TW // Kissing 🔞

Athaya berharap, apa yang saat ini dia pikirkan bukan sebuah kenyataan. Dia berharap Rayyan telah pulang jauh sebelum turun hujan hingga se-deras sekarang.

Dengan payung yang menjadi pelindungnya, Athaya berjalan tergesa menuju halaman depan rumah. Jantungnya berdegup kencang selagi dinginnya malam semakin menembus kulit hingga ke tulang.

Dia khawatir. Dia memikirkan Rayyan.

Sesampainya di depan pagar, Athaya kemudian menoleh ke halaman depan rumah tetangga. Tempat dimana dia dan Rayyan biasanya bertemu diam-diam supaya gak ketahuan.

Dan pada detik itu juga napas Athaya tertahan.

Rayyan—memayungi dirinya dengan jaket denim yang dia kenakan berdiri di sana; tepat di samping motornya. Rayyan menunduk, memandangi kakinya. Seakan gak peduli tubuhnya udah basah kuyup.

Tanpa membuang waktu, Athaya seketika menghampiri Rayyan. Memayunginya, guna menghalau air hujan yang begitu deras.

Saat itu pula Rayyan lantas mengangkat kepalanya. Dia tersenyum haru mendapati Athaya telah berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dengan raut kekhawatiran.

“Lu ngapain di sini, anjing?”

Suara Athaya terdengar begitu frustasi dan cemas.

“Lu mau sakit ha?” katanya.

Athaya lalu menyisir rambut yang menutupi sebagian kening Rayyan ketika lelaki itu gak lagi memegangi jaket denimnya.

“Wajah lu pucat, Yan.”

Suara Athaya menjadi lirih.

“Maafin gue, Ya.”

Athaya mendesis kesal lalu mencengkeram pergelangan tangan Rayyan. Dia kemudian menariknya pelan, hendak menuntun Rayyan menuju rumahnya. Tapi Rayyan menahan langkahnya hingga Athaya berbalik, menatapnya.

“Aya, gue emang pengen ngomong sama Mami lu. Tapi gak sekarang ya?” katanya, “Baju gue basah. Gak sopan.”

“Jangan ngadi-ngadi,” Athaya mendengus, “Mami Papi gue gak ada di rumah. Lagi ke luar kota.”

“Ikut gue,” perintahnya, “Lu bisa masuk angin tau gak?”

Rayyan akhirnya menurut. Dia mengikuti langkah kaki Athaya yang masih setia memayunginya hingga mereka sampai di teras. Athaya lalu menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah, gak peduli tetesan air hujan dari pakaiannya membasahi lantai.

Rayyan hanya terus mengikuti Athaya yang entah ingin membawanya ke mana. Tapi pertanyaannya itu pun terjawab saat Athaya membuka salah satu pintu yang berada di lantai dua.

Athaya membawa Rayyan untuk masuk ke kamarnya.

“Lu keramas dulu, biar gak flu.”

Athaya menuntun Rayyan ke arah kamar mandinya. Gak lupa juga memberi handuk bersih yang kemudian diraih oleh Rayyan. Sejenak, mereka saling memandang. Satunya memberi tatapan khawatir, sementara yang lain memberi tatapan sesal.

“Kalo lu udah selesai mandi tapi gue gak ada di kamar, berarti gue masih di dapur. Mau bikin teh.”

Athaya menimpali sekaligus memecah keheningan itu.

“Entar gue taroh baju di atas tempat tidur, lu pake itu aja.”

Rayyan pun mengangguk paham sebelum masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Athaya yang masih berdiri di tempatnya—sembari menghela napas pelan.

***

“Bersin-bersin kan lu.”

Athaya berdecak pelan lalu meletakkan cangkir—yang tadinya berisi teh hangat dan telah habis diminum oleh Rayyan di atas nakas. Dia duduk di tepi ranjang, di samping Rayyan yang mengeringkan rambutnya.

“Sini, biar gue bantu.”

Athaya pun mengambil alih handuk dari Rayyan. Dia mengusap lembut rambut si lelaki berlesung pipi sembari memastikannya benar-benar telah kering. Sementara itu, Rayyan justru sibuk menatap Athaya lekat-lekat.

“Maafin gue, Ya.”

Gerakan tangan Athaya terhenti ketika Rayyan bersuara. Beralih menepikan handuk yang dia genggam di belakang tubuhnya.

Dan kini, atensi Athaya telah berpusat kepada Rayyan seutuhnya. Dia mendengarkan.

“Gue salah karena gak bilang dulu ke lu sebelum ngomong sama Mba Dina,” katanya.

