jaesweats

Hari ini menjadi kali pertama Athaya datang sedikit lebih lambat ke kantor. Membuat Rayyan yang menunggunya sejak pagi buta di ruang divisi, dengan niat ingin meluruskan segala sesuatu yang telah terjadi, lantas harus menahan diri sedikit lagi.

Rayyan menunggu waktu yang pas untuk mereka berbicara empat mata dengan tenang.

Sampai saat jam istirahat makan siang telah tiba, Rayyan lalu menoleh ke arah Athaya. Menepuk pundak rekan kerjanya itu sejenak sebelum berbisik.

“Kita ngobrol bentar ya?”

Rayyan pun tersenyum lega saat Athaya memberi respon anggukan. Mereka berdua lalu membiarkan satu persatu karyawan untuk keluar dari ruang divisi terlebih dahulu, termasuk Dina dan Janu.

Hening sesaat.

Rayyan memandangi wajah Athaya lekat-lekat sejenak sebelum meraih jemarinya. Menggenggamnya, bersama raut wajah penuh sesal nan sedu.

“Ya, maafin gue.”

Athaya menatap mata Rayyan.

“Kenapa lu minta maaf?”

“Soal yang kemarin,” jawab Rayyan, “Maaf, gue telat.”

“Gue juga kecewa banget sama diri gue sendiri, Ya.”

“Gue pengen jadi orang yang selalu jagain lu dan gak mau lu dalam bahaya. Tapi gue—”

“Nolongin Mba Dina?”

Athaya memotongnya.

“Mba Dina ada di sana, manggil gue, jadi gue bantuin dia dulu.”

Rayyan menjelaskan.

“Tapi yang gue pikirin cuma lu, Aya. Gue nyariin lu. Gue hampir gila karena gak liat lu di mana-mana kemarin,” sambungnya.

“Gue takut lu kenapa-kenapa.”

“Loh? Lu gak perlu minta maaf,” balas Athaya, “Lu udah ngelakuin hal yang bener kok. Mba Dina juga dalam bahaya kemarin, jadi masalahnya di mana?”

“Lu juga gak perlu ngejelasin ini ke gue. Lu gak harus maksa diri lu buat jadiin gue prioritas.”

Athaya lalu melirik jemarinya yang digenggam oleh Rayyan.

“Dan mungkin dari kejadian kemarin, lu bisa ngeliat hati lu sendiri sebenarnya ada di mana.”

Athaya menghela napas lalu menghindari tatapan Rayyan.

“Ya, gue cinta sama lu.”

“Lu gak cinta sama gue selama di hati lu masih ada orang lain, Yan.”

“Gak ada orang lain di hati gue. Cuma lu. Lu doang, Athaya.”

“Tapi kemarin lu milih Mba Dina, bukan gue,” katanya, “Jadi udah, lu harus berhenti deketin gue.”

“Sampai sini aja ya, Yan? Gak usah diterusin. Mungkin lebih baik kalo kita kembali kek dulu.”

“Yang gak se-deket ini. Yang gak saling ngasih perhatian.”

Rayyan menggeleng lemah. Dia lalu turun dari kursinya, duduk bersimpuh pada lantai tepat di depan kaki Athaya. Masih dengan jemari mereka yang bertautan.

“Ya, gue harus gimana?”

“Gue harus ngelakuin apa supaya lu percaya sama gue?”

Mata Rayyan berkaca-kaca.

“Kalau aja kemarin gue bisa nukar nyawa gue supaya lu gak dalam bahaya, gue rela.”

Rayyan kemudian menunduk. Beralih melipat kedua lengan di atas lutut Athaya sebelum menenggelamkan wajahnya di sana. Dan hanya persekian detik setelahnya, air mata Rayyan mengalir deras. Dia terisak.

“Gue gak mau berhenti, Aya.”

“Gue cinta sama lu.”

“Cuma lu yang gue mau.”

Rayyan berucap dengan suara bergetar di sela tangisnya.

Sampai gak lama berselang, Rayyan kemudian dibuat kaget saat Athaya menuntunnya agar mendongak. Athaya menangkup kedua pipinya, menatapnya.

Tapi rasa kaget Rayyan pun berganti menjadi rasa bingung, sebab Athaya tiba-tiba meraih handphone dari atas mejanya. Memposisikan handphone itu tepat di depan wajahnya, hingga suara jepretan menggema.

Setelahnya, Athaya tertawa. Begitu puas sampai Rayyan justru gak tau harus berkata apa.

“Satu sama,” kata Athaya lalu menjulurkan lidah, “Gue juga udah punya foto lu pas nangis.”

“Aya.”

“Mm?”

Athaya tersenyum.

“Lu gak marah?”

“Emang kata siapa kalo gue marah?” dia ikut bertanya.

Raut wajah Rayyan terlihat frustasi sekaligus bingung. Sementara Athaya kembali menahan tawanya. Dia lalu menghapus jejak air mata di pipi Rayyan sejenak sebelum berkata.

“Gue tau kok lu nyariin gue.”

Athaya tersenyum mengejek.

“Kan udah gue bilang, suara lu tuh jelek. Kenapa lu teriak-teriak kek gitu sih kemarin hah?”

Rayyan mengulum bibirnya.

“Jangankan gue yang masih ada di ruangan, orang-orang di luar gedung kantor keknya bisa dengerin suara lu juga tau gak?”

Athaya terkekeh pelan seraya mengusap lembut pipi Rayyan.

“Makasih ya udah nyariin gue,” ucapnya lalu menoyor kepala Rayyan, “Meskipun keduluan sama Mas Heri. Kalah lagi lu.”

“Tapi lu beneran gak marah kan? Lu percaya sama gue kan, Ya?”

Athaya tersenyum lembut lalu mengangguk pelan, “Iya. Tadi gue cuma becandain lu kok.”

“Tapi kemarin lu gak mau liat gue. Lu gak mau ngomong sama gue,” lirih Rayyan, “Lu juga gak bales chat gue semalem.”

“Gue stress banget mikirin lu, Aya anjing,” ucapnya kesal.

“Terus lu pikir gue gak stress liat lu megangin tangan Mba Dina, Ayyan anjing?” balas Athaya.

“Jadi kemarin lagi ngambek ceritanya?” goda Rayyan.

“Mm,” gumam Athaya.

Rayyan gak mampu menahan senyumnya. Dia pun beralih menggenggam jemari Athaya, begitu erat, seraya menatap ke dalam netra legam yang kini telah menjadi pusat semestanya.

“Cuma tangan lu yang gue genggam kayak gini, botak.”

Athaya kembali tersenyum.

“Kemarin gue megang tangan Mba Dina karena dia mau ikut nyariin lu,” jelas Rayyan, “Kan berabe kalo aja dia asal lari.”

“Mm, gue ngerti kok.”

Rayyan akhirnya menghela napas lega, dia ikut senyum. Tapi setelah itu, Athaya justru menahan tawa melihat mata Rayyan berkaca-kaca—lagi.

“Lu kenapa, anjing?”

Rayyan gak menjawab. Dia cuma menggeleng pelan sebelum menutup wajahnya sendiri dengan satu tangan.

Rayyan malu, namun juga terharu. Sebab baru kali ini dia menangis di hadapan Athaya.

Athaya yang melihat hal itu pun menyemburkan tawanya sebelum beralih memeluk leher Rayyan. Satu tangannya lalu mengusap belakang kepala lelaki dalam dekapannya itu.

“Pacar gue lucu banget sih.”

Gumaman Athaya membuat detak jantung Rayyan seakan berhenti sesaat. Dia lalu buru-buru melepaskan tautan mereka, beralih menatap wajah Athaya.

“Apa? Yang lucu siapa?”

Athaya mengulum senyum lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah Rayyan.

“Pacar gue,” bisiknya, “Gue mau jadi pacar lu, Rayyan.”

Rayyan mengulum bibirnya. Dia kemudian berdiri, tanpa melepas tatapannya dari Athaya yang seketika menautkan alis heran.

“Apa?” tanya Athaya.

“Tunggu di sini bentar ya.”

Athaya melongo melihat Rayyan berlari menuju rest room. Tapi gak lama berselang, dia justru dibuat tertawa ketika mendengar suara Rayyan dari arah sana.

Rayyan berteriak histeris, seperti supporter bola yang melihat pemain andalannya mencetak gol. Tapi gak lama setelah itu, Rayyan kembali ke hadapan Athaya yang masih ketawa.

“Lu gak becandain gue kan?”

“Enggak,” kata Athaya lalu menarik kursi Rayyan agar mendekat dengan kursinya.

“Duduk dulu. Gue masih mau ngomong,” dia melanjutkan.

Rayyan pun menurut. Dia duduk di samping Athaya sambil senyam-senyum. Terlebih ketika Athaya menggenggam jemarinya.

“Lu tau gak sih, Yan? Kemarin tuh gue kira, gue bakal mati.”

“Gue takut,” tutur Athaya, “Tapi gue langsung inget sama lu. Gue berharap lu datang, nyari gue.”

“Abis itu gue denger suara lu,” Athaya senyum, “Dan di situ, ketakutan gue ilang. Gue tiba-tiba gak takut mati lagi.”

“Karena se-enggaknya, gue udah tau kalo lu ternyata nyariin gue.”

Rayyan menyimak sembari mengusap punggung tangan Athaya dengan ibu jarinya. Dia mencium spot itu sejenak hingga Athaya kembali bersuara.

“Tapi abis itu gue kepikiran.”

“Gimana kalo gue mati? Gue kan belum sempet bilang ke lu, kalo gue sayang sama lu.”

Rayyan terkekeh. Dia lalu mengacak-acak rambut Athaya dengan satu tangan.

“Yan.”

“Mm?”

“Gue sayang sama lu.”

Rayyan tersenyum haru. Sementara Athaya beralih mengusap pipi kanan Rayyan.

“Gue udah tidur semalem pas lu nge-chat. Kata Yasa, lu abis ke rumah ya?” tanyanya.

“Mm,” Rayyan tertawa kecil, “Gue diusir sama Mami lu tau.”

“Mami bilang apa ke lu?” Athaya menatap Rayyan khawatir.

“Mami ngomelin lu?”

“Gak kok,” jawab Rayyan, “Mami lu cuma nyuruh gue pulang.”

“Soalnya semalem, alasan gue datang dan ikut sama Yasa emang cuma buat bawain tas lu yang ketinggalan di kantor.”

Athaya menghela napas, “Padahal gue pengen Mami ngomelin lu sampe mampus.”

“Bangsat lu.”

Keduanya tertawa kecil.

“Maafin Mami ya,” ucap Athaya.

“Gak apa-apa,” kata Rayyan, “Lagian, sekarang kita udah pacaran. Udah saling sayang.”

“Dan gue yakin, kita bisa ketemu kek gini lagi pasti ada alasannya.”

“Selain karena alasan cinta, mungkin alasan lainnya supaya hubungan orang tua kita bisa kembali baik lagi nantinya.”

Athaya mengangguk setuju.

“Gue juga berharap kayak gitu, Yan. Capek juga gak sih sembunyi-sembunyi gini mulu?”

“Mm,” Rayyan bergumam setuju.

“Jadi kapan?”

Athaya menautkan alisnya heran.

“Kapan apanya?”

“Kapan lu siap ketemu sama Mama Papa gue di rumah?”

Rayyan dan Heri berlari ke arah pusat keramaian, tepatnya di lantai enam. Keduanya mencari rekan kerja mereka, Athaya dan Dina, yang belum juga nampak batang hidungnya.

Dengan jantung yang berdegup kencang, Rayyan kemudian bertanya kepada salah satu karyawan yang dia ketahui bekerja pada divisi di lantai itu.

Hingga jawaban yang Rayyan dapatkan adalah, masih ada beberapa orang terjebak di sekitar pusat kebakaran. Mulai dari ruang administrasi—dimana arus pendek listrik bermula sampai akhirnya kobaran api menjalar begitu cepat dan melahap habis perlengkapan kantor, yang umumnya kertas.

Napas Rayyan tercekat. Lututnya lemas. Dan tanpa pikir panjang dia lantas berlari menuju tempat di mana kobaran api masih berusaha dipadamkan. Heri yang melihat Rayyan pun seketika mengikutinya. Sesekali memekik agar Rayyan tetap berhati-hati.

Namun Rayyan yang seolah telah hilang akal terus berlari kencang menuju ruangan dimana seharusnya Athaya dan Dina berada. Sesampainya di sana, Rayyan kemudian mengedarkan pandangannya. Sempat terbatuk karena asap menyambutnya.

“Athaya!”

Rayyan berteriak.

“Aya!”

Rayyan terus mencari, selagi beberapa orang silih berganti melewatinya dengan tampang panik. Namun nihil, Athaya gak ada di antara mereka.

“Botak! Lu di mana?”

Rayyan berteriak frustasi sembari terus mencari keberadaan Athaya.

“Athayaaaa!”

“Ayyan!”

Rayyan menoleh ketika seseorang memanggilnya. Dia pun tersentak saat mendapati Dina berdiri gak jauh darinya.

Dina terjebak.

Alhasil, Rayyan menghampiri rekan kerjanya itu. Bergegas menuntunnya untuk pindah ke tempat yang sedikit lebih aman, supaya gak terkena percikan api.

“Mba Dina, lu gak apa-apa?”

“Gue gak apa-apa, Yan.”

“Aya mana?”

“Gue gak tau, Yan. Tapi tadi dia izin keluar dari ruang rapat buat ngangkat telponnya,” kata Dina.

“Di luar gak ada juga?”

“Gak ada, Mba.”

Mereka sama-sama panik. Tapi Rayyan segera mengatur napasnya agar dia bisa berpikir jernih meski sedikit.

“Ya udah, lu keluar dulu,” kata Rayyan, “Lewat sini, Mba.”

“Gak, gue mau nyari Athaya.”

“Di sini banyak asap, Mba Dina. Biar gue yang nyari Aya.”

Rayyan semakin frustasi.

“Tapi gue yang ngajak Aya ke sini, Yan. Kalo dia kenapa-kenapa, gue yang tanggung jawab. Gue mau ikut nyari dia.”

Rayyan mendesis pelan lalu menggenggam pergelangan tangan Dina, “Jangan lepasin tangan gue. Jangan asal lari.”

Dina mengangguk paham sebelum mengikuti langkah kaki Rayyan. Mereka sama-sama berjalan ke arah lain yang masih berada dalam area pusat kebakaran. Dan saat itu pula Rayyan juga Dina sama-sama menahan napasnya ketika mendapati Athaya tengah dibantu berjalan oleh Heri. Wajahnya pucat, napasnya pun terlihat begitu pendek.

Pada saat tatapan Rayyan dan Athaya bertemu, keduanya hanya saling memandangi dengan tatapan sedu sebelum Athaya akhirnya memutus kontak mata lebih dulu. Athaya lalu mengikuti langkah kaki Heri yang menuntunnya untuk segera keluar dari ruangan dengan kabut asap tebal itu.

Rayyan dan Dina pun mengikuti mereka. Keduanya menatap kosong ke arah Athaya juga Heri hingga mereka sampai di tempat yang aman dan jauh dari api.

“Mas Heri,” panggil Athaya lirih.

Rayyan yang gak henti-henti memerhatikan Athaya pun ikut mendekat. Meski bukan namanya yang baru saja Athaya sebut.

“Iya, Aya?”

“Dada saya sakit, Mas.”

“Saya mau duduk,” sambung Athaya sekuat tenaga. Sebab rasa sesak telah mencekiknya.

“Mas, Athaya langsung di bawa ke klinik aja. Dia punya riwayat asma,” ucap Rayyan panik.

“Kayaknya kambuh gara-gara banyak asap tadi,” timpalnya.

Heri mengangguk lalu menuntun Athaya menuju lift. Mereka berempat masuk ke sana, masih dengan Athaya yang berusaha mengatur deru napasnya.

“Tadi, pas saya ngeliat Athaya, dia emang udah sesak kayak gini. Dia sampe gak bisa jalan lagi. Dia duduk, nyender di tembok.”

Mendengar penjelasan Heri membuat dada Rayyan sakit.

Ketika lift akhirnya terbuka, Rayyan memposisikan dirinya. Dia buru-buru berjongkok di depan Athaya, membuat Heri juga Dina mengerutkan keningnya kebingungan.

“Saya mau gendong Athaya, Mas.”

“Gak usah,” gumam Athaya seraya menggeleng lemah, “Bantu saya jalan aja, Mas. Mba.”

Heri juga Dina dengan sigap menuntun lengan Athaya agar bertengger di pundak mereka. Sementara Rayyan kembali berdiri tegak, menatap kosong ke arah Athaya yang telah berjalan lebih dahulu bersama Heri dan Dina. Dia kemudian mengekor di belakang.

