“Di sini aja, Yan.”
Rayyan menuruti permintaan pacarnya. Dia menghentikan laju mobil di halaman depan rumah tetangga Athaya. Seperti biasa.
“Lu yakin pengen masuk sendiri?” tanya Rayyan khawatir, “Gue temenin mau ya?”
“Gak usah. Lu pulang aja.”
“Tapi kalau Mami marahin lu gimana?” Rayyan mendengus, “Biar gue yang ngomong. Ya?”
Lagi. Athaya menggeleng.
“Gue ngomong sama Mami. Lu ngomong sama Mama Papa lu.”
Sejenak, Athaya memandangi wajah tampan pacarnya. Gak sedikit pun melewatkan setiap inci dari mahakarya Tuhan yang berada di hadapannya saat ini.
“Yan.”
“Mhm?”
“Abis ini, semuanya mungkin gak bakal mudah buat kita. Tapi tolong inget satu hal ya.”
Athaya menarik napas.
“Jangan pernah ngerasa bersalah atau punya utang minta maaf ke gue atas apa yang udah Mama Papa lu lakuin ke Mami gue dulu.”
“It’s theirs, not ours.”
Mata Rayyan berkaca-kaca.
“Apapun yang udah terjadi gak bikin perasaan gue berubah.”
“Gue tetep cinta sama lu.”
Setetes air mata sukses jatuh di pipi kanan Rayyan. Dia lalu menarik Athaya ke dalam dekapannya sebelum berkata,
“Makasih ya,” ucapnya lirih.
“Makasih karena udah cinta sama orang yang nyebelin ini.”
Athaya mengangguk. Sama seperti Rayyan, dia juga meneteskan air matanya.
“Sampai ketemu di kantor besok,” gumam Rayyan lalu mengecup puncak kepala Athaya.
Perlahan, Athaya melepaskan dekapannya. Kembali menatap wajah Rayyan diikuti senyuman.
“Janji sama gue dulu.”
“Janji apa lagi, botak?”
“Dengerin penjelasan Mama sama Papa lu juga ya? Jangan menghakimi,” jelas Athaya.
“Iya, janji.”
“Gue masuk sekarang ya,” katanya, “Makasih juga udah nemenin gue sejak semalem.”
Rayyan mengangguk.
Athaya tersenyum. Dia lalu mengecup pipi kiri Rayyan sejenak sebelum berbalik dan turun dari mobil pacarnya itu.
Dengan langkah yang berat, Athaya pun masuk ke dalam rumahnya. Hingga saat dia sampai di ruang keluarga, Athaya lantas mendapati sang Mami juga Papi duduk di sofa.
Kedua orang tuanya itu berdiri saat dia menghampiri.
“Kamu nginep di mana, kak?”
Athaya menelan ludah ketika mendengar pertanyaan Mami.
“Di hotel, Mi.”
Athaya jujur. Dia gak mau membohongi sang Mami.
“Kamu nginep sama siapa?”
Napas Mami jelas memburu. Athaya yang melihatnya pun seketika dihantui rasa gugup.
“Ayyan, Mi.”
Hanya beberapa detik setelah Athaya menjawab pertanyaan Mami, suara tamparan lantas menggema. Bersamaan dengan rasa perih di pipi kirinya.
Mami menamparnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya.
“Mami!”
Papi memekik lalu mengusap dengan pelan bahu istrinya.
“Control yourself, Mi.”
Tangan Mami bergetar hebat. Matanya yang masih menatap Athaya seketika memanas.
“Semalem Mami lagi sakit, dan kamu lebih memilih buat ikut sama laki-laki itu ke hotel?”
“Cowok macam apa dia, kak?” tanya Mami penuh amarah.
Athaya menggeleng tegas.
“Aku yang ngajak Ayyan pergi.”
“Aku gak sanggup ngeliat wajah Mami semalem,” katanya, “Aku denger semuanya. Aku denger yang Mami bilang ke Ayyan.”
Tungkai Mami melemas. Dia refleks memegang lengan Papi.
“Mi, aku tau sulit buat Mami ngelupain pengalaman pahit dan menyakitkan kayak gitu.”
