sejenak saat melihat sang Mama menangis.

“Papa yang salah.”

Rayyan melirik ke sumber suara. Dimana si pria paruh baya berjalan ke arahnya dan Mama.

“Seharusnya Papa yang bilang sama Aruna lebih awal, Yan.”

Papa melirik istrinya.

“Mama kamu cuma pengen ngeliat sahabatnya bahagia.”

“Bahkan beberapa tahun berikutnya, Mama kamu rela memendam perasaannya yang udah tumbuh ke Papa.”

“Itu semua demi menjaga persahabatannya,” jelasnya.

“Papa yang udah ngerusak persahabatan mereka berdua.”

“Papa yang egois karena gak mau menyerah sama rasa cinta Papa buat Mama kamu waktu itu.”

Si pria paruh baya menatap Rayyan dengan raut sesal.

“Papa juga minta maaf, karena kamu udah jadi korban bahkan ikut bertanggung jawab atas kesalahan Papa dulu.”

“Papa bakal ngomong dan minta maaf lagi sama Maminya Athaya.”

“Gak perlu,” sela Rayyan.

“Tante Una gak butuh kata maaf lagi dari Mama, Papa atau aku.”

“Dia cuma pengen liat—apa aku ini bakal jadi kayak Mama sama Papa atau justru sebaliknya.”

“Jadi ini tugas aku sendiri buat bikin Tante Una percaya kalau aku cinta sama Athaya.”

Rayyan memaksakan senyum.

“Tapi kalau boleh jujur, aku kecewa sama Mama Papa.”

“Yan! Ayyan!”

Mama terus memanggil namanya. Tapi Rayyan tetap melanjutkan langkah menuju kamar. Meninggalkan Mama dan Papa yang masih di tempatnya.

Semenjak mendapati Athaya berdiri di depan pintu kamar sang Mami, Rayyan lantas paham bahwa pacarnya itu sudah mendengar semuanya. Athaya mendengar semua yang dikatakan Mami padanya.

Athaya, memang, gak mengatakan apa-apa setelahnya. Seolah gak ingin menyinggung segala sesuatu yang berhubungan dengan pembicaraan Mami dan Rayyan.

Tapi ketika Athaya menawarkan diri untuk menemani Rayyan, yang berpamitan ingin pulang, ke halaman depan—sorot matanya dipenuhi dengan luka. Rayyan amat sakit melihatnya.

Dan kini, keduanya justru berakhir terjebak hening di dalam mobil. Sebab Athaya tiba-tiba ikut masuk, hingga pacarnya itu belum juga pulang.

Detik demi detik pun berlalu. Kini sudah nyaris lima belas menit semenjak Rayyan dan Athaya hanya terdiam. Dengan Athaya yang bergelayut pada lengan Rayyan sembari bersandar pada bahunya. Sementara matanya menatap kosong ke dashboard.

“Aya,” panggil Rayyan dengan suaranya yang begitu lembut.

Athaya mendongak, “Mm?”

“Lu masuk sekarang ya? Papi sama Mami lu pasti nunggu.”

Senyum hambar di bibir Athaya membuat Rayyan tercekat. Terlebih, ketika dia melihat mata Athaya berkaca-kaca.

“Yan, gue ngerasa lu gak bakal kembali lagi kalau gue ngebiarin lu pergi.”

Athaya semakin mengeratkan tautan lengannya dengan Rayyan, “Jangan tinggalin gue.”

“Lu ngomong apa sih, hm?”

Rayyan mengusap pelan puncak kepala Athaya, “Gue gak bakal kemana-mana, Ya.”

“Besok kita juga bakal ketemu kok di kantor,” sambungnya.

“Kita gak bakal ketemu, Yan.”

“Ketemu,” balas Rayyan.

“Enggak,” sela Athaya.

Rayyan mendengus, “Emang lu mau ke mana, gue tanya?”

“Besok tanggal merah, anjing.”

“Oh iya,” Rayyan cengengesan.

Keduanya pun saling berbagi senyum tipis sejenak, meski sangat jelas bahwa tarikan bibir mereka dipaksakan. Setelahnya, Athaya dan Rayyan lantas berpelukan. Begitu erat, seolah ada daya magnet yang merekat.

“Gue gak mau masuk,” gumam Athaya, “Gue belum sanggup buat ngeliat wajah Mami, Yan.”

Rayyan mengangguk paham.

“Gue juga gak mau pulang ke rumah,” katanya, “Gue belum siap ketemu Mama sama Papa.”

Athaya lalu melepas dekapannya, beralih menatap pacarnya.

“Bawa gue pergi malam ini.”

“Ke mana?”

“Ke mana aja, asal bareng lu.”

Rayyan berpikir sejenak.

“Tapi lu izin dulu ya sama Papi,” katanya, “Ngeri, entar kita dikira mau kawin lari.”

“Lu gak mau nyoba?”

“Nyoba apa?” tanya Rayyan.

“Kawin lari,” kata Athaya.

Rayyan berdecak pelan lalu menoyor kepala pacarnya.

Athaya tersenyum.

“Gue bakal ngabarin Papi kok entar,” katanya, “Tapi bawa gue pergi sekarang ya? Gue capek.”

Ya. Athaya capek dengan semuanya. Mungkin dirinya terkesan ingin lari dari kenyataan, tapi enggak. Dia cuma butuh waktu untuk menenangkan hati dan pikirannya bersama orang yang dicintainya. Meski sesaat.

***

“Ya, lu abis nelpon room service gak?” tanya Rayyan.

Athaya yang semula lagi duduk sambil ngelamun sendiri di tepi ranjang hotel—dimana dia dan Rayyan berada saat ini—pun menoleh ke arah kamar mandi. Mendapati sang pacar keluar dari sana setelah membersihkan tubuhnya sejenak. Meski masih dengan pakaian yang sama. Sebab Rayyan sama sekali gak pulang ke rumah, bahkan sebelum menjenguk Mami tadi.

“Gak,” jawab Athaya, “Kenapa?”

Rayyan pun nyamperin Athaya. Dia duduk di samping pacarnya itu sebelum mencubit pipinya.

“Malah nanya,” Rayyan berdecak, “Lu belum makan malam.”

Athaya menggeleng.

“Gue gak laper, Yan.”

“Ya udah,” Rayyan kemudian mengedikkan bahu, “Gue sih mau makan. Laper dari tadi.”

Athaya hanya mengulum senyumnya melihat Rayyan meraih gagang telepon di atas nakas. Tapi sebelum pacarnya itu melakukan panggilan—untuk room service, Rayyan justru kembali menoleh ke arahnya.

“Gue enaknya makan apa ya?”

“Ya mana gue tau. Kan lu yang mau makan, anjing.”

Rayyan berdecak.

“Tapi kalau misalnya lu jadi gue, lu bakal mesen apa?”

“Gue bakal mesen makanan yang gue suka,” jawab Athaya.

“Iya, tau. Tapi makanan yang lu suka itu contohnya apa?”

“Nasi goreng.”

“Minumnya?”

“Wine.”

Jawaban Athaya membuat Rayyan refleks menipiskan bibir sebelum menyentil kening pacarnya itu. Tapi Athaya justru terkekeh pelan.

“Wine, wine,” Rayyan ngomel, “Noh, pop ice rasa strawberry di depan SD masih banyak.”

“Tapi kan gue udah gede.”

Rayyan hanya tersenyum mengejek sebelum menelpon layanan room service hotel.

“Halo, Mba?”

Athaya menyimak.

“Saya pesen nasi gorengnya satu, minumnya air mineral.”

“Oh iya, Mba. Kalau bisa, timunnya dibanyakin ya? Dikasih fee tambahan juga gak apa-apa.”

Athaya lalu tersenyum.

Sementara itu, Rayyan yang telah memutus sambungan telepon dengan layanan room service pun menyipitkan mata.

“Kenapa lu senyam-senyum?”

