Dikara berjalan mengendap-endap sebelum akhirnya memutar kenop pintu kamar. Senyumnya kemudian merekah saat dia melihat Aksa telah tertidur pulas di atas ranjang. Hanya cahaya temaram dari lampu tidur yang menemani suaminya itu.

Dia lalu mengangkat kopernya. Berusaha agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun sebelum kembali menutup pintu dari dalam.

Senyum di bibir Dikara pun semakin merekah ketika dia mendapati Aksa tertidur dalam posisi memeluk frame foto pernikahan mereka.

Hatinya terenyuh.

Terpisah selama seminggu membuat Dikara begitu merindukan pujaan hatinya itu. Namun dia sendiri tidak pernah berekspektasi bahwa Aksa juga merindukannya hingga se-dalam saat ini.

Perlahan, Dikara meraih frame foto yang tengah dipeluk Aksa; meletakkannya kembali di atas nakas. Dia lalu duduk di tepi ranjang. Satu tangannya membelai pipi Aksa sementara badannya perlahan membungkuk.

Dalam hitungan detik saja, Dikara akhirnya mendaratkan satu kecupan lembut di kening Aksa. Kecupan itu lalu berpindah ke pipi hingga sampai di bibir tipis Aksa.

Sentuhan Dikara itu pun membuat pujaan hatinya melenguh. Aksa kemudian membuka mata, dan dengan raut terkejutnya dia lantas melebarkan bola matanya.

“Aku udah pulang,” ucap Dikara lalu tersenyum tipis.

Aksa yang masih berusaha mengumpulkan serpihan kesadarannya dari alam mimpi lantas mengucek matanya sejenak. Membuat Dikara yang melihatnya mendesis gemas hingga dia beralih mengungkung Aksa.

Alhasil, belum sempat Aksa membuka suara, Dikara sudah lebih dahulu menciumi kedua pipi Aksa bergantian. Sesekali mengulumnya pelan hingga sang empu terkekeh.

“Ka, geli. Udah,” pinta Aksa.

“Kamu ditinggal seminggu doang kok makin gemesin gini sih, hm?” ucapnya gemas.

Aksa pun ikut tersenyum lalu menangkup wajah suaminya.

“Bukannya jadwal pulang kamu ke sini besok sore?”

“Sebenernya iya, kalo aku pengen ikutan closing party. Tapi aku males ah,” jawab Dikara, “Aku udah kangen banget sama kamu soalnya. Jadi aku pulang lebih awal.”

Aksa mengangguk paham.

“Ka.”

“Apa, sayang?”

“Kayaknya kita harus sering-sering pisah deh abis ini.”

“Ih kok gitu?!”

Suara Dikara refleks melengking, bersamaan dengan ekspresi kagetnya.

“Soalnya aku tuh udah kek ketergantungan sama kamu.”

“Ketergantungan gimana?”

Aksa menghela napas.

“Pokoknya aku ngerasa aneh banget kalau gak ada kamu di samping aku, Dikara.”

“Kayak... Biasanya apa-apa kan aku selalu bareng kamu, jadi pas kamu pergi—apalagi lama tuh rasanya hampa tau. Sumpah.”

“Aku juga gak enak kalo dikit-dikit nanya kamu lagi apa atau dimana, bareng siapa. Entar aku jatuhnya malah kek suami posesif,” jelas Aksa.

“Padahal enggak. Aku emang bener-bener kangen aja sama kamu. Sepi gak ada kamu, Ka.”

“Aneh banget kan,” timpalnya, “Padahal dulu-dulu aku mana pernah kayak gini ke kamu.”

Dikara terkekeh.

“Kamu gak ketergantungan...”

Dikara lantas mengikis jarak wajahnya dengan Aksa. Dia lalu menatap bibir suaminya itu sejenak sebelum berbisik.

“Tapi itu namanya kamu udah bucin banget sama aku, Sa.”

Aksa mengulum senyumnya. Dia kemudian melingkarkan lengan di tengkuk Dikara sebelum menciumi bibir sang suami dengan lembut dan penuh afeksi. Membuat mata mereka sama-sama terpejam.

Ditengah-tengah pagutan dua anak cucu Adam itu, gemuruh petir di luar sana tiba-tiba menggema. Hingga tidak lama berselang, rintik hujan seketika mengucur deras membasahi bumi. Alhasil, Dikara menghentikan ciuman nya sejenak lalu beralih menatap wajah Aksa.

“Sebelum aku dateng tadi, emang udah ujan ya di sini?”

“Mm, seharian tadi ujan mulu tau. Kemarin juga,” kata Aksa.

“Pantes tadi kamu meluk foto pernikahan kita,” Dikara lalu tersenyum jenaka, “Soalnya kalo lagi ujan-ujan gini kan enaknya dipeluk suami, tapi suami kamu lagi dinas di Bali.”

Aksa mendengus. Tapi setelahnya dia kembali memeluk erat tengkuk Dikara sebelum melumat bibirnya.

Ciuman intens yang kembali tercipta di tengah-tengah suara gemuruh petir dan hujan di luar sana lantas tidak mengurangi romantisme dua anak manusia itu. Dikara dan Aksa sama-sama larut dalam permainan rasa yang mereka sampaikan melalui sentuhan. Seolah dari sana pula lah mereka bisa melepas rindu yang selama satu Minggu belakangan telah terpendam.

Decak lidah bercampur saliva yang tercipta dalam ciuman pasangan suami itu pun menjadi lagu tersendiri yang membangkitkan gairah. Pun hembusan nafas yang kian memburu membuat keduanya menghentikan pagutan itu sejenak dan beralih saling berbagi tatapan yang dalam.

“Sa.”

“Mm?”

“Aku kangen.”

“Iya, tau. Kamu sejak kemarin bilang kangen mulu ke aku.”

Dikara lalu cengar-cengir.

“Boleh gak, Sa?”

Pertanyaan Dikara membuat Aksa menyipitkan mata. Jika sudah begini, dia seketika paham. Terlebih saat Dikara mulai mengusap bahunya.

“Kamu gak capek apa?” balas Aksa, “Istirahat dulu kek.”

“Justru karena aku capek. Makanya aku mau ngisi ulang energi,” tutur Dikara jenaka.

“Awas ya kalo kamu berhenti gara-gara ketiduran.”

“Kamu gak pengen aku berhenti?” goda Dikara.

Aksa tidak menjawab. Dia hanya menahan senyumnya sembari membuka satu persatu kancing kemeja hitam yang dikenakan Dikara.

Saat Aksa selesai melakukan tugasnya, Dikara pun dengan sigap melepas kemeja yang masih melekat di tubuhnya. Melemparnya ke sembarang arah, lalu beralih menjamah ceruk leher pujaan hatinya.

Dan begitu lah malam Aksa dan Dikara dimulai. Ditemani hujan yang kian deras, hingga rintihan sensual Aksa juga geraman penuh hasrat Dikara lantas nyaris tidak terdengar.