“Kalau lu gak suka Mba Dina tau, tiga hari lagi gue bakal bilang ke dia kalau gue udah nyerah buat dapetin lu—karena lu masih gak suka sama cowok. Gue bakal pura-pura gak suka lagi sama lu.”

Rayyan menggenggam kedua tangan Athaya erat-erat.

“Jangan marah lagi ya?”

Athaya menunduk, menatap jemarinya yang bertautan dengan Rayyan sejenak sebelum melepaskannya. Dia lalu beralih mengusap pipi kiri Rayyan.

“Gak usah,” katanya, “Gue gak marah kok. Gue cuma kesel.”

“Gue takut kalau aja nanti kita ketahuan, Yan. Sebelum hubungan orang tua kita baik, gue gak pengen orang kantor tau kalau kita berdua lagi deket.”

“Lu masih inget kan pas Mami gue tau kalau lu yang gantiin gue baca pidato?” tanyanya.

“Bukan gue loh yang ngasih tau Mami gue, Yan. Tapi Mami denger dari orang lain terus akhirnya dateng ke sekolah.”

Rayyan menunduk.

“Bukan gak mungkin Mami gue bakal ngamuk kalau tau kita deket gini. Abis itu berantem lagi sama Mama lu. Kita yang malu.”

“Maaf,” gumam Rayyan.

“Udah dong minta maafnya. Gue kan pengen minta maaf juga.”

Rayyan menahan senyum. Sebab ini menjadi kali pertama dia melihat Athaya merengek.

“Gue juga minta maaf karena langsung ngilang aja tadi. Gak ngejelasin apa-apa,” katanya.

“Sampai-sampai lu nunggu lama di luar, terus keujanan.”

Athaya menarik napasnya.

“Gue juga kesel pas tau kalo lu se-terbuka itu sama Mba Dina.”

“Lu percaya banget sama dia. Lu kayak bangga-banggain dia.”

Athaya lalu menghindari tatapan mata Rayyan sejenak.

“Bukan berarti gue pengen lu berhenti buat ngobrolin segala sesuatu ke dia. Gak kok.”

“Tapi tadi gue tiba-tiba mikir, apa lu juga bakal percaya kayak gitu ke gue?” ucapnya lirih.

“Apa gue juga bakal bisa percaya sama lu nanti kayak Mba Dina?”

Athaya tersenyum miring.

“Kayaknya enggak,” ucapnya, “Gue gak bisa percaya sama siapa-siapa di kantor.”

Rayyan menggeleng.

“Lu gak harus percaya sama siapa-siapa di kantor, Ya.”

Athaya kembali menatap kedua bola mata Rayyan.

“Tapi lu cuma bisa percaya sama gue,” katanya, “Karena gue juga percaya sama lu.”

“Dan apa yang bisa bikin gue percaya sama lu, Yan?”

“Apa yang bisa bikin gue yakin kalo lu gak bakal nyakitin gue?”

Lagi, Athaya menggunakan satu pertanyaan ke dalam makna ganda yang seketika dipahami dengan mudah oleh Rayyan.

“Karena gue cinta sama lu.”

Jawaban Rayyan yang singkat dan sederhana membuat Athaya refleks mendengus pelan.

“Mencintai lu—berarti gue udah menganggap lu sebagai bagian dari diri gue sepenuhnya.”

“I didn’t see you as a separate entity from me, but you and me are same for me as me.”

“Jadi ketika gue nyakitin lu, gue juga nyakitin diri gue sendiri.”

“Begitu juga sebaliknya—gue pengen lu bahagia, karena gue juga bakal ikut bahagia.”

Rayyan tersenyum tipis lalu mengusap lembut pipi kanan Athaya dengan ibu jarinya.

“Kata-kata kayak gini tuh gak bisa membuktikan, Ya.”

Athaya menatap wajah Rayyan lekat-lekat.

“Jadi tolong liat gue ya? Tolong liat gimana gue berusaha buat bikin lu bahagia.”

Penuturan Rayyan membuat Athaya seketika tersenyum lembut. Dan hanya persekian detik berikutnya, Athaya lantas menarik tengkuk Rayyan hingga jarak antara wajah mereka terkikis. Hal itu pun membuat kedua belah bibir mereka menyatu setelahnya.

Rayyan jelas terkejut. Terlebih ketika Athaya melumat lembut bibir bawahnya sembari memejamkan mata. Dia pun membiarkan Athaya untuk terus menciuminya, tanpa membalas atau pun menolaknya. Sama seperti yang Athaya lakukan pada ciuman pertama mereka.

