jaesweats

Rayyan berjalan menuju ruang divisinya sambil sesekali ngecek jam di pergelangan tangannya. Masih cukup pagi, tapi dia berharap semoga Athaya sudah datang. Sebab biasanya, Athaya selalu sampai lebih awal.

Ketika sampai di ruangan, Rayyan lantas menghela napas lega. Benar saja, Athaya sudah berada di mejanya. Sempat melirik sekilas ke arahnya sebelum kembali memusatkan pandangan ke layar komputer di depannya.

“Pagi, Ayyan.”

“Pagi, Pak.”

Rayyan tersenyum sembari membalas sapaan dari salah satu rekan kerjanya yang juga berada di ruangan. Setelah itu, Rayyan pun menghampiri Athaya, duduk di sebelahnya sebelum bersuara pelan.

“Aya.”

Suara Rayyan membuat Athaya bergidik. Pasalnya baru kali ini rekan kerjanya itu manggil dia dengan suara yang begitu lembut.

Tapi Athaya paham, Rayyan mencoba membujuknya atas apa yang terjadi semalam. Jadi dia gak akan curiga kalau aja Rayyan lagi kesurupan.

“Apa?” balas Athaya tanpa menoleh ke arah Rayyan.

“Ikut gue ke rest room bentar ya? Kita perlu bicara dikit.”

“Lu gak liat gue lagi kerja?”

Rayyan melirik ke arah layar komputer Athaya. Nampak kalau rekannya itu emang lagi beresin kerjaan sisa kemarin.

“Entar kerjaan lu biar gue aja yang beresin,” kata Rayyan.

Athaya ngerasa perlu nepuk keras pipinya sendiri saat ini. Sebab jarang-jarang Rayyan gak bersikap menyebalkan di awal perbincangan mereka. Apalagi sampai menawarkan diri buat beresin kerjaannya.

Tapi tetap aja, Athaya juga masih kesel kalau mengingat isi chat Rayyan semalam.

“Ya, maafin gue.”

Athaya menghela napasnya lalu menoleh ke arah Rayyan.

“Lain kali kalau mau ngetik, dipikir dulu. Kira-kira bagus gak kalimat lu. Nyakitin hati orang lain gak,” ucap Athaya.

Dia bersuara pelan. Takut jika karyawan yang satu persatu berdatangan mendengarnya.

“Oke, fine. Gue terima kalo lu bilang gue suka boong. Tapi dengan lu bawa-bawa kenapa orang kek gue bisa keterima di sini tuh, nyakitin tau gak?”

Athaya terdiam sejenak ketika melihat raut penuh sesal di wajah Rayyan yang sedu. Setelahnya, dia pun kembali melanjutkan ucapannya.

“I have my own reasons, Yan. Gue boong juga bukan buat nyakitin atau pun ngerugiin orang lain kok. Tapi lu nge-judge gue sampe segitunya?”

“Maaf,” ucap Rayyan lagi, “Gue salah karena udah ngucapin kalimat gak baik kayak gitu.”

“I lost my self,” timpalnya.

“Tapi gue juga punya alasan, Aya. Bukan cuma sekedar gila urusan kayak yang lu bilang.”

Rayyan menatap Athaya lekat-lekat.

“Gue peduli sama lu,” katanya, “Gue cuma pengen bantuin lu.”

Athaya mendengus.

“Okay, thanks in advance. Gue sangat menghargai itu,” katanya, “Gue juga udah tau dari Mas Heri kok sejak di Bali kemarin—kalau lu emang selalu perhatian dan peduli ke temen-temen lu.”

“But in my case, you don’t have to do that. Pertama, gue ini bukan temen lu sejak awal. It’s too personal buat lu untuk datang dan melempar bantuan.”

“Kedua, gue akan menerima bantuan dari orang lain kalo gue sendiri yang meminta atau gue udah ngasih persetujuan.”

“Dan gue harap lu ngerti itu,” katanya, “Udah kelar kan?”

“Ya, tapi lu belum denger penjelasan dari sisi gue.”

“Penjelasan apa lagi sih?” Athaya menghela napas gusar, “Gue udah maafin lu kok. We’re done.”

“Aya—”

“Pagiii!”

Ucapan Rayyan lantas harus terputus ketika suara Dina menggema. Dia pun bergegas menggeser kursinya yang tadi berdempetan dengan Athaya.

“Loh, Yan? Lu udah nyampe dari tadi?” tanya Dina.

“Gak kok, Mba. Baru beberapa menit lalu.”

“Dasar. Katanya bakal rada telat sampe nyuruh gue beliin nasi kuning. Tau-tau malah nyampe duluan,” tutur Dina.

“Macetnya gak parah tadi.”

Dina tersenyum mengejek sebelum melirik Athaya.

“Pagi, Ayaaa!”

Athaya memaksakan senyum.

“Pagi, Mba Din.”

“Lemes banget gue perhatiin. Masih pagi loh, Ya.” Dina terkekeh lalu menyodorkan satu kantongan ke Athaya.

“Sarapan dulu biar semangat.”

“Makasih, Mba. Tapi buat Mba Dina aja,” katanya lalu menunjuk bungkusan roti di atas meja. “Nih gue abis makan roti. Masih kenyang.”

“Jangan ditolak, Ya. Entar lu disensiin sama yang beliin.”

Athaya menautkan alisnya.

“Emang yang beli ini siapa?”

“Berapa semuanya, Mba?”

Sebelum Dina menjawab pertanyaan Athaya, Rayyan dengan sigap menimpali.

“Lima puluh ribu, Yan.”

“Udah sama punya lu gak?”

“Gue dibayarin juga nih?”

“Iya.”

Dia lalu menyodorkan satu lembar uang seratus ribu kepada Dina lalu berkata,

“Makasih ya, Mba.”

“Yan, kembaliannya gak cukup.”

“Gak usah, Mba. Simpen aja buat nambah jajan xiboba lu.”

“Wets, lagi banyak duit nih keknya.”

“Kagak.”

Dina menggeleng pelan lalu kembali memusatkan atensi ke Athaya yang belum meraih kantongan di tangannya.

“Ya, ambil nih. Gak boleh nolak rejeki tau,” katanya.

Dan mau gak mau Athaya lantas meraih kantongan itu.

“Makasih, Mba.”

“Makasihnya sama Ayyan, Ya.”

Athaya lalu melirik Rayyan yang udah mulai makan. Tapi sebelum dia berucap, rekan kerjanya itu bersuara lebih dahulu.

“Udah. Makan.”

Rayyan kemudian menoleh. Menatap Athaya yang juga masih memandanginya.

“Lu suka perkedel kentang kan?”

Athaya sedikit terkejut. Sebab Rayyan mengetahui fakta itu.

“Mm,” gumam Athaya.

“Perkedel kentang nasi kuning yang ini lebih enak dari yang di kantin sekolah,” tutur Rayyan.

“Cobain deh,” sambungnya.

Athaya hanya mengangguk kikuk sebagai jawaban.

“Kalian semenjak pulang dari Bali keknya jadi makin deket,” celetuk Dina, “Sampe udah tau makanan kesukaan juga.”

Rayyan mendengus pelan lalu geleng-geleng kepala.

“Dari dulu gue juga udah tau kalo makanan kesukaan lu hokben, lu aja yang gak pernah notice.”

“Hahaha!”

“Awas keselek, Mba.”

Athaya hanya diam sembari menyimak perbincangan keduanya. Dia udah ngerasa gak mood buat banyak bicara di sekitar mereka. Apalagi semenjak dia tau kalau rekan kerjanya pernah ngomongin dia; tanpa sepengetahuannya.

Rayyan dan Athaya saling melirik ketika mereka akhirnya turun dari mobil perusahaan tepat di halaman depan gedung divisi. Sementara Heri yang juga bersama mereka lantas menghampiri keduanya.

“Ayo, biar saya bantu bawa barang-barang ke ruangan.”

“Gak usah, Mas.”

Athaya berdeham, “Biar saya sama Rayyan yang naroh kamera sama barang yang lain di ruangan. Mas Heri boleh pulang duluan.”

Sebenarnya ini salah satu alibi Athaya saja supaya Heri gak ngeliat dia pulang bareng Rayyan juga Janu nantinya.

“Gak apa-apa nih?”

“Iya. Gak apa-apa, Mas.”

Heri mengangguk paham.

“Mes Heri markirin mobil di mana?” kini Rayyan yang bertanya.

“Di parkiran samping kantin kantor, Yan. Tadi adik saya nitip sama Pak Yudi di sana.”

“Mau saya yang bawain ke sini gak, Mas?” tanyanya lagi.

“Gak usah, Yan. Kamu bantu Aya aja bawa barang-barang ke ruangan gih.”

“Ya udah. Mas Heri hati-hati pulangnya.”

Heri tersenyum tipis lalu melirik ke arah Athaya.

“Aya beneran mau pulang pake gocar aja?” tanyanya.

“Iya, Mas.”

“Kalau gitu saya aja yang pesenin, gimana? Biar nanti kalo kamu udah balik dari ruangan, gocarnya juga udah datang.”

Rayyan melirik Athaya sejenak sembari menahan tawanya. Sementara Athaya refleks menelan ludah.

“Eh gak apa-apa, Mas. Entar biar saya aja,” tolaknya halus.

“Santai aja, Aya. Daripada entar kamu nunggu sendiri di pos satpam,” balas Heri.

“Ada Ayyan yang nemenin saya kok, Mas.” ucap Athaya refleks lalu menyikut lengan Rayyan, “Iya kan, Yan?”

“Ogah, gue mau langsung pulang ke rumah. Capek.”

Athaya menarik napasnya dalam-dalam. Bibirnya lantas menipis saking kesalnya. Tapi sesaat setelahnya Rayyan justru tersenyum mengejek sebelum menatap Heri.

