Meskipun posisi Athaya saat ini adalah pura-pura gak tau kalau Dina menyimpan rasa ke Mas Heri, tapi dia tetap aja ngerasa canggung bahkan gak enak. Terlebih ketika rekan kerjanya itu udah kembali ke ruang divisi setelah tadi diajak oleh Rayyan untuk makan siang berdua.

Athaya bisa melihat secercah keputusasaan di wajah Dina. Athaya juga bisa melihat betapa pedih tatapan Dina ketika mendapati kotak snack di mejanya; yang memang belum Athaya sentuh sama sekali.

Dan Athaya benar-benar gak suka dengan kondisi seperti ini. Terlebih, kurang dari lima belas menit lagi—dia, Rayyan, Dina dan Janu akan pindah ke ruang rapat. Membicarakan project yang telah diberikan sang atasan.

Athaya pun yakin, suasananya akan lebih canggung lagi.

“Wih, Aya dapet snack. Dari mana nih?” celetuk Janu saat mendapati kotak snack di meja Athaya, “Masih ada, Ya?”

“Mm. Dari acara study tour anak-anak kuliahan,” Athaya sengaja gak mau menyebut nama Heri, “Tuh, belum gue makan.”

“Kenapa gak dimakan, Ya?”

Athaya menelan ludah saat Dina yang saat ini lagi duduk di kursi Rayyan—guna memindahkan file project seketika ikut bersuara. Dina terlihat tenang, suaranya gak berbeda dari biasanya; tetap lemah lembut. Tapi Athaya justru merasakan kesedihan di sana.

Tepatnya di matanya.

Sementara itu, Rayyan yang berdiri di samping Dina pun menatap Athaya lekat-lekat.

“Itu Mas Heri gak makan snacknya gara-gara liat kalo isinya roti kesukaan lu tau.”

“Oh, jadi ini dari Mas Heri?”

Janu menyipitkan matanya lalu tersenyum usil ke Athaya.

“Ya udah deh, gak jadi gue minta. Soalnya kan buat Aya.”

Sekarang Athaya benar-benar bingung harus merespon apa.

“Kayaknya lu akhir-akhir ini deket sama Mas Heri ya, Ya?”

Lagi.

Athaya merasa ditodong saat Dina kembali bersuara. Kali ini sambil tersenyum—yang Athaya bisa tebak dipaksakan.

“Iya. Deket kayak ke Mba Dina, Rayyan sama Janu.”

“Tapi kayaknya Mas Heri tertarik sama lu deh, Ya.”

Janu menimpali dan membuat Athaya semakin pusing. Dia lalu menoleh ke Rayyan, tapi jelas kalau rekan kerjanya itu juga gak tau harus bagaimana.

“Bener,” tambah Dina, “Mas Heri tuh orangnya jarang-jarang loh makan di kantin sebelum lu kerja di sini, Ya.”

“Tapi sekarang kayaknya hampir tiap hari dah makan di kantin mulu bareng kita.”

“Cieee! Aya digebet Mas Heri.”

“Apaan sih, Nu. Jangan gitu ah,” Athaya mendesis, “Gue gak ngerasa dideketin kok.”

“Tapi itu dia deketin lu, Ya.”

“Nu, udah. Jangan ledekin Aya, kasian tau dia tertekan.”

Rayyan mencoba menolong Athaya meski dengan sedikit candaan agar Janu—terlebih lagi Dina gak curiga kalau Athaya udah tau tentang perasaannya.

“Aya, gue boleh nanya gak?”

“Nanya apa, Mba Din?”

“Agak personal tapi,” Dina memastikan, “Gak apa-apa?”

Athaya mengangguk kaku. Setelahnya, Dina pun bertanya.

“Lu tertarik sama cowok gak?”

Mungkin ini saat yang tepat buat Athaya keluar dari rasa gak nyaman seperti sekarang, pikirnya. Dan mungkin ini pula lah satu-satunya cara supaya Dina gak curiga kalau dia nyimpan rasa ke Heri.

Karena emang pada faktanya; dia gak menaruh hati ke Heri.

“Untuk sekarang enggak, Mba.”

Rayyan yang mendengar ucapan Athaya seketika menautkan alis.

“Bukan berarti gue homophobic. Gue menghargai sexuality setiap orang. Cuman untuk gue pribadi—dan untuk sekarang ini, gue lebih tertarik ke cewek.”

Athaya meremas jemarinya.

“Tapi gak menutup kemungkinan kan di masa depan nanti gue bakal suka cowok? Who knows.”

Dia lalu memaksakan tawa.

