“Pacar kamu udah di jalan?”
Athaya mengangguk, “Udah kok, Mi. Paling bentar lagi nyampe.”
Jemari Athaya yang sedari tadi saling bertautan tiba-tiba terasa dingin. Dia gugup, terlebih gak lama lagi Rayyan mungkin akan segera sampai di rumahnya.
Dan mereka berdua belum tau akan bagaimana respon dari sang Mami saat tau kalau pacar yang Athaya maksud adalah Rayyan.
Ketika handphone Athaya berdenting dan menampilkan pesan dari Rayyan; bahwa dia telah berada di depan rumah, detak jantung Athaya pun kian menggila. Tapi dia tetap berusaha tenang lalu meminta izin ke Mami dan Papinya untuk menjemput Rayyan di luar.
“Ayyan.”
Rayyan yang baru saja turun dari mobilnya lantas kaget. Sebab Athaya tiba-tiba berlari ke arahnya, memeluk tubuhnya.
Tapi Rayyan gak mengatakan apa-apa. Dia paham kalau saat ini Athaya pasti sama gugupnya.
Hingga akhirnya Athaya lalu mendongak, menatap dalam matanya sebelum bersuara.
“Yan, kalau ternyata nanti Mami gue ngomel, jangan dimasukin ke hati ya?” raut wajahnya cemas.
“Biar gue yang beresin sisanya,” timpal Athaya, “Yang penting kita udah bilang—kalau lu sama gue pacaran,” Athaya menegaskan.
Rayyan tersenyum tipis lalu mengangguk paham. Dia kemudian menangkup wajah rupawan Athaya dan berkata,
“Gue bakal berusaha buat dapetin restu Mami lu, Ya.”
“Gue bakal nunjukin kalau gue bener-bener cinta sama lu,” ucapnya sungguh-sungguh.
“Kita lewatin ini sama-sama ya?”
Athaya mengangguk.
Rayyan lalu menggenggam jemari Athaya erat-erat. Hingga mereka perlahan melangkah beriringan memasuki rumah, berjalan ke ruang keluarga dimana Mami Papi menunggu.
Sesampainya di sana, hening lantas memenuhi atmosfer dalam ruangan itu. Mami pun refleks berdiri dari sofa saat mendapati Athaya datang bersama dengan Rayyan. Sementara sang suami melotot, sesekali melirik ke arah istrinya.
“Kak, apa-apaan ini?”
Mami menggeleng gak percaya, “Kamu lagi becandain Mami?”
Athaya menelan ludah.
“Aku gak bercanda, Mi. Aku sama Rayyan... Pacaran,” tuturnya.
Rayyan melepas genggaman Athaya. Dia lalu berjalan ke arah si wanita paruh baya yang jelas masih shock saat melihatnya.
Kini keduanya berdiri saling berhadapan, dengan sorot mata Mami yang sarat akan amarah.
“Tante, saya datang ke sini untuk minta maaf atas nama orang tua saya. Sekaligus mau minta izin.”
“Saya sama Athaya gak bisa terus-terusan nyembunyiin hubungan kami dan boong ke Tante, bahkan Mama dan Papa.”
Rayyan menarik napasnya.
“Saya cinta sama Athaya, Tante.”
Mami tersenyum miring.
“Maaf kamu bilang?” katanya, “Tau apa kamu tentang perasaan saya dan apa yang udah orang tua kamu lakukan ke saya dulu?”
Wanita paruh baya itu kemudian melirik ke arah Athaya; anaknya.
“Dan kamu, Kak. Kamu udah gak peduli lagi sama perasaan Mami demi laki-laki ini?” timpalnya.
Athaya menggeleng lemah lalu ikut menghampiri sang Mami.
“Aku selalu peduli sama perasaan Mami,” katanya, “Aku bawa Ayyan ke sini juga bukan untuk melukai perasaan Mami sama sekali.”
“Tapi aku sama Ayyan pengen Mami, Mama dan Papanya Ayyan berdamai. Pengen bikin hubungan kalian membaik.”
