“Gue udah di dalam mall.”

“Gue nungguin lu di depan Cold Stone,” balas Rayyan dari sambungan teleponnya.

“Oke. Gue ke sana sekarang.”

Setelah memutus panggilan telepon itu, Athaya kemudian bergegas menuju tempat yang disebutkan oleh Rayyan tadi. Sesampainya di sana, dia lantas mendapati sang rekan kerja tengah berdiri dengan dua es krim di tangannya.

“Nih.”

Rayyan menyodorkan salah satu es krim kepada Athaya. Membuat Athaya yang sebelumnya gak pernah meminta atau pun menitip hanya mampu menggeleng pelan lalu meraihnya. Setelahnya, mereka pun mulai berjalan pelan. Sesekali menyendok es krim.

“Gimana tadi jalan sama Mas Heri?” tanya Rayyan tiba-tiba.

“Gimana apanya?” Athaya pun menoleh sekilas lalu nautin alis, “Ya gue makan sama dia.”

“Yasa beneran malu-maluin?”

Es krim dalam mulut Athaya nyaris dia semburkan. Sebab dia jadi teringat dengan Yasa.

“Kaga sih. Tapi pas Mas Heri udah ngasih novelnya, dia kek orang gila. Cengar-cengir mulu.”

Athaya lalu menoleh.

“Oh iya, emang hadiah yang mau dibeli tuh apa aja sih?”

“Handphone sama laptop.”

Athaya lalu menghentikan langkahnya sembari menatap Rayyan dengan raut wajah gak percayanya.

“Itu doang?!”

“Iya. Tapi kalo lu mau nambahin mobil, boleh.”

“Terus ngapain lu pake ditemenin segala, anjing?” Athaya mendengus, “Kan lu bisa beli sama bawa sendiri.”

“Ga, gue harus ada temennya. Jadi kalo besok Bu Inggit gak suka sama tipe handphone atau laptopnya, gue bisa bilang itu saran dari Athaya.”

Athaya mendesis pelan lalu menginjak kaki kiri Rayyan. Gak mau kalah, Rayyan pun membalasnya dengan menepuk keras bahu Athaya.

“Lu mau berantem di sini?”

Athaya menantang.

“Ayo,” balas Rayyan.

Keduanya kemudian sama-sama memicingkan mata. Seolah mengambil ancang-ancang sebelum berperang.

Sampai gak lama berselang, Rayyan tiba-tiba menyendok es krimnya sebelum dengan sigap mengoleskannya di pipi kanan Athaya. Setelahnya, dia pun seketika berjalan tergesa. Meninggalkan Athaya yang ingin dan bersiap membalasnya.

Namun persekian detik berikutnya Rayyan lantas menghentikan langkah ketika mendengar pekikan Athaya dari arah belakang. Saat berbalik, dia melotot. Sebab dia mendapati Athaya—dengan bajunya yang telah dilumuri minuman berwarna cokelat berdiri di hadapan seorang laki-laki yang jelas memandanginya nyalang.

“Mata lo ada di mana sih?!”

“Maaf. Maaf banget, gue gak sengaja.” Athaya mendesis, “Biar gue ganti minumnya ya.”

“Ganti, ganti. Lu pikir gue gak bisa beli sendiri?” ucap lelaki di hadapan Athaya dengan suara menggelegar, “Udah jalan gak liat-liat. Kayak gak ada rasa bersalahnya lagi.”

“Tadi gue nunggu minuman ini sampe setengah jam tau gak? Tapi gara-gara lu jadi tumpah semua,” lanjutnya.

“Maaf ya. Tadi gue gak liat kalo lu jalan dari arah kiri.”

“Ya makanya. Kalo jalan di tempat rame gini liat-liat!”

“Lu maunya gimana sih?”

Athaya pun tersentak ketika Rayyan yang telah berdiri di sampingnya lantas bersuara.

“Dia udah minta maaf. Dia juga udah nawarin buat ganti minuman lu yang tumpah di bajunya. Tapi lu masih aja nyolot.”

“Gak usah ikut campur lu.”

“Ayyan.”

Athaya refleks menahan Rayyan yang memajukan langkahnya—seperti lelaki di hadapan mereka.

“Yan, kita diliatin orang.”

Athaya kemudian berbalik. Memandangi laki-laki yang telah menatap Rayyan nyalang.

“Sekali lagi maaf.”

Laki-laki di depan Athaya mendengus. Dia lalu menyodorkan handphone.