“Sekarang gue bahkan males buat deket sama siapa-siapa. Jangankan cowok, cewek aja enggak,” jelas Athaya diikuti senyum tipis di bibirnya.

“Mas Heri kalo denger ini keknya bakal patah hati deh.”

Athaya menggeleng ketika mendengar ucapan Janu.

“Gak lah, ngapain? Emang Mas Heri pernah bilang kalo dia suka sama gue? Gak kan?”

“Kali aja Mas Heri yang bisa bikin lu suka sama cowok, Ya.”

“Gak lah, Mba. Gue gak ada perasaan apa-apa sama Mas Heri. Dia juga udah kayak kakak gue di sini,” balasnya.

Athaya benar-benar ingin menyudahi percakapan ini sekarang. Dia gak mau ada lagi pertanyaan lain yang justru bikin dia pusing sendiri buat mikirin sebuah jawaban.

“Duh, gue jadi haus nih abis wawancara personal. Kalian mau minum gak?” tanyanya.

“Maaf, Ya. Gara-gara gue nih.”

Dina lalu berdiri, “Biar gue yang ngambilin minum ya.”

“Eh gak usah, Mba.”

Athaya ikut berdiri.

“Ya udah,” kata Dina, “Kalo gitu entar lu nyusul ke ruang rapat ya. Ini Bu Inggit sama Pak Rony udah nge-chat gue buat siap-siap,” ucap Dina.

“Oke, Mba.”

Athaya kemudian berlalu. Dia berjalan menuju dapur ruang divisi sambil menghela napas panjang. Sesampainya di sana pun Athaya buru-buru buka kulkas. Mencari lalu meraih minuman berkarbonasi yang dia simpan sejak pagi tadi.

Tapi belum sempat Athaya membuka tutup botolnya, suara pintu ruang dapur yang ditutup lantas bikin dia noleh. Dia kemudian balik badan ketika melihat Rayyan.

“Yang lu bilang tadi bener apa boong lagi?” tanya Rayyan.

Athaya mendengus. Dia kesal. Sebab bukannya memberi dukungan—atau minimal bertanya gimana perasaannya setelah dicecar pertanyaan oleh Dina, Rayyan justru ikut menambahkan pertanyaan.

“Emang masih penting kalo yang gue bilang tadi boong?”

“Penting lah, gimana kalo lu tiba-tiba suka sama cowok?”

“Atau gimana kalo dalam waktu dekat lu malah suka sama Mas Heri?” timpalnya.

“Terus masalahnya di mana?” sela Athaya, “Lagian gue kan udah bilang tadi—kalo gak menutup kemungkinan gue bakal suka sama cowok juga.”

“Tapi sebaiknya lu gak usah jawab kayak gitu, Athaya.”

Athaya menatap Rayyan sinis.

“Terus lu mau gue gimana sih, Yan? Keknya yang gue lakuin tuh salah mulu ya?”

“Tadi juga lu gak bisa bantu apa-apa loh supaya Mba Dina gak nanya-nanya ke gue?”

“Lu bisa jawab enggak aja pas Mba Dina minta persetujuan lu buat nanya hal personal.”

“Atau pas lu abis ditanyain suka sama cowok apa gak. Kan berhenti di situ bisa.”

Rayyan menghela napas.

“Ya, gue kan udah bilang. Pikirin diri lu sendiri. Lu gak perlu ngelakuin sesuatu—”

“Karena gak enak sama Mba Dina. Lagian Mba Dina itu urusan lu. Gitu kan?” Athaya memotong ucapan Rayyan.

“Iya, gue juga tau. Dan gue ngelakuin tadi buat diri gue sendiri. Gue capek tau gak dicurigain mulu,” jelasnya.

Melihat sorot mata Athaya telah dipenuhi amarah, Rayyan pun mulai meredam emosinya yang entah kenapa tiba-tiba meluap.

“Maaf, Ya. Gue bener-bener khawatir banget sama lu tadi.”

Athaya gak merespon. Dia kemudian hendak melangkah, meninggalkan Rayyan di sana. Tapi rekan kerjanya itu justru menghadang jalannya.

“Maafin gue,” pinta Rayyan.

“Gue mau lewat,” ketus Athaya.

“Iya, tapi maafin gue dulu.”

“Gak penting.”

Rayyan berdecak. Dia lalu merebut minuman di tangan Athaya. Sang empu pun berusaha untuk mengambil minuman itu kembali. Namun Rayyan menyembunyikannya di balik pinggangnya.

“Maafin gue, Athaya.”

Athaya mengeraskan rahang sembari menatap tajam ke dalam bola mata Rayyan. Dan hanya selang beberapa detik, dia lantas menarik kerah baju Rayyan dengan satu tangan.