Sesampainya di klinik, Athaya langsung diberi pertolongan pertama. Setelahnya dokter klinik selaku pihak medis pun memberikan penanganannya.

Heri, Rayyan, juga Dina pun masih setia menunggunya. Ketiganya berdiri di samping ranjang rawat klinik sembari menatap Athaya dengan perasaan khawatir; tapi juga sedikit rasa lega, karena gak ada luka bakar di tubuhnya.

“Dina, kamu gak apa-apa kan?” Heri bertanya, “Gak ada luka?”

Dina memaksakan senyum lalu menggeleng lemah.

“Gak ada kok, Mas. Aman.”

“Abis ini Aya langsung dianterin pulang aja ya? Biar bisa istirahat di rumah,” tutur Heri.

“Tapi jam segini Mami Papi Aya masih di kantor, Mas. Gak ada siapa-siapa di rumahnya,” ucap Rayyan lalu melirik Athaya.

“Eh? Gak ada orang di rumah Aya?” timpal Heri.

“Iya, Mas. Tapi saya mau nelpon Mami saya, supaya izin pulang.”

Athaya lalu melirik ke arah meja di samping ranjang rawat sejenak, mencari handphonenya, sebelum kembali menatap Heri.

“Mas Heri...”

Mulut Rayyan terasa pahit saat dia lagi-lagi mendengar Athaya memanggil Heri. Bukan dirinya yang sedari tadi berharap Athaya akan melihatnya, meski sedetik.

“Iya, Aya?”

“Handphone saya mana ya, Mas?” tanyanya, “Saya pengen ngabarin Mami saya. Biar Mami aja yang jemput saya di kantor.”

“Gak usah, Ya. Saya aja yang nganterin kamu pulang ya?”

“Kalo gak ngerepotin, Mas.”

“Saya gak repot kok, Ya.”

“Ya udah, kamu kabarin Mami kamu dulu.”

Heri lalu merogoh saku celananya dan menyodorkan handphone Athaya yang dia ambil saat menyelamatkan bawahannya itu tadi.

Sementara itu, Rayyan yang masih menatap Athaya lekat-lekat lantas menelan ludahnya sekuat tenaga. Tenggorokannya sakit. Athaya jelas gak mau melirik sedikit pun ke arahnya atau pun berbicara dengannya. Dan Rayyan yakin, saat ini Athaya sedang kecewa padanya.

Sebab dia pun begitu.

Rayyan kecewa pada dirinya sendiri, sebab dia justru gak menjadi sosok yang menyelamatkan Athaya.

***

“Di sini, Ya?”

“Iya, Mas.”

Athaya menipiskan bibirnya saat laju mobil Heri terhenti tepat di depan rumahnya. Dia pun menoleh, menatap lelaki dengan senyum se-tenang hembusan angin pagi itu sebelum bersuara.

“Mas Heri, sekali lagi makasih banyak udah nolongin saya.”

“Udah, gak usah dipikirin. Kamu udah bilang makasih berapa kali deh dari tadi, Ya.”

Heri terkekeh sementara Athaya menatap jemarinya yang saling bertautan sesaat.

“Kamu pengen ngomong sesuatu?” tanya Heri.

Melihat gelagat Athaya yang gak bergeming dan terkesan ingin berbicara—namun ragu, membuat Heri penasaran. Sementara Athaya seketika menganggukkan kepala pelan.

“Mas, saya boleh nanya sesuatu?”

“Silakan.”

Athaya berdeham pelan.

“Mas Heri emang selalu baik kek gini ke semua orang ya?”

Heri tersenyum tipis, “Saya terlalu jelas ya, Athaya?”

“Maksudnya, Mas?”

Heri menghela napas pelan, kedua bola matanya menatap Athaya begitu dalam.

“Saya terlalu jelas nunjukin kalau saya tertarik sama kamu.”

Athaya menelan ludah.

“Kamu risih ya?” timpal Heri.

“Gak, Mas. Tadi saya cuma... Penasaran,” jawab Athaya.

Heri mengangguk paham.

“Athaya.”

“Iya, Mas?”

“Saya boleh kan suka sama kamu?”

Athaya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.

“Perasaan Mas Heri itu hak Mas Heri,” katanya, “Mas Heri boleh suka sama siapa aja.”

“Termasuk saya,” timpalnya.

“Tapi kalau Mas berharap supaya saya membalas perasaan, Mas...”

Athaya menggantungkan ucapannya sejenak sembari menimbang kembali apakah keputusannya kali ini benar. Tapi pada akhirnya Athaya pun memantapkan tekad.

“Maaf, saya gak bisa,” katanya.

“Saya suka dan senang bisa kenal sampai dekat gini sama Mas.”

“Tapi saya udah nganggap Mas Heri sebagai kakak. Atasan.”

“Jadi kalau konteks sukanya udah lebih dari itu, saya rasa perasaan kita gak bisa sama dan berbalas.”

Heri mengangguk diikuti senyum di bibirnya yang tetap tenang.

“Kamu udah punya pacar ya?”

Athaya menggeleng, “Gak, Mas. Saat ini saya gak punya pacar.”

“Terus Rayyan?”

Pada detik itu juga Athaya diam.

TW // Kissing 🔞

Athaya berharap, apa yang saat ini dia pikirkan bukan sebuah kenyataan. Dia berharap Rayyan telah pulang jauh sebelum turun hujan hingga se-deras sekarang.

Dengan payung yang menjadi pelindungnya, Athaya berjalan tergesa menuju halaman depan rumah. Jantungnya berdegup kencang selagi dinginnya malam semakin menembus kulit hingga ke tulang.

Dia khawatir. Dia memikirkan Rayyan.

Sesampainya di depan pagar, Athaya kemudian menoleh ke halaman depan rumah tetangga. Tempat dimana dia dan Rayyan biasanya bertemu diam-diam supaya gak ketahuan.

Dan pada detik itu juga napas Athaya tertahan.

Rayyan—memayungi dirinya dengan jaket denim yang dia kenakan berdiri di sana; tepat di samping motornya. Rayyan menunduk, memandangi kakinya. Seakan gak peduli tubuhnya udah basah kuyup.

Tanpa membuang waktu, Athaya seketika menghampiri Rayyan. Memayunginya, guna menghalau air hujan yang begitu deras.

Saat itu pula Rayyan lantas mengangkat kepalanya. Dia tersenyum haru mendapati Athaya telah berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dengan raut kekhawatiran.

“Lu ngapain di sini, anjing?”

Suara Athaya terdengar begitu frustasi dan cemas.

“Lu mau sakit ha?” katanya.

Athaya lalu menyisir rambut yang menutupi sebagian kening Rayyan ketika lelaki itu gak lagi memegangi jaket denimnya.

“Wajah lu pucat, Yan.”

Suara Athaya menjadi lirih.

“Maafin gue, Ya.”

Athaya mendesis kesal lalu mencengkeram pergelangan tangan Rayyan. Dia kemudian menariknya pelan, hendak menuntun Rayyan menuju rumahnya. Tapi Rayyan menahan langkahnya hingga Athaya berbalik, menatapnya.

“Aya, gue emang pengen ngomong sama Mami lu. Tapi gak sekarang ya?” katanya, “Baju gue basah. Gak sopan.”

“Jangan ngadi-ngadi,” Athaya mendengus, “Mami Papi gue gak ada di rumah. Lagi ke luar kota.”

“Ikut gue,” perintahnya, “Lu bisa masuk angin tau gak?”

Rayyan akhirnya menurut. Dia mengikuti langkah kaki Athaya yang masih setia memayunginya hingga mereka sampai di teras. Athaya lalu menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah, gak peduli tetesan air hujan dari pakaiannya membasahi lantai.

Rayyan hanya terus mengikuti Athaya yang entah ingin membawanya ke mana. Tapi pertanyaannya itu pun terjawab saat Athaya membuka salah satu pintu yang berada di lantai dua.

Athaya membawa Rayyan untuk masuk ke kamarnya.

“Lu keramas dulu, biar gak flu.”

Athaya menuntun Rayyan ke arah kamar mandinya. Gak lupa juga memberi handuk bersih yang kemudian diraih oleh Rayyan. Sejenak, mereka saling memandang. Satunya memberi tatapan khawatir, sementara yang lain memberi tatapan sesal.

“Kalo lu udah selesai mandi tapi gue gak ada di kamar, berarti gue masih di dapur. Mau bikin teh.”

Athaya menimpali sekaligus memecah keheningan itu.

“Entar gue taroh baju di atas tempat tidur, lu pake itu aja.”

Rayyan pun mengangguk paham sebelum masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Athaya yang masih berdiri di tempatnya—sembari menghela napas pelan.

***

“Bersin-bersin kan lu.”

Athaya berdecak pelan lalu meletakkan cangkir—yang tadinya berisi teh hangat dan telah habis diminum oleh Rayyan di atas nakas. Dia duduk di tepi ranjang, di samping Rayyan yang mengeringkan rambutnya.

“Sini, biar gue bantu.”

Athaya pun mengambil alih handuk dari Rayyan. Dia mengusap lembut rambut si lelaki berlesung pipi sembari memastikannya benar-benar telah kering. Sementara itu, Rayyan justru sibuk menatap Athaya lekat-lekat.

“Maafin gue, Ya.”

Gerakan tangan Athaya terhenti ketika Rayyan bersuara. Beralih menepikan handuk yang dia genggam di belakang tubuhnya.

Dan kini, atensi Athaya telah berpusat kepada Rayyan seutuhnya. Dia mendengarkan.

“Gue salah karena gak bilang dulu ke lu sebelum ngomong sama Mba Dina,” katanya.

“Kalau lu gak suka Mba Dina tau, tiga hari lagi gue bakal bilang ke dia kalau gue udah nyerah buat dapetin lu—karena lu masih gak suka sama cowok. Gue bakal pura-pura gak suka lagi sama lu.”

Rayyan menggenggam kedua tangan Athaya erat-erat.

“Jangan marah lagi ya?”

Athaya menunduk, menatap jemarinya yang bertautan dengan Rayyan sejenak sebelum melepaskannya. Dia lalu beralih mengusap pipi kiri Rayyan.

“Gak usah,” katanya, “Gue gak marah kok. Gue cuma kesel.”

“Gue takut kalau aja nanti kita ketahuan, Yan. Sebelum hubungan orang tua kita baik, gue gak pengen orang kantor tau kalau kita berdua lagi deket.”

“Lu masih inget kan pas Mami gue tau kalau lu yang gantiin gue baca pidato?” tanyanya.

“Bukan gue loh yang ngasih tau Mami gue, Yan. Tapi Mami denger dari orang lain terus akhirnya dateng ke sekolah.”

Rayyan menunduk.

“Bukan gak mungkin Mami gue bakal ngamuk kalau tau kita deket gini. Abis itu berantem lagi sama Mama lu. Kita yang malu.”

“Maaf,” gumam Rayyan.

“Udah dong minta maafnya. Gue kan pengen minta maaf juga.”

Rayyan menahan senyum. Sebab ini menjadi kali pertama dia melihat Athaya merengek.

“Gue juga minta maaf karena langsung ngilang aja tadi. Gak ngejelasin apa-apa,” katanya.

“Sampai-sampai lu nunggu lama di luar, terus keujanan.”

Athaya menarik napasnya.

“Gue juga kesel pas tau kalo lu se-terbuka itu sama Mba Dina.”

“Lu percaya banget sama dia. Lu kayak bangga-banggain dia.”

Athaya lalu menghindari tatapan mata Rayyan sejenak.

“Bukan berarti gue pengen lu berhenti buat ngobrolin segala sesuatu ke dia. Gak kok.”

“Tapi tadi gue tiba-tiba mikir, apa lu juga bakal percaya kayak gitu ke gue?” ucapnya lirih.

“Apa gue juga bakal bisa percaya sama lu nanti kayak Mba Dina?”

Athaya tersenyum miring.

“Kayaknya enggak,” ucapnya, “Gue gak bisa percaya sama siapa-siapa di kantor.”

Rayyan menggeleng.

“Lu gak harus percaya sama siapa-siapa di kantor, Ya.”

Athaya kembali menatap kedua bola mata Rayyan.

“Tapi lu cuma bisa percaya sama gue,” katanya, “Karena gue juga percaya sama lu.”

“Dan apa yang bisa bikin gue percaya sama lu, Yan?”

“Apa yang bisa bikin gue yakin kalo lu gak bakal nyakitin gue?”

Lagi, Athaya menggunakan satu pertanyaan ke dalam makna ganda yang seketika dipahami dengan mudah oleh Rayyan.

“Karena gue cinta sama lu.”

Jawaban Rayyan yang singkat dan sederhana membuat Athaya refleks mendengus pelan.

“Mencintai lu—berarti gue udah menganggap lu sebagai bagian dari diri gue sepenuhnya.”

“I didn’t see you as a separate entity from me, but you and me are same for me as me.”

“Jadi ketika gue nyakitin lu, gue juga nyakitin diri gue sendiri.”

“Begitu juga sebaliknya—gue pengen lu bahagia, karena gue juga bakal ikut bahagia.”

Rayyan tersenyum tipis lalu mengusap lembut pipi kanan Athaya dengan ibu jarinya.

“Kata-kata kayak gini tuh gak bisa membuktikan, Ya.”

Athaya menatap wajah Rayyan lekat-lekat.

“Jadi tolong liat gue ya? Tolong liat gimana gue berusaha buat bikin lu bahagia.”

Penuturan Rayyan membuat Athaya seketika tersenyum lembut. Dan hanya persekian detik berikutnya, Athaya lantas menarik tengkuk Rayyan hingga jarak antara wajah mereka terkikis. Hal itu pun membuat kedua belah bibir mereka menyatu setelahnya.

Rayyan jelas terkejut. Terlebih ketika Athaya melumat lembut bibir bawahnya sembari memejamkan mata. Dia pun membiarkan Athaya untuk terus menciuminya, tanpa membalas atau pun menolaknya. Sama seperti yang Athaya lakukan pada ciuman pertama mereka.

Namun ketika Athaya mulai memberikan gigitan kecil yang seakan memanggil agar dia tidak diam saja, Rayyan seketika ikut menggerakkan bibirnya. Melumat dan mengecap rasa manis yang ditawarkan olehnya.

Keduanya sama-sama terbuai. Air ludah yang entah milik siapa ditelan tanpa ragu. Decak lidah yang saling besahut-sahutan di tengah suara rintik hujan di luar sana pun seolah menjadi nada indah dari sebuah lagu. Dan Athaya juga Rayyan hanyalah dua dari jutaan manusia di dunia yang terbelenggu.

Sampai saat Rayyan tiba-tiba berhenti dan melepas tautan bibir mereka, Athaya lantas dibuat bingung. Terlebih ketika lelaki yang duduk menghadap ke arahnya itu beralih memeluk erat tubuhnya. Dagu disandarkan pada bahu kanannya.

Athaya pun berpikir sejenak lalu bergumam, “Gue emang belum sikat gigi, tapi kan tadi gue cuma makan salad buah.”

Athaya lalu meletakkan telapak tangan di depan mulutnya, menghembuskan napasnya.

“Napas gue juga gak bau,” dia menimpali, “Emang menurut lu napas gue bau ya?”

Rayyan akhirnya melepaskan pelukannya. Beralih menatap wajah Athaya lalu mencubit kedua pipinya sejenak.

“Gue gak pernah bilang gitu.”

“Terus kenapa lu berhenti?”

“Kita lagi berduaan. Di kamar. Rumah lu juga kosong, gak ada orang selain kita.”

Rayyan lalu menoyor pelan kening Athaya dengan telunjuknya, “Emang lu gak takut, kalo nanti ada setan?”

“Gak,” Athaya mengedikkan pundak, “Kan lu setannya.”

“Gak usah sok polos,” cibir Rayyan, “Gue tau lu paham maksud gue.”

“Ya emang gue paham,” ucap Athaya lalu mendekatkan wajahnya dengan Rayyan.

“Kenapa? Lu mau nyoba?” bisiknya, “Jadi lu bisa tau rasanya. Kalo gak enak kan, lu bisa mundur aja. Gak usah deketin gue lagi.”

Rayyan menipiskan bibirnya sebelum menoyor kepala Athaya. Setelahnya dia lalu mengambil bantal dan memukuli tubuh Athaya dengan benda empuk itu.

Gak mau kalah, Athaya pun melakukan hal serupa. Membuat mereka berakhir saling berperang dengan bantal. Tapi Athaya harus mengakui kekalahannya ketika Rayyan tiba-tiba menarik paksa bantalnya. Setelahnya, Rayyan beralih memeluk leher Athaya agar tidak leluasa bergerak.

“Siapa yang ngajarin lu ngomong kek gitu hm?” tanya Rayyan, “Kalo lu ngomong gitu ke cowok lain, udah abis lu sekarang.”