“Gue lagi ibadah,” jawab Athaya dengan candaan khas Rayyan.

Sejenak, keduanya terdiam. Hanya saling memandangi wajah satu sama lain lekat-lekat. Hingga saat Rayyan meraih jemari pacarnya, dia berkata.

“Ya, gue tau apa yang udah Mama sama Papa lakuin ke Mami tuh gak mudah buat dimaafin.”

“Tapi gue minta maaf ya?”

Athaya menghela napas.

“Yan, jangan bahas ini dulu bisa?”

“Gue cuma pengen ngelupain semuanya sejenak di sini.”

Rayyan mengangguk paham seraya mengusap pipi Athaya.

“Ayyan.”

“Mm?”

“Lu nyesel gak sih jatuh cinta sama gue?” tanya Athaya.

“Gak,” jawab Rayyan, “Lagian, kenapa gue harus nyesel?”

“Justru gue bakal nyesel kalau gak pernah jatuh cinta sama lu.”

Rayyan menarik napasnya.

“Semenjak jatuh cinta sama lu, gue selalu berusaha buat jadi versi terbaik dari diri gue.”

“Gue tau kok, kalau lu nerima gue apa adanya. Tapi gue selalu pengen jadi yang terbaik buat lu.”

“Gue selalu pengen jadi orang yang bisa lu andelin. Orang yang bisa jadi tempat lu bergantung. Orang yang bisa nemenin lu jadi versi terbaik dari diri lu juga.”

“Because it’s not just about me,” jelasnya, “It’s about us, Aya.”

“Lu bawa energi positif ke dalam diri gue. Lu jadi motivasi gue.”

“Jadi gue gak akan pernah nyesel karena jatuh cinta sama lu.”

Tanpa sadar, air mata Athaya menetes. Membuat Rayyan yang melihatnya buru-buru menyeka pipi pacarnya yang telah basah.

“Kalau lu gimana?” balas Rayyan, “Lu nyesel gak cinta sama gue?”

“Mm, gue nyesel.”

Suara Athaya begitu lirih.

“Gue nyesel karena cinta sama lu gak dari dulu,” katanya.

Rayyan menahan senyum.

“Gue nyesel karena sadar kalau udah begitu banyak waktu gue yang terbuang sia-sia buat gak suka, bahkan benci sama lu.”

“Padahal, kalau aja gue udah jatuh cinta sama lu dari dulu, mungkin sekarang gue gak bakal ngerasa se-sakit ini.”

Lagi, air matanya jatuh.

“Kita baru aja memulai jadi dua orang yang saling mencintai, tapi kita udah harus dihadapkan sama kenyataan pahit gini.”

“Kita baru aja ketemu sama bahagia kita masing-masing, tapi udah harus dibikin pupus lagi.”

Rayyan gak mengatakan apa-apa. Dia hanya membawa Athaya ke dalam dekapannya. Sementara satu tangannya mengusap lembut punggung pacarnya.

“Gue cinta sama lu, Yan.”

Pertahanan Rayyan runtuh. Air matanya ikut mengalir deras hanya dengan mendengar kata cinta terucap dari bibir Athaya.

“Gue juga cinta sama lu, Ya.”

Suaranya bergetar.

Athaya terkekeh.

“Lu nangis?”

“Mm,” gumam Rayyan.

“Suara lu jelek banget, anjing. Kek lagi nahan boker tau gak?”

“Bangsat,” Rayyan ikut terkekeh.

Keduanya pun melepaskan dekapan mereka, kembali saling berbagi tatap sejenak. Setelahnya, Rayyan lantas membingkai wajah Athaya. Perlahan mendaratkan kecupan demi kecupan mulai dari kening, kelopak mata, pipi, hidung hingga bibir tipis Athaya.

Athaya tersenyum dibuatnya.

“Yan, rugi gak sih kalau kita check-in tapi gak ngewe?”

Rayyan refleks melotot. Sementara Athaya yang udah tau akan bagaimana reaksi pacarnya itu lantas ketawa sebelum menghindar. Sebab Rayyan udah bersiap buat nyentil keningnya.

Tapi usaha Athaya itu gagal. Sebab Rayyan, justru, dengan sigap mendekap erat tubuhnya. Rayyan lalu mendorong dia pelan hingga berakhir terlentang di atas ranjang. Mengungkungnya.

“Jangan nge-tes gue,” ucap Rayyan tepat di depan bibir Athaya, “Gue bisa jadi orang lain kalau gak lagi nahan diri.”

Athaya mengulum senyum sebelum mengangkat kepala. Dia mengecup bibir Rayyan yang masih mengungkungnya.

“Kok lu gak takut sih?”

Rayyan bertanya setelah tautan bibir mereka terlepas. Bersamaan dengan kepala Athaya yang kembali jatuh di atas bantal. Setelahnya, Rayyan pun memutuskan untuk ikut berbaring menyamping di sisi kanan pacarnya. Satu tangannya menyanggah kepalanya. Alhasil, dia bisa dengan leluasa memandangi wajah Athaya.

“Kenapa gue harus takut?” balas Athaya, “Gue kan cinta sama lu.”

“Lu itu orang yang selalu gue harap paling bisa ngerti gue, both physical and emotional. Begitu pun sebaliknya, gue pengen ngertiin lu lebih jauh.”

“Having sex sama orang yang lu cintai bukan cuma tentang nafsu, Rayyan. But understanding.”

“And i want it so bad,” katanya.

Rayyan menahan senyum.

“Sekarang siapa coba yang lagi nge-tes? Gue atau lu?” Athaya terkekeh, “Lu ragu ya kalau gue bakal ngasih segalanya buat lu?”

“Not at all,” jawab Rayyan. Dia lalu menghela napas panjang.

“Ya, gue pengen lu ngerasa aman dan nyaman kalau lagi sama gue. Gue pengen lu ngerasa kalau lu berharga banget buat gue. Gue pengen kita punya consent. And we haven’t even talked about it.”

“I want you to know that I want you more than just having sex.”

“I want you to know that you are so special to me,” tuturnya.

Rayyan mengecup kening Athaya sejenak sebelum kembali menatap bola matanya.

“I wanna marry you first, Aya.”

Athaya tersenyum lembut.

“Not having sex before marriage, that’s our main consent. Deal?”

“Okay,” jawab Athaya.

Rayyan kemudian mengacungkan jari kelingkingnya di depan wajah Athaya. Membuat pacarnya itu terkekeh pelan sebelum mengaitkan kelingkingnya.

“Awas aja kalau lu gak nikahin gue,” Athaya tertawa hambar.

Setelahnya, dia buru-buru berbaring menyamping, membelakangi Rayyan. Saat itu pula air matanya mengalir deras. Dan Athaya gak mau jika sang pacar melihatnya menangis lagi.

Tapi Rayyan tiba-tiba memeluk pinggangnya dari belakang. Sesekali menciumi lembut puncak kepalanya, hingga dada Athaya semakin sesak dibuatnya.

“I’m here,” gumam Rayyan.

“Nangis aja. Gak apa-apa.”

Athaya akhirnya terisak. Bersama Rayyan yang setia memeluknya erat hingga Athaya terlelap.

Athaya menelan ludah ketika dia dan Rayyan telah berdiri di depan pintu kamar Mami. Rayyan, yang bahkan gak kembali ke rumahnya lebih dulu saat jam pulang kantor, gak ingin membuang waktu.

Rayyan mendadak khawatir, sebab Athaya memberi tahu kalau Maminya sakit, yang mana lambung si wanita paruh baya lah sumbernya. Rayyan pun berpikir, jika GERD yang diderita Mami kambuh—mungkin—dipicu oleh stress karena mikirin dia dan Athaya. Bahkan jadwal makan si wanita paruh baya pun mulai berantakan sejak udah tau hubungan mereka.

“Mi,” panggil Athaya seraya membuka pintu kamar Mami.