Tapi yang membuat Rayyan seketika mematung adalah saat Athaya lantas mengecup bibirnya cukup lama. Bahkan karena hal itu, Rayyan pun gak sadar kalau satu tangan Athaya terjulur ke belakang pinggangnya guna mengambil minuman—selagi mengecup bibirnya.

Saat telah berhasil meraih minumannya, Athaya pun menjauhkan wajahnya dari Rayyan. Dia lalu beralih mengusap kasar bibirnya dengan punggung tangan.

Tanpa mengatakan apa-apa, Athaya kemudian pergi dari ruang dapur itu. Melangkah meninggalkan Rayyan yang masih berdiri di tempatnya sembari mengusap bibirnya dengan punggung tangan.

***

Athaya tau dia udah nyaris gila. Hanya karena gak bisa membendung emosi dan rasa kesal, dia justru melakukan hal bodoh yang sekarang jadi berbuah kecanggungan lain.

Bukan lagi dengan Dina, tapi antara dirinya dengan Rayyan.

Sejak di ruang rapat, berlanjut menyelesaikan pekerjaan di meja masing-masing, hingga kini semua karyawan udah bersiap untuk pulang, Athaya dan Rayyan gak pernah saling bertegur sapa.

Awalnya Athaya pikir—hal ini mungkin sedikit lebih baik. Sebab, dia gak perlu meladeni Rayyan yang menyebalkan.

Tapi nyatanya tidak. Dia justru merasa asing.

“Aya, Ayyan, ayo.”

Dina mengajak keduanya untuk segera bangkit guna meninggalkan ruang divisi dan berjalan bersama ke lobi.

“Kalian duluan aja. Gue mau beresin kerjaan dari Bu Kinan dulu,” tutur Athaya.

“Lu lembur, Ya?” timpal Janu.

“Mm, tapi bentar lagi kelar.”

Gak lama berselang Heri pun datang. Menghampiri meja Athaya seperti biasanya.

“Aya kok belum beres-beres?”

“Saya masih mau ngelanjutin kerjaan dari Bu Kinan, Mas. Deadline-nya udah besok.”

“Mau saya temenin?”

Athaya menggeleng.

“Gak usah, Mas. Bentar lagi juga kelar kok ini,” katanya.

“Kalo gitu saya duluan ya.”

“Kita juga duluan ya, Aya.”

Athaya mengangguk ketika Heri, Janu, Dina begitu pun Rayyan meninggalkan sekat mereka. Alhasil, saat ini dia benar-benar telah sendiri di ruang divisi. Sepi dan sunyi.

Kepala Athaya mendadak pusing. Sekarang dia cuma bisa merutuki kebodohannya.

Lalu apa yang akan dipikirkan Rayyan tentangnya? Batinnya.

Dan kenapa juga sekarang dia begitu peduli? Pikirnya lagi.

Menghela napas gusar, Athaya kemudian melipat lengan di atas mejanya lalu menenggelamkan wajah di sana. Mengistirahatkan kepalanya yang seperti ingin meledak.

Namun ketika Athaya merasa bahwa sebuah telapak tangan mendarat di bahunya, dia lalu mendongak. Sedikit terkejut ketika mendapati Rayyan lah yang berdiri di sampingnya.

Dan bagai kecepatan cahaya, Rayyan lantas membungkuk sembari menarik tengkuk Athaya dengan satu tangan. Berakhir mempertemukan kedua belah bibir mereka. Sementara tangannya yang lain bertumpu di pegangan kursi Athaya.

Athaya pun masih gak bisa memprosesnya. Dia tiba-tiba membeku di tempat sembari memandangi wajah Rayyan.

Mata lelaki itu terpejam.

Hingga saat Rayyan perlahan melumat lembut bibirnya, Athaya lantas mencengkeram bahu rekan kerjanya itu. Dia benar-benar gak mengerti kenapa mereka berdua justru berakhir seperti sekarang ini.

Athaya—sekalipun gak pernah membalas lumatan Rayyan. Tapi dia juga gak menolaknya. Dia hanya membiarkan lelaki itu terus menciumi bibirnya.

Sampai gak lama berselang, Rayyan kemudian melepas tautan bibir mereka. Beralih menatap wajah Athaya lamat dengan napas yang pendek.

“Jangan bikin gue bingung, Ya.”

Athaya menelan ludah. Sorot mata Rayyan terlihat begitu pasrah. Seolah takluk kepada sesuatu yang mengancamnya.

“Jangan bikin gue kayak gini,” timpal Rayyan dengan lirih.

“Gue gak ngapa-ngapain lu, Yan.”

Athaya menatap lurus ke dalam sepasang netra madu Rayyan.