Athaya terkekeh, “Makanya gue ngomong gitu ke lu.”

“Kenapa?” tanya Rayyan.

“Soalnya gue yakin lu gak bakal ngapa-ngapain gue,” tutur Athaya diikuti senyum.

Rayyan yang mendengarnya pun ikut tersenyum sebelum mendorong pelan tubuhnya dan Athaya hingga mereka berbaring menyamping—punggung Athaya bersandar di dada Rayyan. Masih dengan satu lengan Rayyan yang memeluk leher Athaya.

Namun sesaat setelahnya, satu lengan Rayyan beralih memeluk pinggang Athaya. Sementara lengannya yang lain menjadi bantal di bawah kepala Athaya.

“Aya.”

“Mm?”

“Lu udah sayang gak sama gue?”

Athaya menunduk. Memandangi lengan Rayyan yang memeluk pinggangnya sejenak sebelum mengusapnya pelan. Dia lalu menoleh, mendapati Rayyan menatapnya penuh harap.

“Kasih gue waktu ya, Yan?”

Rayyan tersenyum, “Mm, gue cuma nanya kok. Gak usah kepikiran atau terbebani.”

“Tapi gue udah suka sama lu.”

“Hah?” Rayyan mengedipkan matanya, “Lu bilang apa, Ya?”

“Gue udah ngantuk.”

Rayyan berdecak. Dia lalu menggoyang-goyangkan tubuh Athaya yang pura-pura tidur.

“Botak, bangun dulu.”

Rayyan menekan-nekan kedua pipi Athaya hanya dengan satu tangannya. Membuat empunya refleks terkekeh lalu membuka mata dan menatap Rayyan.

“Gue suka sama lu, Ayyan.”

Athaya kembali memeriksa handphonenya; tepatnya chat Rayyan. Sebab, lelaki pemilik lesung pipi itu belum juga membalas pesan terakhirnya. Entah Rayyan sedang sibuk ngobrol sama Mba Dina atau justru dia udah salah ngomong.

Entah kenapa—dan sejak kapan Athaya menjadi begitu peduli dengan perasaan Rayyan. Sampai-sampai dia sering dibuat gelisah, seperti sekarang ini.

Menghela napas pelan, Athaya kemudian mengetik pesan untuk Rayyan. Dia ingin mengawali nya dengan basa-basi agar sang rekan kerja gak meledeknya lagi.

Namun, baru beberapa kata yang Athaya ketik, Rayyan tiba-tiba menelponnya. Dia pun sedikit kaget, tapi pada akhirnya Athaya menjawab panggilan telepon itu.

“Halo?”

“Mami lu ada di kamarnya?”

Athaya mengernyit ketika mendengar pertanyaan Rayyan.

“Gak, Mami sama Papi ada di ruang keluarga. Kenapa?”

“Lu bisa ke balkon kamar lu sekarang gak?” tanya Rayyan.

“Bentar.”

Athaya yang semula lagi asik rebahan di tempat tidurnya pun bergegas. Dia bangkit lalu berjalan tergesa menuju balkon.

Sesampainya di sana, Athaya terdiam sejenak saat melihat Rayyan—duduk di atas motor sembari memandanginya dari bawah sana. Tepat di depan pagar rumahnya. Pun masih dengan handphone yang menempel di telinganya.

“Kenapa, Yan?”

“Gue tau kita gak ada hubungan apa-apa, Ya. We’re not a thing.”

Athaya menelan ludah ketika Rayyan mulai bersuara, gak sekali pun berhenti menatap kedua netranya lekat-lekat.

“Gue juga tau kok kalau kita berdua masih sama-sama bingung soal perasaan kita.”

“Ya emang aneh sih, dua orang yang biasanya berantem mulu sampe bilang kalo mereka saling gak suka tiba-tiba deket.”

Rayyan tersenyum hambar.

“Gimana kita gak bingung?”

Dia lalu menarik napasnya.

“Tapi lu tau gak sih apa yang aneh?” timpalnya, “Gue malah sedih pas lu ngeledekin gue karena diajak sama Mba Dina.”

“Dan ketika gue minta izin ke lu, gue berharap lu ngelarang.”

“Gue berharap lu bakal bilang—jangan, Yan. Lu lagi dalam proses memperjelas perasaan lu ke gue, gak usah jalan sama Mba Dina.”

Athaya menelan ludah melihat raut sedu di wajah Rayyan.

“Tapi ternyata apa yang gue harapkan justru gak sesuai sama kenyataan. Lu nyuruh gue pergi.”

“Dan saat itu juga gue sadar kalau gue harus berhenti.”

Rayyan terdiam sejenak.

“Mulai sekarang gue bakal berhenti, Ya. Gue gak mau lagi ngurusin perasaan gue ke lu.”

“Gue gak bakal buang-buang waktu untuk memperjelas perasaan gue ke lu itu apa...”

Athaya menahan napasnya.

“Karena mulai detik ini, gue memilih buat mencintai lu.”

“Gue bisa suka sama apapun dan siapa pun, karena rasa suka itu spontan—bisa datang kapan aja dan begitu juga sebaliknya.”

“Tapi untuk urusan mencintai seseorang, gue yang memilih.”

“Gue yang memilih buat peduli sama lu. Gue yang memilih buat menerima segala kekurangan lu. Gue juga yang memilih untuk tetap tinggal di sisi lu.”

“Dan kenapa orang yang lu pilih untuk lu cintai itu gue, Yan?”

Athaya pun angkat bicara.

“Emang gue bikin lu bahagia?”

Rayyan menggeleng.

“Gue memilih buat mencintai lu ya karena lu Athaya. Si botak.”

Kekehan merdu nan lembut Rayyan seketika menyentuh gendang telinga Athaya yang saat ini mendengarkannya melalui sambungan telepon.

“Kalo gue memilih lu karena lu bikin gue bahagia, berarti—suatu saat, pas lu udah gak bisa bikin gue bahagia lagi, gue bakal ninggalin lu terus berhenti cinta sama lu gitu?”

“Itu bukan cinta, Ya. That’s possesion. Apa bedanya coba lu sama barang, yang kalo udah gak dibutuhin langsung dibuang?”

Athaya menahan senyum.

“Tapi lu gak usah ngerasa terbebani ya?” timpal Rayyan.

“Gue gak bakal berharap kek yang tadi,” katanya, “Lu juga bebas kok untuk memilih nanti; mau mencintai gue atau gak.”

“Kalau pun ternyata akhirnya lu gak mencintai gue, it’s okay. Gue gak bakal ngerasa kecewa.”

“Karena sejak awal, gue kan yang memilih buat mencintai lu?”

“Gue juga inget pesan Danar,” Rayyan menimpali, “Cinta itu tulus, gak menuntut, berkorban.”

“Jadi mulai sekarang, fokus gue cuma bikin lu bahagia, jagain lu, jadi tempat ternyaman buat lu. Gak karena mengharap sesuatu.”

Athaya tersenyum.

“Aya.”

“Mm?”

“Gue cinta sama lu.”

Setelah mengucap kalimat itu, Rayyan lantas mengecup layar handphonenya. Bikin Athaya yang melihatnya terkekeh geli.

“Eh, gue hampir lupa.”

Athaya mengangkat alis ketika Rayyan tiba-tiba meraih kantong plastik dari gantungan di motornya sebelum mengangkatnya tinggi-tinggi.

“Apa tuh?” tanyanya.

Rayyan cengengesan, “Es krim.”

Setelahnya, Rayyan kemudian mengintip isi dari kantongan itu. Dia melotot sejenak lalu kembali memandangi Athaya.

“Udah hampir meleleh, anjing.”

Lagi, Athaya tertawa. Sebab ekspresi Rayyan begitu jenaka.

“Mau gak?” Rayyan menawari.

“Mau.”

“Ya udah, ke sini cepet.”

Athaya kemudian mematikan panggilan telepon itu sebelum bergegas untuk segera menghampiri Rayyan.

Sementara itu, Rayyan yang melihat Athaya telah pergi dari balkon kamarnya pun mendorong motornya menuju halaman depan rumah tetangga Athaya—sama seperti yang dia lakukan saat baru datang tadi.

“Ngapain lu dorong-dorong motor kek gitu, anjing?”

Rayyan menoleh ke belakang saat mendengar suara Athaya. Mereka sama-sama terkekeh.

“Gue juga gini tau sebelum nelpon lu tadi,” katanya, “Gue matiin motor di depan rumah tetangga lu terus gue dorong.”

“Biar apa coba?” tanya Athaya yang kini udah berdiri tepat di samping motor Rayyan.

Tentu di depan rumah tetangga.

“Ya biar Mami sama Papi lu gak denger lah,” jawab Rayyan.

Rayyan lalu menyodorkan kantongan yang dibawanya.

“Nih, udah meleleh dikit.”

“Bantuin gue ngabisin,” kata Athaya, “Gak jauh dari sini ada TK, kita makan di sana. Mau?”

“Makan es krim sambil main ayun-ayunan gitu?” tanya Rayyan, dia menahan tawa, “Masa kecil kurang bahagia.”

Athaya mendengus, “Ya terus lu mau makan di mana? Di dalam rumah gue? Gak mungkin kan?”

“Iya, maaf. Gue becanda,” Rayyan mendesis, “Tapi lu udah izin sama Mami lu gak? Maksudnya izin mau keluar rumah.”

“Udah kok,” jawab Athaya.

“Ya udah, naik buru.”

Athaya pun mengindahkan ucapan Rayyan. Dia naik dan duduk tepat di belakang sang rekan kerja. Tapi saat Rayyan mulai menarik pedal gas, dia justru dibuat kaget. Pasalnya, Athaya tiba-tiba memeluk pinggangnya. Tidak seperti malam sebelumnya, dimana Athaya memegang bahunya.

Alhasil, Rayyan pun menahan senyum bersamaan dengan motornya yang melaju menuju tempat yang dituju.

***

“Yang itu enak gak, Yan?”

“Enak, mau nyoba?”

Kini Athaya dan Rayyan telah duduk di sebuah bangku panjang taman bermain sekolah TK di kompleks perumahan itu. Ditemani es krim yang nyaris meleleh karena dianggurin tadi.

Athaya kemudian menyendok es krim Rayyan. Mencobanya, hingga dia dibuat terkesima.

“Enak banget.”

“Mau gantian?”

Athaya pun mengangguk antusias sebelum bertukar es krim dengan Rayyan. Sementara Rayyan yang melihat Athaya begitu lahap lantas terkekeh pelan. Terlebih saat mendapati bibir Athaya belepotan.

“Ngeliat lu makan es krim kayak gini jadi bikin gue keinget pas kita masih SD dulu.”

Athaya mengangkat alis.

“Lu inget gak pas lu nangis gara-gara es krim lu jatuh waktu lu kesenggol sama kakak kelas?”

Athaya mengangguk, “Inget. Pas kelas tiga gak sih?”

“Iya. Kalau bukan kelas tiga, kelas dua deh kayaknya.”

Athaya dan Rayyan tersenyum.

“Es krim yang gue simpen di meja lu pas abis kejadian itu, dimakan apa dibuang sih?”

Athaya yang hendak kembali menyendok es krimnya lantas melongo lalu menatap wajah Rayyan di sampingnya.

“Hah? Jadi sosok misterius yang nyimpen es krim di meja gue waktu itu tuh... Elu?”

Perut Rayyan lantas tergelitik mendengar Athaya menyebut dia sebagai sosok misterius.

“Mm, ada kan? Gue juga naruh kertas di bawahnya.”

“Tulisannya—cepet dimakan, entar meleleh. Alay banget gak sih gue waktu itu, jing?”

“Anjing,” Athaya menggeleng, “Sumpah tulisan lu tuh jelek banget, gue gak bisa baca.”

“Bangsat,” gumam Rayyan lalu menoyor pelan kepala Athaya.

Athaya tertawa puas.

“Gue makan kok,” katanya, “Tapi kalo aja dulu gue tau kalo es krim itu dari lu, gak bakal gue makan.”

“Makanya gue gak ngasih lu langsung, daripada dibuang.”

Rayyan geleng-geleng kepala. Dia kemudian mengangkat ujung baju kaosnya; membuat perutnya nampak. Sementara Athaya yang melihatnya pun lantas melotot.

“Lu mau ngapain, anjing?”

“Mau ngelap mulut lu, botak. Belepotan tuh,” jawab Rayyan.

Athaya seketika teringat dengan chat sialan Yasa.

“Kenapa gak pake tangan lu aja sih, anjing? Entar kalo ada yang liat lu kek gini mereka bakal mikir macem-macem, Yan.”

“Tangan gue kotor, Aya.”

Athaya gak bisa berkata-kata. Dia cuma sanggup memijat keningnya sendiri sebelum membiarkan Rayyan melakukan apa yang dia mau.

“Tapi baju lu jadi kotor, bego.”

“Gak apa-apa, bisa dicuci.”

Rayyan lalu tersenyum puas saat melihat sudut bibir Athaya telah bersih, “Udah. Makannya pelan-pelan aja, jangan kek lagi diburu sama satpol PP.”

Athaya mendengus sembari menahan senyum sebelum kembali melahap es krimnya.

“Aya.”

“Mm?”

“Tau gak sih apa yang bikin gue awalnya sempet ragu sama perasaan gue ke lu?”

Athaya natap Rayyan serius.

“Apa?”

“Gue ngerasa kek... Semuanya terlalu cepet aja gitu,” jelas Rayyan, “Masa lu baru dateng terus gue langsung cinta dan berpaling dari Mba Dina? Kan agak aneh, gue yakin lu pasti ngerasa kek gitu. Bener gak?”

“Bener,” jawab Athaya.

“Terus tadi kan gue ngechat Danar ya, dan dia bilang kek gini—love is based on trust, so it may take time to develop. Sumpah, makin bingung gue mikirinnya.”

Athaya senyum tipis lalu kembali menyendok es krim.

“Abis itu gue merenung, gue mikir lah apa aja yang udah kita lewatin sebelum-sebelumnya.”

“Sampai akhirnya gue keinget pas gue ngeledekin lu supaya kita bisa temenan. Inget pas gue diem-diem ngawasin lu terus ngeliat lu ditabrak sampe es krim lu tumpah dan malah gue beliin yang baru pake duit jajan gue.”

Athaya tertegun sejenak.

“Waktu SMP dulu gue juga inget pernah diem-diem datengin bengkel buat bilang ke montir supaya dateng ke depan sekolah pas motor lu mogok.”

Ya, Athaya kaget sekarang.

“Waktu itu gue mikirnya, ya gue cuma kasian sama lu. Meskipun kita gak akur, tapi tetep aja, gue masih berperikemanusiaan.”

“Tapi sekarang kalau gue pikir-pikir lagi, bisa aja gue udah suka sama lu sejak lama. Tapi gue belum ngerti aja apa itu cinta, apalagi suka ke sesama jenis.”

“Gak menutup kemungkinan juga kalo lu tuh cinta pertama gue.”

Rayyan lantas tersenyum lalu mengacak-acak rambut Athaya.

“Gue ngerasa beruntung tau, karena bisa ketemu sama lu lagi.”

“Ada yang bisa gue gangguin mulu soalnya,” timpal Rayyan yang bikin Athaya seketika menginjak kaki kanannya.

“Aduh! Sakit, Ya.”

“Rasain,” gumam Athaya, “Jadi gimana tuh urusan lu sama Mba Dina?”

Rayyan mengedikkan bahu.

“Gue bilang ke dia kalo besok malem gue ada janji sama gebetan,” jawabnya santai.

Athaya tersenyum mengejek.

“Gebetan lu siapa gue tanya?”

Rayyan gak menjawab. Dia justru cuma mesem-mesem sendiri sebelum ikut bertanya.

“Besok lu mau makan di mana?”

Rayyan yang sedang duduk di atas motornya seketika mengulas senyum sumringah. Sebab Athaya telah keluar dari dalam rumah. Menghampirinya yang menunggu di depan pagar.

“Lu ngapain di sini, anjing?”

Mendengar Athaya berusaha untuk tidak mengomelinya dengan suara yang keras membuat Rayyan tertawa kecil. Sementara Athaya yang melihat hal itu lantas geleng-geleng.

“Lu udah makan?”

“Belum.”

“Gue juga belum,” tutur Rayyan, “Ikut sama gue ayo.”

“Ke mana?”

“Warung Bang Alwi.”

“Tapi Mami gue lagi nyiapin makan malam,” kata Athaya.

“Kalo gitu gue ikut makan di rumah lu aja. Boleh gak?”

Athaya menahan tawanya.

“Coba aja. Bisa-bisa lu yang dimakan sama Mami gue.”

Keduanya terkekeh.

“Jadi gimana? Lu mau ikut sama gue, apa gue pulang aja nih sekarang?” tanya Rayyan.