Mami yang sedang duduk bersandar di kepala ranjangnya lantas melirik ke arah sang anak. Di sana pula dia mendapati Rayyan berjalan mengekori Athaya.

“Ada Ayyan, mau jengukin Mami.”

Rayyan menyunggingkan senyum tipis. Meski kesan gak ramah menghiasi wajah Mami.

Dia kemudian duduk di tepi ranjang si wanita paruh baya. Memandanginya dengan raut khawatir bercampur cemas.

“Tante, gimana keadaannya? Udah mendingan?” tanyanya.

Athaya menahan napas saat Maminya tiba-tiba melirik ke arahnya. Tanpa menjawab pertanyaan Rayyan terlebih dahulu.

“Bikinin Mami bubur,” katanya, “Mami sekalian mau ngobrol berdua sama dia.”

Lutut Athaya semakin lemas. Dia gak tau apa yang bakal Maminya bilang ke Rayyan abis ini.

“Yan, gue ke dapur dulu ya.”

Rayyan mengulas senyum tenang sembari menatap pacarnya; yang jelas terlihat begitu khawatir. Rayyan seolah mengatakan secara tersirat kalau dia bakal baik-baik.

Athaya pun pasrah.

Pintu kamar tertutup. Sosok Athaya juga telah hilang dari pandangan. Kini yang tersisa hanya si wanita paruh baya dan Rayyan yang justru terjebak dalam keheningan.

“Kenapa kamu masih pacaran sama anak saya?”

Pertanyaan Mami membuat tenggorokan Rayyan seakan dicekik.

“Saya cinta sama Athaya, Tante.”

Mami sekerika tersenyum hambar mendengarnya.

“Apa kamu bahkan tau arti dari cinta itu apa, Rayyan?”

Rayyan terdiam. Membiarkan Mami melanjutkan ucapannya.

“Cinta itu artinya—kebahagiaan orang yang kamu cintai itu menjadi kebahagiaan kamu juga.”

“Begitu juga sebaliknya,” Mami melanjutkan, “Apa yang menjadi kesedihannya, akan menjadi kesedihan kamu juga.”

Rayyan menahan napas saat melihat kedua bola mata si wanita paruh baya berkaca-kaca.

“Apa kamu melihat Athaya bahagia karena gak akur sama Maminya?”

Rayyan menggeleng.

“Lalu kenapa, Rayyan?”

“Kenapa kamu gak melepas Athaya untuk bikin dia bahagia?”

Mami tersenyum miring.

“Yang kamu rasakan itu jelas bukan cinta,” timpalnya, “Tapi ego.”

“Kamu hanya ingin memiliki anak saya. Kamu gak peduli kalau hubungan dia dengan saya gak baik.”

“Saya peduli, Tante.”

Rayyan merespon dengan lirih.

“Saya selalu mikirin hubungan Tante sama Aya yang jadi kayak gini karena saya.”

“Tapi saya ingin mencari jalan tengahnya bukan dengan melepas Athaya atau membiarkan Tante terus-terusan diemin dia,” katanya.

“Saya cuma mau tau alasan kenapa Tante gak pengen Athaya punya hubungan sama saya.”

Rayyan menghela napas.

“Dan kalau saya bisa mengubah sesuatu, saya akan mengubahnya. Demi Tante dan Athaya.”

Mami menggeleng lemah.

“Kamu gak bisa mengubah apa-apa, Rayyan.” tuturnya.

“Dan kalau kamu mau tau alasan saya, jawabannya adalah karena kamu anak dari dua orang yang membohongi saya selama bertahun-tahun.”

Rayyan menelan ludah. Ada sedikit rasa gak siap untuk mendengar ucapan Mami selanjutnya. Padahal ini yang harusnya dia tunggu. Ini yang mungkin akan bisa menjadi pintu penyelesaian masalah dari Mami dan orang tuanya.

Namun entah, dia justru gugup.

“Kalau kamu masih berpikir saya marah sama Mama kamu—sampai hari ini—karena mengira dia merebut pacar saya dulu, kamu salah.”

“Tapi saya marah dan kecewa, karena orang yang sudah saya anggap sebagai saudara justru membohongi saya.”

“Asal kamu tau, Rayyan...”

“Sejak awal, Papa kamu gak pernah mencintai saya,” ucap Mami sambil menahan tangis.

“Dia mendekati saya karena saya ini sahabat dari orang yang dia suka,” timpalnya.

“Tapi dia gak mengatakan apa-apa waktu itu. Sampai akhirnya perasaan saya ke dia pun tumbuh, dan Papa kamu akhirnya menyadari hal itu.”

“Dan kamu tau apa yang Papa kamu lakukan?” suara Mami kian lirih, “Dia memacari saya. Dia membuat saya merasa menjadi wanita yang paling berharga di hidupnya.”

“Lalu Mama kamu?”

Mami tersenyum miring.

“Dia tau perasaan Papa kamu jauh sebelum memacari saya.”

“Papa kamu udah ngomong ke dia kalau yang sebenarnya dia inginkan itu Mama kamu, bukan saya.”

“Tapi apa yang Mama kamu lakukan?”

“Dia yang menyuruh Papa kamu untuk memacari saya. Dia yang meminta Papa kamu supaya menyembunyikan perasaannya ke Mama kamu.”

Rayyan meremas jemarinya saat melihat Mami menangis.

“Saya menyedihkan bukan?” ucapnya di sela-sela tangis, “Saya dijadikan sebagai pacar atas dasar rasa kasihan dari orang yang saya cintai, juga sahabat saya sendiri.”

“Dan mereka nyembunyiin itu semua bertahun-tahun. Sejak kelas dua SMA sampai semester enam di bangku kuliah.”

Mami lalu mengusap kasar air matanya. Dia berusaha keras untuk gak terisak di depan Rayyan.

“Saya tau kok. Alasan Mama kamu ngelakuin semuanya karena dia ingin menjaga perasaan saya.”

“Tapi dengan dibohongi seperti itu jelas jauh lebih menyakitkan.”

“Bertahun-tahun saya menjadi orang menyedihkan dan bodoh di antara mereka.”

“Sampai akhirnya, hari itu saya mengetahui semuanya. Saya mendengar Papa dan Mama kamu berselisih di posko KKN, tentang perasaan mereka.”

“Papa kamu udah gak sanggup berpura-pura mencintai saya, sedangkan Mama kamu tetap ingin agar Papa kamu bersama saya.”

Mami menepuk pelan dadanya.

“Coba kamu posisikan diri kamu dulu sebagai saya.”

Sejenak, Rayyan menunduk.

“Coba kamu bayangin kalau kamu menjadi saya waktu itu.”

“Saya sakit, Rayyan.”

Rayyan menitikkan air mata.

“Hari itu, saya mengurungkan niat untuk bertemu Papa dan Mama kamu di posko mereka.”

“Saya pulang ke posko saya dengan kehancuran yang benar-benar gak ada obatnya.”

“Papi Athaya yang jadi saksinya. Dia yang ngeliat gimana rapuhnya saya waktu itu.”

“Sama seperti Mama Papa kamu, saya akhirnya ikut untuk berpura-pura gak tau.”

“Saya menyimpan kesedihan saya sendiri sambil nunggu waktu yang pas supaya mereka gak bisa mengelak atas perasaannya masing-masing.”

“Sampai akhirnya, ketika masa KKN udah hampir selesai, saya meminta bantuan teman posko Mama Papa kamu supaya mereka berdua pergi ke sebuah pendopo.”

“Tempat yang indah untuk dua orang yang saling mencintai dan beberapa hari belakangan selalu berselisih kecil.”

“Mama Papa kamu bahagia. Sangat bahagia. Mereka bercerita, tertawa, dan saya melihat semuanya dari kejauhan.”

“Saya juga melihat bagaimana Papa kamu menciumi Mama kamu penuh kasih sayang.”

Rayyan mengulum bibirnya.

“Dan saat itu saya datang. Saya berpura-pura gak tau dan hanya menuduh Mama kamu sebagai perebut.”