“Gue lagi buru-buru, jadi gue gak bisa nunggu minuman pengganti dari lu. Masukin nomor lu di sini.”

Rayyan yang mendengar penuturan lelaki itu lantas tersenyum remeh sebelum merebut handphone dari tangan empunya. Rayyan pun memasukkan nomornya di sana, mengembalikannya lalu berkata.

“Telpon ke nomor itu aja. Biar gue yang ganti,” katanya.

“Gue minta pertanggung jawaban dari dia, bukan lu.”

“Tapi tanggung jawab dia, tanggung jawab gue juga.”

“Gue gak minta dia diwakili,” sela lelaki itu, “Gak usah sok jadi jagoan. Emang lu siapanya? Bapaknya?”

“Gue cowoknya.”

Athaya—begitu juga lelaki yang berdiri di hadapannya dan Rayyan terdiam sejenak.

“Telpon nomor itu kalo lu mau minta ganti.”

Setelahnya, Rayyan lantas mencengkeram pergelangan tangan Athaya sebelum menariknya—bergegas pergi. Meninggalkan lelaki tadi yang hanya mampu berdecak kesal.

Merasa sudah jauh dari lelaki menyebalkan tadi, Rayyan pun menghentikan langkah lalu melepaskan tangan Athaya. Beralih menatapnya khawatir.

“Lu baik-baik aja?”

Athaya mendengus kasar.

“Lu ngapain sih tadi, Yan?”

“Cowok tadi nyebelin, Ya.”

“Gue tau,” balas Athaya, “Gue kalo mau nonjok muka cowok yang tadi juga bisa kok.”

Dia lalu menghela napas.

“Tapi gue gak mau diliatin sama orang, gak mau bikin ribut terus diusir satpam. Malu-maluin.”

Rayyan menjatuhkan pundak.

“Maaf,” ucapnya lirih.

Dia kemudian memerhatikan wajah Athaya. Dimana masih ada sedikit bekas es krim—yang dioleskannya di pipi Athaya sebelum insiden tadi.

Alhasil, tangan Rayyan pun refleks mengusap es krim itu dengan ibu jarinya. Membuat Athaya tersentak sebelum buru-buru menepisnya.

Kedua anak manusia itu kemudian terdiam sejenak. Persekian detik berikutnya, mereka lantas menghindari tatapan satu sama lain sebelum Athaya bersuara.

“Lu ke store laptop duluan. Gue mau ke toilet bersihin baju gue.”

“Entar gue nyusul,” timpalnya.

“Biar gue temenin.”

“Gue bukan anak kecil,” ketus Athaya lalu menjauhi Rayyan.

Tapi tanpa Athaya sadari, Rayyan tetap saja mengikuti langkahnya dari belakang.

***

Athaya berdecak pelan melihat noda tumpahan minuman di baju kaos putihnya gak bisa hilang; meski udah dibilas pake air. Dia pun cuma bisa pasrah lalu kembali mengenakan bajunya yang masih cukup basah itu.

Saat keluar dari bilik toilet. Athaya lantas melotot saat mendapati Rayyan berdiri di depan wastafel. Sang rekan kerja kemudian nyamperin dia, menyodorkan kemeja yang tadinya Rayyan pakai sebagai luaran baju kaosnya.

“Lu pake ini dulu,” katanya.

Athaya berdecak, “Gak usah.”

“Aya, gue ngerasa bersalah banget sama lu. Tolong terima bantuan gue ya?”

Malas untuk mengoceh lebih lama di depan Rayyan, Athaya pun meraih kemeja polos berwarna cream itu.

“Ayo, kita nyari baju dulu.”

“Baju apa lagi sih? Kan kita ke sini mau beli laptop sama hp.”

“Baju lu masih basah. Lu musti cepet-cepet ganti. Entar badan lu gatel, Ya.”

Athaya memutar bola mata.

“Lu ribet banget sih? Udah deh sekarang kita beli laptop sama handphone abis itu ke kantor terus pulang,” katanya.

Rayyan menghela napas pelan ketika Athaya berjalan mendahuluinya keluar dari toilet. Dia pun mengekor dari belakang selama beberapa saat. Namun sebelum rekan kerjanya itu melangkah lebih jauh menuju store laptop, dia lantas menarik paksa lengan Athaya menuju toko pakaian.

Gak peduli seberapa kuat Athaya mukulin bahu dia, Rayyan tetap bersikeras. Bahkan dia cuma ketawa kecil pas Athaya nyubit lengannya.