“Tenang aja, Mas. Athaya kan cowok, meskipun nampak tua dan lelah gini tapi dia punya otot kok. Gampang kalo mau gebukin orang jahat.”

Athaya gak ngerti lagi. Satu hal yang pengen dia lakuin saat ini cuma mukul Rayyan.

Heri yang mendengar penuturan Rayyan pun tertawa kecil.

“Kamu nih, Yan. Saya liat-liat seneng banget gangguin Aya.”

“Tau tuh, Mas. Dia keknya gabut banget kalo gak gangguin saya.”

Athaya lalu menatap Rayyan sinis sebelum kembali mengalihkan atensi ke Heri.

“Tapi bener kok, Mas. Saya gak apa-apa nunggu sendiri.”

“Ya udah. Kamu hati-hati ya. Kamu juga, Yan.” pesan Heri.

“Iya, Mas Heri juga ya.”

Selepas Heri melenggang pergi—meninggalkan keduanya, Athaya seketika menendang kaki Rayyan sebelum berjalan ke dalam gedung. Sementara yang diperlakukan demikian hanya mampu memekik sebelum berlari mengejar Athaya hingga berakhir menoyor kepala rekan kerjanya itu.

***

Janu, Athaya dan Rayyan kini berada di dalam mobil; dengan Athaya yang duduk pada jok belakang seorang diri. Sementara Rayyan dan Janu duduk kursi di depan.

Selama dalam perjalan pulang—lebih tepatnya menuju alamat Athaya, ketiganya nyaris gak pernah diam. Begitu banyak pembahasan yang mereka bagi hingga macet di beberapa titik gak begitu terasa.

Gak lama berselang Janu lantas menyadari sesuatu. Dia penasaran kenapa Athaya gak pernah lagi menyeletuk ketika dirinya dan Rayyan berbicara.

Saat melirik ke arah spion tengah, Janu pun tersenyum tipis. Sebab Athaya nyatanya sudah terlelap di belakang.

“Koplak juga ni anak,” ucap Janu, “Mau dianterin pulang malah ketiduran dia.”

Rayyan mengangkat alisnya lalu menoleh ke belakang. Sedikit terkejut mendapati Athaya sudah tertidur pulas.

“Bangunin, Yan. Bentar lagi kita masuk komplek rumah dia. Tadi gue gak nanya loh nomor rumahnya berapa.”

“Entar aja,” balas Rayyan, “Gue tau rumah dia kok.”

“Ha?” Janu lalu menautkan alisnya, “Lu tau dari mana? Udah pernah ke rumah Aya?”

Rayyan terdiam sejenak. Dia tiba-tiba mikir—apa sekarang dia harus jujur ke Janu soal masa lalu juga masalahnya dengan Athaya.

“Si anjing, ditanyain malah diem.”

“Iya, gue udah pernah ke rumahnya.”

“Ngapain lu ke rumah Aya?”

“Lu banyak tanya amat sih elah. Noh, udah lampu ijo.”

Rayyan menghela napas lega sebab Janu gak lagi bertanya lebih banyak. Dia sendiri pun bingung, kenapa dia justru ikutan gak jujur ke temannya. Apalagi ketika dia mengingat chat Athaya padanya.

Perjalanan mereka pun terus berlanjut. Rayyan kini telah menjadi penunjuk jalan bagi Janu menuju rumah Athaya.

Sampai saat mereka telah sampai di depan rumah sang rekan kerja, Rayyan pun memberitahu Janu supaya menghentikan laju mobilnya.

“Aya, bangun.”

Athaya gak berkutik.

“Athaya.”

Dia masih tidur dengan lelap.

“Aya, bangun woi!”

Janu sedikit berteriak. Membuat Athaya seketika terusik hingga berakhir membuka mata.

“Bener-bener lu ya. Dianterin pulang malah molor duluan.”

“Ya ampun, maaf.”

“Untung si Ayyan tau nomor rumah lu, Ya. Kalo kaga udah gue turunin lu di trotoar.”

Athaya melirik Rayyan yang masih duduk menghadap ke depan. Rekan kerjanya itu gak menoleh ke arahnya atau pun berbicara kepadanya.

“Makasih ya tumpangannya.”

“Mm. Masuk gih,” kata Janu, “Lu bisa nurunin koper lu kan, Ya? Apa masih oleng?”

“Bisa,” jawab Athaya, “Kalian pulangnya hati-hati ya.”

“Oke.”

Athaya kemudian turun dari mobil Janu. Mengangkat koper nya lalu hendak membuka pagar. Tapi dia lantas menepuk jidat ketika mengingat kalau dia gak membawa kunci saat ke Bali.

“Kenapa, Ya?” tanya Janu.

“Pagar rumah gue kekunci, tapi kalian pulang aja gih. Ini gue mau nelpon Mami kok.”

“Gak apa-apa, biar gue sama Ayyan nunggu lu masuk dulu.”

Athaya menelan ludah. Dia lalu melirik ke arah Rayyan yang justru sibuk sendiri dengan handphone nya.

Alhasil, Athaya pun bergegas menelpon sang Mami. Beruntung si wanita paruh baya memang telah menanti panggilan teleponnya. Jadi gak perlu waktu lama buat Athaya untuk menunggu Mami membuka pintu pagar.

Gak lama berselang, Mami akhirnya datang. Membuka pintu pagar lalu menyambut anak semata wayangnya dengan senyuman manis.

Namun ketika si wanita paruh baya melirik ke arah mobil yang terparkir di samping sang anak, senyum di bibirnya perlahan pudar. Sebab dia mendapati Rayyan ada di sana.

“Malam, Tante.”

Janu dengan sigap menyapa dari dalam mobilnya sambil cengar-cengir ke arah Mami.

“Mi, mereka teman kantor aku. Dia namanya Janu, terus yang di sebelahnya Rayyan.”

Si wanita memaksakan senyum lalu mengangguk.

“Mereka yang nganterin aku,” sambung Athaya yang diam-diam menahan rasa gugup.

“Makasih ya udah nganterin Athaya pulang,” ucap Mami.

“Sama-sama, Tante. Kalo gitu kami pamit dulu,” ucap Janu lagi dan dibalas anggukan oleh si wanita paruh baya.

Setelahnya, mobil Janu lantas melaju. Meninggalkan area rumah Athaya. Sementara si wanita paruh baya juga anak semata wayangnya masih berdiri di tempat semula.

“Kenapa kamu pulang bareng dia sih, kak?”

“Janu ngajak aku sama Ayyan, Mi.”

“Tadi katanya mau ngegocar.”

Athaya menghela napas.

“Mi, aku gak bisa terus-terusan menghindar dari dia.” katanya, “Aku masih anak baru, gak mau nyari masalah sama karyawan tetap.”

“Tapi Mami gak suka liat dia deket-deket sama kamu, kak.”

“Aku juga gak suka, Mi. Tapi aku harus bisa profesional.”

Suara Athaya telah bercampur dengan rasa frustasi. Dia kemudian mendegus lalu berdecak.

“Aku harus berurusan sama dia, karena kita temen kerja.”

“Dan Ayyan selama ini gak pernah macem-macem kok. Gak pernah bikin aku ada di posisi sulit juga. Jadi Mami gak usah khawatir lagi.”

“Udah ya, Mi? Aku lagi capek banget, pengen istirahat.”

Athaya menjatuhkan bahunya sebelum berlalu. Melewati si wanita paruh baya yang hanya mampu termangu. Sebab Athaya keliatan gak kayak biasanya; ketika membahas Rayyan.

“Aya? Lu udah tidur?”

Malam semakin larut. Tapi kedua mata Rayyan belum juga bisa terpejam. Padahal faktanya, besok pagi dia harus bangun lebih awal.

Rayyan kemudian menoleh ke arah tempat tidur Athaya. Mendapati rekan kerjanya itu berbaring menyamping hingga membelakanginya.

Athaya yang sedari tadi juga belum bisa berlabuh ke alam mimpinya gak menjawab. Dia masih tetap dalam agendanya yang gak mau ngomong sama Rayyan—kecuali buat urusan pekerjaan. Tapi sebetulnya, Athaya kini lagi diam-diam menyimak ucapan Rayyan yang kembali bersuara.

“Kalo lu belum tidur, gue mau lu dengerin gue kali ini aja...”

“Tapi kalo lu udah tidur, gue bakal nganggap ini gladi resik sebelum ngomong sama lu,” katanya. Dia tertawa hambar.

“Gak tau deh kapan gue bisa ngomong sama lu,” timpalnya, “Lu akhir-akhir ini diem mulu.”

Rayyan menghela napas lalu menatap langit-langit kamar.

“Waktu itu, satu Minggu sebelum acara lomba pidato nasional, lu tiba-tiba sakit.”

“Terus gue dipanggil ke ruang guru,” sambungnya.

“Gue disuruh sama Bu Desi buat jadi cadangan lu. Dia khawatir lu gak bisa ikut, apalagi waktu itu sakit lu cukup serius. Lu asma.”

“Bu Desi bilang—gue harus siap-siap. Karena kalo sampai kemungkinan terburuknya lu belum sembuh pas tiga hari sebelum lomba, gue satu-satunya opsi yang musti ikut.”

“Bu Desi juga bilang, dia udah ngasih tau lu kalau dia bakal nyiapin cadangan,” katanya.

“Gak jelas banget kan nasib gue? Dan lu tau gak perasaan gue waktu itu kayak gimana?”

Rayyan tersenyum miring.

“Gue sedih dan kasian banget sama diri gue sendiri, Ya.”

“Gue ngerasa dijadiin alat doang supaya sekolah kita gak tereliminasi. Bayangin, gue dikasih tau seminggu sebelum lomba. Dan gue musti ngapalin naskahnya.”