“Jelas Papa kamu marah saat mendengar saya menyebut orang yang dia cintai seperti itu,” jelas si wanita paruh baya.

“Hingga akhirnya dia mengakui semuanya. Papa kamu mengakui kalau sejak awal yang dia cintai itu Mama kamu, bukan saya.”

Rayyan gak mampu lagi berkata-kata. Yang dia lakukan hanya terdiam, menahan rasa sesak di dada.

“Athaya gak tau cerita menyedihkan tentang Maminya ini,” katanya.

“Saya gak mau dia tau kalau Maminya yang selalu dia sebut wanita paling kuat ternyata se-rapuh ini.”

Rayyan lalu mendongak. Menatap wajah Mami yang sudah basah karena air mata.

“Jadi sejak saya tau kalau kamu dan Athaya berada di sekolah yang sama dulu, saya mengajarkan dia untuk gak dekat sama kamu—dengan alasan, takut nanti kamu juga akan merebut sesuatu dari dia.”

“Saya mengajarkan Athaya bahwa Mama kamu pernah merebut sesuatu dari saya.”

“Saya melakukan itu bukan untuk membuat Athaya membenci atau meneruskan masalah di antara saya dan Mama Papa kamu,” timpal Mami.

“Tapi karena saya gak ingin berhubungan lagi dengan Mama Papa kamu, bahkan kamu.”

Mami menyeka air mata yang kembali membasahi pipinya.

“Saya juga sudah memaafkan mereka kok,” katanya, “Tapi untuk melupakan apa yang udah mereka perbuat ke saya dulu, saya gak bisa. Saya sakit.”

Rayyan berusaha bangkit dari posisinya. Dia beralih duduk melantai tepat di samping tempat tidur si wanita paruh baya. Dia menangis, pun gak henti mengucap kata maaf.

“Kamu gak perlu minta maaf.”

Rayyan mendongak. Menatap wajah Mami lekat-lekat meski penglihatannya telah buram.

“Kamu cuma perlu menjauhi Athaya,” katanya, “Karena saya gak mau kalau anak saya merasakan hal yang sama.”

“Saya gak akan nyakitin Athaya, Tante. Saya cinta sama dia.”

“Kalau kamu benar-benar tulus mencintai anak saya, kamu pasti bisa melepaskan dia.”

“Karena cinta itu gak akan menuntut dua orang untuk bisa terus bersama.”

“Cinta itu akan membiarkan seseorang yang kita sayangi bahagia, meski dengan gak bersama.”

“Jadi kalau kamu memang cinta sama Athaya, buktikan.”

Bibir Mami bergetar.

“Lepaskan dia dan biarkan dia bahagia dengan dunianya.”

“Sama seperti yang udah saya lakukan kepada Papa kamu.”

Napas Rayyan tercekat. Dia bahkan gak bisa lagi untuk bersuara. Sekujur tubuhnya mendadak lemas, namun dia tetap berusaha untuk berdiri.

“Kamu boleh pulang sekarang,” kata Mami, “Terima kasih udah jengukin saya.”

Rayyan mengangguk lemah. Dia lalu berbalik, berjalan dengan langkah yang berat. Meninggalkan Mami yang kembali menangis dalam diam.

Namun saat membuka pintu kamar si wanita paruh baya, Rayyan lantas terkejut. Sebab Athaya ada di sana. Berdiri di hadapannya. Menatapnya dengan raut sedu bersama air mata yang membanjiri pipinya.

Athaya menelan ludah ketika dia dan Rayyan telah berdiri di depan pintu kamar Mami. Rayyan, yang bahkan gak kembali ke rumahnya lebih dulu saat jam pulang kantor, gak ingin membuang waktu.

Rayyan mendadak khawatir, sebab Athaya memberi tahu kalau Maminya sakit, yang mana lambung si wanita paruh baya lah sumbernya. Rayyan pun berpikir, jika GERD yang diderita Mami kambuh—mungkin—dipicu oleh stress karena mikirin dia dan Athaya. Bahkan jadwal makan si wanita paruh baya pun mulai berantakan sejak udah tau hubungan mereka.

“Mi,” panggil Athaya seraya membuka pintu kamar Mami.

Mami yang sedang duduk bersandar di kepala ranjangnya lantas melirik ke arah sang anak. Di sana pula dia mendapati Rayyan berjalan mengekori Athaya.

“Ada Ayyan, mau jengukin Mami.”

Rayyan menyunggingkan senyum tipis. Meski kesan gak ramah menghiasi wajah Mami.

Dia kemudian duduk di tepi ranjang si wanita paruh baya. Memandanginya dengan raut khawatir bercampur cemas.

“Tante, gimana keadaannya? Udah mendingan?” tanyanya.

Athaya menahan napas saat Maminya tiba-tiba melirik ke arahnya. Tanpa menjawab pertanyaan Rayyan terlebih dahulu.

“Bikinin Mami bubur,” katanya, “Mami sekalian mau ngobrol berdua sama dia.”

Lutut Athaya semakin lemas. Dia gak tau apa yang bakal Maminya bilang ke Rayyan abis ini.

“Yan, gue ke dapur dulu ya.”

Rayyan mengulas senyum tenang sembari menatap pacarnya; yang jelas terlihat begitu khawatir. Rayyan seolah mengatakan secara tersirat kalau dia bakal baik-baik.

Athaya pun pasrah.

Pintu kamar tertutup. Sosok Athaya juga telah hilang dari pandangan. Kini yang tersisa hanya si wanita paruh baya dan Rayyan yang justru terjebak dalam keheningan.

“Kenapa kamu masih pacaran sama anak saya?”

Pertanyaan Mami membuat tenggorokan Rayyan seakan dicekik.

“Saya cinta sama Athaya, Tante.”

Mami sekerika tersenyum hambar mendengarnya.

“Apa kamu bahkan tau arti dari cinta itu apa, Rayyan?”

Rayyan terdiam. Membiarkan Mami melanjutkan ucapannya.

“Cinta itu artinya—kebahagiaan orang yang kamu cintai itu menjadi kebahagiaan kamu juga.”

“Begitu juga sebaliknya,” Mami melanjutkan, “Apa yang menjadi kesedihannya, akan menjadi kesedihan kamu juga.”

Rayyan menahan napas saat melihat kedua bola mata si wanita paruh baya berkaca-kaca.

“Apa kamu melihat Athaya bahagia karena gak akur sama Maminya?”

Rayyan menggeleng.

“Lalu kenapa, Rayyan?”

“Kenapa kamu gak melepas Athaya untuk bikin dia bahagia?”

Mami tersenyum miring.

“Yang kamu rasakan itu jelas bukan cinta,” timpalnya, “Tapi ego.”

“Kamu hanya ingin memiliki anak saya. Kamu gak peduli kalau hubungan dia dengan saya gak baik.”

“Saya peduli, Tante.”

Rayyan merespon dengan lirih.

“Saya selalu mikirin hubungan Tante sama Aya yang jadi kayak gini karena saya.”

“Tapi saya ingin mencari jalan tengahnya bukan dengan melepas Athaya atau membiarkan Tante terus-terusan diemin dia,” katanya.

“Saya cuma mau tau alasan kenapa Tante gak pengen Athaya punya hubungan sama saya.”

Rayyan menghela napas.

“Dan kalau saya bisa mengubah sesuatu, saya akan mengubahnya. Demi Tante dan Athaya.”

Mami menggeleng lemah.

“Kamu gak bisa mengubah apa-apa, Rayyan.” tuturnya.

“Dan kalau kamu mau tau alasan saya, jawabannya adalah karena kamu anak dari dua orang yang membohongi saya selama bertahun-tahun.”

Rayyan menelan ludah. Ada sedikit rasa gak siap untuk mendengar ucapan Mami selanjutnya. Padahal ini yang harusnya dia tunggu. Ini yang mungkin akan bisa menjadi pintu penyelesaian masalah dari Mami dan orang tuanya.