“Lu yang datang,” katanya.

Rayyan yang datang dan memintanya agar mengakhiri masalah di antara mereka.

Rayyan yang datang dan menaruh rasa peduli padanya.

Rayyan pula yang datang dan menawarkannya kenyamanan.

Kalimat bermakna ganda itu sukses membuat Athaya lega. Dia pun merasa gak perlu lagi menjelaskan apa-apa. Alhasil, dia kemudian memutus kontak mata dengan Rayyan. Hendak kembali menoleh ke komputernya.

Tapi sebelum niatnya itu tersampaikan, Rayyan justru kembali menarik tengkuknya. Dan lagi-lagi menyatukan kedua belah bibir mereka.

Namun kali ini Athaya justru dibuat kewalahan. Rayyan melumat bibirnya begitu rakus—gak lembut seperti sebelumnya. Mau gak mau Athaya seketika mengimbanginya. Dia membalas setiap lumatan, kecupan hingga gigitan kecil yang Rayyan beri.

Kepala miring ke kiri dan ke kanan bergantian. Decak lidah menjadi pemecah kesunyian. Juga dua anak manusia yang mencari sebuah rasa terpendam di antara suara lenguhan.

Aksi Rayyan dan Athaya itu terus berlanjut hingga akhirnya pasokan oksigen yang mereka hirup semakin menipis.

Alhasil, Rayyan yang sedari tadi mendominasi ciuman itu pun menyudahinya. Beralih menatap wajah Athaya sejenak. Mengusap pipi rekan kerjanya itu dengan ibu jari, sebelum menarik kursi nya sendiri lalu duduk di sana.

Hening.

Baik itu Athaya maupun Rayyan sama-sama terdiam seperti orang kebingungan. Hanya menatap kosong ke lantai; yang saat ini seolah menjadi objek terbaik untuk dipandang.

Tapi keheningan itu seketika pecah saat Rayyan tiba-tiba meraih jemari Athaya. Dia menggenggamnya sembari menatap wajah sang rekan kerja dengan raut seriusnya.

“Gue bingung sama perasaan gue sendiri,” tutur Rayyan.

Athaya menyimak.

“Gue suka sama Mba Dina. Tapi semenjak lu datang, atensi gue justru tertuju sama lu.”

“Gue selalu khawatir kalo aja lu diapa-apain di sini. Gue selalu takut lu ngalamin hal gak baik. Gue selalu pengen ada buat lu, ngelindungin lu, dengerin lu.”

“Gue gelisah tiap kali lu ngindarin gue. Gue kesel kalo ngeliat orang lain berani gangguin lu,” ucapnya.

Dia menatap mata Athaya.

“Aya, gimana kalau gue cinta sama lu?” tanya Rayyan, “Apa lu bisa nerima dicintai sama gue?”

Athaya menatap jemarinya yang bertautan dengan milik Rayyan lalu menghela napas.

“Mau gue bakal nerima atau nolak, itu bukan urusan lu. Tapi urusan gue,” jawabnya.

“Jadi mending lu ngurusin perasaan lu sendiri dulu.”

Rayyan menelan ludah. Dia tau maksud Athaya adalah tentang perasaannya ke Dina juga kepada Athaya sendiri.

“Aya...”

“Apa?”

“Kayaknya gue ga bisa nepatin ucapan gue ke lu beberapa waktu yang lalu.”

Athaya menautkan alisnya.

“Gue pernah bilang kalau gue gak ada niat buat ngerebut apapun dari lu, tapi sekarang gue mau narik ucapan itu.”

Rayyan mengeratkan genggaman tangannya dengan Athaya.

“Gue pengen ngerebut sesuatu dari lu sekarang.”

“Apa?” tanya Athaya.

“Hati lu.”

Athaya menggeleng.

“Sebelum ngerebut hati orang lain, mending lu cari tau dulu hati lu sendiri ada di mana.”

“Lu masih bingung,” timpalnya.

Rayyan mengangguk pelan lalu membiarkan Athaya melepaskan genggaman tangan mereka.

“Pulang sana,” kata Athaya.

“Hari ini gue gak bawa mobil.”

“Kan ada ojol.”

“Tapi kalo ojol musti bayar.”

Athaya mendengus.

“Terus lu mau gimana? Nginep di kantor?” tanyanya ketus.

Rayyan berdecak pelan.

“Gue mau pulang sama lu, Aya.” katanya lalu bergumam pelan, “Gitu aja musti dikasih tau. Gak pekaan banget si botak. Heran.”

“Apa lu bilang?”

“Gak,” Rayyan nunjuk komputer Athaya, “Beresin kerjaan lu gih.”