“Apalagi naskah yang harus gue hapal itu tetep naskah pidato yang lu bikin. Bukan naskah gue,” sambungnya.

“Gue udah bisa menebak kalo perkara naskah aja udah bisa bikin kita berdua canggung.”

“Jadi gue nolak perintah Bu Desi. Gue bilang kalau lu pasti sembuh beberapa hari lagi,” Rayyan menambahkan.

“Dan lu tau? Setelah gue nolak, Bu Desi tiba-tiba datang ke rumah gue. Dia minta ke Mama gue supaya nge-bujuk gue buat ikut.”

“Tapi masih dengan catatan, kalo lu udah sembuh berarti bukan gue yang ikut lomba. Gue cuma disuruh siap-siap.”

Rayyan menggeleng pelan.

“Mama ngerti perasaan gue. Dia paham kenapa gue gak mau jadi cadangan,” katanya.

Karena Rayyan dan segala ego juga pemikiran masa mudanya yang gak suka dijadikan layaknya sebuah pelarian.

“Tapi Bu Desi temen Mama waktu SMA dulu, jadi dia rada gak enak buat nolak kek gue. Apalagi Bu Desi juga tau kalo Mama gue sama Mami lu ada beef masa lalu, entar Mama dikira bawa-bawa anaknya.”

“Sampai akhirnya Mama pun ngasih tau gue supaya mau nurutin ucapan Bu Desi. Demi nama baik Mama. Itu aja kok.”

Rayyan tersenyum kecut.

“Ya udah, gue nurut. Meski pun sebenernya gue enggan.”

“Sampai akhirnya, tiga hari sebelum lomba lu udah ke sekolah. Gue juga udah gak berekspektasi bakal dipanggil latihan ke ruang guru lagi.”

“Makanya gue kaget pas Bu Desi minta gue ke ruang guru terus di sana dia ngasih tau lu kalau gue yang bakal ikut dan bawain naskah pidato lu.”

“Dan lu denger sendiri kan alasan dia apa?” tambahnya, “Bukan karena dia memihak ke gue terus nge-buang lu, atau karena cara pidato lu gak bagus. Tapi dia khawatir kalo aja nanti lu kenapa-kenapa di sana.”

“Gimana pun juga lu itu anak temen Bu Desi, kayak gue. Apalagi waktu itu keadaan lu masih keliatan lemes banget.”

“Kalo lombanya di Jakarta mungkin gak terlalu riskan, tapi kita musti ke luar kota. Ke Surabaya. Jadi dia takut.”

Athaya lalu memejamkan matanya. Sementara kedua telinganya masih menyimak.

“Gue ngerti kenapa lu marah banget waktu itu, Ya. Lu udah latihan sebulan lebih. Belum lagi waktu buat nulis naskah.”

“Dan lu justru harus ngeliat naskah pidato lu dibawain sama orang lain,” sambungnya.

“Gue juga gak enak banget sama lu. Tapi di satu sisi, nama Mama gue yang jadi taruhannya kalo aja gue nolak dan berontak buat gak ikut.”

“Jadi kalo dulu lu berpikir gue emang sengaja mengajukan diri terus berusaha lebih baik dari lu dan gak mau menolak supaya bisa gantiin posisi lu, itu salah besar, Athaya.”

Rayyan lalu mengusap kasar wajahnya sebelum menoleh ke arah ranjang Athaya.

“Tanpa lu ikut lomba itu, lu udah jadi pemenangnya kok. Gue cuma alat yang disuruh buat bawain naskah pidato lu.”

“Gue juga gak pernah tuh ngerasa bangga karena bisa menang lomba itu. Gue selalu dibayang-bayangi sama lu.”

Rayyan menelan ludah. Dia kemudian terdiam sejenak. Mengumpulkan kembali frasa demi frasa yang sejatinya sudah dia rangkai di kepala.

“Dan untuk masalah Tasya, gue bener-bener gak tau kalo lu ternyata udah suka sama dia sejak kita masuk SMA.”

“Gue emang pernah dengerin temen-temen kelas kalian ceng-cengin kalian berdua,” katanya, “Tapi gue kira, itu karena lu sama Tasya sering barengan ke sekolah doang.”

“Waktu awal kelas dua belas, Tasya confess duluan ke gue. Gue bahkan sempet nanya—emang dia lagi gak deket sama siapa-siapa gitu?”

“Terus katanya enggak. Jadi ya udah, gue mulai deketin dia sebelum akhirnya jadian.”

“Kalo bukan karena lu yang datengin gue waktu itu terus ngasih tau semuanya, gue bener-bener gak tau.”

Rayyan masih menatap lurus ke arah punggung Athaya. Kata yang selama ini sangat ingin ia ucap kepada sosok lelaki di seberang sana pun telah berada di ujung lidah.

“Athaya...”

“Maaf karena gue udah bikin lu ngerasa kalau gue selalu aja ngerebut apapun dari lu.”

“Tapi gue sama sekali gak pernah punya niatan gitu.”

“Gue gak ada dendam apa pun sama lu—sampe harus ngerebut apa yang lu punya.”

Athaya akhirnya kembali membuka kedua matanya. Membalas ucapan Rayyan adalah urgensi yang harus diturutinya untuk saat ini.

“Gue kan udah bilang—gue gak mau ada urusan lagi sama lu bukan karena masalah itu.”

“Tapi lu masih beranggapan kalo gue pengen ngerebut sesuatu dari lu lagi, Aya...”

“Dan itu kan yang bikin lo gak suka sama gue? Lo mikir kalo eksistensi gue cuma buat ngerebut semuanya dari lo.”

“Kalo emang lo beneran gak gitu ya udah, chill. Case closed.”

“Case not closed sebelum lu berhenti bersikap aneh.”

“Bersikap aneh dari point of view lu tuh gimana sih, Yan?”

“Ya kayak gini. Lu gak mau ngomong sama gue di luar pekerjaan. Lu gak mau ikut nimbrung sama temen kantor tiap kali ada gue juga di sana.”

“Gue gak becanda kalo gue ngerasa gak nyaman, Aya. Gue bener-bener pengen keluar dari kondisi kek gini.”

Kedua anak manusia itu kemudian terdiam. Rayyan dan Athaya sama-sama sibuk dengan skenario di kepala. Sampai akhirnya satu suara perlahan memecah hening.

“Athaya, gue harus gimana?”

Ada sejumput frustasi yang Athaya temukan dari suara Rayyan di belakang sana.

“Gimana caranya supaya—at least, rasa gak suka lu ke gue itu bisa berkurang dikit aja?”

“Gak tau,” Athaya spontan, “Gue udah terlatih buat gak suka sama lu sejak dini soalnya.”

“Explain,” pinta Rayyan.

“Dan bisa gak? Kalo lu lagi ngobrol sama orang—yang ditunjukin itu muka. Bukan punggung,” berlanjut protes.

Athaya akhirnya mengubah posisi menjadi terlentang sebelum kepalanya menoleh ke arah Rayyan. Selanjutnya, tatapan mereka pun bertemu.

“Gue gak akan pernah lupa pas lu bikin gue diejek botak sama satu kelas pas kita SD dulu.”

“Sejak hari itu, lu jadi orang pertama yang paling gue gak suka di dunia. Demi Tuhan.”

Rayyan refleks terkekeh.

“Menurut lu itu lucu?” todong Athaya, “Lu gak ngerasa kalo lu nge-bully gue waktu itu?”

“Lu kesel banget ya?”

“Bukan kesel lagi,” balas Athaya, “Lu bahkan bikin gue gak mau ke sekolah tau gak?”

Athaya merasa aneh ketika melihat Rayyan mengulas senyum lembut kepadanya.

Bener-bener aneh karena selama ini mereka hanya berbagi senyum palsu di hadapan orang lain—yang sebetulnya adalah wujud dari saling mengejek versi mereka.

Tapi di satu sisi, dia justru melihat ketulusan di sana.

“Gue juga kesel tau.”

Mata Athaya memicing. Entah dia yang gagal paham, atau emang Rayyan yang gak jelas.

As always, sebenernya.

“Gue kesel pas temen kelas kita dulu malah ikut-ikutan manggil lu botak,” jelasnya.

“Padahal gue manggil lu botak supaya gue bisa temenan sama lu.”

Sekarang Athaya kaget.

“Dan kenapa lu mikir kalo ‘the botak thing’ bisa bikin kita temenan, anjing?”

Rayyan ketawa kecil. Tapi Athaya bisa melihat gimana tubuh rekan kerjanya itu bergetar karena tawa.

“Karena dulu lu pendieeem banget,” jawab Rayyan, “Lu selalu aja sibuk sama dunia lu sendiri. Lu kek gak peduli sama orang-orang di sekitar lu. Susah diajak ngobrol. Dan itu bikin gue penasaran.”

“Sampe akhirnya suatu hari gue nanyain soal—kenapa lu selalu make topi, inget gak?”

Dan, Ya. Ajaibnya, Athaya masih mengingat itu semua ditengah pikiran dewasa yang perlahan mengikis sebagian kenangan di masa kecilnya.

“Terus lu tiba-tiba kesel pas gue buka topi lu,” Rayyan bersemangat mengingatnya.

“Dan saat gue udah manggil lu botak... Lu gak diem lagi. Lu ngomelin gue,” timpalnya, “Gue seneng dong? Jadi ya udah, gue gangguin lu mulu.”

Get it.

“Lo caper banget, bangsat?”

Athaya masih gak habis pikir.

“Begitu lah cara anak kecil menciptakan pertemanan.”

“Gak. Lo doang yang aneh pake cara gituan,” katanya.

“Dan buktinya pun bukan pertemanan sih yang lo ciptakan,” sambung Athaya.