Athaya senyum, “Gue mau ganti baju dulu. Masa iya gue ke sana pake baju kek gini?”

Rayyan pun memandangi Athaya dari ujung kaki hingga kepala. Senyumnya gak tertahankan ketika dia melihat lelaki yang berdiri di samping motornya itu hanya mengenakan setelan piyama karakter berwarna navy.

Dan ini adalah sebuah sisi lain Athaya yang gak Rayyan ketahui sebelumnya. Dia gak tau kalau laki-laki yang cenderung garang kayak Athaya juga bisa menyukai motif lucu seperti beruang.

“Apa lu liat-liat?”

Rayyan menggeleng, “Lu kek orang yang abis digrebek pas lagi enak-enaknya tidur tau, Ya.”

“Setan,” Athaya menoyor kepala Rayyan, “Gue masuk dulu. Oh iya, lu markir motor di sana gih.”

Rayyan kemudian mengikuti arah telunjuk Athaya. Lelaki itu menunjuk halaman depan rumah tetangganya, hanya satu rumah dari rumahnya.

“Lu liat jendela di sebelah kiri kamar gue gak?” timpal Athaya lalu beralih menunjuk ke arah lantai dua rumahnya.

“Itu kamar Mami Papi gue,” katanya yang membuat Rayyan melebarkan mulut hingga membentuk huruf O.

“Jadi lain kali—kalo lu bawa motor lagi, jangan markir di sini. Kali aja Mami gue ada di kamarnya terus ngeliat lu kan berabe,” jelas Athaya. Tapi Rayyan justru cengar-cengir.

“Lu dengerin gue gak sih, anjing?” Athaya pun emosi.

Sementara itu Rayyan masih saja tersenyum lalu berkata,

“Lu baru aja bilang secara gak langsung kalo gue boleh ke sini lagi bawa motor,” katanya.

Mendengus pelan, Athaya lalu berbalik. Meninggalkan sang rekan kerja yang gak henti memandanginya sampai dia kembali masuk ke rumahnya.

Setelah Athaya hilang dari pandangan, Rayyan kemudian bergegas memarkirkan motor di depan rumah tetangga Athaya. Di sana pula dia menunggu.

Sampai gak lama berselang, sosok yang dia tunggu akhirnya datang. Mengenakan setelan kaos putih juga celana jeans.

“Ayo, Yan.”

Athaya lalu menengadahkan tangannya ke arah Rayyan guna meminta helm. Tapi lelaki yang sedang duduk di motor itu justru membuka jaket yang dia pakai.

“Pake dulu nih,” kata Rayyan, “Kalo lu masuk angin—terus gak ke kantor, gue juga yang bakal repot beresin kerjaan lu.”

“Biarin,” Athaya senyum, “Biar lu ngerasain penderitaan gue pas lu gak ke kantor dulu.”

“Udah, cepet pake.”

“Sabar,” ucap Athaya lalu memasang jaket Rayyan.

Setelahnya, Rayyan pun menyodorkan helm kepada Athaya sebelum sang rekan kerja berakhir naik ke motor dan duduk di belakangnya.

“Pegangan,” gumam Rayyan.

Athaya yang mendengarnya pun seketika memegangi pundak Rayyan sambil nahan senyum.

***

“Makasih, Bang.”

Nasi goreng pesanan Rayyan dan Athaya telah datang ke meja mereka. Keduanya pun mulai menyantap karena rasa lapar sudah mulai meronta-ronta.

Sampai gak lama berselang, atensi Rayyan justru beralih ke Athaya. Dia senyum tipis melihat lelaki yang duduk di sampingnya itu memakan potongan timun dengan sekali suap saja.

“Lu suka timun?”

Athaya pun menoleh ke Rayyan dengan mulutnya yang masih penuh. Dia mengangguk.

Sementara itu, Rayyan yang melihat tingkah Athaya refleks terkekeh. Dia lalu menyendok timun dari nasi gorengnya lalu meletakkan nya ke piring Athaya.

Athaya pun sudah bersiap untuk memberi petuahnya. Sebab dia udah menebak kalau Rayyan—mungkin gak suka juga dengan timun; sama seperti Yasa juga beberapa temannya yang lain.

Aneh, pikir Athaya. Padahal selain sehat, timun juga enak.

“Lu gak suka timun?”

“Suka,” jawab Rayyan yang membuat Athaya refleks menautkan alisnya heran.

“Tapi buat lu aja,” timpal Rayyan, “Lu kayaknya bahagia banget pas makan timun. Gue suka liatnya.”

Athaya menahan senyum lalu segera melahap nasi gorengnya. Begitu juga dengan Rayyan. Tapi gak lama berselang, atensi keduanya pun beralih ke arah handphone Rayyan yang ada di atas meja. Benda itu berdenting dan menyala. Menampilkan pesan Dina di lockscreen.

Sejenak Athaya membaca isi pesannya. Dimana Dina jelas bertanya—Rayyan sedang di mana, dia mau curhat. Namun Rayyan dengan sigap meraih handphonenya lalu menyalakan mode diam. Dia masukin handphonenya ke saku celana tanpa membalas pesan Dina.

Hal itu pun lantas mencuri perhatian juga rasa penasaran Athaya yang melihatnya.

“Kenapa gak dibales?”

Rayyan lalu menatap Athaya.

“Gue lagi jalan bareng lu, Aya. Masa lu ada di sini terus gue malah ngeladenin hp sih?”

Athaya mendengus, “Santai, jing. Lagian tadi itu Mba Dina kan?”

“Mm,” gumam Rayyan.

“Bales gih,” kata Athaya lalu mengulas senyum mengejek.

“Gimana lu bisa bandingin perasaan lu ke gue sama Mba Dina kalau lu gak mau nyoba bicara sama keduanya dalam satu waktu?” sambungnya.

“Kalau lu udah tau gimana perasaan lu kan—lu tinggal milih mau di sini sama gue apa dia.”

Rayyan menghela napas. Dia kemudian meraih jemari Athaya yang berada di atas meja lalu menggenggamnya begitu erat.

“Gue gak pernah bilang kalau lu sama Mba Dina itu bahan perbandingan,” tutur Rayyan.

“Apalagi pilihan,” jelasnya.

“Loh? Tapi kalo bukan dengan membandingkan terus memilih, gimana lu bisa berhenti ngerasa bingung sama perasaan lu sih?”

Athaya lalu melirik jemarinya yang bertautan dengan milik Rayyan sejenak dan berkata,

“Gue juga udah bilang kan sama lu, cari hati lu ada di mana. Dan gue lagi ngasih lu kesempatan.”

Rayyan menghela napasnya.

“Gue emang bingung sama perasaan gue. Gue bingung karena gue suka sama Mba Dina, tapi prioritas gue justru lu.”

“Tapi bukan berarti gue harus bandingin perasaan gue ke lu sama Mba Dina,” kata Rayyan.

“Gue—di sini lagi ngurusin perasaan gue ke lu, Ya.”

“Gue pengen memperjelas kalo yang gue rasain ke lu ini beneran cinta atau gimana,” sambungnya, “Karena gue gak mungkin bisa buat ngeyakinin lu—kalau gue aja belum bisa ngeyakinin diri gue sendiri.”

Athaya menyimak.

“Dan dengan gue mutusin buat mengesampingkan segalanya demi lu, itu artinya gue sebenarnya udah nemuin hati gue ada di mana kan?”

Rayyan menatap jemarinya yang bertautan dengan milik Athaya selama beberapa saat. Setelahnya, dia lalu kembali memandangi wajah Athaya.

“Kita juga udah ciuman—”

“Ayyan.”

Athaya memotong ucapan Rayyan dengan raut wajah panik lalu melirik ke arah lain. Takut jika orang lain mendengarkan.

“Pelanin suara lu, anjing.”

Rayyan senyum. Dia ngangguk.

Tapi Athaya kemudian dibuat melotot ketika Rayyan tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Setelahnya, Rayyan berbisik.

“Kita juga udah ciuman. Jadi kalo aja gue mau jadiin lu sama Mba Dina buat perbandingan, berarti gak bakal apple to apple dong?”

“Gue kan gak pernah nyium dia,” sambungnya, “Gak kayak lu.”

“Tapi lu sebenernya mau kan nyium dia?” cibir Athaya.

“Kalo gue mau, udah dari dulu.”

Rayyan terkekeh.

“Sekarang giliran lu,” katanya.

Athaya menautkan alisnya bingung, “Giliran apa?”

“Gimana perasaan lu ke gue?”

Berpikir sejenak, Athaya kemudian menggeleng.

“Gue juga belum tau, Yan.”

“Tapi lu masih gak suka sama gue?” tanya Rayyan lagi.

“Gue abis mikirin ini kemarin-kemarin,” jawab Athaya, “Dan gue sadar kalo selama ini gue mungkin gak bener-bener benci atau gak suka sama lu.”

“Tapi first impression lu ke gue tuh buruk. Buruk banget sampe gue males buat kenal lu lebih jauh, dan akhirnya gue terjebak stigma kalo lu nyebelin sampe gue mikir gue ga suka sama lu.”

Rayyan mengulum senyum.

“Jadi lu udah suka sama gue?”

“Ga tau,” Athaya mendengus, “Gue ngerasa belum terlalu kenal sama lu soalnya.”

“Let’s give it a try then.”

“Try what?” tanya Athaya.

“Kenal gue lebih jauh.”

Athaya senyum, “Oke.”

“Gue boleh mengenal lu lebih jauh juga kan, Ya?”

“Mm,” jawab Athaya.

“Ya udah, abisin nasi goreng lu. Udah dingin nih keknya.”

“Gimana bisa gue abisin, lu aja megang tangan gue dari tadi.”

“Gue suapin mau?”

“Gak.”

Athaya tersenyum mengejek saat memasuki ruang divisi dan mendapati Rayyan telah ada di meja kerjanya. Rayyan kemudian melirik sekilas ke arahnya, tersenyum tipis sebelum kembali menatap layar komputernya.

Menggeleng pelan, Athaya pun bergegas menuju meja kerjanya yang bersebelahan dengan Rayyan. Tapi belum sempat dia duduk di kursi, mata Athaya lantas menyipit saat mendapati sebuah kotak makanan di mejanya—yang seingatnya sama ketika Tony mengirim siomay.

Bahkan di atas kotak itu pun sudah tersedia sendok dan garpu juga secarik sticky note biru.

Athaya kemudian meraih sticky note itu. Mendapati kalimat yang tertulis di sana adalah:

‘Kali ini lu gak kegeeran :)’

Saat itu pula Athaya gak bisa menahan senyumnya. Dia udah cukup paham kalau sosok yang menyimpan kotak di mejanya itu adalah Rayyan.

Athaya lalu menoleh untuk memandangi sang rekan kerja. Tapi dia justru gak sengaja memergoki Rayyan yang diam-diam menatapnya; entah sejak kapan. Rayyan pun buru-buru membuang muka ke arah komputer sambil menopang dagu dan mengulum senyum saat tatapan mereka berjumpa.

Athaya kembali tersenyum sebelum duduk di kursinya.

Roti yang dibawa Athaya seketika terlupakan. Sebab kini dia lebih memilih untuk membuka kotak di mejanya.

Isinya siomay. Persis seperti yang dikirimkan Tony dahulu.

Sementara itu, Rayyan yang kembali mencuri pandang ke arah Athaya lantas tersenyum saat melihat sang rekan kerja mulai memakan siomay itu. Dia pun menggeser kursinya agar berdekatan dengan kursi Athaya sebelum bersuara.

“Enak ya?”

Athaya mengangguk pelan.

“Mau coba?”

“Mau,” jawab Rayyan.

Ya. Dan seharusnya Rayyan gak terlalu berharap banyak ketika lawan bicaranya adalah Athaya. Sebab dia udah cukup tau; gak akan ada waktu yang terlewati tanpa pertikaian.

Seperti saat ini. Athaya justru hendak menyuapinya dengan pare—yang menjadi salah satu sayur pendamping siomay.

“Kok gue dikasih pare sih?”

“Lu kayak pare soalnya.”

“Maksudnya gue pait gitu?”

Athaya menggeleng, “Lu udah keriputan, kek kulit pare.”

Ucapan Athaya seketika membuat Rayyan menipiskan bibir sembari memicingkan mata. Setelahnya, dia lantas menginjak pelan kaki Athaya hingga empunya melotot.

Gak mau kalah, Athaya pun melakukan hal serupa. Dia menginjak kaki Rayyan dan sukses membuat sang rekan kerja mendesis pelan.

Tapi peperangan keduanya lantas gak berhenti di situ. Sebab Rayyan kini beralih meninju pelan lengan atas Athaya. Membuat Athaya pun refleks membalasnya. Begitu seterusnya sampai Rayyan tiba-tiba memekik kesakitan.

“Gak usah lebay,” kata Athaya.

Sementara itu Rayyan justru terdiam. Dia melirik lengan atasnya sejenak sebelum memeganginya. Dia lalu menggeser kursinya dan kembali menatap ke arah komputer. Gak sedikit pun menoleh ke Athaya yang tengah memperhatikannya.

“Ayyan...”

Athaya menggeser kursinya ke samping kursi Rayyan.

“Tadi gue mukulnya kenceng banget?” tanyanya dengan raut serius, “Mana yang sakit?”

Rayyan diam. Gak menjawab.

“Gue gak sengaja, Yan.”

Athaya menghela napas.

“Coba sini gue liat,” katanya.

Athaya kemudian menuntun Rayyan agar melepaskan tangannya yang sedari tadi memegang lengan atasnya sendiri; dia ingin melihatnya. Tapi Rayyan justru tiba-tiba menoleh lalu tersenyum.

“Jadi gini ya rasanya dikhawatirin sama lu?”

Athaya pun refleks melepas tangannya dari lengan atas Rayyan sebelum memukuli belakang kepala lelaki itu.

“Aduh! Kok gue ditabok sih?” Rayyan mendesis sambil mengusap belakang kepalanya, “Yang ini beneran sakit, Aya.”

“Bodo.”

“Keknya gue udah geger otak. Gue cuma bisa nginget nama lu.”

Athaya mendengus sembari menahan senyum. Dia lalu menggeser kursinya hingga kembali ke tempat semula. Sementara Rayyan terkekeh pelan sebelum kembali melanjutkan pekerjaan—sekaligus rutinitas paginya.

Tapi gak lama setelah itu, Athaya lantas menyodorkan sesendok siomay ke depan mulut Rayyan. Membuat sang rekan kerja sedikit terkejut; tapi pada akhirnya Rayyan menerima suapan Athaya.

Keduanya pun saling berbagi senyum tipis sejenak sebelum Rayyan kembali menoleh ke arah komputer. Sementara Athaya lantas melirik ke arah lengan atas sang rekan kerja.

Rayyan hanya memakai baju kaos sejak Athaya masuk ke ruang divisi tadi—sebab sang rekan kerja menyampirkan kemejanya di dinding sekat. Alhasil, saat ini Athaya bisa melihat bahwa spot yang dia pukuli tadi memerah.

Athaya kemudian menekan pelan spot itu dengan telunjuk. Membuat Rayyan refleks mengerang seraya menoleh.

“Maaf,” ucap Athaya.

Athaya lalu mengusap lembut bekas kemerahan di lengan atas Rayyan dengan ibu jarinya. Sementara Rayyan yang melihat tatapan khawatir sang rekan kerja lantas mengulum bibir.

“Sakit banget ya?”

“Gak kok. Gak usah minta maaf. Kita kan cuma main-main tadi,” kata Rayyan, “Lu gimana? Ada yang sakit gak?”

“Gak ada,” Athaya menelan ludah.

“Lu... Mau kopi gak?”

“Boleh,” jawab Rayyan.

Athaya mengangguk paham lalu bangkit dari kursinya. Sementara Rayyan justru menyandarkan punggung di badan kursi sebelum tubuhnya perlahan merosot hingga dia berakhir melantai; tepat di bawah meja.

Di sana pula Rayyan seketika memeluk lutut sembari menenggelamkan wajahnya; sekaligus menahan hasrat untuk tidak berteriak. Sampai dia gak sadar kalau Athaya kembali berjalan ke sekat meja mereka.

“Yan, gulanya—lah?”

Athaya melongo saat melihat Rayyan justru berada di bawah meja. Sementara Rayyan yang mendengar suaranya panik dan bergegas untuk bangkit.

Sayangnya, nasib baik gak berpihak kepada Rayyan. Sebab saat hendak berdiri, kepalanya justru membentur sisi meja. Dia memekik kesakitan—lagi.

Athaya yang melihatnya pun ikut panik. Sebab kini Rayyan berdiri, meringis sembari memegangi kepalanya. Alhasil, dia pun menghampiri Rayyan dengan berdiri tepat di hadapannya.

“Yan, coba liat jari gue. Ini berapa?” tanya Athaya seraya mengacungkan satu jarinya.

