“Nih, Kak.”
Mami meletakkan sebuah piring berisi siomay beserta sayuran pendampingnya, pun saus kacang yang menjadi bagian tak terpisahkan, tepat di depan Athaya. Kini mereka berada di meja makan, bersiap untuk sarapan. Bersama Papi tentunya.
“Mami bangun jam empat subuh loh buat bikinin kamu siomay.”
Normalnya, mata Athaya akan berbinar antusias saat tau kalau sang Mami membuat siomay. Sebab dari sekian gerobak hingga resto siomay, bagi Athaya, buatan Maminya lah yang paling luar biasa enak. Sangat enak.
Jangan katakan Athaya hanya hiperbola atau membangga-banggakan Maminya. Sebab, saat kecil dulu Athaya bahkan sampai menangis agar sang Mami berjualan siomay juga. Hanya untuk menunjukkan kalau siomay Maminya yang terbaik.
Athaya kecil yang polos.
Tapi hari ini, binaran mata itu gak ada. Athaya justru hanya terdiam, entah berapa sekon hanya untuk menatap kosong ke arah siomay di depannya.
Ingatannya berlabuh kepada Rayyan. Bahkan hal sederhana seperti siomay ini saja membuatnya mengingat Rayyan.
“Kak?” Mami menyadarkan.
“Eh iya, Mi. Makasih ya.”
Athaya memaksakan senyum. Dengan sigap dia menusuk satu siomay dengan garpu. Membawanya masuk ke mulut.
“Enak, Mi.”
Athaya bersuara dengan mulutnya yang masih penuh. Membuat Mami terkekeh.
“Ya udah, abisin.”
Anggukan menjadi jawaban Athaya. Dia terus mengunyah siomay yang ada di mulutnya. Tapi semakin lama, matanya justru semakin memanas. Dan tanpa mengenal tempat, air mata Athaya tiba-tiba menetes.
Mami pun melihatnya.
“Kak,” panggil Mami, “Kenapa?”
Buru-buru Athaya menyeka air matanya lalu tertawa hambar.
“Ini enak banget, Mi. Aku sampe nangis gini karena amazed.”
Athaya lalu menenggak air minumnya, “Minta dimasukin ke kotak bekal boleh, Mi? Aku mau lanjut makan di kantor aja.”
“Oke, sayang. Bentar.”
Ketika Mami berdiri dan mengambil piring siomay itu, Athaya menunduk. Sorot matanya sedu. Tapi dia lantas kembali mendongak saat merasa telapak tangan sang Papi, yang duduk di sebelahnya, mengusap lembut belakang kepalanya.
Hal itu membuat Athaya semakin merasa jika dia udah berada di batas mampunya. Dia hanya ingin melepas tangisnya.
Tapi tidak sekarang.
Tidak di depan Maminya lagi.
Dan di dalam perjalan menuju kantor lah Athaya melepas hasrat itu. Menangis sambil menyetir cukup membuat sedikit rasa sesak di dadanya mengambang.
Tapi Athaya tau, obat dari sesak itu cuma satu. Dia cuma butuh memeluk Rayyan. Rayyannya.
Jika boleh jujur, ini pula yang menjadi satu dari sekian alasannya agar mereka berdua berjuang bersama. Athaya ingin ada Rayyan yang menemani, memeluk, dan menguatkannya.
Sayangnya, Rayyan bukan lagi sosok yang bisa dengan bebas merentangkan kedua lengan untuknya. Dan Athaya, kini, belajar untuk menghargai itu.
Sesampainya di lobi kantor, Athaya yang sebelumnya udah memastikan penampilannya gak awut-awutan pun menghela napas. Sesekali bercermin di handphone, mastiin matanya gak sembab. Athaya gak mau Rayyan meledeknya habis-habisan.
Tapi pada beberapa detik berikutnya, nyaris saja handphone Athaya terlepas dari genggamannya. Sebab bahunya disenggol oleh seseorang.
“Anjing.”
Sosok yang baru saja disebut demikian menahan senyum.
“Baru disenggol dikit udah peok,” kata Rayyan, “Masih galau ya? Makanya rapuh kek kertas.”
“Sorry?” telunjuk Athaya menoyor kening Rayyan, “Gue makan enak dan tidur nyenyak semalem. I’m fine, Thanks.”