Lagi, Rayyan tersenyum. Sampai-sampai lesung di kedua pipinya menjadi semakin dalam. Sementara itu, Athaya lantas menghela napasnya pelan sebelum mengalihkan pandangan ke arah langit-langit.

“Jadi? Kita udah bisa ngobrol di luar kerjaan kan sekarang?”

Athaya menahan senyum kala mendengar pertanyaan Rayyan.

“Mm,” gumam itu jawabannya.

Dia lalu menoleh ke Rayyan sebelum kembali bersuara.

“Tapi gue tetep gak suka sama lu,” lebih terdengar seperti deklarasi yang penuh teka-teki.

Gak ingin kalah, Rayyan pun menarik satu ujung bibirnya hingga membentuk seringai.

“Gue juga tetep gak suka sama lu, Athaya nyebelin.”

Kedua anak manusia itu sama-sama menahan diri untuk tidak tersenyum sebelum kembali menatap kosong ke langit-langit.

“Aya?”

“Mm?”

Athaya melirik Rayyan, “Apa?”

“Jadi... Yang beliin lu siomay hari itu siapa?” Raut wajah mengejek Rayyan terbaca.

Athaya pun sudah bisa menebak sejak jauh-jauh hari kalau Rayyan akan mengolok-oloknya untuk hal yang satu ini. Dia hapal betapa gak bisanya Rayyan membiarkan nya tenang meski sedetik.

Alhasil, Athaya dengan sigap menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh hingga kepalanya. Membuat Rayyan yang melihatnya tertawa, kali ini dengan lantang dan terdengar begitu puas...

Sekaligus bercampur rasa lega.

Athaya patut bersyukur sebab meski dirinya masih lah anak baru di kantor, namun kini dia telah menginjakkan kaki di pulau dewata Bali guna mengikuti rangkaian acara penting yang diadakan satu tahun sekali oleh perusahaan.

Tapi di sisi lain, Athaya juga harus berpasrah diri. Sebab dia akan selalu berada di sekitar Rayyan hingga dua hari ke depan. Bahkan mereka pun ditempatkan di satu kamar hotel yang sama.

Dan di sini lah Athaya. Dia berjalan menuju kamar hotelnya bersama Rayyan yang mengekorinya. Tanpa sekali pun bersuara atau melirik rekan kerjanya itu.

Ketika membuka pintu kamar, Athaya pun buru-buru masuk. Dia lalu meletakkan tasnya di salah satu tempat tidur yang tidak jauh dari pintu—sebab dalam kamar itu tersedia dua single bed. Namun tanpa dia duga, Rayyan justru tiba-tiba menjatuhkan tubuh hingga terlentang di atas ranjang itu.

Menghela napasnya pelan, Athaya kemudian mengambil tasnya sebelum berpindah ke tempat tidur yang satunya. Sementara Rayyan yang melihatnya pun menggeleng.

Sesaat setelahnya, Rayyan lantas meraih handphone. Menelpon satu kontak di sana lalu menyalakan mode loud speaker ketika sosok itu menjawab panggilannya.

“Halo, Yan?”

Rayyan terkekeh mendengar suara lirih wanita yang kini menjadi lawan bicaranya.

“Lemes amat suaranya. Lu lagi tidur pas gue nelpon, Mba?”

Athaya yang mendengar pembicaraan Rayyan pun seketika tau kalau dibalik suara wanita itu adalah Dina.

“Enggak. Tapi gue lagi naik tangga nih,” jawab Dina, “Baru nyampe rumah, abis lembur.”

“Lu udah nyampe di Bali, Yan?”

“Udah. Ini gue lagi di kamar hotel,” ucap Rayyan lalu menghela napasnya pelan.

“Ya udah deh. Lu lagi capek banget kayaknya. Selamat beristirahat, Mba Din.”

“Lah? Gitu doang?” Dina seketika heran, “Kirain lu mau ngomong apa sampe nelpon malem-malem.”

Rayyan mengulum senyum lalu melirik ke arah Athaya. Teman satu kamarnya itu sedang sibuk sendiri dengan handphonenya sembari duduk di atas tempat tidur.

“Gue cuma pengen ditemenin ngobrol, tapi lu lagi capek. Jadi ya udah deh, gak usah.”

“Emang lu gak ada temen ngobrol di situ?” tanya Dina.

Rayyan tersenyum usil.

“Iya. Di sini gak ada orang yang bisa diajak ngobrol.”

Athaya yang mendengar obrolan Rayyan dan Dina seketika menipiskan bibir. Sangat jelas kalau kini Rayyan sengaja menyindir dirinya.

“Lu dapet kamar sendiri ya?”

“Enggak, Mba. Satu kamar buat dua orang,” kata Rayyan.

“Terus?” Dina kembali heran, “Lu se-kamar sama siapa? Orang dari divisi lain?”

Rayyan tersenyum penuh kemenangan ketika mendengar pertanyaan Dina.

“Gue se-kamar sama Aya kok, Mba. Tapi gak tau deh dia lagi ke mana,” Rayyan sengaja membuat suaranya lantang.

Sementara itu, Dina yang masih mendengar celotehan Rayyan pun bertanya.

“Kenapa lu gak nelpon Aya?”

“Handphonenya gak dibawa, Mba. Tuh, handphone dia ada di atas tempat tidur. Lagi dipegang sama boneka gede.”

Athaya menarik napasnya dalam-dalam sembari menutup matanya sejenak.

Sialan, gue dibilang boneka—Athaya membatin.

Sementara itu, Dina yang mendengar penuturan Rayyan pun memekik heran.

“Ha? Boneka apaan?”

“Gak tau namanya boneka apaan. Matanya juga mirip sama mata Aya tau, Mba.”

“Lu boongin gue ya?” Dina ketawa, “Aya ada di situ kan?”

“Astaga, serius. Cuma ada bonekanya di sini, Mba. Lu mau liat?” tanya Rayyan.

Rayyan tersenyum puas ketika Athaya akhirnya menoleh ke arahnya dengan tatapan kesal.

“Iya, gue mau liat. Mana?”

“Bentar.”

Rayyan pun berdiri dari tempat tidurnya sebelum menghampiri ranjang Athaya. Dia lalu menyodorkan handphonenya dan berkata dengan suara pelan.

“Nih, ngobrol sama Mba Dina.”

“Ayyan? Mana?” suara Dina menggema, “Kok kamera lu belum nyala?”

Rayyan menunjuk handphone nya yang telah berada dalam genggaman Athaya dengan dagu. Seolah memberitahu Athaya secara tersirat agar segera menyalakan kamera.

Athaya pun menarik napasnya dalam-dalam sebelum mengubah panggilan suara itu menjadi panggilan video. Dia pun refleks tersenyum saat melihat raut kaget Dina.

“Tuh kan! Udah gue tebak sih, kalian pasti bakalan nelpon buat pamer,” Dina terkekeh.

“Gimana kerjaan di kantor, Mba?”

“Bikin gila, Ya. Gue sama Janu sampe lembur tau,” katanya.

“Semangat ya, Mba Dina.”

“Lu sama Rayyan juga semangat ya di sana. Entar pulangnya langsung nge-stock koyo dah lu berdua,” katanya.

Athaya terkekeh, “Iya, Mba.”

“Rayyan mana deh, Ya?” tanya Dina, “Tadi lu dibilang boneka tau sama dia.”

Athaya pun melirik Rayyan yang masih berdiri di samping tempat tidurnya.

“Kalo gue boneka berarti dia patung, Mba.”

Rayyan senyum sebelum ikut duduk di samping Athaya. Masih dengan pandangannya yang beradu dengan netra legam rekan kerjanya itu.

“Gak ada patung yang bisa ngomong sama gerak,” ucapnya sarkas sebelum menoleh ke layar handphone.

“Mba Dina,” panggil Rayyan.

“Apa?”

“Gue sama Aya liburan dulu ya,” ucapnya dengan nada mengejek sebelum ketawa.

“Kurang ajar,” Dina cuma bisa ikut ketawa, “Kalian berdua udah makan malem belum?”

“Belum, Mba.” jawab Athaya, “Tapi bentar lagi sih. Mas Heri juga udah ngechat tadi. Disuruh makan malam dulu abis itu gladi.”

“Mm, ya udah. Makan malem dulu gih. Kalo gladinya cepet beres kan kalian istirahatnya juga bisa cepet,” ucap Dina yang dibalas anggukan oleh Athaya dan Rayyan.

“Mba Dina juga istirahat.”

“Bye, Mba Dina.”

“Bye, Rayyan. Bye, Athaya.”

Setelah panggilan video itu terputus, Athaya pun mengembalikan handphone Rayyan.

“Mas Heri abis ngechat lu?”

Rayyan diam-diam menunggu apakah Athaya akan kembali diam dan gak meresponnya.

“Mm,” jawab Athaya dengan gumaman sebelum bangkit dari tempat tidur.

Rayyan pun hanya mampu menghela napas pelan saat melihat rekan kerjanya itu berjalan keluar dari kamar.

Athaya keluar dari mobilnya setelah memarkirkan kendaraan roda empat itu di basemen. Namun ketika dia hendak berjalan menuju lobi, Athaya lantas menahan napas saat melihat Rayyan juga baru saja turun dari mobilnya.

Alhasil, Athaya pun buru-buru melanjutkan langkah. Gak menoleh sedikit pun ke arah Rayyan yang berdiri hanya beberapa meter darinya tadi.

Namun Athaya tetap juga gak bisa bernapas dengan tenang. Pasalnya, Rayyan lebih sigap mengikuti langkah kakinya menuju lobi.

“Boong juga butuh briefing tau.”

Athaya mengeraskan rahang mendengar penuturan Rayyan. Dia paham, rekan kerjanya itu menyindirnya.

“Kenapa sih pake bawa-bawa Mami lu segala?” tanyanya.