“Ya, kepala gue sakit karena kejedot meja, bukan mabok.”

Athaya mengangguk lalu ikut mengusap kepala Rayyan dengan tatapan khawatir dan kasian. Tapi persekian detik berikutnya; tepatnya saat pandangan mereka bertemu, baik itu Athaya maupun Rayyan lantas tertawa lepas. Keduanya seolah tersadar jika mereka seperti orang bodoh.

“Lagian lu ngapain di bawah meja sih, anjing?” tanya Athaya dengan sisa tawanya.

Rayyan gak menjawab. Dia justru sibuk senyam-senyum sambil natap wajah Athaya.

Athaya yang menyadari hal itu pun seketika berdeham. Dia lalu meninju pelan perut Rayyan sebelum bersuara.

“Kenapa lu natap gue kek gitu?”

“Gue seneng banget liat lu ketawa lepas kayak tadi.”

Rayyan meraih tangan Athaya yang masih bertengger di atas kepalanya. Dia kemudian menggenggamnya, menatap jemari mereka yang bertaut sejenak lalu kembali memandangi wajah Athaya.

“Ya, bisa gak sih gue liat lu ketawa kek tadi lebih lama?”

“Kenapa emang?”

“Ketawa lu tadi tuh precious banget tau,” katanya, “Apa kepala gue perlu kejedot lagi nih?”

Athaya menahan senyumnya.

“Ya udah, sini biar gue bantu supaya kepala lu kejedot lagi.”

Rayyan terkekeh. Dia lalu mencubit pipi kanan Athaya sebelum berkata, “Itu sih gak kejedot—tapi dijedotin, Aya.”

Athaya menepis tangan Rayyan.

“Apa sih? Kok cubit-cubit?”

“Gue gemes sama lu,” jawab Rayyan, “Gue ada di bawah meja tadi juga gara-gara gemes banget sama lu, Athayaaa.”

“Ayyan, anjing! Sakit!”

Athaya memekik sembari memukuli lengan Rayyan. Sebab rekan kerjanya itu mencubit kedua pipinya.

“Lagi ngapain lu berdua?”

Baik itu Athaya maupun Rayyan buru-buru melepas tautan mereka saat suara Janu menggema. Mereka pun menoleh ke arah sang rekan kerja yang tengah berjalan menuju sekat meja mereka.

“Tuh, si Aya nyari gara-gara.”

“Lu yang mulai, Ayyan.”

“Bikin kopi sana.”

“Gulanya banyak apa dikit, jing?”

“Ya dikit aja, anjing. Lu mau bikin kopi apa larutan gula sih?”

Janu melongo melihat dua rekan kerjanya itu. Dia pun cuma bisa geleng-gelengin kepala heran.

Meskipun posisi Athaya saat ini adalah pura-pura gak tau kalau Dina menyimpan rasa ke Mas Heri, tapi dia tetap aja ngerasa canggung bahkan gak enak. Terlebih ketika rekan kerjanya itu udah kembali ke ruang divisi setelah tadi diajak oleh Rayyan untuk makan siang berdua.

Athaya bisa melihat secercah keputusasaan di wajah Dina. Athaya juga bisa melihat betapa pedih tatapan Dina ketika mendapati kotak snack di mejanya; yang memang belum Athaya sentuh sama sekali.

Dan Athaya benar-benar gak suka dengan kondisi seperti ini. Terlebih, kurang dari lima belas menit lagi—dia, Rayyan, Dina dan Janu akan pindah ke ruang rapat. Membicarakan project yang telah diberikan sang atasan.

Athaya pun yakin, suasananya akan lebih canggung lagi.

“Wih, Aya dapet snack. Dari mana nih?” celetuk Janu saat mendapati kotak snack di meja Athaya, “Masih ada, Ya?”

“Mm. Dari acara study tour anak-anak kuliahan,” Athaya sengaja gak mau menyebut nama Heri, “Tuh, belum gue makan.”

“Kenapa gak dimakan, Ya?”

Athaya menelan ludah saat Dina yang saat ini lagi duduk di kursi Rayyan—guna memindahkan file project seketika ikut bersuara. Dina terlihat tenang, suaranya gak berbeda dari biasanya; tetap lemah lembut. Tapi Athaya justru merasakan kesedihan di sana.

Tepatnya di matanya.

Sementara itu, Rayyan yang berdiri di samping Dina pun menatap Athaya lekat-lekat.

“Itu Mas Heri gak makan snacknya gara-gara liat kalo isinya roti kesukaan lu tau.”

“Oh, jadi ini dari Mas Heri?”

Janu menyipitkan matanya lalu tersenyum usil ke Athaya.

“Ya udah deh, gak jadi gue minta. Soalnya kan buat Aya.”

Sekarang Athaya benar-benar bingung harus merespon apa.

“Kayaknya lu akhir-akhir ini deket sama Mas Heri ya, Ya?”

Lagi.

Athaya merasa ditodong saat Dina kembali bersuara. Kali ini sambil tersenyum—yang Athaya bisa tebak dipaksakan.

“Iya. Deket kayak ke Mba Dina, Rayyan sama Janu.”

“Tapi kayaknya Mas Heri tertarik sama lu deh, Ya.”

Janu menimpali dan membuat Athaya semakin pusing. Dia lalu menoleh ke Rayyan, tapi jelas kalau rekan kerjanya itu juga gak tau harus bagaimana.

“Bener,” tambah Dina, “Mas Heri tuh orangnya jarang-jarang loh makan di kantin sebelum lu kerja di sini, Ya.”

“Tapi sekarang kayaknya hampir tiap hari dah makan di kantin mulu bareng kita.”

“Cieee! Aya digebet Mas Heri.”

“Apaan sih, Nu. Jangan gitu ah,” Athaya mendesis, “Gue gak ngerasa dideketin kok.”

“Tapi itu dia deketin lu, Ya.”

“Nu, udah. Jangan ledekin Aya, kasian tau dia tertekan.”

Rayyan mencoba menolong Athaya meski dengan sedikit candaan agar Janu—terlebih lagi Dina gak curiga kalau Athaya udah tau tentang perasaannya.

“Aya, gue boleh nanya gak?”

“Nanya apa, Mba Din?”

“Agak personal tapi,” Dina memastikan, “Gak apa-apa?”

Athaya mengangguk kaku. Setelahnya, Dina pun bertanya.

“Lu tertarik sama cowok gak?”

Mungkin ini saat yang tepat buat Athaya keluar dari rasa gak nyaman seperti sekarang, pikirnya. Dan mungkin ini pula lah satu-satunya cara supaya Dina gak curiga kalau dia nyimpan rasa ke Heri.

Karena emang pada faktanya; dia gak menaruh hati ke Heri.

“Untuk sekarang enggak, Mba.”

Rayyan yang mendengar ucapan Athaya seketika menautkan alis.

“Bukan berarti gue homophobic. Gue menghargai sexuality setiap orang. Cuman untuk gue pribadi—dan untuk sekarang ini, gue lebih tertarik ke cewek.”

Athaya meremas jemarinya.

“Tapi gak menutup kemungkinan kan di masa depan nanti gue bakal suka cowok? Who knows.”

Dia lalu memaksakan tawa.

“Sekarang gue bahkan males buat deket sama siapa-siapa. Jangankan cowok, cewek aja enggak,” jelas Athaya diikuti senyum tipis di bibirnya.

“Mas Heri kalo denger ini keknya bakal patah hati deh.”

Athaya menggeleng ketika mendengar ucapan Janu.

“Gak lah, ngapain? Emang Mas Heri pernah bilang kalo dia suka sama gue? Gak kan?”

“Kali aja Mas Heri yang bisa bikin lu suka sama cowok, Ya.”

“Gak lah, Mba. Gue gak ada perasaan apa-apa sama Mas Heri. Dia juga udah kayak kakak gue di sini,” balasnya.

Athaya benar-benar ingin menyudahi percakapan ini sekarang. Dia gak mau ada lagi pertanyaan lain yang justru bikin dia pusing sendiri buat mikirin sebuah jawaban.

“Duh, gue jadi haus nih abis wawancara personal. Kalian mau minum gak?” tanyanya.

“Maaf, Ya. Gara-gara gue nih.”

Dina lalu berdiri, “Biar gue yang ngambilin minum ya.”

“Eh gak usah, Mba.”

Athaya ikut berdiri.

“Ya udah,” kata Dina, “Kalo gitu entar lu nyusul ke ruang rapat ya. Ini Bu Inggit sama Pak Rony udah nge-chat gue buat siap-siap,” ucap Dina.

“Oke, Mba.”

Athaya kemudian berlalu. Dia berjalan menuju dapur ruang divisi sambil menghela napas panjang. Sesampainya di sana pun Athaya buru-buru buka kulkas. Mencari lalu meraih minuman berkarbonasi yang dia simpan sejak pagi tadi.

Tapi belum sempat Athaya membuka tutup botolnya, suara pintu ruang dapur yang ditutup lantas bikin dia noleh. Dia kemudian balik badan ketika melihat Rayyan.

“Yang lu bilang tadi bener apa boong lagi?” tanya Rayyan.

Athaya mendengus. Dia kesal. Sebab bukannya memberi dukungan—atau minimal bertanya gimana perasaannya setelah dicecar pertanyaan oleh Dina, Rayyan justru ikut menambahkan pertanyaan.

“Emang masih penting kalo yang gue bilang tadi boong?”

“Penting lah, gimana kalo lu tiba-tiba suka sama cowok?”

“Atau gimana kalo dalam waktu dekat lu malah suka sama Mas Heri?” timpalnya.

“Terus masalahnya di mana?” sela Athaya, “Lagian gue kan udah bilang tadi—kalo gak menutup kemungkinan gue bakal suka sama cowok juga.”

“Tapi sebaiknya lu gak usah jawab kayak gitu, Athaya.”

Athaya menatap Rayyan sinis.

“Terus lu mau gue gimana sih, Yan? Keknya yang gue lakuin tuh salah mulu ya?”

“Tadi juga lu gak bisa bantu apa-apa loh supaya Mba Dina gak nanya-nanya ke gue?”

“Lu bisa jawab enggak aja pas Mba Dina minta persetujuan lu buat nanya hal personal.”

“Atau pas lu abis ditanyain suka sama cowok apa gak. Kan berhenti di situ bisa.”

Rayyan menghela napas.

“Ya, gue kan udah bilang. Pikirin diri lu sendiri. Lu gak perlu ngelakuin sesuatu—”

“Karena gak enak sama Mba Dina. Lagian Mba Dina itu urusan lu. Gitu kan?” Athaya memotong ucapan Rayyan.

“Iya, gue juga tau. Dan gue ngelakuin tadi buat diri gue sendiri. Gue capek tau gak dicurigain mulu,” jelasnya.

Melihat sorot mata Athaya telah dipenuhi amarah, Rayyan pun mulai meredam emosinya yang entah kenapa tiba-tiba meluap.

“Maaf, Ya. Gue bener-bener khawatir banget sama lu tadi.”

Athaya gak merespon. Dia kemudian hendak melangkah, meninggalkan Rayyan di sana. Tapi rekan kerjanya itu justru menghadang jalannya.

“Maafin gue,” pinta Rayyan.

“Gue mau lewat,” ketus Athaya.

“Iya, tapi maafin gue dulu.”

“Gak penting.”

Rayyan berdecak. Dia lalu merebut minuman di tangan Athaya. Sang empu pun berusaha untuk mengambil minuman itu kembali. Namun Rayyan menyembunyikannya di balik pinggangnya.

“Maafin gue, Athaya.”

Athaya mengeraskan rahang sembari menatap tajam ke dalam bola mata Rayyan. Dan hanya selang beberapa detik, dia lantas menarik kerah baju Rayyan dengan satu tangan.

Tapi yang membuat Rayyan seketika mematung adalah saat Athaya lantas mengecup bibirnya cukup lama. Bahkan karena hal itu, Rayyan pun gak sadar kalau satu tangan Athaya terjulur ke belakang pinggangnya guna mengambil minuman—selagi mengecup bibirnya.

Saat telah berhasil meraih minumannya, Athaya pun menjauhkan wajahnya dari Rayyan. Dia lalu beralih mengusap kasar bibirnya dengan punggung tangan.

Tanpa mengatakan apa-apa, Athaya kemudian pergi dari ruang dapur itu. Melangkah meninggalkan Rayyan yang masih berdiri di tempatnya sembari mengusap bibirnya dengan punggung tangan.

***

Athaya tau dia udah nyaris gila. Hanya karena gak bisa membendung emosi dan rasa kesal, dia justru melakukan hal bodoh yang sekarang jadi berbuah kecanggungan lain.

Bukan lagi dengan Dina, tapi antara dirinya dengan Rayyan.

Sejak di ruang rapat, berlanjut menyelesaikan pekerjaan di meja masing-masing, hingga kini semua karyawan udah bersiap untuk pulang, Athaya dan Rayyan gak pernah saling bertegur sapa.

Awalnya Athaya pikir—hal ini mungkin sedikit lebih baik. Sebab, dia gak perlu meladeni Rayyan yang menyebalkan.

Tapi nyatanya tidak. Dia justru merasa asing.

“Aya, Ayyan, ayo.”

Dina mengajak keduanya untuk segera bangkit guna meninggalkan ruang divisi dan berjalan bersama ke lobi.

“Kalian duluan aja. Gue mau beresin kerjaan dari Bu Kinan dulu,” tutur Athaya.

“Lu lembur, Ya?” timpal Janu.

“Mm, tapi bentar lagi kelar.”

Gak lama berselang Heri pun datang. Menghampiri meja Athaya seperti biasanya.

“Aya kok belum beres-beres?”

“Saya masih mau ngelanjutin kerjaan dari Bu Kinan, Mas. Deadline-nya udah besok.”

“Mau saya temenin?”

Athaya menggeleng.

“Gak usah, Mas. Bentar lagi juga kelar kok ini,” katanya.

“Kalo gitu saya duluan ya.”

“Kita juga duluan ya, Aya.”

Athaya mengangguk ketika Heri, Janu, Dina begitu pun Rayyan meninggalkan sekat mereka. Alhasil, saat ini dia benar-benar telah sendiri di ruang divisi. Sepi dan sunyi.

Kepala Athaya mendadak pusing. Sekarang dia cuma bisa merutuki kebodohannya.

Lalu apa yang akan dipikirkan Rayyan tentangnya? Batinnya.

Dan kenapa juga sekarang dia begitu peduli? Pikirnya lagi.

Menghela napas gusar, Athaya kemudian melipat lengan di atas mejanya lalu menenggelamkan wajah di sana. Mengistirahatkan kepalanya yang seperti ingin meledak.

Namun ketika Athaya merasa bahwa sebuah telapak tangan mendarat di bahunya, dia lalu mendongak. Sedikit terkejut ketika mendapati Rayyan lah yang berdiri di sampingnya.

Dan bagai kecepatan cahaya, Rayyan lantas membungkuk sembari menarik tengkuk Athaya dengan satu tangan. Berakhir mempertemukan kedua belah bibir mereka. Sementara tangannya yang lain bertumpu di pegangan kursi Athaya.

Athaya pun masih gak bisa memprosesnya. Dia tiba-tiba membeku di tempat sembari memandangi wajah Rayyan.

Mata lelaki itu terpejam.

Hingga saat Rayyan perlahan melumat lembut bibirnya, Athaya lantas mencengkeram bahu rekan kerjanya itu. Dia benar-benar gak mengerti kenapa mereka berdua justru berakhir seperti sekarang ini.

Athaya—sekalipun gak pernah membalas lumatan Rayyan. Tapi dia juga gak menolaknya. Dia hanya membiarkan lelaki itu terus menciumi bibirnya.

Sampai gak lama berselang, Rayyan kemudian melepas tautan bibir mereka. Beralih menatap wajah Athaya lamat dengan napas yang pendek.

“Jangan bikin gue bingung, Ya.”

Athaya menelan ludah. Sorot mata Rayyan terlihat begitu pasrah. Seolah takluk kepada sesuatu yang mengancamnya.

“Jangan bikin gue kayak gini,” timpal Rayyan dengan lirih.

“Gue gak ngapa-ngapain lu, Yan.”

Athaya menatap lurus ke dalam sepasang netra madu Rayyan.

“Lu yang datang,” katanya.

Rayyan yang datang dan memintanya agar mengakhiri masalah di antara mereka.

Rayyan yang datang dan menaruh rasa peduli padanya.

Rayyan pula yang datang dan menawarkannya kenyamanan.

Kalimat bermakna ganda itu sukses membuat Athaya lega. Dia pun merasa gak perlu lagi menjelaskan apa-apa. Alhasil, dia kemudian memutus kontak mata dengan Rayyan. Hendak kembali menoleh ke komputernya.