“Mi, it’s been a years. Kenapa Mami gak ngasih mereka sedikit kesempatan buat ngejelasin—”
“Ngejelasin apa?” Mami lantas memotong ucapan Athaya, “Apa yang mau mereka jelasin, Kak?”
Athaya menarik napasnya.
“Jelasin tentang semuanya,” ucapnya, “Selama ini Mami marah karena mikir kalau Tante Jessy ngerebut pacar Mami dulu.”
“Tapi itu dari poin of view Mami kan? Mami belum tau dari sisi Mama dan Papanya Ayyan.”
Si wanita paruh baya melongo sebelum tertawa hambar.
“Kak, jadi ini yang kamu dapetin setelah makan siang bareng di rumah mereka kemarin hah?”
“Mereka ngasih tau kamu ini?”
Athaya menggeleng lemah.
“Mi, Tante Jessy cuma bilang kalau dia gak pernah ada niat buat nyakitin Mami. Dia selalu mikirin perasaan Mami.”
“Karena bagi dia, Mami itu bukan cuma sahabat, tapi saudara.”
“Dan dia berpikir kalau kalian gak seharusnya melimpahkan semua ini ke aku sama Ayyan. Aku sama Ayyan juga pengen bahagia. Sama kayak kalian.”
Mami kembali tertawa hambar, tapi kali ini sembari berlinang air mata. Membuat dada Athaya yang melihatnya terasa sesak.
“Oke, fine. Mami yang jahat di sini,” kata si wanita paruh baya.
“Aku gak bilang Mami jahat.”
Rayyan mengangguk setuju.
“Tante, saya gak akan ngebela orang tua saya. Karena saya, bahkan Aya gak tau apa-apa.”
“Kalau Tante emang gak bisa ngasih mereka kesempatan juga gak masalah, itu hak Tante.”
“Tapi saya mohon, izinkan saya dan Athaya untuk tetap menjalin hubungan kami ini, Tante.”
“Saya dan Athaya peduli sama perasaan Tante,” katanya, “Tapi kami berdua juga gak mungkin saling membenci dan menjadi penerus dari masalah Tante dengan orang tua saya dahulu.”
Athaya meraih jemari Mami.
“Ayyan juga gak pernah ada niat buat ngerebut apapun dari aku, Mi. Aku sama Ayyan udah ngomongin semua kesalahpahaman pas SMA dulu.”
“Makanya aku berharap Mami juga bisa gitu,” sambungnya lirih, “Tapi kalau emang Mami masih belum bisa, aku ngerti kok.”
“Tapi tolong, Mi. Jangan ngelarang aku buat pacaran sama Ayyan. Aku mohon.”
Si wanita paruh baya lantas melepas genggaman jemari Athaya. Dia beralih mengusap pipinya yang telah basah.
“Kamu bebas mau ngelakuin apa yang kamu mau,” kata Mami.
“Sekarang Mami gak akan peduli lagi. Terserah kamu, kak.”
“Tapi ingat, jangan cari Mami kalau suatu saat kamu dibuat sakit hati sama laki-laki ini.”
“Mi,” Athaya merengek.
Bukan jawaban ini yang dia inginkan dari Maminya.
Dia lalu menatap sedu si wanita paruh baya yang kini berjalan menjauhinya. Meninggalkan dia dan Rayyan yang masih berdiri di tempat semula. Sementara sang Papi menghampiri mereka.
“Biar Papi yang ngomong sama Mami abis ini,” katanya lalu menatap Rayyan sejenak.
“Ya, kamu ajak Ayyan ke ruang makan gih. Entar Papi nyusul,” katanya sebelum berbalik guna mengikuti sang istri ke kamar.
Athaya lalu menoleh ke arah Rayyan, pacarnya itu juga tengah menatapnya sedu. Sejenak keduanya terjebak dalam diam, sebelum Athaya berhambur ke dalam dekapan hangat Rayyan.