“Gue ketemu sama Mami lu di restoran kemarin,” kata Rayyan.

Athaya diam. Masih dengan langkah kakinya menuju lobi.

“Gue masih punya hati nurani karena gak ngasih tau Janu sama Mba Dina,” Rayyan seolah membalas ucapan Athaya setelah memukul bahunya di toilet tempo hari.

Athaya mendengus kasar saat dia sampai di depan lift yang pintunya baru saja tertutup. Begitu juga dengan lift di sebelah kiri dan di belakang nya. Dimana artinya dia harus menunggu di sebelah Rayyan.

“Aya.”

Meski Rayyan memanggil namanya, Athaya tetap gak menggubris. Dia menatap kosong ke arah pintu lift. Membuat lelaki berlesung pipi di sampingnya lantas menghela napas lalu berkata.

“Kalo lu emang gak suka sama gue, it’s okay. Itu hak lu kok.”

“Tapi bisa gak sih, lu gak terang-terangan kek gini?”

“Lu harus belajar punya dua muka pas masuk dunia kerja.”

Rayyan menoleh ke arah lain sejenak. Memastikan bahwa gak ada orang lain di sekitar mereka berdua saat ini.

“Kemarin Mba Dina udah mulai nanya-nanya ke gue,” sambungnya, “Dia heran kenapa beberapa hari terakhir lu kesannya gak mau ikut gabung sama kita-kita.”

“Dan dia sempet notice kalo lu gak ikut tiap kali ada gue. Tapi dia mikir lagi, mungkin cuma kebetulan aja.” jelasnya.

Athaya menelan ludah.

“Gue juga heran. Kenapa sih akhir-akhir ini lu bahkan gak mau makan bareng gue, Ya?”

Karena gue malu sama lu, Rayyan. Athaya membatin.

“Makan bareng gue bikin lu sakit perut ya?” timpalnya.

Rayyan berdecak. Sebab Athaya masih juga diam.

“Pikirin baik-baik deh,” ucap Rayyan pasrah, “Mungkin menurut lu sepele, tapi ini juga ngaruh sama penilaian lu. Gue gak ngancem loh ya.”

Pintu lift di depan keduanya pun terbuka. Rayyan lantas masuk ke dalamnya dengan sigap. Sementara Athaya masih berdiri di tempatnya.

Beberapa detik berlalu, pintu lift pun otomatis hendak tertutup. Alhasil, Rayyan lantas menekan tombol buka sebelum bersuara.

“Mau masuk gak?”

Athaya gak menjawab. Hingga gak lama berselang, pintu lift yang berada di belakangnya pun terbuka. Alhasil, dia lantas berbalik sebelum masuk ke dalam lift yang berbeda dengan Rayyan.

Rayyan yang melihat tingkah Athaya itu pun cuma bisa geleng-geleng kepala.

Athaya membuka bilik toilet setelah selesai dengan urusan panggilan alamnya. Namun ketika dia baru saja hendak berjalan ke arah wastafel, Athaya lantas mendengus.

Bukan tanpa sebab. Kini dia justru bertemu pandang dengan Rayyan—yang sedang mencuci tangan di sana— melalui cermin. Athaya pun seketika berasumsi bahwa acara di aula telah selesai. Terlebih, saat ini sudah hampir jam makan siang.

Menghela napasnya pelan, Athaya kemudian berdiri di samping Rayyan. Mencuci tangannya, tanpa menoleh sedikit pun ke arah lelaki itu.

“Lu mau makan siang di mana?”

Pertanyaan tiba-tiba Rayyan bikin Athaya semakin ngerasa aneh sekaligus risih dengan tingkah rekan kerjanya itu.

“Bukan urusan lu,” jawabnya.

“Ya emang bukan urusan gue. Tapi gue pengen tau lu mau makan di mana, biar kita gak ketemu di tempat yang sama.”

Athaya tersenyum mengejek sebelum menoleh ke Rayyan.

“Kalo gitu gue juga pengen tau, kenapa lu beliin gue siomay pagi tadi ha?”

“Mhm?” Rayyan menautkan kedua alisnya, “Siomay?”

“Iya,” jawab Athaya, “Siomay yang gue kasih ke Janu, itu dari lu kan?”

Rayyan memicingkan mata. Setelahnya dia lantas meletakkan tangannya yang masih basah di atas kening Athaya. Membuat empunya seketika berdecak kesal sembari menepisnya kasar.

“Apa-apaan sih lu?”

“Lu yang apa-apaan,” kata Rayyan, “Lagi sakit lu?”

“Elu yang sakit, Rayyan.”

“Dih? Kok jadi gue? Orang lu yang aneh,” Rayyan geleng-geleng kepala, “Gue gak pernah beliin lu siomay, Aya.”

“Lagian kalau gue beliin pun, lu gak bakal mau makan tu siomay. Gue yakin lu bakal mikir kalo gue nyimpen racun di sana. Iya kan?”

“Tapi cuma lu yang tau kalau kemarin gue pengen makan siomay,” sela Athaya.

“Tapi bukan gue yang beliin lu siomay tadi pagi, Athaya.”

Rayyan kemudian menganga sejenak lalu menatap Athaya dengan raut wajah jenaka.

“Oh, atau lu ngarep dibeliin siomay sama gue nih? Iya?”

“Najis!” ucap Athaya sembari memercikkan air ke wajah Rayyan.

Gak mau kalah, Rayyan pun melakukan hal serupa. Dia kembali menyalakan wastafel guna membasahi tangannya hingga memercikkan air tepat ke arah wajah Athaya.

Aksi keduanya itu pun tetap berlanjut. Mereka seperti kembali menjadi anak kecil yang berkelahi dengan air.

Namun ketika Rayyan merasa jika bajunya perlahan basah, dia lantas menahan tangan Athaya agar segera berhenti.

“Lu curang!” katanya, “Lu bikin baju gue basah, Aya!”

Athaya mendengus.

“Lepasin tangan gue.”

“Gak mau,” kata Rayyan.

“Lu pengen gue pukul?”

“Pukul aja kalo bisa.”

Rayyan pun seketika melotot saat Athaya menghempaskan tangannya dengan keras sebelum mendaratkan satu pukulan di bahu kanannya.

“Eh, lu tuh gak bisa diajak bercanda ya?” protes Rayyan.

“Gue masih punya hati nurani karena gak nonjok muka lu.”

Athaya kemudian menatap wajah Rayyan lekat-lekat.

“Lu kalau mau bercanda jangan sama gue, Rayyan.” sambungnya, “Kita gak sedekat itu buat bercanda.”

Athaya menghela napas kasar.

“Urusan kita udah kelar kan kemarin?” katanya, “Jadi lu gak usah gangguin gue lagi.”

“Kita gak perlu ngobrol di luar urusan pekerjaan,” tegas Athaya sebelum bergegas keluar dari toilet.

Athaya datang lebih awal ke kantor pagi ini. Sebab dia harus segera melakukan tugas yang diberikan Dina.

Ketika sampai di ruang divisi, belum ada satu pun rekan kerjanya yang datang. Hanya seorang pria paruh baya pekerja kebersihan lah yang berada di sana. Menyapu lantai, lalu membuka beberapa jendela.

“Pagi, Pak Aji.” sapa Athaya.

Si pria paruh baya yang telah mengenal Athaya sejak hari pertama masuk kerja; karena keramahannya itu tersenyum.

“Pagi, Mas Athaya.”

“Udah sarapan, Pak?”

“Udah, Mas.”

Athaya tersenyum tipis lalu mengangguk. Namun saat hendak duduk di kursinya, Athaya dibuat heran kala mendapati sebuah kotak makanan berada di mejanya. Alhasil, dia pun menoleh ke arah si petugas kebersihan.

“Pak Aji.”

“Iya, Mas? Ada yang bisa saya bantu?” tanya si paruh baya.

“Saya mau nanya. Bapak liat siapa yang naroh kotak ini di meja saya gak?” kata Athaya.

“Oh itu saya yang bawa, Mas.” jawabnya, “Tadi di depan ada Abang ojol gitu nanya ke saya, katanya itu buat Mas Aya dari divisi sini. Jadi saya bawain.”

“Abang ojolnya gak bilang ini dari siapa, Pak?”

“Gak ada, Mas.”

“Mm gitu. Makasih ya, Pak.”

“Sama-sama, Mas.”

Athaya mengerutkan kening sebelum duduk di kursinya. Dia lalu membuka kotak itu hingga mendapati siomay lah menu yang ada di dalamnya.

Pikiran Athaya pun seketika tertuju pada kejadian dimana dia gak memakan siomaynya selepas seminar kemarin. Dan satu-satunya nama yang kini terlintas dalam benak juga pikiran Athaya adalah Rayyan.

Mendesis pelan, Athaya pun buru-buru menutup kotak itu sebelum kembali meletakkan nya di tempat semula. Dia gak berniat sama sekali untuk memakannya. Ogah, pikirnya.

Selagi Athaya kemudian mulai mengerjakan tugasnya, satu persatu karyawan akhirnya berdatangan. Gak terkecuali Dina juga Janu yang dengan sigap menyapanya dengan ceria.

“Pagi, Ayaaa!”

“Pagi, Mba Dina.”

“Gila, pagi amat lu?” timpal Janu, “Dateng jam berapa?”

“Gak. Baru beberapa menit yang lalu kok,” jawab Athaya.

“Udah sarapan, Ya?”

“Udah kok, Mba. Gue sarapan di rumah tadi,” kata Athaya.

“Sini, sarapan lagi. Gue abis beli nasi kuning di belakang kantor, lu harus coba deh.”

Athaya terkekeh, “Makasih, Mba. Gue masih kenyang.”

“Terus ini apa, Ya?” tanya Janu saat melihat kotak makanan di atas meja Athaya.

“Oh, itu siomay.”