“Tapi coba Mami noleh. Liat di samping Mami ada siapa.”
Athaya meneteskan air mata.
“Ada Papi, Mi.”
“Papi itu lembaran baru buat Mami. Jadi ketika Mami udah memutuskan buat menjalani lembaran baru bersama orang yang baru, Mami juga harus menyelesaikan segala sesuatu di masa lalu—termasuk orang dari masa lalu itu sendiri.”
“Dan dengan Mami gak mau Ayyan ada hubungan sama aku, karena dia anak dari orang yang pernah nyakitin Mami, itu artinya Mami belum selesai dengan masa lalu.”
“Ayyan gak ada sangkut pautnya sama sekali dengan masalah Mami. Tapi kalau Mami benci sama Ayyan karena dia anak dari orang yang pernah nyakitin Mami, itu artinya Mami jadiin Ayyan pelampiasan dendam.”
Mami tertawa, tapi sambil meneteskan air matanya.
“Jadi itu yang kamu tangkep, kak? Kamu masih aja berpikir kalau Mami belum bisa lupa sama Papanya Ayyan. Gitu?”
Athaya menggeleng lemah.
“Tapi faktanya Mami belum bisa ngelupain semuanya kan?”
Mami mengusap air matanya sendiri sebelum menatap ke dalam netra legam Athaya.
“Kak, udah berapa kali Mami bilang, Mami itu mikirin kamu. Mami gak mau apa yang pernah alami terulang lagi sama kamu.”
“Karena Mami tau sakitnya kayak apa. Mami masih inget sakitnya.”
Si wanita paruh baya terisak.
“Mami udah mengobati luka dan perasaan Mami yang tersakiti dengan cara ikhlas melihat orang yang Mami cintai bahagia.”
“Mami udah menutup semua lembaran lama itu sebelum memulai yang baru sama Papi.”
“Mami juga udah memaafkan mereka. Mami gak benci sama mereka atau Rayyan anaknya.”
“Tapi kamu harus tau, kak. Memaafkan itu bukan berarti harus melupakan segalanya.”
“Karena dengan mengingat peristiwa yang pernah bikin kita sakit itu bisa jadi pelajaran agar hal yang sama gak terulang.”
“Dan di sini, posisinya, Mami tau kalau orang tua Ayyan pernah bohong selama bertahun-tahun. Jadi Mami pengen kita jaga jarak dari mereka. Cuma itu, kak.”
“Mami pengen menghindari kemungkinan-kemungkinan yang selalu Mami takutkan.”
Athaya mengerti. Dia paham bagaimana ketakutan Mami.
“Tapi Ayyan gak gitu, Mi.”
“Gimana kamu bisa tau, kak?”
“Di kantor, Ayyan yang selalu ngingetin aku buat gak bohong.”
“Dan hanya dengan itu kamu langsung percaya sama dia?”
“Mi, kasih Ayyan kesempatan buat nunjukin kalau dia—”
“Kamu pilih Mami apa dia?”
Mami memotong ucapan Athaya.
Athaya menghela napasnya kasar, dia lelah. Dia berbalik, hendak meninggalkan Mami. Namun sebelum berjalan ke arah tangga menuju kamar, Athaya pun menoleh sejenak.
“Aku sama Ayyan gak ngapa-ngapain di hotel semalam.”
“Ayyan juga bilang gak mau ngelakuin apa-apa sebelum dia nikahin aku,” jelas Athaya.
Dia lalu tersenyum miring. Air matanya bercucuran di pipi.
“Tapi dia gak mungkin bisa nikahin aku kan? Mami gak mau ngeliat aku bahagia sama Ayyan.”
“Kak! Athaya!”
Mami memekik sebelum terisak kencang saat sang anak berlari menaiki tangga. Dia lalu menatap tangan yang tadinya mendarat di pipi Athaya. Dadanya sakit.
“Mi,” Papi angkat bicara, “Kamu istirahat dulu ya di kamar.”
Dia lalu mendekap istrinya.
“Entar kalau kamu udah ngerasa lebih baik, kita ngobrol dikit.”
Mami pun mengangguk lemah dalam dekapan Papi.
***
“Yan, kamu dari mana aja sih. Kok baru pulang jam segini?”