Namun ketika Athaya mulai memberikan gigitan kecil yang seakan memanggil agar dia tidak diam saja, Rayyan seketika ikut menggerakkan bibirnya. Melumat dan mengecap rasa manis yang ditawarkan olehnya.

Keduanya sama-sama terbuai. Air ludah yang entah milik siapa ditelan tanpa ragu. Decak lidah yang saling besahut-sahutan di tengah suara rintik hujan di luar sana pun seolah menjadi nada indah dari sebuah lagu. Dan Athaya juga Rayyan hanyalah dua dari jutaan manusia di dunia yang terbelenggu.

Sampai saat Rayyan tiba-tiba berhenti dan melepas tautan bibir mereka, Athaya lantas dibuat bingung. Terlebih ketika lelaki yang duduk menghadap ke arahnya itu beralih memeluk erat tubuhnya. Dagu disandarkan pada bahu kanannya.

Athaya pun berpikir sejenak lalu bergumam, “Gue emang belum sikat gigi, tapi kan tadi gue cuma makan salad buah.”

Athaya lalu meletakkan telapak tangan di depan mulutnya, menghembuskan napasnya.

“Napas gue juga gak bau,” dia menimpali, “Emang menurut lu napas gue bau ya?”

Rayyan akhirnya melepaskan pelukannya. Beralih menatap wajah Athaya lalu mencubit kedua pipinya sejenak.

“Gue gak pernah bilang gitu.”

“Terus kenapa lu berhenti?”

“Kita lagi berduaan. Di kamar. Rumah lu juga kosong, gak ada orang selain kita.”

Rayyan lalu menoyor pelan kening Athaya dengan telunjuknya, “Emang lu gak takut, kalo nanti ada setan?”

“Gak,” Athaya mengedikkan pundak, “Kan lu setannya.”

“Gak usah sok polos,” cibir Rayyan, “Gue tau lu paham maksud gue.”

“Ya emang gue paham,” ucap Athaya lalu mendekatkan wajahnya dengan Rayyan.

“Kenapa? Lu mau nyoba?” bisiknya, “Jadi lu bisa tau rasanya. Kalo gak enak kan, lu bisa mundur aja. Gak usah deketin gue lagi.”

Rayyan menipiskan bibirnya sebelum menoyor kepala Athaya. Setelahnya dia lalu mengambil bantal dan memukuli tubuh Athaya dengan benda empuk itu.

Gak mau kalah, Athaya pun melakukan hal serupa. Membuat mereka berakhir saling berperang dengan bantal. Tapi Athaya harus mengakui kekalahannya ketika Rayyan tiba-tiba menarik paksa bantalnya. Setelahnya, Rayyan beralih memeluk leher Athaya agar tidak leluasa bergerak.

“Siapa yang ngajarin lu ngomong kek gitu hm?” tanya Rayyan, “Kalo lu ngomong gitu ke cowok lain, udah abis lu sekarang.”

Athaya terkekeh, “Makanya gue ngomong gitu ke lu.”

“Kenapa?” tanya Rayyan.

“Soalnya gue yakin lu gak bakal ngapa-ngapain gue,” tutur Athaya diikuti senyum.

Rayyan yang mendengarnya pun ikut tersenyum sebelum mendorong pelan tubuhnya dan Athaya hingga mereka berbaring menyamping—punggung Athaya bersandar di dada Rayyan. Masih dengan satu lengan Rayyan yang memeluk leher Athaya.

Namun sesaat setelahnya, satu lengan Rayyan beralih memeluk pinggang Athaya. Sementara lengannya yang lain menjadi bantal di bawah kepala Athaya.

“Aya.”

“Mm?”

“Lu udah sayang gak sama gue?”

Athaya menunduk. Memandangi lengan Rayyan yang memeluk pinggangnya sejenak sebelum mengusapnya pelan. Dia lalu menoleh, mendapati Rayyan menatapnya penuh harap.

“Kasih gue waktu ya, Yan?”

Rayyan tersenyum, “Mm, gue cuma nanya kok. Gak usah kepikiran atau terbebani.”

“Tapi gue udah suka sama lu.”

“Hah?” Rayyan mengedipkan matanya, “Lu bilang apa, Ya?”

“Gue udah ngantuk.”

Rayyan berdecak. Dia lalu menggoyang-goyangkan tubuh Athaya yang pura-pura tidur.

“Botak, bangun dulu.”

Rayyan menekan-nekan kedua pipi Athaya hanya dengan satu tangannya. Membuat empunya refleks terkekeh lalu membuka mata dan menatap Rayyan.

“Gue suka sama lu, Ayyan.”