Namun entah, dia justru gugup.

“Kalau kamu masih berpikir saya marah sama Mama kamu—sampai hari ini—karena mengira dia merebut pacar saya dulu, kamu salah.”

“Tapi saya marah dan kecewa, karena orang yang sudah saya anggap sebagai saudara justru membohongi saya.”

“Asal kamu tau, Rayyan...”

“Sejak awal, Papa kamu gak pernah mencintai saya,” ucap Mami sambil menahan tangis.

“Dia mendekati saya karena saya ini sahabat dari orang yang dia suka,” timpalnya.

“Tapi dia gak mengatakan apa-apa waktu itu. Sampai akhirnya perasaan saya ke dia pun tumbuh, dan Papa kamu akhirnya menyadari hal itu.”

“Dan kamu tau apa yang Papa kamu lakukan?” suara Mami kian lirih, “Dia memacari saya. Dia membuat saya merasa menjadi wanita yang paling berharga di hidupnya.”

“Lalu Mama kamu?”

Mami tersenyum miring.

“Dia tau perasaan Papa kamu jauh sebelum memacari saya.”

“Papa kamu udah ngomong ke dia kalau yang sebenarnya dia inginkan itu Mama kamu, bukan saya.”

“Tapi apa yang Mama kamu lakukan?”

“Dia yang menyuruh Papa kamu untuk memacari saya. Dia yang meminta Papa kamu supaya menyembunyikan perasaannya ke Mama kamu.”

Rayyan meremas jemarinya saat melihat Mami menangis.

“Saya menyedihkan bukan?” ucapnya di sela-sela tangis, “Saya dijadikan sebagai pacar atas dasar rasa kasihan dari orang yang saya cintai, juga sahabat saya sendiri.”

“Dan mereka nyembunyiin itu semua bertahun-tahun. Sejak kelas dua SMA sampai semester enam di bangku kuliah.”

Mami lalu mengusap kasar air matanya. Dia berusaha keras untuk gak terisak di depan Rayyan.

“Saya tau kok. Alasan Mama kamu ngelakuin semuanya karena dia ingin menjaga perasaan saya.”

“Tapi dengan dibohongi seperti itu jelas jauh lebih menyakitkan.”

“Bertahun-tahun saya menjadi orang menyedihkan dan bodoh di antara mereka.”

“Sampai akhirnya, hari itu saya mengetahui semuanya. Saya mendengar Papa dan Mama kamu berselisih di posko KKN, tentang perasaan mereka.”

“Papa kamu udah gak sanggup berpura-pura mencintai saya, sedangkan Mama kamu tetap ingin agar Papa kamu bersama saya.”

Mami menepuk pelan dadanya.

“Coba kamu posisikan diri kamu dulu sebagai saya.”

Sejenak, Rayyan menunduk.

“Coba kamu bayangin kalau kamu menjadi saya waktu itu.”

“Saya sakit, Rayyan.”

Rayyan menitikkan air mata.

“Hari itu, saya mengurungkan niat untuk bertemu Papa dan Mama kamu di posko mereka.”

“Saya pulang ke posko saya dengan kehancuran yang benar-benar gak ada obatnya.”

“Papi Athaya yang jadi saksinya. Dia yang ngeliat gimana rapuhnya saya waktu itu.”

“Sama seperti Mama Papa kamu, saya akhirnya ikut untuk berpura-pura gak tau.”

“Saya menyimpan kesedihan saya sendiri sambil nunggu waktu yang pas supaya mereka gak bisa mengelak atas perasaannya masing-masing.”

“Sampai akhirnya, ketika masa KKN udah hampir selesai, saya meminta bantuan teman posko Mama Papa kamu supaya mereka berdua pergi ke sebuah pendopo.”

“Tempat yang indah untuk dua orang yang saling mencintai dan beberapa hari belakangan selalu berselisih kecil.”

“Mama Papa kamu bahagia. Sangat bahagia. Mereka bercerita, tertawa, dan saya melihat semuanya dari kejauhan.”

“Saya juga melihat bagaimana Papa kamu menciumi Mama kamu penuh kasih sayang.”

Rayyan mengulum bibirnya.

“Dan saat itu saya datang. Saya berpura-pura gak tau dan hanya menuduh Mama kamu sebagai perebut.”

“Jelas Papa kamu marah saat mendengar saya menyebut orang yang dia cintai seperti itu,” jelas si wanita paruh baya.

“Hingga akhirnya dia mengakui semuanya. Papa kamu mengakui kalau sejak awal yang dia cintai itu Mama kamu, bukan saya.”

Rayyan gak mampu lagi berkata-kata. Yang dia lakukan hanya terdiam, menahan rasa sesak di dada.

“Athaya gak tau cerita menyedihkan tentang Maminya ini,” katanya.

“Saya gak mau dia tau kalau Maminya yang selalu dia sebut wanita paling kuat ternyata se-rapuh ini.”

Rayyan lalu mendongak. Menatap wajah Mami yang sudah basah karena air mata.

“Jadi sejak saya tau kalau kamu dan Athaya berada di sekolah yang sama dulu, saya mengajarkan dia untuk gak dekat sama kamu—dengan alasan, takut nanti kamu juga akan merebut sesuatu dari dia.”

“Saya mengajarkan Athaya bahwa Mama kamu pernah merebut sesuatu dari saya.”

“Saya melakukan itu bukan untuk membuat Athaya membenci atau meneruskan masalah di antara saya dan Mama Papa kamu,” timpal Mami.

“Tapi karena saya gak ingin berhubungan lagi dengan Mama Papa kamu, bahkan kamu.”

Mami menyeka air mata yang kembali membasahi pipinya.

“Saya juga sudah memaafkan mereka kok,” katanya, “Tapi untuk melupakan apa yang udah mereka perbuat ke saya dulu, saya gak bisa. Saya sakit.”

Rayyan berusaha bangkit dari posisinya. Dia beralih duduk melantai tepat di samping tempat tidur si wanita paruh baya. Dia menangis, pun gak henti mengucap kata maaf.

“Kamu gak perlu minta maaf.”

Rayyan mendongak. Menatap wajah Mami lekat-lekat meski penglihatannya telah buram.

“Kamu cuma perlu menjauhi Athaya,” katanya, “Karena saya gak mau kalau anak saya merasakan hal yang sama.”

“Saya gak akan nyakitin Athaya, Tante. Saya cinta sama dia.”

“Kalau kamu benar-benar tulus mencintai anak saya, kamu pasti bisa melepaskan dia.”

“Karena cinta itu gak akan menuntut dua orang untuk bisa terus bersama.”

“Cinta itu akan membiarkan seseorang yang kita sayangi bahagia, meski dengan gak bersama.”

“Jadi kalau kamu memang cinta sama Athaya, buktikan.”

Bibir Mami bergetar.

“Lepaskan dia dan biarkan dia bahagia dengan dunianya.”

“Sama seperti yang udah saya lakukan kepada Papa kamu.”

Napas Rayyan tercekat. Dia bahkan gak bisa lagi untuk bersuara. Sekujur tubuhnya mendadak lemas, namun dia tetap berusaha untuk berdiri.

“Kamu boleh pulang sekarang,” kata Mami, “Terima kasih udah jengukin saya.”

Rayyan mengangguk lemah. Dia lalu berbalik, berjalan dengan langkah yang berat. Meninggalkan Mami yang kembali menangis dalam diam.

Namun saat membuka pintu kamar si wanita paruh baya, Rayyan lantas terkejut. Sebab Athaya ada di sana. Berdiri di hadapannya. Menatapnya dengan raut sedu bersama air mata yang membanjiri pipinya.

“Jadi gimana?”

Yasa yang lagi menenggak air minumnya—setelah ngabisin nasi goreng pun menahan senyum. Sebab Danar kembali bertanya. Sementara Athaya dan Rayyan yang melihat aksi keduanya pun ketawa.