Rayyan menatap kosong ke arah sang Mama. Si wanita paruh baya menghampirinya tepat di ambang pintu utama.
Namun bukannya menjawab, Rayyan justru ikut bertanya.
“Kenapa Mama bohongin Maminya Athaya?” lirihnya.
“Maksud kamu apa, Yan?”
Rayyan tersenyum kecut.
“Aku udah tau semuanya,” katanya, “Aku udah tau gimana Mama nyuruh Papa buat macarin Tante Una, padahal Mama tau kalau Papa suka sama Mama.”
Mama mengulum bibirnya.
“Tante Una gak pengen aku deket sama Athaya karena itu.”
“Dia takut kalau aja aku bakal bohongin Athaya juga, sama kayak yang Mama Papa lakuin ke dia selama bertahun-tahun.”
Mata Rayyan berkaca-kaca.
“Kenapa, Ma? Kenapa Mama tega bohongin sahabat yang udah Mama anggap saudara sendiri?”
“Karena Mama pengen jaga perasaan dia, Yan. Mama gak mau nyakitin hati dia.”
“Terus Mama pikir Tante Una gak sakit karena diboongin?”
Rayyan menggeleng pelan.
“Ma, dia lebih sakit karena diboongin daripada harus nerima kenyataan kalau laki-laki yang dia cintai suka sama sahabatnya sendiri.”
Mata Mama berkaca-kaca.
“Terus Mama harus ngapain, Yan?” lirihnya, “Mama harus ngapain pas ngeliat sahabat yang paling Mama sayangi bahagia karena bisa deket sama laki-laki yang dia suka.”
“Ngerusak kebahagiaan dia?” timpalnya, “Mama gak bisa.”
“Mama tau perasaan Papa kamu, tapi Mama nolak dan nyuruh dia belajar mencintai Aruna aja.”
“Karena dia itu bahagianya Aruna. Mama selalu denger cerita Aruna yang bahagia kalau udah tentang Papa.”
“Waktu itu Mama masih tujuh belas tahun, Ayyan. Mama belum bisa berpikir matang.”
“Mama cuma mikir supaya Aruna tetap jadi sahabat Mama. Mama gak mau kehilangan dia, Yan.”
“Karena Mama mikir, kalau Mama atau Papa jujur sama dia waktu itu, hubungan Mama sama dia gak akan lagi sama.”
Rayyan lantas membuang pandangannya sejenak saat melihat sang Mama menangis.
“Papa yang salah.”
Rayyan melirik ke sumber suara. Dimana si pria paruh baya berjalan ke arahnya dan Mama.
“Seharusnya Papa yang bilang sama Aruna lebih awal, Yan.”
Papa melirik istrinya.
“Mama kamu cuma pengen ngeliat sahabatnya bahagia.”
“Bahkan beberapa tahun berikutnya, Mama kamu rela memendam perasaannya yang udah tumbuh ke Papa.”
“Itu semua demi menjaga persahabatannya,” jelasnya.
“Papa yang udah ngerusak persahabatan mereka berdua.”
“Papa yang egois karena gak mau menyerah sama rasa cinta Papa buat Mama kamu waktu itu.”
Si pria paruh baya menatap Rayyan dengan raut sesal.
“Papa juga minta maaf, karena kamu udah jadi korban bahkan ikut bertanggung jawab atas kesalahan Papa dulu.”
“Papa bakal ngomong dan minta maaf lagi sama Maminya Athaya.”
“Gak perlu,” sela Rayyan.
“Tante Una gak butuh kata maaf lagi dari Mama, Papa atau aku.”
“Dia cuma pengen liat—apa aku ini bakal jadi kayak Mama sama Papa atau justru sebaliknya.”
“Jadi ini tugas aku sendiri buat bikin Tante Una percaya kalau aku cinta sama Athaya.”
Rayyan memaksakan senyum.
“Tapi kalau boleh jujur, aku kecewa sama Mama Papa.”
“Yan! Ayyan!”
Mama terus memanggil namanya. Tapi Rayyan tetap melanjutkan langkah menuju kamar. Meninggalkan Mama dan Papa yang masih di tempatnya.