Tapi sebelum niatnya itu tersampaikan, Rayyan justru kembali menarik tengkuknya. Dan lagi-lagi menyatukan kedua belah bibir mereka.

Namun kali ini Athaya justru dibuat kewalahan. Rayyan melumat bibirnya begitu rakus—gak lembut seperti sebelumnya. Mau gak mau Athaya seketika mengimbanginya. Dia membalas setiap lumatan, kecupan hingga gigitan kecil yang Rayyan beri.

Kepala miring ke kiri dan ke kanan bergantian. Decak lidah menjadi pemecah kesunyian. Juga dua anak manusia yang mencari sebuah rasa terpendam di antara suara lenguhan.

Aksi Rayyan dan Athaya itu terus berlanjut hingga akhirnya pasokan oksigen yang mereka hirup semakin menipis.

Alhasil, Rayyan yang sedari tadi mendominasi ciuman itu pun menyudahinya. Beralih menatap wajah Athaya sejenak. Mengusap pipi rekan kerjanya itu dengan ibu jari, sebelum menarik kursi nya sendiri lalu duduk di sana.

Hening.

Baik itu Athaya maupun Rayyan sama-sama terdiam seperti orang kebingungan. Hanya menatap kosong ke lantai; yang saat ini seolah menjadi objek terbaik untuk dipandang.

Tapi keheningan itu seketika pecah saat Rayyan tiba-tiba meraih jemari Athaya. Dia menggenggamnya sembari menatap wajah sang rekan kerja dengan raut seriusnya.

“Gue bingung sama perasaan gue sendiri,” tutur Rayyan.

Athaya menyimak.

“Gue suka sama Mba Dina. Tapi semenjak lu datang, atensi gue justru tertuju sama lu.”

“Gue selalu khawatir kalo aja lu diapa-apain di sini. Gue selalu takut lu ngalamin hal gak baik. Gue selalu pengen ada buat lu, ngelindungin lu, dengerin lu.”

“Gue gelisah tiap kali lu ngindarin gue. Gue kesel kalo ngeliat orang lain berani gangguin lu,” ucapnya.

Dia menatap mata Athaya.

“Aya, gimana kalau gue cinta sama lu?” tanya Rayyan, “Apa lu bisa nerima dicintai sama gue?”

Athaya menatap jemarinya yang bertautan dengan milik Rayyan lalu menghela napas.

“Mau gue bakal nerima atau nolak, itu bukan urusan lu. Tapi urusan gue,” jawabnya.

“Jadi mending lu ngurusin perasaan lu sendiri dulu.”

Rayyan menelan ludah. Dia tau maksud Athaya adalah tentang perasaannya ke Dina juga kepada Athaya sendiri.

“Aya...”

“Apa?”

“Kayaknya gue ga bisa nepatin ucapan gue ke lu beberapa waktu yang lalu.”

Athaya menautkan alisnya.

“Gue pernah bilang kalau gue gak ada niat buat ngerebut apapun dari lu, tapi sekarang gue mau narik ucapan itu.”

Rayyan mengeratkan genggaman tangannya dengan Athaya.

“Gue pengen ngerebut sesuatu dari lu sekarang.”

“Apa?” tanya Athaya.

“Hati lu.”

Athaya menggeleng.

“Sebelum ngerebut hati orang lain, mending lu cari tau dulu hati lu sendiri ada di mana.”

“Lu masih bingung,” timpalnya.

Rayyan mengangguk pelan lalu membiarkan Athaya melepaskan genggaman tangan mereka.

“Pulang sana,” kata Athaya.

“Hari ini gue gak bawa mobil.”

“Kan ada ojol.”

“Tapi kalo ojol musti bayar.”

Athaya mendengus.

“Terus lu mau gimana? Nginep di kantor?” tanyanya ketus.

Rayyan berdecak pelan.

“Gue mau pulang sama lu, Aya.” katanya lalu bergumam pelan, “Gitu aja musti dikasih tau. Gak pekaan banget si botak. Heran.”

“Apa lu bilang?”

“Gak,” Rayyan nunjuk komputer Athaya, “Beresin kerjaan lu gih.”

Meskipun posisi Athaya saat ini adalah pura-pura gak tau kalau Dina menyimpan rasa ke Mas Heri, tapi dia tetap aja ngerasa canggung bahkan gak enak. Terlebih ketika rekan kerjanya itu udah kembali ke ruang divisi—setelah tadi diajak oleh Rayyan untuk makan siang berdua di luar.

Athaya bisa melihat secercah keputusasaan di wajah Dina. Athaya juga bisa melihat betapa pedih tatapan Dina ketika mendapati kotak snack di mejanya; yang memang belum Athaya sentuh sama sekali.

Dan Athaya benar-benar gak suka dengan kondisi seperti ini. Terlebih, kurang dari lima belas menit lagi—dia, Rayyan, Dina dan Janu akan pindah ke ruang rapat. Membicarakan project yang telah diberikan sang atasan kepada mereka.

Athaya pun yakin, suasananya akan lebih canggung lagi.

“Wih, Aya dapet snack. Dari mana nih?” celetuk Janu saat mendapati kotak snack di meja Athaya, “Masih ada, Ya?”

“Tadi. Dari acara study tour anak-anak kuliahan,” Athaya sengaja gak mau menyebut nama Heri, “Mau gak? Masih ada tuh, belum gue makan.”

“Kenapa gak dimakan, Ya?”

Athaya menelan ludah saat Dina yang saat ini lagi duduk di kursi Rayyan—guna memindahkan file project seketika ikut bersuara. Dina terlihat tenang, suaranya gak berbeda dari biasanya; tetap lemah lembut. Tapi Athaya justru merasakan kesedihan di sana. Tepatnya di matanya.

Sementara itu, Rayyan yang berdiri di samping Dina pun menatap Athaya lekat-lekat.

“Itu Mas Heri gak makan snacknya gara-gara liat kalo isinya roti kesukaan lu tau.”

“Oh, jadi ini dari Mas Heri?”

Janu menyipitkan matanya lalu tersenyum usil ke Athaya.

“Ya udah deh, gak jadi gue minta. Soalnya kan buat Aya.”

Sekarang Athaya benar-benar bingung harus merespon apa. Dia gak mau semuanya makin ribet karena salah ngomong.

“Kayaknya lu akhir-akhir ini deket sama Mas Heri ya, Ya?”

Lagi.

Athaya merasa ditodong saat Dina kembali bersuara. Kali ini sambil tersenyum—yang Athaya bisa tebak dipaksakan.

“Iya. Deket kayak ke Mba Dina, Rayyan sama Janu.”

Athaya mencoba cari aman.

“Tapi kayaknya Mas Heri tertarik sama lu deh, Ya.”

Janu menimpali dan membuat Athaya semakin pusing. Dia lalu menoleh ke Rayyan, tapi jelas kalau rekan kerjanya itu juga gak tau harus gimana.

“Bener,” tambah Dina, “Mas Heri tuh orangnya jarang-jarang loh makan di kantin sebelum lu kerja di sini, Ya.”

“Tapi sekarang kayaknya hampir tiap hari dah makan di kantin mulu bareng kita.”

“Cieee, Aya digebet Mas Heri.”

“Apaan sih, Nu. Jangan gitu ah,” Athaya mendesis, “Gue gak ngerasa dideketin kok.”

“Tapi itu dia deketin lu, Ya.”

“Nu, udah. Jangan ledekin Aya, kasian tau dia tertekan.”

Rayyan mencoba menolong Athaya meski dengan sedikit candaan agar Janu—terlebih lagi Dina gak curiga kalau dia udah ngasih tau Athaya semuanya.

“Aya, gue boleh nanya gak?”

Athaya menahan napasnya sejenak ketika Dina lagi-lagi bertanya padanya. Seketika Athaya berharap semoga sang atasan segera datang agar mereka bisa bergegas ke ruang rapat.

“Nanya apa, Mba Din?”

“Agak personal tapi. Gak apa-apa?”

Athaya mengangguk kaku. Setelahnya, Dina pun bertanya.

“Lu tertarik sama cowok gak?”

Mungkin ini saat yang tepat buat Athaya keluar dari rasa gak nyaman seperti sekarang, pikirnya. Dan mungkin ini pula lah satu-satunya cara supaya Dina gak curiga kalau dia nyimpan rasa ke Heri.

Karena emang faktanya; dia gak menaruh hari ke Heri.

Berdeham pelan, Athaya lalu memaksakan senyumnya.

“Untuk sekarang enggak, Mba.”

Rayyan yang mendengar ucapan Athaya seketika menautkan kedua alisnya.

“Bukan berarti gue ini homophobic, Ya. Gue tuh menghargai banget sexuality setiap orang,” tutur Athaya.

“Cuman untuk gue pribadi—dan untuk sekarang ini, gue lebih tertarik ke cewek, Mba.”

Athaya meremas jemarinya.

“Tapi gak menutup kemungkinan juga di masa depan nanti gue bakal suka sama cowok kan? Who knows.”

Dia lalu memaksakan tawa.

“Sekarang gue bahkan males buat deket sama siapa-siapa. Jangankan cowok, cewek aja enggak,” jelas Athaya diikuti senyum tipis di bibirnya.

“Mas Heri kalo denger ini keknya bakal patah hati deh.”

Athaya menggeleng ketika mendengar ucapan Janu.

“Gak lah, ngapain? Emang Mas Heri pernah bilang kalo dia suka sama gue? Gak kan?”

Sementara itu, Dina lantas menganggukkan kepalanya.

“Kali aja Mas Heri yang bisa bikin lu suka sama cowok, Ya.”

“Gak lah, Mba. Gue gak ada perasaan apa-apa sama Mas Heri. Dia juga udah kayak kakak gue di sini,” balasnya.

Athaya benar-benar ingin menyudahi percakapan ini sekarang. Dia gak mau ada lagi pertanyaan lain yang justru bikin dia pusing sendiri buat mikirin sebuah jawaban.

“Duh, gue jadi haus nih abis wawancara personal. Kalian mau minum gak?” tanyanya.

“Ya, maaf. Gara-gara gue banyak nanya, lu jadi haus.”

Dina lalu berdiri, “Biar gue yang ngambilin minum deh.”

“Eh gak usah, Mba.”

Athaya ikut berdiri.

“Gue mau ngambil minuman gue yang ada di kulkas, entar ketuker sama punya orang.”

“Ya udah,” kata Dina, “Kalo gitu entar lu nyusul ke ruang rapat ya. Ini Bu Inggit sama Pak Rony udah nge-chat gue buat siap-siap,” ucap Dina.

“Oke, Mba.”

Athaya kemudian berlalu. Dia berjalan menuju dapur ruang divisi sambil menghela napas panjang. Sesampainya di sana pun Athaya buru-buru buka kulkas. Mencari lalu meraih minuman berkarbonasi yang dia simpan sejak pagi tadi.

Tapi belum sempat Athaya membuka tutup botolnya, suara pintu ruang dapur yang ditutup lantas bikin dia noleh. Dia kemudian balik badan ketika melihat Rayyan.

“Yang lu bilang tadi bener apa boong lagi?” tanya Rayyan.

Athaya mendengus. Dia kesal. Sebab bukannya memberi semangat—atau minimal bertanya gimana perasaannya setelah dicecar pertanyaan oleh Dina, Rayyan justru ikut menambahkan pertanyaan.

“Emang masih penting kalo yang gue bilang tadi boong?”

“Penting lah, gimana kalo lu tiba-tiba suka sama cowok?”

“Atau gimana kalo dalam waktu dekat lu malah suka sama Mas Heri?” timpalnya.

“Terus masalahnya di mana?” sela Athaya, “Lagian gue kan udah bilang tadi—kalo gak menutup kemungkinan gue bakal suka sama cowok juga.”

“Tapi sebaiknya lu gak usah jawab kayak gitu, Athaya.”

Athaya menatap Rayyan sinis.

“Terus lu mau gue gimana sih, Yan? Keknya yang gue lakuin tuh salah mulu ya?”

“Tadi juga lu gak bisa bantu apa-apa loh supaya Mba Dina gak nanya ke gue?” katanya.

“Lu bisa jawab enggak aja pas Mba Dina minta persetujuan lu buat nanya hal personal.”

“Atau pas lu abis ditanyain suka sama cowok apa gak. Kan berhenti di situ, bisa.”

Rayyan menghela napas.

“Ya, gue kan udah bilang. Pikirin diri lu sendiri. Lu gak perlu ngelakuin sesuatu—”

“Karena gak enak sama Mba Dina. Lagian Mba Dina itu urusan lu. Gitu kan?” Athaya memotong ucapan Rayyan.

“Iya, gue juga tau. Dan gue ngelakuin tadi buat diri gue sendiri. Gue capek tau gak dicurigain mulu,” jelasnya.

Melihat sorot mata Athaya telah dipenuhi amarah, Rayyan pun mulai meredam emosinya sendiri yang entah karena apa tiba-tiba meluap.

“Maaf, Ya. Gue bener-bener khawatir banget sama lu tadi.”

Athaya gak merespon. Dia kemudian hendak melangkah, meninggalkan Rayyan di sana. Tapi rekan kerjanya itu justru menghadang jalannya.

“Maafin gue,” pinta Rayyan.

“Gue mau lewat,” ketus Athaya.

“Iya, tapi maafin gue dulu.”

“Gak penting.”

Rayyan berdecak. Dia lalu tersenyum usil sebelum merebut minuman di tangan Athaya. Sang empu pun berusaha untuk mengambil minuman itu kembali. Namun Rayyan menyembunyikannya di balik pinggangnya.

“Maafin gue dulu, Athaya.”

Athaya mengeraskan rahang sembari menatap tajam ke dalam bola mata Rayyan. Dan hanya selang beberapa detik, dia lantas menarik kerah baju Rayyan dengan satu tangan.

Tapi yang membuat Rayyan seketika mematung adalah saat Athaya lantas mengecup bibirnya cukup lama. Bahkan karena hal itu, Rayyan pun gak sadar kalau satu tangan Athaya terjulur ke belakang pinggangnya guna mengambil minuman—selagi mengecup bibirnya.

Saat telah berhasil meraih minumannya, Athaya pun menjauhkan wajahnya dari Rayyan. Dia lalu beralih mengusap kasar bibirnya dengan punggung tangan.

Tanpa mengatakan apa-apa, Athaya kemudian pergi dari ruang dapur itu. Melangkah meninggalkan Rayyan yang masih berdiri di tempatnya sembari mengusap bibirnya dengan punggung tangan.

***

Athaya tau dia udah nyaris gila. Hanya karena gak bisa membendung emosi dan rasa kesal, dia justru melakukan hal bodoh yang sekarang jadi berbuah kecanggungan lain.

Bukan lagi dengan Dina, tapi antara dirinya dengan Rayyan.

Sejak di ruang rapat, berlanjut menyelesaikan pekerjaan di meja masing-masing, hingga kini semua karyawan udah bersiap untuk pulang, Athaya dan Rayyan gak pernah saling bertegur.

Awalnya Athaya pikir—hal ini mungkin sedikit lebih baik. Sebab, dia gak perlu meladeni Rayyan yang menyebalkan.

Tapi nyatanya tidak. Dia justru merasa asing.

“Aya, Ayyan, ayo.”

Dina mengajak keduanya untuk segera bangkit guna meninggalkan ruang divisi dan berjalan bersama ke lobi.

“Kalian duluan aja. Gue mau beresin kerjaan dari Bu Kinan dulu,” tutur Athaya.

“Lu mau lembur, Ya?” timpal Janu.

“Iya, tapi ini bentar lagi kelar kok.”

Gak lama berselang Heri pun datang. Menghampiri meja Athaya seperti biasanya.

“Kamu kok belum beres-beres, Ya?”

“Saya masih mau ngelanjutin kerjaan dari Bu Kinan, Mas. Deadline-nya udah besok.”

“Mau saya temenin?”

Athaya menggeleng.

“Gak usah, Mas. Bentar lagi juga kelar kok ini,” katanya.

“Kalo gitu saya duluan ya.”

“Kita juga duluan ya, Aya.”

Athaya mengangguk ketika Heri, Janu, Dina begitu pun Rayyan meninggalkan sekat mereka. Alhasil, saat ini dia benar-benar telah sendiri di ruang divisi. Sepi dan sunyi.

Kepala Athaya mendadak pusing. Sekarang dia cuma bisa merutuki kebodohannya.

Lalu apa yang akan dipikirkan Rayyan tentangnya? Batinnya.

Menghela napas gusar, Athaya kemudian melipat lengan di atas mejanya sebelum menenggelamkan wajah di sana. Dia mengistirahatkan kepalanya sejenak yang sudah seperti ingin meledak sewaktu-waktu.

Namun ketika Athaya merasa bahwa sebuah telapak tangan mendarat di bahunya, dia lalu mendongak. Sedikit terkejut ketika mendapati Rayyan lah yang berdiri di sampingnya.