Alhasil, Athaya lagi-lagi cuma bisa berpasrah. Terlebih saat dia dan Rayyan—yang sibuk menyeretnya udah masuk ke salah satu toko pakaian.

“Cepet pilih satu,” kata Rayyan.

“Gak. Gue mau ngambil tiga,” Athaya menatap Rayyan sinis, “Siapa suruh nyeret gue ke sini.”

“Ya udah, ambil tiga. Tapi gue cuma mau bayar satu.”

Athaya tersenyum mengejek sebelum mencari satu baju kaos yang cocok untuknya. Setelah menemukan yang sesuai seleranya, dia pun menyodorkannya ke Rayyan.

“Katanya mau ngambil tiga?”

“Kalo gue ngambil tiga, entar lu ditendang sama si Mba kasir karena gak bisa bayar.”

Rayyan tersenyum tipis.

“Ya udah, ayo ke kasir.”

Keduanya kemudian berbalik. Hendak berjalan ke kasir. Tapi Rayyan kemudian dibuat heran saat Athaya tiba-tiba mematung di tempatnya. Matanya melotot.

Rayyan lalu menyipitkan mata sebelum meletakkan telapak tangan di atas kepala Athaya.

“Allahu laa ilaha—”

“Anjing! Jangan becanda. Mami sama Papi gue ada di sini.”

Athaya panik.

Dia lalu menuntun Rayyan agar ikut berjongkok bersamanya.

“Mana, anjing?!”

Rayyan juga sama paniknya.

“Di samping pintu.”

“Jadi kita musti gimana?”

“Teriak minta tolong,” sarkas Athaya, “Ya sembunyi, bego!”

Keduanya mendesis pelan. Sampai ketika Rayyan melihat seseorang keluar dari kamar ganti, dia pun menepuk pelan pundak Athaya dan berkata,

“Sembunyi di kamar ganti.”

Athaya mengangguk setuju. Dia kemudian berjalan pelan sambil membungkuk menuju kamar ganti. Sampai ketika dia akhirnya masuk ke tempat itu dengan selamat, Athaya justru nyaris dibuat memekik. Sebab, sedari tadi Rayyan nyatanya sibuk mengekor di belakangnya. Dan kini—saat Athaya berbalik, Rayyan telah berdiri tepat di hadapannya.

“Ngapain lu ikutan masuk?”

“Kan kita kudu sembunyi.”

“Bukan kita. Tapi gue!” nada suara Athaya begitu frustasi.

“Kalo Mami gue ngeliat kita jalan bareng, itu yang bahaya. Kalo cuma ngeliat lu—sendiri, kaga!”

Rayyan berpikir sejenak.

“Iya juga ya.”

“Ish, bego! Keluar lu! Cepet bayar bajunya terus bawain ke sini.”

Rayyan pun menurut. Dia keluar dari ruang ganti dan bergegas menuju kasir guna membayar baju untuk Athaya.

***

“Untung hari ini gue gak apes dua kali,” ucap Athaya setelah meletakkan tas belanjaan di atas meja dalam rest room.

Selepas berbelanja untuk keperluan hadiah, Athaya dan Rayyan membawa belanjaan itu ke kantor. Mereka lalu menyimpannya di rest room sebelum akhirnya kembali keluar dari ruang divisi.

“Ya, sekali lagi maaf ya. Tadi lu kena apes juga gara-gara berantem sama gue,” ucap Rayyan, “Gue jadi gak enak.”

Athaya menggeleng.

“Mm. Lupain aja,” katanya lalu menatap baju yang dia kenakan, “Gue juga udah dapet baju baru.”

“Bilang apa?” tanya Rayyan.

Athaya mendengus.

“Sorry, gue gak berutang terima kasih sama lu.”

Rayyan terkekeh.

Keduanya kemudian berjalan beriringan—hendak bergegas meninggalkan gedung divisi hingga berakhir di lobi.

Tapi baru aja Athaya nginjak dua anak tangga yang menjadi penghubung lobi dengan parkiran, kakinya tiba-tiba terpeleset. Sebab, lantai tangga masih agak licin karena guyuran air hujan beberapa jam lalu. Athaya pun lupa mengantisipasi.

Beruntung Rayyan dengan sigap menahan tubuh Athaya. Memeluknya erat, agar sang rekan kerja tidak berakhir jatuh—karena gak mampu menahan beban tubuhnya sendiri.

“Hati-hati,” gumam Rayyan.

