Athaya menelan ludah ketika dia dan Rayyan telah berdiri di depan pintu kamar Mami. Rayyan, yang bahkan gak kembali ke rumahnya lebih dulu saat jam pulang kantor, gak ingin membuang waktu.
Rayyan mendadak khawatir, sebab Athaya memberi tahu kalau Maminya sakit, yang mana lambung si wanita paruh baya lah sumbernya. Rayyan pun berpikir, jika GERD yang diderita Mami kambuh—mungkin—dipicu oleh stress karena mikirin dia dan Athaya. Bahkan jadwal makan si wanita paruh baya pun mulai berantakan sejak udah tau hubungan mereka.
“Mi,” panggil Athaya seraya membuka pintu kamar Mami.
Mami yang sedang duduk bersandar di kepala ranjangnya lantas melirik ke arah sang anak. Di sana pula dia mendapati Rayyan berjalan mengekori Athaya.
“Ada Ayyan, mau jengukin Mami.”
Rayyan menyunggingkan senyum tipis. Meski kesan gak ramah menghiasi wajah Mami.
Dia kemudian duduk di tepi ranjang si wanita paruh baya. Memandanginya dengan raut khawatir bercampur cemas.
“Tante, gimana keadaannya? Udah mendingan?” tanyanya.
Athaya menahan napas saat Maminya tiba-tiba melirik ke arahnya. Tanpa menjawab pertanyaan Rayyan terlebih dahulu.
“Bikinin Mami bubur,” katanya, “Mami sekalian mau ngobrol berdua sama dia.”
Lutut Athaya semakin lemas. Dia gak tau apa yang bakal Maminya bilang ke Rayyan abis ini.
“Yan, gue ke dapur dulu ya.”
Rayyan mengulas senyum tenang sembari menatap pacarnya; yang jelas terlihat begitu khawatir. Rayyan seolah mengatakan secara tersirat kalau dia bakal baik-baik.
Athaya pun pasrah.
Pintu kamar tertutup. Sosok Athaya juga telah hilang dari pandangan. Kini yang tersisa hanya si wanita paruh baya dan Rayyan yang justru terjebak dalam keheningan.
“Kenapa kamu masih pacaran sama anak saya?”
Pertanyaan Mami membuat tenggorokan Rayyan seakan dicekik.
“Saya cinta sama Athaya, Tante.”
Mami sekerika tersenyum hambar mendengarnya.
“Apa kamu bahkan tau arti dari cinta itu apa, Rayyan?”
Rayyan terdiam. Membiarkan Mami melanjutkan ucapannya.
“Cinta itu artinya—kebahagiaan orang yang kamu cintai itu menjadi kebahagiaan kamu juga.”
“Begitu juga sebaliknya,” Mami melanjutkan, “Apa yang menjadi kesedihannya, akan menjadi kesedihan kamu juga.”
Rayyan menahan napas saat melihat kedua bola mata si wanita paruh baya berkaca-kaca.
“Apa kamu melihat Athaya bahagia karena gak akur sama Maminya?”
Rayyan menggeleng.
“Lalu kenapa, Rayyan?”
“Kenapa kamu gak melepas Athaya untuk bikin dia bahagia?”
Mami tersenyum miring.
“Yang kamu rasakan itu jelas bukan cinta,” timpalnya, “Tapi ego.”
“Kamu hanya ingin memiliki anak saya. Kamu gak peduli kalau hubungan dia dengan saya gak baik.”
“Saya peduli, Tante.”
Rayyan merespon dengan lirih.
“Saya selalu mikirin hubungan Tante sama Aya yang jadi kayak gini karena saya.”
“Tapi saya ingin mencari jalan tengahnya bukan dengan melepas Athaya atau membiarkan Tante terus-terusan diemin dia,” katanya.
“Saya cuma mau tau alasan kenapa Tante gak pengen Athaya punya hubungan sama saya.”
Rayyan menghela napas.
“Dan kalau saya bisa mengubah sesuatu, saya akan mengubahnya. Demi Tante dan Athaya.”
Mami menggeleng lemah.