Dan bagai kecepatan cahaya, Rayyan lantas membungkuk sembari menarik tengkuk Athaya dengan satu tangan. Berakhir mempertemukan kedua belah bibir mereka. Sementara tangannya yang lain bertumpu pada pegangan kursi sang rekan kerja.

Athaya pun masih gak bisa memprosesnya. Dia tiba-tiba membeku di tempat sembari memandangi wajah Rayyan. Mata lelaki itu terpejam.

Hingga saat Rayyan perlahan melumat lembut bibirnya, Athaya lantas mencengkeram bahu rekan kerjanya itu. Dia benar-benar gak mengerti kenapa mereka berdua justru berakhir seperti sekarang ini.

Athaya—sekalipun gak pernah membalas lumatan Rayyan. Tapi dia juga gak menolaknya. Dia hanya membiarkan lelaki itu terus menciumi bibirnya.

Sampai gak lama berselang, Rayyan kemudian melepas tautan bibir mereka. Beralih menatap wajah Athaya lamat dengan napas yang terengah.

“Jangan bikin gue bingung, Ya.”

Athaya menelan ludah. Sorot mata Rayyan terlihat begitu pasrah. Seolah takluk kepada sesuatu yang mengancamnya.

“Jangan bikin gue kayak gini,” timpal Rayyan dengan lirih.

“Gue gak ngapa-ngapain lu, Yan.”

Athaya menatap lurus ke dalam bola mata Rayyan.

“Lu yang datang,” katanya.

Rayyan yang datang dan memintanya agar mereka mengakhiri masalah di SMA.

Rayyan yang datang dan menaruh rasa peduli padanya.

Rayyan pula yang datang dan menawarkannya kenyamanan.

Kalimat bermakna ganda itu sukses membuat Athaya lega. Dia pun merasa gak perlu lagi menjelaskan apa-apa. Alhasil, dia kemudian memutus kontak mata dengan Rayyan. Hendak kembali menoleh ke arah layar komputernya.

Tapi sebelum niatnya itu tersampaikan, Rayyan justru kembali menarik tengkuknya. Dan lagi-lagi menyatukan kedua belah bibir mereka.

Namun kali ini Athaya justru dibuat kewalahan. Rayyan melumat bibirnya begitu bernafsu—gak lembut seperti yang sebelumnya. Mau gak mau Athaya pun mengimbanginya. Dia membalas setiap lumatan, kecupan hingga gigitan kecil yang Rayyan berikan.

Kepala miring ke kiri dan ke kanan bergantian. Decak lidah yang menjadi pemecah kesunyian. Juga dua anak manusia yang mencari sebuah rasa terpendam di antara suara lenguhan.

Aksi Rayyan dan Athaya itu terus berlanjut hingga akhirnya pasokan oksigen yang mereka hirup semakin menipis; napasnya memburu.

Alhasil, Rayyan yang sedari tadi mendominasi ciuman itu pun menyudahinya. Beralih menatap wajah Athaya sejenak sebelum menarik kursinya lalu duduk di sana.

Hening.

Baik itu Athaya maupun Rayyan sama-sama terdiam seperti orang kebingungan. Hanya menatap kosong ke lantai—seolah lantai objek terbaik untuk dipandang.

Tapi keheningan itu seketika pecah saat Rayyan tiba-tiba meraih jemari Athaya. Dia menggenggamnya sembari menatap wajah sang rekan kerja dengan raut seriusnya.

“Gue bingung sama perasaan gue.”

Athaya menyimak.

“Gue suka sama Mba Dina. Tapi semenjak lu datang, atensi gue justru tertuju sama lu—nyaris sepenuhnya, Ya.”

“Gue selalu khawatir kalo aja lu diapa-apain di sini. Gue selalu takut lu ngalamin hal gak baik. Gue selalu pengen ada buat lu, ngelindungin lu, dengerin semua cerita lu.”

“Gue gelisah tiap kali lu ngindarin gue. Gue kesel kalo ngeliat orang lain berani gangguin lu,” ucapnya.

Dia menatap mata Athaya.

“Aya, gimana kalau gue cinta sama lu?” tanya Rayyan, “Apa lu mau dan sudi nerima gue?”

Athaya menatap jemarinya yang bertautan dengan milik Rayyan lalu menghela napas.

“Mau gue bakal nerima atau nolak, itu bukan urusan lu. Tapi urusan gue,” jawabnya.

“Jadi sekarang mending lu ngurusin perasaan lu sendiri dulu.”

Rayyan menelan ludah. Dia tau maksud Athaya adalah tentang perasaannya ke Dina juga kepada Athaya sendiri.

“Aya...”

“Apa?”

“Kayaknya gue ga bisa nepatin ucapan gue.”

Athaya menautkan alisnya.

“Gue pernah bilang kalau gue gak ada niat buat ngerebut apapun dari lu, tapi sekarang gue mau narik ucapan itu.”

Rayyan mengeratkan genggaman tangannya dengan Athaya.

“Gue pengen ngerebut sesuatu dari lu sekarang.”

“Apa?” tanya Athaya.

“Hati lu.”

Athaya menggeleng.

“Sebelum ngerebut hati orang lain, mending lu cari tau dulu hati lu sendiri ada di mana.”

Rayyan mengangguk pelan lalu membiarkan Athaya melepaskan genggaman tangan mereka berdua.

“Pulang sana,” kata Athaya.

“Hari ini gue gak bawa mobil, Ya.”

“Kan ada ojol.”

“Kalo ojol musti bayar.”

Athaya mendengus.

“Terus lu mau gimana? Nginep di kantor?” tanyanya.

Rayyan berdecak pelan.

“Gue mau pulang sama lu,” katanya lalu menoleh ke arah lain sebelum bergumam, “Gitu aja musti dikasih tau.”

“Apa lu bilang?”

“Gak,” Rayyan nunjuk layar komputer Athaya dengan dagu, “Beresin kerjaan lu.”

“Gue udah di dalam mall.”

“Gue nungguin lu di depan Cold Stone,” balas Rayyan dari sambungan teleponnya.

“Oke. Gue ke sana sekarang.”

Setelah memutus panggilan telepon itu, Athaya kemudian bergegas menuju tempat yang disebutkan oleh Rayyan tadi. Sesampainya di sana, dia lantas mendapati sang rekan kerja tengah berdiri dengan dua es krim di tangannya.

“Nih.”

Rayyan menyodorkan salah satu es krim kepada Athaya. Membuat Athaya yang sebelumnya gak pernah meminta atau pun menitip hanya mampu menggeleng pelan lalu meraihnya. Setelahnya, mereka pun mulai berjalan pelan. Sesekali menyendok es krim.

“Gimana tadi jalan sama Mas Heri?” tanya Rayyan tiba-tiba.

“Gimana apanya?” Athaya pun menoleh sekilas lalu nautin alis, “Ya gue makan sama dia.”

“Yasa beneran malu-maluin?”

Es krim dalam mulut Athaya nyaris dia semburkan. Sebab dia jadi teringat dengan Yasa.

“Kaga sih. Tapi pas Mas Heri udah ngasih novelnya, dia kek orang gila. Cengar-cengir mulu.”

Athaya lalu menoleh.

“Oh iya, emang hadiah yang mau dibeli tuh apa aja sih?”

“Handphone sama laptop.”

Athaya lalu menghentikan langkahnya sembari menatap Rayyan dengan raut wajah gak percayanya.

“Itu doang?!”

“Iya. Tapi kalo lu mau nambahin mobil, boleh.”

“Terus ngapain lu pake ditemenin segala, anjing?” Athaya mendengus, “Kan lu bisa beli sama bawa sendiri.”

“Ga, gue harus ada temennya. Jadi kalo besok Bu Inggit gak suka sama tipe handphone atau laptopnya, gue bisa bilang itu saran dari Athaya.”

Athaya mendesis pelan lalu menginjak kaki kiri Rayyan. Gak mau kalah, Rayyan pun membalasnya dengan menepuk keras bahu Athaya.

“Lu mau berantem di sini?”

Athaya menantang.

“Ayo,” balas Rayyan.

Keduanya kemudian sama-sama memicingkan mata. Seolah mengambil ancang-ancang sebelum berperang.

Sampai gak lama berselang, Rayyan tiba-tiba menyendok es krimnya sebelum dengan sigap mengoleskannya di pipi kanan Athaya. Setelahnya, dia pun seketika berjalan tergesa. Meninggalkan Athaya yang ingin dan bersiap membalasnya.

Namun persekian detik berikutnya Rayyan lantas menghentikan langkah ketika mendengar pekikan Athaya dari arah belakang. Saat berbalik, dia melotot. Sebab dia mendapati Athaya—dengan bajunya yang telah dilumuri minuman berwarna cokelat berdiri di hadapan seorang laki-laki yang jelas memandanginya nyalang.

“Mata lo ada di mana sih?!”

“Maaf. Maaf banget, gue gak sengaja.” Athaya mendesis, “Biar gue ganti minumnya ya.”

“Ganti, ganti. Lu pikir gue gak bisa beli sendiri?” ucap lelaki di hadapan Athaya dengan suara menggelegar, “Udah jalan gak liat-liat. Kayak gak ada rasa bersalahnya lagi.”

“Tadi gue nunggu minuman ini sampe setengah jam tau gak? Tapi gara-gara lu jadi tumpah semua,” lanjutnya.

“Maaf ya. Tadi gue gak liat kalo lu jalan dari arah kiri.”

“Ya makanya. Kalo jalan di tempat rame gini liat-liat!”

“Lu maunya gimana sih?”

Athaya pun tersentak ketika Rayyan yang telah berdiri di sampingnya lantas bersuara.

“Dia udah minta maaf. Dia juga udah nawarin buat ganti minuman lu yang tumpah di bajunya. Tapi lu masih aja nyolot.”

“Gak usah ikut campur lu.”

“Ayyan.”

Athaya refleks menahan Rayyan yang memajukan langkahnya—seperti lelaki di hadapan mereka.

“Yan, kita diliatin orang.”

Athaya kemudian berbalik. Memandangi laki-laki yang telah menatap Rayyan nyalang.

“Sekali lagi maaf.”

Laki-laki di depan Athaya mendengus. Dia lalu menyodorkan handphone.

“Gue lagi buru-buru, jadi gue gak bisa nunggu minuman pengganti dari lu. Masukin nomor lu di sini.”

Rayyan yang mendengar penuturan lelaki itu lantas tersenyum remeh sebelum merebut handphone dari tangan empunya. Rayyan pun memasukkan nomornya di sana, mengembalikannya lalu berkata.

“Telpon ke nomor itu aja. Biar gue yang ganti,” katanya.

“Gue minta pertanggung jawaban dari dia, bukan lu.”

“Tapi tanggung jawab dia, tanggung jawab gue juga.”

“Gue gak minta dia diwakili,” sela lelaki itu, “Gak usah sok jadi jagoan. Emang lu siapanya? Bapaknya?”

“Gue cowoknya.”

Athaya—begitu juga lelaki yang berdiri di hadapannya dan Rayyan terdiam sejenak.

“Telpon nomor itu kalo lu mau minta ganti.”

Setelahnya, Rayyan lantas mencengkeram pergelangan tangan Athaya sebelum menariknya—bergegas pergi. Meninggalkan lelaki tadi yang hanya mampu berdecak kesal.

Merasa sudah jauh dari lelaki menyebalkan tadi, Rayyan pun menghentikan langkah lalu melepaskan tangan Athaya. Beralih menatapnya khawatir.

“Lu baik-baik aja?”

Athaya mendengus kasar.

“Lu ngapain sih tadi, Yan?”

“Cowok tadi nyebelin, Ya.”

“Gue tau,” balas Athaya, “Gue kalo mau nonjok muka cowok yang tadi juga bisa kok.”

Dia lalu menghela napas.

“Tapi gue gak mau diliatin sama orang, gak mau bikin ribut terus diusir satpam. Malu-maluin.”

Rayyan menjatuhkan pundak.

“Maaf,” ucapnya lirih.

Dia kemudian memerhatikan wajah Athaya. Dimana masih ada sedikit bekas es krim—yang dioleskannya di pipi Athaya sebelum insiden tadi.

Alhasil, tangan Rayyan pun refleks mengusap es krim itu dengan ibu jarinya. Membuat Athaya tersentak sebelum buru-buru menepisnya.

Kedua anak manusia itu kemudian terdiam sejenak. Persekian detik berikutnya, mereka lantas menghindari tatapan satu sama lain sebelum Athaya bersuara.

“Lu ke store laptop duluan. Gue mau ke toilet bersihin baju gue.”

“Entar gue nyusul,” timpalnya.

“Biar gue temenin.”

“Gue bukan anak kecil,” ketus Athaya lalu menjauhi Rayyan.

Tapi tanpa Athaya sadari, Rayyan tetap saja mengikuti langkahnya dari belakang.

***

Athaya berdecak pelan melihat noda tumpahan minuman di baju kaos putihnya gak bisa hilang; meski udah dibilas pake air. Dia pun cuma bisa pasrah lalu kembali mengenakan bajunya yang masih cukup basah itu.

Saat keluar dari bilik toilet. Athaya lantas melotot saat mendapati Rayyan berdiri di depan wastafel. Sang rekan kerja kemudian nyamperin dia, menyodorkan kemeja yang tadinya Rayyan pakai sebagai luaran baju kaosnya.

“Lu pake ini dulu,” katanya.

Athaya berdecak, “Gak usah.”

“Aya, gue ngerasa bersalah banget sama lu. Tolong terima bantuan gue ya?”

Malas untuk mengoceh lebih lama di depan Rayyan, Athaya pun meraih kemeja polos berwarna cream itu.

“Ayo, kita nyari baju dulu.”

“Baju apa lagi sih? Kan kita ke sini mau beli laptop sama hp.”

“Baju lu masih basah. Lu musti cepet-cepet ganti. Entar badan lu gatel, Ya.”

Athaya memutar bola mata.

“Lu ribet banget sih? Udah deh sekarang kita beli laptop sama handphone abis itu ke kantor terus pulang,” katanya.

Rayyan menghela napas pelan ketika Athaya berjalan mendahuluinya keluar dari toilet. Dia pun mengekor dari belakang selama beberapa saat. Namun sebelum rekan kerjanya itu melangkah lebih jauh menuju store laptop, dia lantas menarik paksa lengan Athaya menuju toko pakaian.

Gak peduli seberapa kuat Athaya mukulin bahu dia, Rayyan tetap bersikeras. Bahkan dia cuma ketawa kecil pas Athaya nyubit lengannya.

Alhasil, Athaya lagi-lagi cuma bisa berpasrah. Terlebih saat dia dan Rayyan—yang sibuk menyeretnya udah masuk ke salah satu toko pakaian.

“Cepet pilih satu,” kata Rayyan.

“Gak. Gue mau ngambil tiga,” Athaya menatap Rayyan sinis, “Siapa suruh nyeret gue ke sini.”

“Ya udah, ambil tiga. Tapi gue cuma mau bayar satu.”

Athaya tersenyum mengejek sebelum mencari satu baju kaos yang cocok untuknya. Setelah menemukan yang sesuai seleranya, dia pun menyodorkannya ke Rayyan.

“Katanya mau ngambil tiga?”

“Kalo gue ngambil tiga, entar lu ditendang sama si Mba kasir karena gak bisa bayar.”

Rayyan tersenyum tipis.

“Ya udah, ayo ke kasir.”

Keduanya kemudian berbalik. Hendak berjalan ke kasir. Tapi Rayyan kemudian dibuat heran saat Athaya tiba-tiba mematung di tempatnya. Matanya melotot.

Rayyan lalu menyipitkan mata sebelum meletakkan telapak tangan di atas kepala Athaya.

“Allahu laa ilaha—”

“Anjing! Jangan becanda. Mami sama Papi gue ada di sini.”

Athaya panik.

Dia lalu menuntun Rayyan agar ikut berjongkok bersamanya.

“Mana, anjing?!”

Rayyan juga sama paniknya.

“Di samping pintu.”

“Jadi kita musti gimana?”

“Teriak minta tolong,” sarkas Athaya, “Ya sembunyi, bego!”

Keduanya mendesis pelan. Sampai ketika Rayyan melihat seseorang keluar dari kamar ganti, dia pun menepuk pelan pundak Athaya dan berkata,

“Sembunyi di kamar ganti.”

Athaya mengangguk setuju. Dia kemudian berjalan pelan sambil membungkuk menuju kamar ganti. Sampai ketika dia akhirnya masuk ke tempat itu dengan selamat, Athaya justru nyaris dibuat memekik. Sebab, sedari tadi Rayyan nyatanya sibuk mengekor di belakangnya. Dan kini—saat Athaya berbalik, Rayyan telah berdiri tepat di hadapannya.