“Lu mau jadi pacar gue gak?” Danar menimpali, “Jawabnya yang serius elah. Jangan becanda mulu.”

“Mm,” gumam Yasa.

“Mm tuh maksudnya apa?”

“Iya, gue mau.”

“Cieeee!” “Cieeee!”

Rayyan dan Athaya kompak meledek sahabat mereka. Sementara yang diperlakukan demikian hanya menahan senyum bersama semburat merah muda di pipinya.

“Nah, karena kalian udah resmi jadian. Nasi goreng yang abis kita makan ini kalian yang bayar,” kata Athaya, diikuti anggukan setuju Rayyan.

“Pantes ngajakin double date terus minta gue nembak Yasa,” cibir Danar lalu tertawa, “Bener-bener.”

“Iya loh, padahal mereka pas jadian juga kagak ngasih pajak ke kita.”

Rayyan geleng-geleng kepala.

“Entar sekalian aja gue kasih pajak pas nikahin si Aya,” katanya.

Athaya tersenyum mengejek. Dia lalu menoyor pelan kepala pacarnya yang hanya terkekeh sembari menanggapi suara riuh Yasa dan Danar.

“Eh, sekarang udah jam berapa sih? Katanya lu mau ditemenin ke gramed,” ucap Danar pada Yasa.

“Udah jam delapan,” jawab sang pacar, “Cabut sekarang yuk, Nar.”

“Ayo,” Danar kemudian menatap Athaya dan Rayyan bergantian, “Lu berdua ikut gak?”

Rayyan gak menjawab. Dia hanya menoleh ke Athaya. Menyerahkan semua keputusan kepada pacarnya.

“Gue sama Ayyan langsung pulang aja deh,” kata Athaya, “Ayyan banyak kerjaan di kantor tadi, dia butuh istirahat.”

“Jiaaah!”

Yasa kembali berseru meledek.

“Gue kalo denger lu perhatian kek gini ke Ayyan tuh, berasa lagi mimpi tau gak?” katanya, “Biasanya kan lu nyumpahin dia doang. Kalo gak, ya adu bacot.”

Danar mengangguk setuju.

“Love language mereka dari dulu tuh kayaknya emang berantem sih.”

Rayyan dan Athaya hanya saling menatap sejenak sambil senyum.

“Ya udah. Cabut yuk,” ajak Danar.

“Bayar dulu, Nar.”

“Iyaaaa. Ini gue mau bayar, Sayang.”

“Beh! Udah sayang-sayangan.”

Aksi saling meledek itu pun kembali berlanjut hingga mereka akhirnya sama-sama berjalan menuju mobil masing-masing.

***

Laju mobil Rayyan terhenti tepat di depan pagar rumah Athaya. Dia kemudian menoleh, mendapati pacarnya itu menatapnya lekat-lekat.

Sejenak Rayyan tersenyum tipis lalu meraih jemari Athaya. Mengusap punggung tangannya dengan ibu jari sebelum mengecupnya lembut.

“Yan,” Athaya bersuara.

Rayyan menatapnya, “Mm?”

“Kayaknya orang-orang di sekitar kita udah pada ketemu sama bahagianya masing-masing ya?”

Athaya tersenyum. Setelahnya, dia bersandar pada bahu Rayyan. Gak melepas genggaman tangan mereka.

“Mba Dina bisa PDKT sama Mas Heri yang udah dia suka sejak lama.”

“Danar bisa pacaran sama Yasa.”

“Janu juga udah ketemu sama Tasya yang se-vibes sama dia,” katanya.

Athaya kemudian mendongak. Menatap lurus ke mata Rayyan.

“Tapi kita masih gini-gini aja ya,” dia terkekeh, “Belum juga dapet restu.”

Rayyan pun menipiskan bibirnya. Beralih menangkup wajah tampan Athaya dengan kedua tangannya.

“Meskipun belum dapet restu, tapi kan lu itu juga bahagia gue, Ya.”

“Iya. Lu juga bahagia gue kok, Yan. Tapi maksudnya,” Athaya mendesis, “Nasib kita tuh kek masih gantung.”

Athaya mengusap kedua tangan Rayyan yang bertengger di pipinya.

“Kita bakal gimana ya nanti?”

“Gimana kalo Mami gak juga ngasih restu buat kita?” timpalnya lirih.

Rayyan menggeleng pelan.

“Gue bakal kencengin usaha gue kok buat bikin hati Mami lu luluh, Ya.”

“Ini masih awal,” katanya, “Mami lu butuh waktu, jadi kita musti sabar.”

Athaya mengangguk setuju.

“Makasih ya, Yan.”

“Makasih buat apa, hm?”

Rayyan mencubit pelan pipi Athaya.

“Makasih karena udah mau berjuang buat gue dan gak nyerah gitu aja sampai hari ini,” ucap Athaya tulus.

Rayyan gak bisa lagi menahan senyum harunya. Dia lalu mengecup lembut kening Athaya, menahannya selama beberapa detik. Membuat Athaya seketika memejamkan mata. Merasakan bagaimana Rayyan menyalurkan kasih dan cintanya melalui kecupan.

“Masuk sana,” kata Rayyan setelah mengecup kening Athaya, “Entar gue kabarin kalau udah nyampe rumah.”

Athaya mengangguk. Tapi bukannya segera turun dari mobil sang pacar, dia justru mengecup kilat pipi kanan Rayyan. Membuat empunya terkekeh pelan sebelum membalasnya; Rayyan juga mengecup pipi kanan Athaya setelahnya.

Gak hanya berhenti di situ, Athaya kembali mendaratkan kecupan lain di pipi kiri Rayyan. Dan pacarnya itu juga melakukan hal serupa—lagi.

Sampai saat Athaya beralih mengecup bibir Rayyan, dia justru dibuat mendengus. Pasalnya, sang pacar justru gak membalasnya. Melainkan hanya tersenyum mengejek lalu berkata,

“Masuk gih.”

Athaya berdecak. Dengan tampang datarnya, dia pun menoleh ke arah pintu mobil. Hendak membukanya.

Tapi sebelum Athaya, bahkan, menyentuh handle pintu mobil Rayyan, dia tiba-tiba dibuat kaget. Sebab pacarnya itu dengan sigap menarik lengannya. Membuatnya kembali menoleh ke arah Rayyan.

Dan saat itu pula Rayyan menarik tengkuknya. Mempertemukan kedua belah bibir mereka hingga saling melumat mesra. Pun menelan saliva yang entah milik siapa.

Ketika pagutan keduanya usai, Athaya dan Rayyan pun saling memandangi dengan kening bersentuhan. Napas berderu, senyum mengembang.

“Kalau mau ciuman bilang. Gitu aja musti kode-kodean,” ejek Rayyan.

Athaya menipiskan bibir lalu menoyor kepala Rayyan dengan telunjuk.

“Lu yang mau, bukan gue.”

“Lu,” balas Rayyan.

“Lu, Ayyan.”

“Elu, botak.”

“Elu, anjing.”

“Botak bucin.”

“Anjing bucin.”

Athaya mendesis lalu mengecup kilat bibir pacarnya. Setelahnya, dia lantas bergegas turun dari mobil. Meninggalkan Rayyan yang refleks tertawa ringan karenanya.

“Pacar kamu udah di jalan?”

Athaya mengangguk, “Udah kok, Mi. Paling bentar lagi nyampe.”

Jemari Athaya yang sedari tadi saling bertautan tiba-tiba terasa dingin. Dia gugup, terlebih gak lama lagi Rayyan mungkin akan segera sampai di rumahnya.

Dan mereka berdua belum tau akan bagaimana respon dari sang Mami saat tau kalau pacar yang Athaya maksud adalah Rayyan.

Ketika handphone Athaya berdenting dan menampilkan pesan dari Rayyan; bahwa dia telah berada di depan rumah, detak jantung Athaya pun kian menggila. Tapi dia tetap berusaha tenang lalu meminta izin ke Mami dan Papinya untuk menjemput Rayyan di luar.

