“Gimana kemarin hari pertama kerjanya, kak?”
Athaya yang saat ini masih mengunyah menu sarapan buatan sang Mami lantas menelannya. Dia lalu menenggak air sesaat.
“Suka sama lingkungan kerjanya gak?” timpal Papi.
“Suka sih, Pi. Tapi ada satu yang bikin aku gak nyaman.”
“Gak nyaman kenapa?”
Athaya menghela napas.
“Aku ketemu lagi sama Rayyan.”
Mami terbatuk. Papi pun buru-buru menyodorkan air kepada sang istri. Sementara Athaya sudah bisa menebak reaksi Maminya setelah ini.
“Rayyan yang itu?” Mami memastikan dan dibalas anggukan pelan oleh Athaya.
Si wanita paruh baya kemudian berdecak kesal.
“Kan Mami udah bilang, kamu kerja di kantor Papi aja. Tapi kamu malah ngotot mau ikut rekrutmen di sana,” katanya.
“Mami kan tau aku pengen banget kerja di sana, Mi.”
“Iya, tapi liat sekarang. Kamu malah ketemu lagi sama dia.”
Athaya menjatuhkan pundak.
“Kali ini apa lagi coba yang pengen dia rebut dari kamu?”
“Mami kok ngomong gitu sih?” sela si pria paruh baya.
“Kan emang bener, Pi. Liat aja pas kakak masih SMA dulu,” tutur Mami, “Buah tuh jatuh gak jauh dari pohonnya. Dia bakal tetep kayak gitu karena Mamanya juga perebut dulu.”
Papi geleng-geleng kepala.
“Jadi Mami masih sakit hati sama Mamanya Rayyan?” balas Papi, “Berarti Mami belum move on selama ini?”
Mami pun meraih jemari sang suami. Membuat Athaya yang melihat keduanya tersenyum.
“Bukan gitu, Pi. Mami kan udah punya Papi,” ucapnya.
“Mami cuma gak suka aja kalo dia ada di sekitar Athaya, Pi.” sambungnya, “Apalagi Mami tau kalo Mamanya juga gitu.”
“Udah lah, Mi. Athaya udah gede. Kita—orang tua, gak baik loh kalau terlalu masuk ke dalam kehidupan pribadi anak.”
“Apalagi pas mereka udah harusnya berpikir mandiri,” lanjutnya, “Kakak pasti tau harus bertindak kek gimana.”
Papi lalu menatap Athaya.
“Iya kan, kak?”
“Iya, Mi. Tenang aja,” ucap Athaya lalu tersenyum, “Kali ini aku gak bakal biarin dia ngerebut apapun lagi.”
“Good,” balas Mami, “Ya udah, lanjutin sarapan kamu. Udah jam berapa loh ini, entar telat.”
“Iya, Mi.”
***
“Pagi, Aya.”
Athaya mengulas senyum ketika dia baru saja sampai di kantor—tepatnya pada sekat dimana mejanya berada, dan dia seketika disapa oleh Janu.
“Pagi,” balasnya.
“Mba Din, ini anak barunya.”
Athaya duduk di kursinya lalu melirik ke arah wanita yang ada di sebelah kursi Janu.
“Halo, Aya.”
“Halo, Mba.”
“Aku udah denger soal kamu dari Janu,” kata Dina.
“Dih? Aku kamu,” ejek Rayyan.
Dina cuma memutar bola matanya ke Rayyan sebelum kembali menatap Athaya.
“Kamu kalo mau manggil aku pake nama aja boleh kok, Ya. Umur kita juga cuma beda setahun,” sambungnya.
Rayyan mendengus, “Bilang aja gak mau dianggap tua.”
“Kok lu yang sensi sih, Yan? Masih pagi loh,” Dina menyela Rayyan lalu geleng-geleng.
“Bukan Ayyan kalo gak sensian, Mba.” timpal Janu.