“Ih, udah lama gue gak makan siomay. Boleh nyoba, Ya?”

“Mm, makan aja. Abisin. Itu juga belum gue sentuh kok.”

“Emang lu gak mau?”

Athaya mengangguk, Janu pun lantas menautkan alis.

“Terus lu ngapain beli kalo gak mau dimakan, Athaya?”

“Kenalan gue yang beliin tadi.”

“Oh gitu. Ya udah, buat gue yak,” Janu cengar-cengir.

Dina begitupun Athaya lantas tersenyum lalu menggeleng.

“Si Janu tuh gak ada kenyang-kenyangnya, Ya. Liat tuh, tadi dia ikutan beli nasi kuning sama gue. Terus sekarang malah makan siomay dulu.”

“Hari ini kerjaan gue banyak, Mba. Jadi musti ngisi energi.”

“Asal lu gak bolak-balik toilet aja sih,” Dina lalu terkekeh.

Gak lama berselang, Rayyan pun datang. Gak lupa pula menyapa rekan kerjanya. Tapi Athaya yang melihatnya cuma diam, menatap risih sebelum kedua matanya kembali fokus menatap ke layar komputer.

“Udah sarapan, Yan?”

“Udah, Mba. Tadi gue sarapan bubur di depan,” kata Rayyan.

Rayyan lalu melirik Janu.

“Ngapain lu makan siomay pagi-pagi gini?”

“Ya karena gue pengen.”

“Beli di mana?” tanya Rayyan lagi.

“Gue gak beli. Aya yang ngasih.”

“Oh,” gumam Rayyan lalu melirik Athaya sekilas.

Setelahnya, Rayyan pun ikut menyalakan komputer di hadapannya. Sementara Janu dan Dina sibuk sarapan. Tapi gak lama berselang, Heri pun datang ke sekat meja mereka.

“Ayyan sama Aya kok gak sarapan juga?” tanya Heri.

“Udah tadi, Mas.” jawab Athaya, “Mas Heri udah?”

“Iya, udah juga tadi.”

Heri lalu meletakkan dua kotak bolu lumer di atas meja Athaya sebelum berkata.

“Nih, buat kalian berempat.”

“Apaan tuh, Mas?” tanya Dina.

“Bolu lumer yang lagi hits banget katanya,” jawabnya, “Oleh-oleh dari Mama saya. Kemarin abis ke Bandung.”

“Rejeki emang gak kemana,” kata Janu, “Makasih ya, Mas.”

“Abisin dulu tuh siomay lu.”

Rayyan geleng-geleng kepala.

“Dia juga abis beli nasi kuning loh tadi, Yan. Emang agak geser nih temen lu,” kata Dina yang bikin Heri ketawa.

“Gak apa-apa. Bolu yang ini bisa dimakan belakangan kan entar. Simpen di kulkas aja dulu,” ucap Heri.

“Saya mau makan sekarang deh, Mas. Enak kali ya kalo ada kopinya,” kata Rayyan.

“Iya, sana gih ke dapur.”

“Mas Heri mau kopi gak? Biar sekalian saya bikinin.”

“Boleh, Yan.”

“Aya,” panggil Rayyan, “Mau?”

“Gak, Yan. Makasih.” jawab Athaya seadanya.

“Lu gak minum kopi?”

“Minum, tapi lagi gak pengen.”

Rayyan mengangguk paham.

Janu berdeham, “Gue sama Mba Dina gak ditawarin nih?”

“Mba Dina gak minum kopi.”

“Tapi gue minum,” kata Janu.

“Ya lu bikin aja sendiri,” ucap Rayyan sebelum berlalu ke ruang dapur divisi mereka.

Athaya yang melihatnya pun mendengus sebelum kembali menatap ke layar komputer.

Dikara berjalan mengendap-endap sebelum akhirnya memutar kenop pintu kamar. Senyumnya kemudian merekah saat dia melihat Aksa telah tertidur pulas di atas ranjang. Hanya cahaya temaram dari lampu tidur yang menemani suaminya itu.

Dia lalu mengangkat kopernya. Berusaha agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun sebelum kembali menutup pintu dari dalam.

Senyum di bibir Dikara pun semakin merekah ketika dia mendapati Aksa tertidur dalam posisi memeluk frame foto pernikahan mereka.

Hatinya terenyuh.

Terpisah selama seminggu membuat Dikara begitu merindukan pujaan hatinya itu. Namun dia sendiri tidak pernah berekspektasi bahwa Aksa juga merindukannya hingga se-dalam saat ini.

Perlahan, Dikara meraih frame foto yang tengah dipeluk Aksa; meletakkannya kembali di atas nakas. Dia lalu duduk di tepi ranjang. Satu tangannya membelai pipi Aksa sementara badannya perlahan membungkuk.

Dalam hitungan detik saja, Dikara akhirnya mendaratkan satu kecupan lembut di kening Aksa. Kecupan itu lalu berpindah ke pipi hingga sampai di bibir tipis Aksa.

Sentuhan Dikara itu pun membuat pujaan hatinya melenguh. Aksa kemudian membuka mata, dan dengan raut terkejutnya dia lantas melebarkan bola matanya.

“Aku udah pulang,” ucap Dikara lalu tersenyum tipis.

Aksa yang masih berusaha mengumpulkan serpihan kesadarannya dari alam mimpi lantas mengucek matanya sejenak. Membuat Dikara yang melihatnya mendesis gemas hingga dia beralih mengungkung Aksa.

Alhasil, belum sempat Aksa membuka suara, Dikara sudah lebih dahulu menciumi kedua pipi Aksa bergantian. Sesekali mengulumnya pelan hingga sang empu terkekeh.

“Ka, geli. Udah,” pinta Aksa.

“Kamu ditinggal seminggu doang kok makin gemesin gini sih, hm?” ucapnya gemas.

Aksa pun ikut tersenyum lalu menangkup wajah suaminya.

“Bukannya jadwal pulang kamu ke sini besok sore?”

“Sebenernya iya, kalo aku pengen ikutan closing party. Tapi aku males ah,” jawab Dikara, “Aku udah kangen banget sama kamu soalnya. Jadi aku pulang lebih awal.”

Aksa mengangguk paham.

“Ka.”

“Apa, sayang?”

“Kayaknya kita harus sering-sering pisah deh abis ini.”

“Ih kok gitu?!”

Suara Dikara refleks melengking, bersamaan dengan ekspresi kagetnya.

“Soalnya aku tuh udah kek ketergantungan sama kamu.”

“Ketergantungan gimana?”

Aksa menghela napas.

“Pokoknya aku ngerasa aneh banget kalau gak ada kamu di samping aku, Dikara.”

“Kayak... Biasanya apa-apa kan aku selalu bareng kamu, jadi pas kamu pergi—apalagi lama tuh rasanya hampa tau. Sumpah.”

“Aku juga gak enak kalo dikit-dikit nanya kamu lagi apa atau dimana, bareng siapa. Entar aku jatuhnya malah kek suami posesif,” jelas Aksa.

“Padahal enggak. Aku emang bener-bener kangen aja sama kamu. Sepi gak ada kamu, Ka.”

“Aneh banget kan,” timpalnya, “Padahal dulu-dulu aku mana pernah kayak gini ke kamu.”

Dikara terkekeh.

“Kamu gak ketergantungan...”

Dikara lantas mengikis jarak wajahnya dengan Aksa. Dia lalu menatap bibir suaminya itu sejenak sebelum berbisik.

“Tapi itu namanya kamu udah bucin banget sama aku, Sa.”

Aksa mengulum senyumnya. Dia kemudian melingkarkan lengan di tengkuk Dikara sebelum menciumi bibir sang suami dengan lembut dan penuh afeksi. Membuat mata mereka sama-sama terpejam.

Ditengah-tengah pagutan dua anak cucu Adam itu, gemuruh petir di luar sana tiba-tiba menggema. Hingga tidak lama berselang, rintik hujan seketika mengucur deras membasahi bumi. Alhasil, Dikara menghentikan ciuman nya sejenak lalu beralih menatap wajah Aksa.

“Sebelum aku dateng tadi, emang udah ujan ya di sini?”

“Mm, seharian tadi ujan mulu tau. Kemarin juga,” kata Aksa.

“Pantes tadi kamu meluk foto pernikahan kita,” Dikara lalu tersenyum jenaka, “Soalnya kalo lagi ujan-ujan gini kan enaknya dipeluk suami, tapi suami kamu lagi dinas di Bali.”

Aksa mendengus. Tapi setelahnya dia kembali memeluk erat tengkuk Dikara sebelum melumat bibirnya.

Ciuman intens yang kembali tercipta di tengah-tengah suara gemuruh petir dan hujan di luar sana lantas tidak mengurangi romantisme dua anak manusia itu. Dikara dan Aksa sama-sama larut dalam permainan rasa yang mereka sampaikan melalui sentuhan. Seolah dari sana pula lah mereka bisa melepas rindu yang selama satu Minggu belakangan telah terpendam.

Decak lidah bercampur saliva yang tercipta dalam ciuman pasangan suami itu pun menjadi lagu tersendiri yang membangkitkan gairah. Pun hembusan nafas yang kian memburu membuat keduanya menghentikan pagutan itu sejenak dan beralih saling berbagi tatapan yang dalam.

“Sa.”

“Mm?”

“Aku kangen.”

“Iya, tau. Kamu sejak kemarin bilang kangen mulu ke aku.”

Dikara lalu cengar-cengir.

“Boleh gak, Sa?”

Pertanyaan Dikara membuat Aksa menyipitkan mata. Jika sudah begini, dia seketika paham. Terlebih saat Dikara mulai mengusap bahunya.

“Kamu gak capek apa?” balas Aksa, “Istirahat dulu kek.”