“Ngapain lu ikutan masuk?”

“Kan kita kudu sembunyi.”

“Bukan kita. Tapi gue!” nada suara Athaya begitu frustasi.

“Kalo Mami gue ngeliat kita jalan bareng, itu yang bahaya. Kalo cuma ngeliat lu—sendiri, kaga!”

Rayyan berpikir sejenak.

“Iya juga ya.”

“Ish, bego! Keluar lu! Cepet bayar bajunya terus bawain ke sini.”

Rayyan pun menurut. Dia keluar dari ruang ganti dan bergegas menuju kasir guna membayar baju untuk Athaya.

***

“Untung hari ini gue gak apes dua kali,” ucap Athaya setelah meletakkan tas belanjaan di atas meja dalam rest room.

Selepas berbelanja untuk keperluan hadiah, Athaya dan Rayyan membawa belanjaan itu ke kantor. Mereka lalu menyimpannya di rest room sebelum akhirnya kembali keluar dari ruang divisi.

“Ya, sekali lagi maaf ya. Tadi lu kena apes juga gara-gara berantem sama gue,” ucap Rayyan, “Gue jadi gak enak.”

Athaya menggeleng.

“Mm. Lupain aja,” katanya lalu menatap baju yang dia kenakan, “Gue juga udah dapet baju baru.”

“Bilang apa?” tanya Rayyan.

Athaya mendengus.

“Sorry, gue gak berutang terima kasih sama lu.”

Rayyan terkekeh.

Keduanya kemudian berjalan beriringan—hendak bergegas meninggalkan gedung divisi hingga berakhir di lobi.

Tapi baru aja Athaya nginjak dua anak tangga yang menjadi penghubung lobi dengan parkiran, kakinya tiba-tiba terpeleset. Sebab, lantai tangga masih agak licin karena guyuran air hujan beberapa jam lalu. Athaya pun lupa mengantisipasi.

Beruntung Rayyan dengan sigap menahan tubuh Athaya. Memeluknya erat, agar sang rekan kerja tidak berakhir jatuh—karena gak mampu menahan beban tubuhnya sendiri.

“Hati-hati,” gumam Rayyan.

Athaya menahan napas saat dia menoleh dan mendapati Rayyan menatapnya dengan jarak yang begitu dekat. Dia pun buru-buru memperbaiki posisi tubuhnya lalu menepis lengan Rayyan.

“Makasih,” ucapnya sebelum menghindari tatapan Rayyan.

“Gue duluan,” timpalnya.

Melihat Athaya justru berjalan melewati mobilnya, Rayyan pun menautkan alis. Dia lalu bergegas mengejar Athaya hingga berhasil menyamai langkah kakinya.

“Gue mau nganterin lu, Ya.”

“Gak usah. Kali aja Mami gue kenal sama mobil Mama lu. Entar kita malah ketahuan.”

“Kalo gitu gue nurunin lu di depan rumah tetangga lu aja.”

Athaya berdecak.

“Gak usah, Yan. Gue bisa pulang naik ojol,” katanya, “Lagian kalo pake mobil lama. Gue pengen cepet nyampe.”

“Biar gue yang mesen ojol.”

Athaya menghela napas gusar. Dia lalu menghentikan langkah dan menatap wajah Rayyan dengan raut kesal.

“Kalo gue bilang gak usah, ya gak usah. Gue bisa sendiri.”

“Tapi lu abis nemenin gue tadi, jadi lu tanggung jawab gue. Kalo lu kenapa-kenapa di jalan gimana?” kata Rayyan.

Dia lalu mengeluarkan handphone dari sakunya. Membuka aplikasi ojek online sebelum memesannya.

“Udah. Drivernya juga deket.”

“Oke. Jadi udah kan?” Athaya menghela napas, “Lu juga pulang gih sekarang. Muak banget gue liat muka lu.”

Athaya pun berjalan ke arah sisi jalan tepat di depan gedung kantornya. Namun lagi-lagi dia harus menahan emosi karena Rayyan masih juga mengikutinya.

“Ayyan—”

“Tuh, ojolnya udah dateng.”

Rayyan dengan sigap memotong ucapan Athaya. Bersamaan dengan ojek online yang tiba.

Rayyan pun menghampiri sang driver. Sementara Athaya hanya mampu mengacak rambutnya.

“Bang, temen saya pengen cepet nyampe. Tapi tolong kalo mau ngebut, liat spion dulu ya?”

Rayyan lalu menoleh ke arah Athaya yang udah minta helm ke sang driver ojek online.

“Nih liat modelan temen saya, sekali ketiup angin langsung terbang kek layangan putus.”

“Anjing,” gumam Athaya lalu menendang dengkul Rayyan.

“Siap, Mas. Temennya aman kok sama saya,” kata driver.

Rayyan tersenyum sambil mengangguk kecil sebelum beralih memandangi Athaya yang udah naik ke motor.

“Aya.”

“Apa lagi, setan?”

Rayyan terkekeh lalu menepuk helm Athaya.

“Kabarin gue kalo lu udah nyampe rumah,” ucapnya.

Athaya gak berkata iya atau pun tidak. Dia cuma mutar bola matanya sebelum nepuk pundak sang driver supaya segera jalan, ninggalin Rayyan yang masih berdiri di sana.

***

Sesampainya di rumah, Athaya bergegas masuk ke dalam kamarnya. Dia lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, mengeluarkan handphone dari sakunya.

Sejenak, Athaya memandangi layar dari ponsel pintar itu. Ucapan Rayyan padanya tadi seketika kembali terputar bagai kaset di dalam otaknya.

Tapi Athaya kemudian buru-buru menggeleng. Dia lalu meletakkan handphonenya tepat di samping kepalanya.

Hingga gak lama berselang, dentingan—tanda jika ada pesan masuk di handphone Athaya pun menggema. Dia lalu meraihnya, mendapati bahwa Rayyan lah sosok yang mengiriminya pesan dan bertanya apa dia sudah sampai di rumah atau tidak.

Athaya berdecak pelan lalu melemparkan handphone ke sembarang arah di atas ranjangnya. Setelahnya, dia lantas memandangi baju yang dikenakannya; baju yang Rayyan beli untuknya tadi.

Saat itu pula Athaya sadar kalau baju kotornya gak dia bawa pulang sedari tadi. Dan sudah pasti kalau bajunya itu ketinggalan di mobil Rayyan.

Athaya pun menghela napas gusar. Dia kemudian bangkit dari tempat tidurnya sebelum berjalan lesu ke kamar mandi.

Entah.

Athaya tiba-tiba merasa gelisah.

Berstatus sebagai anak intern mau gak mau bikin Athaya harus mengerjakan berbagai tugas dari atasan. Mulai dari yang sesederhana nge-print surat terus di-fotocopy sampai yang bikin deg-degan sekelas dampingin ketua divisi buat ketemu relasi.

Dan sekarang ini, tugas kedua Athaya di kantor setelah tadi nge-post konten media sosial kantor terbilang sederhana. Hanya sekedar memasukkan merchandise ke Tote bag.

Meski sederhana, tapi butuh effort juga buat kelarinnya. Sebab, gak cuma satu sampai sepuluh merchandise yang harus Athaya siapkan tapi seratus lima puluh. Dan dia ngelakuin itu sendiri.

“Gue boleh bantu gak?”

Athaya sedikit kaget ketika Rayyan tiba-tiba nyamperin dia di rest room.

“Gak usah,” jawabnya masih sambil masukin merchandise ke Tote bag satu persatu.

“Tapi kayaknya lu butuh bantuan deh,” kata Rayyan sambil ngeliatin merchandise, “Masih banyak banget itu.”

Athaya pun menatap Rayyan yang kini juga udah duduk melantai di hadapannya. Dia cuma bisa menghela napas sebelum nyodorin Tote bag.

“Pulpen, notebook sama pinnya lu taruh di bawah. Abis itu baru kaos, dilipet kek gini dulu tapi.”

“Oke.”

Athaya pun memerhatikan Rayyan yang mulai masukin merchandise ke Tote bag sejenak. Jaga-jaga kalau aja rekan kerjanya itu justru bikin tugasnya makin banyak karena pengen gangguin dia.

Tapi ternyata enggak. Rayyan bener-bener bantuin dia. Dan Athaya ngerasa aneh banget.

“Entar lu mau makan siang di mana, Ya?” tanya Rayyan.

“Ruangan,” jawabnya.

“Mau gofood?”

“Mm.”

“Lu suka dessert box gak?”

Athaya mendengus. Dia lalu memandangi Rayyan dengan kedua alis saling bertautan.

“Bisa gak lu kek biasanya aja?”

“Biasa gimana maksudnya?”

“Ya lu gak usah kayak gini. Tiba-tiba being nice, basa-basi, act like we’re friends,” Athaya berdecak, “Aneh tau gak?”

Rayyan terdiam sejenak. Jelas ada kebingungan di wajahnya.

“Lu selalu gak suka tiap gue gangguin lu. Giliran dibaikin, sama aja tapi warna biru.”

Meski Rayyan menyelipkan sedikit candaan, tapi matanya menyiratkan keseriusan.

“Jadi gue harus gimana, Ya?”

Athaya lantas menghentikan pekerjaannya sejenak ketika mendengar pertanyaan itu.

“Lu harus diem.”

Rayyan mengangkat pundak lalu berkata, “Oke.”

Athaya pun geleng-geleng kepala sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya. Sayangnya, hanya beberapa detik setelah itu dia lantas dibuat mendengus kasar. Pasalnya, salah satu Tote bag yang telah dia isi justru dibongkar oleh Rayyan.

“Ayyan...”

Nada suara Athaya terdengar pasrah. Begitu pun dengan tatapannya yang seakan telah lelah. Membuat Rayyan yang melihatnya seketika tertawa kecil sebelum kembali merapikan Tote bag itu.

“Wah, Aya sama Ayyan lagi sibuk nyiapin merchandise buat acara besok ya?”

Athaya begitu pun Rayyan lantas menoleh ke sumber suara. Mendapati Heri kini berjalan ke arah mereka.

“Iya, Mas.” jawab Rayyan, “Sebenarnya ini kerjaan Aya sih, tapi dia minta dibantuin.”

Tatapan tajam Athaya lantas melayang. Begitu pun dengan satu pukulan ringan dari tangannya yang berhasil mendarat di bahu Rayyan.

“Mau saya bantuin juga, Ya?”

“Gak apa-apa, Mas. Gak usah. Ada Rayyan kok. Daripada dia jadi pajangan doang,” katanya.

Rayyan tersenyum mengejek sebelum bergumam rendah, “Tadi katanya gak usah.”

Athaya mendengus.

“Aya, gimana tawaran saya tadi? Chat saya kok gak dibales?”

“Maaf, Mas. Tadi Bu Kinan udah manggil saya duluan buat ngatur merchandise di sini.”

Dia lalu berdeham.

“Saya pikir-pikir dulu ya, Mas.”

Heri lantas tersenyum tipis diikuti anggukan kepala.

“Oke deh. Saya tunggu, Aya.”

Demi apapun, Athaya bener-bener pengen mengubur diri sekarang juga. Hanya karena nanyain novel Yasa dia harus berada dalam situasi kayak gini.

“Tawaran apa?”

Rayyan dengan sigap bertanya sesaat setelah Heri meninggalkan rest room.

“Bukan urusan lu,” ketus Athaya.

Dia udah kalut.

“Emang bukan urusan gue. Tapi kan gue pengen tau.”

“Lu gak perlu tau.”

Athaya lalu menatap Rayyan.

“Kenapa? Lu takut kalo gue bakal bikin cewek yang lu suka sedih lagi?” ejeknya.

“Hush! Diem.”

“Ya elu juga diem, dari tadi bacot mulu. Pusing nih gue.”

“Mau gue beliin oskadon gak?”

Ayyan angkat tangan melihat raut kesal di wajah Athaya. Begitu pun dengan tatapan mematikan dari iris legam Athaya yang tertuju padanya.

“Oke, gue diem.”

***

Kurang dari lima menit lagi jam istirahat akan tiba. Satu persatu karyawan pun mulai bangkit dari kursinya. Bersiap untuk keluar dari ruangan untuk mencari pengisi perut. Gak terkecuali Heri. Tapi sebelum itu, dia menghampiri sekat di mana meja kerja Athaya, Rayyan, Janu dan Dina berada terlebih dahulu.

“Aya, kerjaan dari saya udah beres?”

Entah.

Hari ini—terhitung sejak dia ngechat Heri, Athaya jadi ngerasa canggung dan kaget-kagetan tiap kali atasannya itu datang ke meja kerjanya.

“Belum, Mas.”

“Ya udah. Entar dilanjut abis istirahat aja,” kata Heri, “Aya mau makan siang di mana?”

Mampus, batin Athaya. Dia kemudian berpikir keras sejenak sebelum menjawab.

“Di kantin, Mas.”

Ya. Mau gak mau dia emang harus makan di kantin biar bisa bareng rekan kerjanya yang lain. Sekarang Athaya ngerasa jadi orang yang mau lari dari Heri gara-gara novel Yasa.

Novel sialan, batinnya.

Rayyan yang diam-diam menyimak percakapan keduanya lantas melirik Athaya. Dia menautkan alis.

“Kalo gitu ke kantin sekarang yuk, Ya. Udah jam segini loh.”

Ya tuhan, batin Athaya lagi.

“Din, Nu, Yan. Yuk, kantin.”

Dina begitu juga dengan Janu lantas berdiri. Sementara Athaya dan Rayyan gak berkutik sama sekali.

“Aya, Ayyan, ayo.” ajak Dina.

“Mba Dina, Janu, Ayyan sama Mas Heri duluan aja. Saya abis ini mau ke toilet dulu soalnya.”

“Lu ke toilet aja dulu, Ya. Kita tungguin kok,” ucap Dina.

“Gak apa-apa, Mba. Takut entar urusan gue di toilet lama,” Athaya cengar-cengir.

“Ya udah. Kita nungguin lu di kantin.”

“Oke, Nu.”

“Ayyan, ayo.” ajak Janu.

“Gue mau beresin kerjaan dulu, Nu. Dikit lagi nih,” katanya, “Kalian duluan aja.”

Janu lantas mengangguk. Setelahnya, dia, Dina dan Heri berlalu meninggalkan ruang divisi yang perlahan sepi. Hingga kini, hanya ada Rayyan dan Athaya di sana.

“Lu beneran mau makan di kantin?” tanya Rayyan.

“Emang lu pikir di mana? Toilet?”

“Tapi tadi lu bilang ke gue kalo mau makan di ruangan.”

Niatnya emang gitu, batin Athaya dengan raut pasrah. Tapi kalau tadi dia bilang kayak gitu di depan Heri, bisa-bisa dia dikira nunggu ajakan makan siang berdua.

Athaya pun menghela napas panjang lalu menatap Rayyan.

“Gue berubah pikiran.”

“Lu makan di sini aja.”

“Lah? Kok ngatur?”

“Gue udah mesen makan siang buat kita berdua, Aya.”

“Hah?”

Athaya melongo sesaat.

“Makan di sini. Bareng gue.”

“Ogah. Lagian gue gak minta dibeliin makan siang sama lu.”

“Makanannya udah dianter, Ya.”

“Ya lu makan sendiri. Siapa suruh pake beliin gue makan siang segala. Mana gak pake nanya.”

Rayyan berdecak pelan. Raut wajahnya seketika berubah menjadi masam; dia merengut. Rayyan kemudian beralih menatap handphone sejenak—mendapati makanan siang yang ia pesan hampir sampai. Setelahnya, dia pun meletakkan handphone di atas meja sebelum kembali menatap komputernya.

Athaya yang melihat hal itu pun lantas mendesis pelan.

“Harga makanan yang lu pesen berapa sih semuanya? Biar gue ganti,” ucapnya.

“Gak usah,” balas Rayyan, “Lagian gue gak minta lu bayar.”

Menghela napasnya pelan, Athaya kemudian meraih handphonenya. Mencari satu kontak sebelum menelponnya hingga sosok di seberang sana menjawabnya.

“Halo, Mba Din.”

Rayyan melirik Athaya.

“Mba, gak usah nungguin gue sama Ayyan ya?” ucapnya.

“Gue sama dia mau makan di ruangan aja. Sekalian beresin kerjaan,” jelasnya pada Dina.

“Oke, Mba.”

Athaya kemudian menutup panggilan telepon sebelum menoleh ke Rayyan.

“Kenapa lu senyam-senyum?”

“Gue lagi ibadah.”

“Gii ligi ibidih.”

Athaya pun mendengus.

“Lu abis mesen apa sih?”

“Nasi campur,” jawab Rayyan, “Ayam serundengnya juara. Lu pasti suka kok, gue jamin.”

“Awas aja kalo gak enak. Lu yang bakal ngabisin tu nasi campur.”