“Kamu gak bisa mengubah apa-apa, Rayyan.” tuturnya.
“Dan kalau kamu mau tau alasan saya, jawabannya adalah karena kamu anak dari dua orang yang membohongi saya selama bertahun-tahun.”
Rayyan menelan ludah. Ada sedikit rasa gak siap untuk mendengar ucapan Mami selanjutnya. Padahal ini yang harusnya dia tunggu. Ini yang mungkin akan bisa menjadi pintu penyelesaian masalah dari Mami dan orang tuanya.
Namun entah, dia justru gugup.
“Kalau kamu masih berpikir saya marah sama Mama kamu—sampai hari ini—karena mengira dia merebut pacar saya dulu, kamu salah.”
“Tapi saya marah dan kecewa, karena orang yang sudah saya anggap sebagai saudara justru membohongi saya.”
“Asal kamu tau, Rayyan...”
“Sejak awal, Papa kamu gak pernah mencintai saya,” ucap Mami sambil menahan tangis.
“Dia mendekati saya karena saya ini sahabat dari orang yang dia suka,” timpalnya.
“Tapi dia gak mengatakan apa-apa waktu itu. Sampai akhirnya perasaan saya ke dia pun tumbuh, dan Papa kamu akhirnya menyadari hal itu.”
“Dan kamu tau apa yang Papa kamu lakukan?” suara Mami kian lirih, “Dia memacari saya. Dia membuat saya merasa menjadi wanita yang paling berharga di hidupnya.”
“Lalu Mama kamu?”
Mami tersenyum miring.
“Dia tau perasaan Papa kamu jauh sebelum memacari saya.”
“Papa kamu udah ngomong ke dia kalau yang sebenarnya dia inginkan itu Mama kamu, bukan saya.”
“Tapi apa yang Mama kamu lakukan?”
“Dia yang menyuruh Papa kamu untuk memacari saya. Dia yang meminta Papa kamu supaya menyembunyikan perasaannya ke Mama kamu.”
Rayyan meremas jemarinya saat melihat Mami menangis.
“Saya menyedihkan bukan?” ucapnya di sela-sela tangis, “Saya dijadikan sebagai pacar atas dasar rasa kasihan dari orang yang saya cintai, juga sahabat saya sendiri.”
“Dan mereka nyembunyiin itu semua bertahun-tahun. Sejak kelas dua SMA sampai semester enam di bangku kuliah.”
Mami lalu mengusap kasar air matanya. Dia berusaha keras untuk gak terisak di depan Rayyan.
“Saya tau kok. Alasan Mama kamu ngelakuin semuanya karena dia ingin menjaga perasaan saya.”
“Tapi dengan dibohongi seperti itu jelas jauh lebih menyakitkan.”
“Bertahun-tahun saya menjadi orang menyedihkan dan bodoh di antara mereka.”
“Sampai akhirnya, hari itu saya mengetahui semuanya. Saya mendengar Papa dan Mama kamu berselisih di posko KKN, tentang perasaan mereka.”
“Papa kamu udah gak sanggup berpura-pura mencintai saya, sedangkan Mama kamu tetap ingin agar Papa kamu bersama saya.”
Mami menepuk pelan dadanya.
“Coba kamu posisikan diri kamu dulu sebagai saya.”
Sejenak, Rayyan menunduk.
“Coba kamu bayangin kalau kamu menjadi saya waktu itu.”
“Saya sakit, Rayyan.”
Rayyan menitikkan air mata.
“Hari itu, saya mengurungkan niat untuk bertemu Papa dan Mama kamu di posko mereka.”
“Saya pulang ke posko saya dengan kehancuran yang benar-benar gak ada obatnya.”
“Papi Athaya yang jadi saksinya. Dia yang ngeliat gimana rapuhnya saya waktu itu.”
“Sama seperti Mama Papa kamu, saya akhirnya ikut untuk berpura-pura gak tau.”
“Saya menyimpan kesedihan saya sendiri sambil nunggu waktu yang pas supaya mereka gak bisa mengelak atas perasaannya masing-masing.”