“Justru karena aku capek. Makanya aku mau ngisi ulang energi,” tutur Dikara jenaka.

“Awas ya kalo kamu berhenti gara-gara ketiduran.”

“Kamu gak pengen aku berhenti?” goda Dikara.

Aksa tidak menjawab. Dia hanya menahan senyumnya sembari membuka satu persatu kancing kemeja hitam yang dikenakan Dikara.

Saat Aksa selesai melakukan tugasnya, Dikara pun dengan sigap melepas kemeja yang masih melekat di tubuhnya. Melemparnya ke sembarang arah, lalu beralih menjamah ceruk leher pujaan hatinya.

Dan begitu lah malam Aksa dan Dikara dimulai. Ditemani hujan yang kian deras, hingga rintihan sensual Aksa juga geraman penuh hasrat Dikara lantas nyaris tidak terdengar.

“Ngapain lu bawa notebook sama pulpen?”

Rayyan bertanya sembari memerhatikan Athaya. Kini mereka bersiap-siap untuk pergi ke gedung serbaguna lalu menghadiri seminar.

“Buat nyatet lah, kan lu yang nyuruh gue ngerangkum.”

Rayyan geleng-geleng kepala.

“Pake handphone aja,” katanya, “Entar kalo pembicaranya udah mau ngomong, lu taroh tu hp di atas mejanya. Direkam.”

“Gak sopan.”

“Gak sopan apanya? Orang biasanya juga gitu,” balas Rayyan, “Makanya, lu kudu denger informasi dari gue.”

Athaya menghela napasnya pasrah. Setelahnya, dia lalu meletakkan buku catatan juga pulpennya di atas meja sebelum bangkit dari kursi. Begitu juga dengan Rayyan.

“Mba Din, Nu, gue sama Aya ke gedung serbaguna dulu.”

“Okeee.”

“Makan yang banyak ya di sana,” canda Janu.

Athaya dan Rayyan pun bergegas ke tempat tujuan. Berjalan beriringan tanpa satu kata terucap dari bibir mereka. Bahkan ketika sampai di dalam gedung serbaguna pun keduanya masih saja terjebak dalam keheningan.

Ketika Athaya akhirnya memilih tempat duduk yang gak jauh dari panggung, dia kemudian segera duduk di sana. Namun saat Rayyan ikut duduk di sebelahnya, Athaya lantas pindah ke kursi lain; hingga ada kursi kosong di tengah-tengah keduanya.

Rayyan yang melihat hal itu hanya tersenyum mengejek sembari mengatur kamera. Setelah selesai, dia lalu berdiri dan menengadahkan tangannya di depan Athaya.

“Mana sini hp lu.”

“Kenapa lu minta-minta hp gue?” balas Athaya ketus.

“Gue ngomong baik-baik loh,” kata Rayyan, “Sini deh buru, mumpung gue mau ke depan.”

Athaya berdeham. Dengan tampang yang seolah enggan, dia kemudian menyodorkan handphonenya ke Rayyan.

“Aplikasi perekamnya udah dibuka?” tanya Rayyan.

“Udah.”

Rayyan mengangguk, handphone Athaya pun sudah ada di tangannya. Tapi bukannya berjalan ke arah panggung, dia justru senyum usil lalu mengambil ancang-ancang seolah dia akan melempar handphone Athaya.

“Ayyan!”

Tanpa sadar Athaya memekik. Cukup keras hingga membuat beberapa orang menoleh ke arahnya juga Rayyan.

“Gak boleh ribut, Aya.”

Athaya mengeraskan rahang mendengar penuturan Rayyan. Tangannya lantas mengepal. Tapi dia hanya mampu menghela napas gusar saat Rayyan akhirnya pergi dari hadapannya.

Gak lama berselang setelah itu, acara kemudian dimulai.

***

Acara seminar usai tepat pada pukul dua belas siang. Para peserta seminar pun mulai dipersilakan untuk mencicipi berbagai macam wejangan yang disediakan pada meja panjang di pojok belakang ruang serba guna. Rayyan yang telah selesai melakukan dokumentasi acara pun menghampiri Athaya lalu mengembalikan handphone rekannya itu.

“Makasih,” ucap Athaya.

“Itu gak gratis tau.”

Athaya menarik napasnya dalam-dalam. Seharusnya dia memang sudah bisa menebak ini. Sebab Athaya cukup tau, Rayyan gak akan pernah berhenti mengganggunya.

“Tapi gue gak minta. Lu yang menawarkan diri,” balasnya.

“Tapi lu gak nolak.”

Athaya menipiskan bibirnya kesal. Sementara Rayyan lantas menyeringai puas.

“Sana, ambilin gue makan.”

“Ogah.”

“Ya udah, entar gue bilang ke Mba Dina sama Mas Heri kalo lu gak ngapa-ngapain di sini.”

“Anjing lu ya,” kata Athaya.

Rayyan menghela napas.

“Aya, tangan gue pegel tau megang kamera mulu tadi. Giliran lu yang bantuin kek.”

Athaya memutar bola mata lalu bangkit dari kursinya.

“Lu pengen makan apa?”

“Apa hayo? Coba tebak.”

“Mending lu ngambil makan sendiri deh,” Athaya lelah.

Rayyan pun buru-buru menahan pergelangan tangan Athaya ketika rekan kerjanya itu hendak berlalu darinya.

“Ish! Apaan sih lu?”

Athaya menghempaskan genggaman tangan Rayyan.

“Samain aja kayak makanan yang pengen lu makan, Ya.”

“Siomay?”

“Mm, gak apa-apa. Sama tolong ambilin kopi ya.”

Athaya cuma ngasih tatapan sinisnya sebelum berlalu ke pojok belakang ruangan.

Sementara Athaya sibuk mengambil makanan, Rayyan lantas kembali memeriksa hasil foto juga video dalam kameranya. Sampai gak lama berselang, dia lantas dibuat mendongak sebab seseorang yang dia duga adalah Athaya menyodorkan piring berisi siomay juga satu cup kopi.

“Makasih,” ucap Rayyan.

Athaya gak menjawab. Dia hanya mengangguk sekali sebelum kembali ke meja panjang guna mengambil makanan untuk dirinya sendiri.

Sementara itu, Rayyan justru hanya meletakkan piringnya di atas meja. Dia perlahan menyeruput kopi sambil sesekali menoleh ke Athaya.

Nampak jika saat ini Athaya hendak kembali tapi terlihat kebingungan mencari kursi lain yang gak berdekatan dengan milik Rayyan. Namun apa boleh buat, hanya satu kursi kosong yang tersisa.

Kursi di samping Rayyan.

Ketika Athaya lantas duduk di sebelah kirinya, Rayyan pun mengulum senyum. Dia lalu meraih garpu miliknya sebelum mencuri satu buah siomay dari piring Athaya.

Dan lagi, Athaya hanya mampu menghela napas lalu memberi tatapan sinis kepada Rayyan. Setelahnya, dia lalu hendak melakukan hal yang sama; mengambil satu siomay di piring Rayyan.

Namun, Rayyan justru refleks menepis tangan Athaya. Membuat garpu yang dipegangnya seketika jatuh ke lantai. Menimbulkan bunyi yang cukup keras hingga lagi dan lagi pandangan peserta seminar yang lain tertuju ke arah Athaya seperti pagi tadi.

Athaya sudah benar-benar lelah. Dia lantas menyerah.

Alhasil, dia pun membungkuk. Hendak memungut garpu di bawah mejanya. Tapi sebelum jemarinya meraih garpu itu, Rayyan telah mendahuluinya.

“Bentar, biar gue yang ngambilin lu garpu baru.”

Rayyan berdiri lalu bergegas menuju pojok belakang ruangan dan mengambil garpu baru untuk Athaya. Tapi saat dia kembali ke tempat duduk mereka, Rayyan justru dibuat heran. Sebab Athaya sudah tidak ada di sana.

Rayyan pun mengedarkan pandangannya sejenak hingga mendapati Athaya telah berada di ambang pintu keluar gedung serba guna. Alhasil, dia pun buru-buru meletakkan garpu tadi lalu mengambil kameranya sebelum mengejar Athaya.

“Aya!”

Athaya mendengar teriakan Rayyan dari arah belakang, tapi dia gak menggubris sama sekali. Sampai saat Rayyan akhirnya berhasil menyamai langkahnya lalu menghadang jalan dengan berdiri tepat di hadapannya, Athaya lantas gak bisa lagi buat tetap diam.

Dengan kesabarannya yang sudah habis, Athaya lantas meraih kerah kemeja Rayyan lalu menariknya dengan kuat.

“Lu sebenernya pengen apa sih dari gue, Yan? Hah?”

Rayyan tetap tenang meski raut wajah Athaya telah diselimuti dengan amarah.

“Lu sengaja mau bikin gue risih terus males kerja di sini supaya gue cepet resign?”

“Apa lagi yang pengen lu rebut dari gue kali ini?” timpal Athaya, “Impian gue?”

Rayyan melirik ke arah lain sejenak sebelum bersuara.

“Banyak orang lewat, lepasin dulu. Entar kita digibahin.”

Athaya pun membuang napasnya kasar lalu melepas cengkeramannya dari kerah kemeja Rayyan. Sementara matanya menatap tajam ke dalam bola mata lelaki itu.

“Gue gak nyaman,” ucap Rayyan yang membuat Athaya seketika menautkan alisnya.

“Gak nyaman karena gue kerja di sini?” sela Athaya lalu tersenyum miring, “Iya?”

Rayyan menggeleng pelan.

“Gue gak nyaman karena sikap lu kayak gini ke gue.”

“Lu tau gak sih, Ya? Cepat atau lambat orang-orang divisi juga bakal notice itu. Mereka bakal tau kalau ada yang salah di antara kita.”