Athaya menahan napas saat dia menoleh dan mendapati Rayyan menatapnya dengan jarak yang begitu dekat. Dia pun buru-buru memperbaiki posisi tubuhnya lalu menepis lengan Rayyan.

“Makasih,” ucapnya sebelum menghindari tatapan Rayyan.

“Gue duluan,” timpalnya.

Melihat Athaya justru berjalan melewati mobilnya, Rayyan pun menautkan alis. Dia lalu bergegas mengejar Athaya hingga berhasil menyamai langkah kakinya.

“Gue mau nganterin lu, Ya.”

“Gak usah. Kali aja Mami gue kenal sama mobil Mama lu. Entar kita malah ketahuan.”

“Kalo gitu gue nurunin lu di depan rumah tetangga lu aja.”

Athaya berdecak.

“Gak usah, Yan. Gue bisa pulang naik ojol,” katanya, “Lagian kalo pake mobil lama. Gue pengen cepet nyampe.”

“Biar gue yang mesen ojol.”

Athaya menghela napas gusar. Dia lalu menghentikan langkah dan menatap wajah Rayyan dengan raut kesal.

“Kalo gue bilang gak usah, ya gak usah. Gue bisa sendiri.”

“Tapi lu abis nemenin gue tadi, jadi lu tanggung jawab gue. Kalo lu kenapa-kenapa di jalan gimana?” kata Rayyan.

Dia lalu mengeluarkan handphone dari sakunya. Membuka aplikasi ojek online sebelum memesannya.

“Udah. Drivernya juga deket.”

“Oke. Jadi udah kan?” Athaya menghela napas, “Lu juga pulang gih sekarang. Muak banget gue liat muka lu.”

Athaya pun berjalan ke arah sisi jalan tepat di depan gedung kantornya. Namun lagi-lagi dia harus menahan emosi karena Rayyan masih juga mengikutinya.

“Ayyan—”

“Tuh, ojolnya udah dateng.”

Rayyan dengan sigap memotong ucapan Athaya. Bersamaan dengan ojek online yang tiba.

Rayyan pun menghampiri sang driver. Sementara Athaya hanya mampu mengacak rambutnya.

“Bang, temen saya pengen cepet nyampe. Tapi tolong kalo mau ngebut, liat spion dulu ya?”

Rayyan lalu menoleh ke arah Athaya yang udah minta helm ke sang driver ojek online.

“Nih liat modelan temen saya, sekali ketiup angin langsung terbang kek layangan putus.”

“Anjing,” gumam Athaya lalu menendang dengkul Rayyan.

“Siap, Mas. Temennya aman kok sama saya,” kata driver.

Rayyan tersenyum sambil mengangguk kecil sebelum beralih memandangi Athaya yang udah naik ke motor.

“Aya.”

“Apa lagi, setan?”

Rayyan terkekeh lalu menepuk helm Athaya.

“Kabarin gue kalo lu udah nyampe rumah,” ucapnya.

Athaya gak berkata iya atau pun tidak. Dia cuma mutar bola matanya sebelum nepuk pundak sang driver supaya segera jalan, ninggalin Rayyan yang masih berdiri di sana.

***

Sesampainya di rumah, Athaya bergegas masuk ke dalam kamarnya. Dia lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, mengeluarkan handphone dari sakunya.

Sejenak, Athaya memandangi layar dari ponsel pintar itu. Ucapan Rayyan padanya tadi seketika kembali terputar bagai kaset di dalam otaknya.

Tapi Athaya kemudian buru-buru menggeleng. Dia lalu meletakkan handphonenya tepat di samping kepalanya.

Hingga gak lama berselang, dentingan—tanda jika ada pesan masuk di handphone Athaya pun menggema. Dia lalu meraihnya, mendapati bahwa Rayyan lah sosok yang mengiriminya pesan dan bertanya apa dia sudah sampai di rumah atau tidak.

Athaya berdecak pelan lalu melemparkan handphone ke sembarang arah di atas ranjangnya. Setelahnya, dia lantas memandangi baju yang dikenakannya; baju yang Rayyan beli untuknya tadi.

Saat itu pula Athaya sadar kalau baju kotornya gak dia bawa pulang sedari tadi. Dan sudah pasti kalau bajunya itu ketinggalan di mobil Rayyan.

Athaya pun menghela napas gusar. Dia kemudian bangkit dari tempat tidurnya sebelum berjalan lesu ke kamar mandi.

Entah.

Athaya tiba-tiba merasa gelisah.