Athaya menatap Rayyan dari ujung kaki hingga kepala.
“Dari penampilan sih keknya lu yang masih galau,” katanya.
“Ngikat tali sepatu aja lupa,” Athaya berdecak, “Kasian.”
Rayyan menipiskan bibir.
“Sorry? Ini kelepas, bukan kelupaan. Dan gue mau ngikat lagi pas di ruangan.”
“Siapa?”
Rayyan nautin alis, “Apanya?”
“Yang nanya,” balas Athaya lalu menjulurkan lidahnya.
Pada detik itu juga, pintu lift terbuka. Athaya pun hendak masuk lebih dulu, tapi Rayyan justru kembali menyenggol. Berujung membuat keduanya saling mendorong, memukul, gak lupa juga mengumpat hingga mereka masuk ke lift.
Saat sudah berada di ruangan pun Rayyan dan Athaya masih sesekali mengusili satu sama lain. Entah itu Rayyan yang mendorong kursi Athaya, dan Athaya yang gak terima lantas membalasnya dengan serupa.
Tapi ketika suasana ruang divisi yang masih amat sepi itu mulai kondusif—tanpa pertikaian mereka, Athaya lantas menikmati siomay yang dibawanya dengan damai. Sementara Rayyan diam-diam menatap Athaya yang terlihat begitu lahap.
Rayyan tersenyum lembut.
Sayangnya, senyum yang baru terlukis beberapa detik itu seketika lenyap. Sebab Rayyan buru-buru menoleh ke komputer saat Athaya memergokinya.
Athaya pun menahan senyum melihatnya. Jelas Rayyan salah tingkah. Sebab Rayyan justru menyalakan komputer. Padahal hari ini dia gak akan bekerja di kantor. Tapi di Lembang.
“Berangkat jam berapa?”
“Mm?” Rayyan menoleh.
“Ke Lembang,” kata Athaya.
“Jam delapan.”
“Sekarang aja bisa gak sih?” Athaya mendesis pelan, “Gue muak banget liat lu di sini.”
Rayyan tersenyum mengejek.
“Muak sama ‘gue gak mau lu pergi cepet-cepet’ emang beda tipis sih,” balasnya.
Athaya hanya memutar bola mata sebelum kembali memusatkan atensi ke komputer.
Gak lama berselang, Janu dan Dina pun datang bersama. Menyapa Athaya dan Rayyan.
“Ini nih dua orang yang selalu dateng lebih awal biar bisa pacaran, sungguh teladan.”
Janu berucap usil sambil mengarahkan handphone ke Athaya dan Rayyan.
“Lu ngapain, Nu?”
“Bikin instastory,” Janu menjawab pertanyaan Athaya.
“Hapus, Nu. Jangan di-post.”
“Lah, kenapa?” Janu heran, “Gak apa-apa kali pacaran.”
Athaya menghela napas.
“Gue sama Ayyan udah gak pacaran,” Athaya menegaskan.
Janu begitu juga Dina yang udah duduk di tempatnya lantas terdiam. Jelas mereka kaget mendengar ucapan Athaya.
“Lu becandanya jangan gitu, Ya.”
“Aya gak becanda,” Rayyan menimpali, “Jangan ngeledek gue sama dia kek gitu lagi.”
“Boong lu ah,” Janu masih gak percaya, “Putus kenapa coba? Kemarin aja abis nge-date kan?”
Athaya mendengus.
“Gue sama Ayyan punya alasan, dan itu privasi kita berdua. Jadi lu ngerti aja ya, Nu.”
Dina menatap serius ke arah Rayyan dan Athaya bergantian.
“Okay,” Janu sedikit ragu, “Tapi lu berdua baik-baik aja?”
Dia berdeham, “Maksudnya, kalau kalian gak nyaman duduk sebelahan, gue bisa kok tukeran sama salah satu dari kalian.”
“Gue sebenernya gak nyaman sih,” sahut Rayyan, “Tapi gue harus professional lah, Nu.”
“Gue juga sebenernya gak nyaman,” balas Athaya, “Tapi kalau gue pindah, kayaknya temen lu itu bakal kangen.”
“Lu yang bakal kangen, botak.”
“Lu, anjing.”
“Elu.”
“Elu.”
Janu menganga. Sementara Dina hanya tersenyum paham.