“Ayyan.”

Rayyan yang baru saja turun dari mobilnya lantas kaget. Sebab Athaya tiba-tiba berlari ke arahnya, memeluk tubuhnya.

Tapi Rayyan gak mengatakan apa-apa. Dia paham kalau saat ini Athaya pasti sama gugupnya.

Hingga akhirnya Athaya lalu mendongak, menatap dalam matanya sebelum bersuara.

“Yan, kalau ternyata nanti Mami gue ngomel, jangan dimasukin ke hati ya?” raut wajahnya cemas.

“Biar gue yang beresin sisanya,” timpal Athaya, “Yang penting kita udah bilang—kalau lu sama gue pacaran,” Athaya menegaskan.

Rayyan tersenyum tipis lalu mengangguk paham. Dia kemudian menangkup wajah rupawan Athaya dan berkata,

“Gue bakal berusaha buat dapetin restu Mami lu, Ya.”

“Gue bakal nunjukin kalau gue bener-bener cinta sama lu,” ucapnya sungguh-sungguh.

“Kita lewatin ini sama-sama ya?”

Athaya mengangguk.

Rayyan lalu menggenggam jemari Athaya erat-erat. Hingga mereka perlahan melangkah beriringan memasuki rumah, berjalan ke ruang keluarga dimana Mami Papi menunggu.

Sesampainya di sana, hening lantas memenuhi atmosfer dalam ruangan itu. Mami pun refleks berdiri dari sofa saat mendapati Athaya datang bersama dengan Rayyan. Sementara sang suami melotot, sesekali melirik ke arah istrinya.

“Kak, apa-apaan ini?”

Mami menggeleng gak percaya, “Kamu lagi becandain Mami?”

Athaya menelan ludah.

“Aku gak bercanda, Mi. Aku sama Rayyan... Pacaran,” tuturnya.

Rayyan melepas genggaman Athaya. Dia lalu berjalan ke arah si wanita paruh baya yang jelas masih shock saat melihatnya.

Kini keduanya berdiri saling berhadapan, dengan sorot mata Mami yang sarat akan amarah.

“Tante, saya datang ke sini untuk minta maaf atas nama orang tua saya. Sekaligus mau minta izin.”

“Saya sama Athaya gak bisa terus-terusan nyembunyiin hubungan kami dan boong ke Tante, bahkan Mama dan Papa.”

Rayyan menarik napasnya.

“Saya cinta sama Athaya, Tante.”

Mami tersenyum miring.

“Maaf kamu bilang?” katanya, “Tau apa kamu tentang perasaan saya dan apa yang udah orang tua kamu lakukan ke saya dulu?”

Wanita paruh baya itu kemudian melirik ke arah Athaya; anaknya.

“Dan kamu, Kak. Kamu udah gak peduli lagi sama perasaan Mami demi laki-laki ini?” timpalnya.

Athaya menggeleng lemah lalu ikut menghampiri sang Mami.

“Aku selalu peduli sama perasaan Mami,” katanya, “Aku bawa Ayyan ke sini juga bukan untuk melukai perasaan Mami sama sekali.”

“Tapi aku sama Ayyan pengen Mami, Mama dan Papanya Ayyan berdamai. Pengen bikin hubungan kalian membaik.”

“Mi, it’s been a years. Kenapa Mami gak ngasih mereka sedikit kesempatan buat ngejelasin—”

“Ngejelasin apa?” Mami lantas memotong ucapan Athaya, “Apa yang mau mereka jelasin, Kak?”

Athaya menarik napasnya.

“Jelasin tentang semuanya,” ucapnya, “Selama ini Mami marah karena mikir kalau Tante Jessy ngerebut pacar Mami dulu.”

“Tapi itu dari poin of view Mami kan? Mami belum tau dari sisi Mama dan Papanya Ayyan.”

Si wanita paruh baya melongo sebelum tertawa hambar.

“Kak, jadi ini yang kamu dapetin setelah makan siang bareng di rumah mereka kemarin hah?”

“Mereka ngasih tau kamu ini?”

Athaya menggeleng lemah.

“Mi, Tante Jessy cuma bilang kalau dia gak pernah ada niat buat nyakitin Mami. Dia selalu mikirin perasaan Mami.”

“Karena bagi dia, Mami itu bukan cuma sahabat, tapi saudara.”

“Dan dia berpikir kalau kalian gak seharusnya melimpahkan semua ini ke aku sama Ayyan. Aku sama Ayyan juga pengen bahagia. Sama kayak kalian.”

Mami kembali tertawa hambar, tapi kali ini sembari berlinang air mata. Membuat dada Athaya yang melihatnya terasa sesak.

“Oke, fine. Mami yang jahat di sini,” kata si wanita paruh baya.

“Aku gak bilang Mami jahat.”

Rayyan mengangguk setuju.

“Tante, saya gak akan ngebela orang tua saya. Karena saya, bahkan Aya gak tau apa-apa.”

“Kalau Tante emang gak bisa ngasih mereka kesempatan juga gak masalah, itu hak Tante.”

“Tapi saya mohon, izinkan saya dan Athaya untuk tetap menjalin hubungan kami ini, Tante.”

“Saya dan Athaya peduli sama perasaan Tante,” katanya, “Tapi kami berdua juga gak mungkin saling membenci dan menjadi penerus dari masalah Tante dengan orang tua saya dahulu.”

Athaya meraih jemari Mami.

“Ayyan juga gak pernah ada niat buat ngerebut apapun dari aku, Mi. Aku sama Ayyan udah ngomongin semua kesalahpahaman pas SMA dulu.”

“Makanya aku berharap Mami juga bisa gitu,” sambungnya lirih, “Tapi kalau emang Mami masih belum bisa, aku ngerti kok.”

“Tapi tolong, Mi. Jangan ngelarang aku buat pacaran sama Ayyan. Aku mohon.”

Si wanita paruh baya lantas melepas genggaman jemari Athaya. Dia beralih mengusap pipinya yang telah basah.

“Kamu bebas mau ngelakuin apa yang kamu mau,” kata Mami.

“Sekarang Mami gak akan peduli lagi. Terserah kamu, kak.”

“Tapi ingat, jangan cari Mami kalau suatu saat kamu dibuat sakit hati sama laki-laki ini.”

“Mi,” Athaya merengek.

Bukan jawaban ini yang dia inginkan dari Maminya.

Dia lalu menatap sedu si wanita paruh baya yang kini berjalan menjauhinya. Meninggalkan dia dan Rayyan yang masih berdiri di tempat semula. Sementara sang Papi menghampiri mereka.

“Biar Papi yang ngomong sama Mami abis ini,” katanya lalu menatap Rayyan sejenak.

“Ya, kamu ajak Ayyan ke ruang makan gih. Entar Papi nyusul,” katanya sebelum berbalik guna mengikuti sang istri ke kamar.

Athaya lalu menoleh ke arah Rayyan, pacarnya itu juga tengah menatapnya sedu. Sejenak keduanya terjebak dalam diam, sebelum Athaya berhambur ke dalam dekapan hangat Rayyan.

Athaya menautkan kedua alisnya heran saat melihat Rayyan mengedarkan pandangan ke setiap sudut restoran sushi dengan raut panik. Seperti seorang buronan yang sedang takut ketahuan lalu berakhir ditangkap. Dia kemudian menendang pelan kaki pacarnya itu di bawah meja dan bertanya.

“Kenapa sih?”

Rayyan kembali memusatkan atensinya ke Athaya lalu menelan ludah sekuat tenaga.

“Mama tau kalo kita pacaran.”

Athaya melotot.

“Gimana ceritanya?”

“Makanya gue nyari Mama, kali aja dia makan siang di sini juga terus ngeliat kita.”

Rayyan mendengus frustasi.

“Mana tadi gue iya-iyain aja pas Mama nanya gue ngedate sama pacar apa bukan.”