Athaya cuma memaksakan senyum melihat Janu dan Dina menertawai Rayyan.
“Yan, bagi bakpianya ke Aya gih.”
Dina kembali bersuara. Dia menunjuk kotak bakpia di depan Rayyan lalu menatap Athaya diikuti senyum.
“Itu oleh-oleh dari Jogja, Ya.”
“Dia udah bosen paling makan ginian,” kata Rayyan.
“Ck! Lu kok ngomong gitu sih, Yan?” sela Dina.
“Gak salah kan? Dulu dia kuliahnya di Jogja, kali aja kerjaannya tiap hari makan bakpia terus udah bosen.”
“Ha?” Janu menganga.
“Lu tau darimana kalo Aya kuliahnya di Jogja?” tanyanya.
Athaya menelan ludah sebelum buru-buru berkata, “Kemarin gue cerita sama dia, Nu.”
“Ooh.”
Janu begitu juga Dina lantas mengangguk paham.
“Tapi lu orang asli sini terus kuliah di Jogja apa gimana, Ya?”
“Iya, Mba. Asli sini. Rumah gue juga gak jauh-jauh amat dari kantor,” jelas Athaya.
“Lu lulusan SMA mana deh, Ya?” Janu ikut bertanya.
“SMA 1, Nu.”
“Eh? Berarti lu sama si Rayyan satu sekolahan dulu?”
Rayyan melirik Athaya.
“Kalian berdua udah kenal sebelumnya?” timpal Janu.
“Enggak,” jawab Athaya.
Rayyan pun cuma tersenyum mencibir sebelum melahap satu bakpia di hadapannya.
“Gue keknya pernah sih liat muka dia dulu, cuma gak kenal. Beda kelas soalnya.”
Janu mengangguk mendengar penjelasan Athaya.
“Bagus deh sekarang lu berdua satu tempat kerja. Jadi bisa saling kenal.”
Athaya cuma senyum hambar lalu menatap komputernya.
Gak. Dia gak pernah berpikir kalau ada di satu tempat kerja dengan Rayyan itu ide bagus.
“Nu, Din, kalian udah sarapan?” tanya Heri yang menghampiri mereka. Gak lupa pula mengulas senyum ke arah Athaya juga Rayyan.
“Udah, Mas.”
“Ya udah, kita ke ruang rapat sekarang ya. Acaranya udah mau mulai,” ucap Heri.
“Oke, Mas.”
“Nu, kamu bawa lensa yang aku minta kemarin gak?”
“Bawa kok, Mas.”
“Sip.”
Janu dan Dina pun lantas bangkit dari kursi mereka. Sebab keduanya mendapat tugas untuk meliput rapat rutin internal perusahaan.
“Aya, Ayyan, gue sama Mba Dina cabut dulu ya.”
“Oke, Nu.”
Selepas kepergian Janu dan Dina, Rayyan lantas menggeser kursinya hingga berdekatan dengan Athaya.
Rayyan kemudian berbisik,
“Oh, gak kenal sama gue ya?” ejeknya, “Jadi yang dulu suka dateng terus ngomel-ngomel kalo kelas gue ribut pas jam kosong siapa?” tanyanya.
Athaya menghela napas lalu menoyor kepala Rayyan agar segera menjauh darinya.
“Jangan nyari gara-gara deh,” kata Athaya, “Gue gak mau ada urusan lagi sama lu, Yan.”
“Tapi mau gak mau lu harus berurusan sama gue,” balas Rayyan, “Kita rekan kerja loh sekarang. Jadi gimana dong?”
Athaya memberi Rayyan tatapan sinis sebelum kembali menyibukkan diri dengan komputer dan pekerjaan dari atasan yang telah masuk ke email nya.
Sementara itu, Rayyan lantas berdiri. Dia lalu meletakkan kotak bakpia tepat di depan Athaya sebelum berjalan ke luar ruangan; menuju toilet.