“Dan gue gak mau kita jadi diomongin gara-gara itu.”

“Gue cuma pengen kelarin urusan kita. Gue pengen ngobrolin semuanya sama lu.”

“Tapi lu gak pernah mau ngasih gue kesempatan buat ngomong baik-baik sama lu. Lu cuma mau ngomong kalo lagi berantem sama gue.”

Athaya diam.

“Lu kayak gini masih karena masalah di SMA dulu kan?” tanyanya, “Gue paham posisi lu waktu itu. Wajar kok kalau lu marah, sedih, kecewa. Tapi bisa gak sekali aja lu dengerin dari sisi gue juga, Ya?”

“Gue ngerasa terbebani. Gue ngerasa jadi orang yang jahat banget sama lu,” tuturnya, “Padahal semuanya juga bukan karena kemauan gue.”

Athaya tersenyum miring.

“Lu gak perlu lagi ngerasa terbebani,” katanya, “Gue gak mau ada urusan sama lu bukan karena beef kita dulu.”

“Tapi gue kayak gini karena gue emang gak suka sama lu,” jelas Athaya, “Jadi sekarang urusan kita udah kelar kan?”

Athaya kemudian berlalu. Dia melewati Rayyan yang masih berdiri di tempatnya semula.

Tapi saat Athaya sampai di lobby dan berdiri tepat di depan lift, dia justru dibuat kaget sebab seseorang tiba-tiba menabrak bahunya.

Ketika menoleh, Athaya pun dibuat menganga kala melihat Rayyan lah yang berdiri di sampingnya. Menyeringai, lalu masuk ke dalam lift.

“Gue juga gak suka sama lu, Athaya.” ucap Rayyan lalu menjulurkan lidahnya.

Setelahnya, Rayyan lantas menutup pintu lift tanpa membiarkan Athaya masuk. Membuat Athaya refleks menendang udara kosong bahkan sesekali melakukan gerakan meninju; dia kesal.

Namun tanpa Athaya sadari, dua orang karyawan lain yang sedang berjalan ke arah lift lantas melihat tingkahnya itu. Alhasil, saat mereka bertemu pandang, Athaya cuma bisa cengar-cengir kaku sembari menahan rasa malu.

“Gimana kemarin hari pertama kerjanya, kak?”

Athaya yang saat ini masih mengunyah menu sarapan buatan sang Mami lantas menelannya. Dia lalu menenggak air sesaat.

“Suka sama lingkungan kerjanya gak?” timpal Papi.

“Suka sih, Pi. Tapi ada satu yang bikin aku gak nyaman.”

“Gak nyaman kenapa?”

Athaya menghela napas.

“Aku ketemu lagi sama Rayyan.”

Mami terbatuk. Papi pun buru-buru menyodorkan air kepada sang istri. Sementara Athaya sudah bisa menebak reaksi Maminya setelah ini.

“Rayyan yang itu?” Mami memastikan dan dibalas anggukan pelan oleh Athaya.

Si wanita paruh baya kemudian berdecak kesal.

“Kan Mami udah bilang, kamu kerja di kantor Papi aja. Tapi kamu malah ngotot mau ikut rekrutmen di sana,” katanya.

“Mami kan tau aku pengen banget kerja di sana, Mi.”

“Iya, tapi liat sekarang. Kamu malah ketemu lagi sama dia.”

Athaya menjatuhkan pundak.

“Kali ini apa lagi coba yang pengen dia rebut dari kamu?”

“Mami kok ngomong gitu sih?” sela si pria paruh baya.

“Kan emang bener, Pi. Liat aja pas kakak masih SMA dulu,” tutur Mami, “Buah tuh jatuh gak jauh dari pohonnya. Dia bakal tetep kayak gitu karena Mamanya juga perebut dulu.”

Papi geleng-geleng kepala.

“Jadi Mami masih sakit hati sama Mamanya Rayyan?” balas Papi, “Berarti Mami belum move on selama ini?”

Mami pun meraih jemari sang suami. Membuat Athaya yang melihat keduanya tersenyum.

“Bukan gitu, Pi. Mami kan udah punya Papi,” ucapnya.

“Mami cuma gak suka aja kalo dia ada di sekitar Athaya, Pi.” sambungnya, “Apalagi Mami tau kalo Mamanya juga gitu.”

“Udah lah, Mi. Athaya udah gede. Kita—orang tua, gak baik loh kalau terlalu masuk ke dalam kehidupan pribadi anak.”

“Apalagi pas mereka udah harusnya berpikir mandiri,” lanjutnya, “Kakak pasti tau harus bertindak kek gimana.”

Papi lalu menatap Athaya.

“Iya kan, kak?”

“Iya, Mi. Tenang aja,” ucap Athaya lalu tersenyum, “Kali ini aku gak bakal biarin dia ngerebut apapun lagi.”

“Good,” balas Mami, “Ya udah, lanjutin sarapan kamu. Udah jam berapa loh ini, entar telat.”

“Iya, Mi.”

***

“Pagi, Aya.”

Athaya mengulas senyum ketika dia baru saja sampai di kantor—tepatnya pada sekat dimana mejanya berada, dan dia seketika disapa oleh Janu.

“Pagi,” balasnya.

“Mba Din, ini anak barunya.”

Athaya duduk di kursinya lalu melirik ke arah wanita yang ada di sebelah kursi Janu.

“Halo, Aya.”

“Halo, Mba.”

“Aku udah denger soal kamu dari Janu,” kata Dina.

“Dih? Aku kamu,” ejek Rayyan.

Dina cuma memutar bola matanya ke Rayyan sebelum kembali menatap Athaya.

“Kamu kalo mau manggil aku pake nama aja boleh kok, Ya. Umur kita juga cuma beda setahun,” sambungnya.

Rayyan mendengus, “Bilang aja gak mau dianggap tua.”

“Kok lu yang sensi sih, Yan? Masih pagi loh,” Dina menyela Rayyan lalu geleng-geleng.

“Bukan Ayyan kalo gak sensian, Mba.” timpal Janu.

Athaya cuma memaksakan senyum melihat Janu dan Dina menertawai Rayyan.

“Yan, bagi bakpianya ke Aya gih.”

Dina kembali bersuara. Dia menunjuk kotak bakpia di depan Rayyan lalu menatap Athaya diikuti senyum.

“Itu oleh-oleh dari Jogja, Ya.”

“Dia udah bosen paling makan ginian,” kata Rayyan.

“Ck! Lu kok ngomong gitu sih, Yan?” sela Dina.

“Gak salah kan? Dulu dia kuliahnya di Jogja, kali aja kerjaannya tiap hari makan bakpia terus udah bosen.”

“Ha?” Janu menganga.

“Lu tau darimana kalo Aya kuliahnya di Jogja?” tanyanya.

Athaya menelan ludah sebelum buru-buru berkata, “Kemarin gue cerita sama dia, Nu.”

“Ooh.”

Janu begitu juga Dina lantas mengangguk paham.

“Tapi lu orang asli sini terus kuliah di Jogja apa gimana, Ya?”

“Iya, Mba. Asli sini. Rumah gue juga gak jauh-jauh amat dari kantor,” jelas Athaya.

“Lu lulusan SMA mana deh, Ya?” Janu ikut bertanya.

“SMA 1, Nu.”

“Eh? Berarti lu sama si Rayyan satu sekolahan dulu?”

Rayyan melirik Athaya.

“Kalian berdua udah kenal sebelumnya?” timpal Janu.

“Enggak,” jawab Athaya.

Rayyan pun cuma tersenyum mencibir sebelum melahap satu bakpia di hadapannya.

“Gue keknya pernah sih liat muka dia dulu, cuma gak kenal. Beda kelas soalnya.”

Janu mengangguk mendengar penjelasan Athaya.

“Bagus deh sekarang lu berdua satu tempat kerja. Jadi bisa saling kenal.”

Athaya cuma senyum hambar lalu menatap komputernya.

Gak. Dia gak pernah berpikir kalau ada di satu tempat kerja dengan Rayyan itu ide bagus.

“Nu, Din, kalian udah sarapan?” tanya Heri yang menghampiri mereka. Gak lupa pula mengulas senyum ke arah Athaya juga Rayyan.

“Udah, Mas.”

“Ya udah, kita ke ruang rapat sekarang ya. Acaranya udah mau mulai,” ucap Heri.

“Oke, Mas.”

“Nu, kamu bawa lensa yang aku minta kemarin gak?”

“Bawa kok, Mas.”

“Sip.”

Janu dan Dina pun lantas bangkit dari kursi mereka. Sebab keduanya mendapat tugas untuk meliput rapat rutin internal perusahaan.

“Aya, Ayyan, gue sama Mba Dina cabut dulu ya.”

“Oke, Nu.”

Selepas kepergian Janu dan Dina, Rayyan lantas menggeser kursinya hingga berdekatan dengan Athaya.

Rayyan kemudian berbisik,

“Oh, gak kenal sama gue ya?” ejeknya, “Jadi yang dulu suka dateng terus ngomel-ngomel kalo kelas gue ribut pas jam kosong siapa?” tanyanya.

Athaya menghela napas lalu menoyor kepala Rayyan agar segera menjauh darinya.

“Jangan nyari gara-gara deh,” kata Athaya, “Gue gak mau ada urusan lagi sama lu, Yan.”

“Tapi mau gak mau lu harus berurusan sama gue,” balas Rayyan, “Kita rekan kerja loh sekarang. Jadi gimana dong?”

Athaya memberi Rayyan tatapan sinis sebelum kembali menyibukkan diri dengan komputer dan pekerjaan dari atasan yang telah masuk ke email nya.

Sementara itu, Rayyan lantas berdiri. Dia lalu meletakkan kotak bakpia tepat di depan Athaya sebelum berjalan ke luar ruangan; menuju toilet.