“Lu bener-bener ya,” Athaya berdecak, “Tapi masa sih Mama lu makan di sini? Kita kan udah ngeliatin isi restoran dulu tadi.”

“Iya. Tapi kita gak bisa ngindarin yang namanya apes, Ya.”

Keduanya berakhir gelisah dan panik lalu sama-sama menoleh ke arah lain, mencari apa si wanita paruh baya berada di tempat yang sama dengan mereka. Hingga pada akhirnya, pandangan Athaya terhenti tepat di arah pintu masuk restoran. Di sana pula lah dia bertemu tatap dengan seseorang yang sedari tadi mereka—dia dan Rayyan—cari keberadaannya; Mama.

Si wanita paruh baya menatap kosong ke arahnya dan Rayyan bergantian, membuat Athaya mendadak panas dingin lalu perlahan menoleh ke Rayyan yang masih mencari sosok Mamanya di dalam restoran.

“Yan,” panggil Athaya.

Rayyan menoleh, “Mm?”

“Mama lu ada di depan pintu.”

Selang beberapa detik setelah mendengar ucapan Athaya, Rayyan lantas menoleh ke arah yang dimaksud pacarnya itu. Hingga pandangannya pun bertemu dengan Mama.

Menghela napasnya pelan, Rayyan kemudian melirik sekilas ke arah Athaya lalu bergumam,

“Gue nyamperin Mama dulu ya.”

“Gue ikut, Yan.”

“Gak, lu di sini aja. Entar gue ajak Mama ke sini,” tutur Rayyan.

“Tapi kalo lu kena marah gimana?” Athaya khawatir, “Kalo ada gue juga, seenggaknya kita dimarahin sama-sama, Yan.”

Rayyan tersenyum lembut.

“Enggak.”

“Tunggu di sini bentar ya,” timpalnya sebelum berdiri dan bergegas nyamperin Mamanya.

Bohong kalau Rayyan gak gugup bahkan takut. Dia juga panas dingin saat ini. Terlebih saat melihat si wanita paruh baya natap dia dengan sorot mata yang kosong. Mamanya juga gak ngomong apa-apa ketika mereka udah berdiri saling berhadapan. Tapi Rayyan gak mau nunjukin ketakutannya. Dia gak mau Athaya semakin khawatir.

“Ma, udah dari tadi?”

“Gak, baru beberapa menit lalu.”

Mama menatap Rayyan lamat.

“Tadi Mama liat Instastory kamu,” timpal Mama, “Mama liat lokasinya kamu lagi di sini, dan kebetulan Mama juga abis makan deket sini. Jadi mau nyamperin.”

“Sekalian mau liat kamu akhir-akhir ini sering jalan sama siapa.”

Rayyan menunduk. Mamanya seolah bisa membaca apa yang saat ini ada di dalam pikirannya. Pikiran tentang bagaimana Mama bisa ada di depannya saat ini hingga akhirnya tau kalau dia dan Athaya menjalin hubungan.

“Tapi Mama justru kaget karena ngeliat kamu lagi makan bareng Athaya,” dia mengakui.

“Kenapa jadi gini, Yan?” tanya Mama lirih, “Kenapa kalian berdua malah berakhir kek gini?”

Rayyan kembali natap Mamanya.

“Aku cinta sama Athaya, Ma. Perasaan Athaya ke aku juga sama,” jawab Rayyan.

“Dan kamu tau kan kalau Maminya Athaya gak suka sama Mama, Papa bahkan kamu yang gak tau apa-apa sebelumnya?”

“Kamu juga masih inget kan gimana Mami dia marah, terus ngelarang kamu buat deket-deket sama Athaya semenjak kalian masih sekolah?”

“Yan, dulu Mama berantem sama Maminya Athaya tuh karena ngelindungin kamu. Mama gak mau anak Mama jadi korban.”

“Terus sekarang apa? Kamu malah macarin anaknya. Kamu pikir Mami Athaya bakal nerima kamu? Enggak,” sambung Mama.

“Gak bakal mudah buat kalian berdua. Hubungan kalian cuma bisa bikin kamu sama Athaya terluka nantinya,” katanya.

“Ma, gimana aku bisa tau ini gak bakal mudah kalo gak nyoba?”

“Untuk apa kamu nyoba kalau udah tau akhirnya bakal kayak gimana, Yan?” balas Mama.

Mama lalu meraih jemari Rayyan.

“Yan, jangan diterusin ya?”

“Gak ada yang tau akhirnya nanti bakal kayak apa, Ma. Aku mau berusaha dulu,” kata Rayyan.

“Dan seharusnya aku kan yang bilang ke Mama sama Papa supaya gak nerusin semua ini?”

“Kenapa kalian gak ngomong baik-baik sama Maminya Athaya buat meluruskan semuanya?”

“Mama sama Papa pernah bilang kalo Maminya Athaya cuma salah paham,” Rayyan mengingatkan.

“Jadi kenapa Mama Papa gak jelasin lagi ke dia kalau Mama deket terus pacaran sama Papa pas udah putus sama dia. Bukan merebut atau berkhianat.”

Mama Rayyan menggeleng.

“Kalo cuma dengan ngomong terus Maminya Athaya bisa nerima semuanya, udah dari dulu. Tapi kamu liat sendiri kan?”

“Dia tetap menyalahkan Mama. Dia gak mau dengerin Mama. Yang dia tau itu cuma keburukan dan keburukan Mama aja.”

“Sampai sekarang Maminya Athaya masih marah,” ucapnya, “Dia gak mau lagi ada urusan sama Mama, Papa bahkan kamu.”

“Jadi tolong ya, sayang? Akhiri hubungan kamu sama Athaya sebelum semuanya makin kacau,” pinta Mama, “Ini juga demi kebaikan kalian berdua.”

“Mama yakin ini buat kebaikan aku sama Athaya?” sela Rayyan.

“Mama bilang gak pengen aku jadi korban, tapi yang terjadi sekarang apa?” dia tersenyum miring, “Aku sama Athaya justru udah jadi korban karena masalah kalian yang belum juga selesai.”

“Aku sama Athaya yang harus membatasi interaksi—bahkan perasaan sejak kecil dulu cuma buat nutupin ego kalian semua.”

“Mama udah bahagia sama Papa. Maminya Athaya juga udah bahagia sama suaminya.”

“Terus aku sama Athaya gak boleh gitu bahagia juga, Ma?”

“Yan, kamu bisa nyari—”

“Nyari orang lain?” potong Rayyan, “Ini pemikiran Mama?”

Rayyan tersenyum hambar.

“Apa Mama juga bilang gini ke sahabat Mama sendiri pas dulu Papa milih buat macarin Mama?”

“Mama nyuruh Maminya Athaya buat nyari orang lain aja dan ngelupain orang yang dia cintai dengan begitu mudahnya?”

Persekian detik berikutnya, Rayyan kemudian mendesis ketika Mamanya tiba-tiba menampar pipinya. Dia terdiam dalam keterkejutan. Sebab ini menjadi kali pertama sang Mama menyentuh wajahnya. Bahkan sejak dia kecil, si wanita paruh baya gak pernah sekali pun nyentuh dia dengan kekerasan.

Rayyan kemudian menoleh saat Athaya datang dan berdiri di sampingnya. Jelas kalau pacarnya itu melihat semua yang terjadi.

“Tante,” panggil Athaya lirih.

“Kalau Tante marah karena Rayyan pacaran sama saya, tolong tampar saya juga.”

“Kamu ngomong apa sih?”

Rayyan meraih jemari Athaya lalu menggenggamnya, “Ayo, kita musti balik ke kantor sekarang.”

“Tapi, Yan—”

“Jangan bikin aku maksa kamu.”

Athaya pasrah. Dia cuma bisa menurut ketika Rayyan menarik pelan lengannya. Berakhir meninggalkan sang Mama yang masih berdiri di tempatnya dengan sorot mata penuh sesal.