“Sampai akhirnya, ketika masa KKN udah hampir selesai, saya meminta bantuan teman posko Mama Papa kamu supaya mereka berdua pergi ke sebuah pendopo.”
“Tempat yang indah untuk dua orang yang saling mencintai dan beberapa hari belakangan selalu berselisih kecil.”
“Mama Papa kamu bahagia. Sangat bahagia. Mereka bercerita, tertawa, dan saya melihat semuanya dari kejauhan.”
“Saya juga melihat bagaimana Papa kamu menciumi Mama kamu penuh kasih sayang.”
Rayyan mengulum bibirnya.
“Dan saat itu saya datang. Saya berpura-pura gak tau dan hanya menuduh Mama kamu sebagai perebut.”
“Jelas Papa kamu marah saat mendengar saya menyebut orang yang dia cintai seperti itu,” jelas si wanita paruh baya.
“Hingga akhirnya dia mengakui semuanya. Papa kamu mengakui kalau sejak awal yang dia cintai itu Mama kamu, bukan saya.”
Rayyan gak mampu lagi berkata-kata. Yang dia lakukan hanya terdiam, menahan rasa sesak di dada.
“Athaya gak tau cerita menyedihkan tentang Maminya ini,” katanya.
“Saya gak mau dia tau kalau Maminya yang selalu dia sebut wanita paling kuat ternyata se-rapuh ini.”
Rayyan lalu mendongak. Menatap wajah Mami yang sudah basah karena air mata.
“Jadi sejak saya tau kalau kamu dan Athaya berada di sekolah yang sama dulu, saya mengajarkan dia untuk gak dekat sama kamu—dengan alasan, takut nanti kamu juga akan merebut sesuatu dari dia.”
“Saya mengajarkan Athaya bahwa Mama kamu pernah merebut sesuatu dari saya.”
“Saya melakukan itu bukan untuk membuat Athaya membenci atau meneruskan masalah di antara saya dan Mama Papa kamu,” timpal Mami.
“Tapi karena saya gak ingin berhubungan lagi dengan Mama Papa kamu, bahkan kamu.”
Mami menyeka air mata yang kembali membasahi pipinya.
“Saya juga sudah memaafkan mereka kok,” katanya, “Tapi untuk melupakan apa yang udah mereka perbuat ke saya dulu, saya gak bisa. Saya sakit.”
Rayyan berusaha bangkit dari posisinya. Dia beralih duduk melantai tepat di samping tempat tidur si wanita paruh baya. Dia menangis, pun gak henti mengucap kata maaf.
“Kamu gak perlu minta maaf.”
Rayyan mendongak. Menatap wajah Mami lekat-lekat meski penglihatannya telah buram.
“Kamu cuma perlu menjauhi Athaya,” katanya, “Karena saya gak mau kalau anak saya merasakan hal yang sama.”
“Saya gak akan nyakitin Athaya, Tante. Saya cinta sama dia.”
“Kalau kamu benar-benar tulus mencintai anak saya, kamu pasti bisa melepaskan dia.”
“Karena cinta itu gak akan menuntut dua orang untuk bisa terus bersama.”
“Cinta itu akan membiarkan seseorang yang kita sayangi bahagia, meski dengan gak bersama.”
“Jadi kalau kamu memang cinta sama Athaya, buktikan.”
Bibir Mami bergetar.
“Lepaskan dia dan biarkan dia bahagia dengan dunianya.”
“Sama seperti yang udah saya lakukan kepada Papa kamu.”
Napas Rayyan tercekat. Dia bahkan gak bisa lagi untuk bersuara. Sekujur tubuhnya mendadak lemas, namun dia tetap berusaha untuk berdiri.
“Kamu boleh pulang sekarang,” kata Mami, “Terima kasih udah jengukin saya.”
Rayyan mengangguk lemah. Dia lalu berbalik, berjalan dengan langkah yang berat. Meninggalkan Mami yang kembali menangis dalam diam.
Namun saat membuka pintu kamar si wanita paruh baya, Rayyan lantas terkejut. Sebab Athaya ada di sana. Berdiri di hadapannya. Menatapnya dengan raut sedu bersama air mata yang membanjiri pipinya.