Athaya datang lebih awal ke kantor pagi ini. Sebab dia harus segera melakukan tugas yang diberikan Dina.

Ketika sampai di ruang divisi, belum ada satu pun rekan kerjanya yang datang. Hanya seorang pria paruh baya pekerja kebersihan lah yang berada di sana. Menyapu lantai, lalu membuka beberapa jendela.

“Pagi, Pak Aji.” sapa Athaya.

Si pria paruh baya yang telah mengenal Athaya sejak hari pertama masuk kerja; karena keramahannya itu tersenyum.

“Pagi, Mas Athaya.”

“Udah sarapan, Pak?”

“Udah, Mas.”

Athaya tersenyum tipis lalu mengangguk. Namun saat hendak duduk di kursinya, Athaya dibuat heran kala mendapati sebuah kotak makanan berada di mejanya. Alhasil, dia pun menoleh ke arah si petugas kebersihan.

“Pak Aji.”

“Iya, Mas? Ada yang bisa saya bantu?” tanya si paruh baya.

“Saya mau nanya. Bapak liat siapa yang naroh kotak ini di meja saya gak?” kata Athaya.

“Oh itu saya yang bawa, Mas.” jawabnya, “Tadi di depan ada Abang ojol gitu nanya ke saya, katanya itu buat Mas Aya dari divisi sini. Jadi saya bawain.”

“Abang ojolnya gak bilang ini dari siapa, Pak?”

“Gak ada, Mas.”

“Mm gitu. Makasih ya, Pak.”

“Sama-sama, Mas.”

Athaya mengerutkan kening sebelum duduk di kursinya. Dia lalu membuka kotak itu hingga mendapati siomay lah menu yang ada di dalamnya.

Pikiran Athaya pun seketika tertuju pada kejadian dimana dia gak memakan siomaynya selepas seminar kemarin. Dan satu-satunya nama yang kini terlintas dalam benak juga pikiran Athaya adalah Rayyan.

Mendesis pelan, Athaya pun buru-buru menutup kotak itu sebelum kembali meletakkan nya di tempat semula. Dia gak berniat sama sekali untuk memakannya. Ogah, pikirnya.

Selagi Athaya kemudian mulai mengerjakan tugasnya, satu persatu karyawan akhirnya berdatangan. Gak terkecuali Dina juga Janu yang dengan sigap menyapanya dengan ceria.

“Pagi, Ayaaa!”

“Pagi, Mba Dina.”

“Gila, pagi amat lu?” timpal Janu, “Dateng jam berapa?”

“Gak. Baru beberapa menit yang lalu kok,” jawab Athaya.

“Udah sarapan, Ya?”

“Udah kok, Mba. Gue sarapan di rumah tadi,” kata Athaya.

“Sini, sarapan lagi. Gue abis beli nasi kuning di belakang kantor, lu harus coba deh.”

Athaya terkekeh, “Makasih, Mba. Gue masih kenyang.”

“Terus ini apa, Ya?” tanya Janu saat melihat kotak makanan di atas meja Athaya.

“Oh, itu siomay.”

“Ih, udah lama gue gak makan siomay. Boleh nyoba, Ya?”

“Mm, makan aja. Abisin. Itu juga belum gue sentuh kok.”

“Emang lu gak mau?”

Athaya mengangguk, Janu pun lantas menautkan alis.

“Terus lu ngapain beli kalo gak mau dimakan, Athaya?”

“Kenalan gue yang beliin tadi.”

“Oh gitu. Ya udah, buat gue yak,” Janu cengar-cengir.

Dina begitupun Athaya lantas tersenyum lalu menggeleng.

“Si Janu tuh gak ada kenyang-kenyangnya, Ya. Liat tuh, tadi dia ikutan beli nasi kuning sama gue. Terus sekarang malah makan siomay dulu.”

“Hari ini kerjaan gue banyak, Mba. Jadi musti ngisi energi.”

“Asal lu gak bolak-balik toilet aja sih,” Dina lalu terkekeh.

Gak lama berselang, Rayyan pun datang. Gak lupa pula menyapa rekan kerjanya. Tapi Athaya yang melihatnya cuma diam, menatap risih sebelum kedua matanya kembali fokus menatap ke layar komputer.

“Udah sarapan, Yan?”

“Udah, Mba. Tadi gue sarapan bubur di depan,” kata Rayyan.

Rayyan lalu melirik Janu.

“Ngapain lu makan siomay pagi-pagi gini?”

“Ya karena gue pengen.”

“Beli di mana?” tanya Rayyan lagi.

“Gue gak beli. Aya yang ngasih.”

“Oh,” gumam Rayyan lalu melirik Athaya sekilas.

Setelahnya, Rayyan pun ikut menyalakan komputer di hadapannya. Sementara Janu dan Dina sibuk sarapan. Tapi gak lama berselang, Heri pun datang ke sekat meja mereka.

“Ayyan sama Aya kok gak sarapan juga?” tanya Heri.

“Udah tadi, Mas.” jawab Athaya, “Mas Heri udah?”

“Iya, udah juga tadi.”

Heri lalu meletakkan dua kotak bolu lumer di atas meja Athaya sebelum berkata.

“Nih, buat kalian berempat.”

“Apaan tuh, Mas?” tanya Dina.

“Bolu lumer yang lagi hits banget katanya,” jawabnya, “Oleh-oleh dari Mama saya. Kemarin abis ke Bandung.”

“Rejeki emang gak kemana,” kata Janu, “Makasih ya, Mas.”

“Abisin dulu tuh siomay lu.”

Rayyan geleng-geleng kepala.

“Dia juga abis beli nasi kuning loh tadi, Yan. Emang agak geser nih temen lu,” kata Dina yang bikin Heri ketawa.

“Gak apa-apa. Bolu yang ini bisa dimakan belakangan kan entar. Simpen di kulkas aja dulu,” ucap Heri.

“Saya mau makan sekarang deh, Mas. Enak kali ya kalo ada kopinya,” kata Rayyan.

“Iya, sana gih ke dapur.”

“Mas Heri mau kopi gak? Biar sekalian saya bikinin.”

“Boleh, Yan.”

“Aya,” panggil Rayyan, “Mau?”

“Gak, Yan. Makasih.” jawab Athaya seadanya.

“Lu gak minum kopi?”

“Minum, tapi lagi gak pengen.”

Rayyan mengangguk paham.

Janu berdeham, “Gue sama Mba Dina gak ditawarin nih?”

“Mba Dina gak minum kopi.”

“Tapi gue minum,” kata Janu.

“Ya lu bikin aja sendiri,” ucap Rayyan sebelum berlalu ke ruang dapur divisi mereka.

Athaya yang melihatnya pun mendengus sebelum kembali menatap ke layar komputer.