Rayyan dan Athaya saling melirik ketika mereka akhirnya turun dari mobil perusahaan tepat di halaman depan gedung divisi. Sementara Heri yang juga bersama mereka lantas menghampiri keduanya.

“Ayo, biar saya bantu bawa barang-barang ke ruangan.”

“Gak usah, Mas.”

Athaya berdeham, “Biar saya sama Rayyan yang naroh kamera sama barang yang lain di ruangan. Mas Heri boleh pulang duluan.”

Sebenarnya ini salah satu alibi Athaya saja supaya Heri gak ngeliat dia pulang bareng Rayyan juga Janu nantinya.

“Gak apa-apa nih?”

“Iya. Gak apa-apa, Mas.”

Heri mengangguk paham.

“Mes Heri markirin mobil di mana?” kini Rayyan yang bertanya.

“Di parkiran samping kantin kantor, Yan. Tadi adik saya nitip sama Pak Yudi di sana.”

“Mau saya yang bawain ke sini gak, Mas?” tanyanya lagi.

“Gak usah, Yan. Kamu bantu Aya aja bawa barang-barang ke ruangan gih.”

“Ya udah. Mas Heri hati-hati pulangnya.”

Heri tersenyum tipis lalu melirik ke arah Athaya.

“Aya beneran mau pulang pake gocar aja?” tanyanya.

“Iya, Mas.”

“Kalau gitu saya aja yang pesenin, gimana? Biar nanti kalo kamu udah balik dari ruangan, gocarnya juga udah datang.”

Rayyan melirik Athaya sejenak sembari menahan tawanya. Sementara Athaya refleks menelan ludah.

“Eh gak apa-apa, Mas. Entar biar saya aja,” tolaknya halus.

“Santai aja, Aya. Daripada entar kamu nunggu sendiri di pos satpam,” balas Heri.

“Ada Ayyan yang nemenin saya kok, Mas.” ucap Athaya refleks lalu menyikut lengan Rayyan, “Iya kan, Yan?”

“Ogah, gue mau langsung pulang ke rumah. Capek.”

Athaya menarik napasnya dalam-dalam. Bibirnya lantas menipis saking kesalnya. Tapi sesaat setelahnya Rayyan justru tersenyum mengejek sebelum menatap Heri.

“Tenang aja, Mas. Athaya kan cowok, meskipun nampak tua dan lelah gini tapi dia punya otot kok. Gampang kalo mau gebukin orang jahat.”

Athaya gak ngerti lagi. Satu hal yang pengen dia lakuin saat ini cuma mukul Rayyan.

Heri yang mendengar penuturan Rayyan pun tertawa kecil.

“Kamu nih, Yan. Saya liat-liat seneng banget gangguin Aya.”

“Tau tuh, Mas. Dia keknya gabut banget kalo gak gangguin saya.”

Athaya lalu menatap Rayyan sinis sebelum kembali mengalihkan atensi ke Heri.

“Tapi bener kok, Mas. Saya gak apa-apa nunggu sendiri.”

“Ya udah. Kamu hati-hati ya. Kamu juga, Yan.” pesan Heri.

“Iya, Mas Heri juga ya.”

Selepas Heri melenggang pergi—meninggalkan keduanya, Athaya seketika menendang kaki Rayyan sebelum berjalan ke dalam gedung. Sementara yang diperlakukan demikian hanya mampu memekik sebelum berlari mengejar Athaya hingga berakhir menoyor kepala rekan kerjanya itu.

***

Janu, Athaya dan Rayyan kini berada di dalam mobil; dengan Athaya yang duduk pada jok belakang seorang diri. Sementara Rayyan dan Janu duduk kursi di depan.

Selama dalam perjalan pulang—lebih tepatnya menuju alamat Athaya, ketiganya nyaris gak pernah diam. Begitu banyak pembahasan yang mereka bagi hingga macet di beberapa titik gak begitu terasa.

Gak lama berselang Janu lantas menyadari sesuatu. Dia penasaran kenapa Athaya gak pernah lagi menyeletuk ketika dirinya dan Rayyan berbicara.

Saat melirik ke arah spion tengah, Janu pun tersenyum tipis. Sebab Athaya nyatanya sudah terlelap di belakang.

“Koplak juga ni anak,” ucap Janu, “Mau dianterin pulang malah ketiduran dia.”

Rayyan mengangkat alisnya lalu menoleh ke belakang. Sedikit terkejut mendapati Athaya sudah tertidur pulas.

“Bangunin, Yan. Bentar lagi kita masuk komplek rumah dia. Tadi gue gak nanya loh nomor rumahnya berapa.”

“Entar aja,” balas Rayyan, “Gue tau rumah dia kok.”

“Ha?” Janu lalu menautkan alisnya, “Lu tau dari mana? Udah pernah ke rumah Aya?”

Rayyan terdiam sejenak. Dia tiba-tiba mikir—apa sekarang dia harus jujur ke Janu soal masa lalu juga masalahnya dengan Athaya.

“Si anjing, ditanyain malah diem.”

“Iya, gue udah pernah ke rumahnya.”

“Ngapain lu ke rumah Aya?”

“Lu banyak tanya amat sih elah. Noh, udah lampu ijo.”

Rayyan menghela napas lega sebab Janu gak lagi bertanya lebih banyak. Dia sendiri pun bingung, kenapa dia justru ikutan gak jujur ke temannya. Apalagi ketika dia mengingat chat Athaya padanya.

Perjalanan mereka pun terus berlanjut. Rayyan kini telah menjadi penunjuk jalan bagi Janu menuju rumah Athaya.

Sampai saat mereka telah sampai di depan rumah sang rekan kerja, Rayyan pun memberitahu Janu supaya menghentikan laju mobilnya.

“Aya, bangun.”

Athaya gak berkutik.

“Athaya.”

Dia masih tidur dengan lelap.

“Aya, bangun woi!”

Janu sedikit berteriak. Membuat Athaya seketika terusik hingga berakhir membuka mata.

“Bener-bener lu ya. Dianterin pulang malah molor duluan.”

“Ya ampun, maaf.”

“Untung si Ayyan tau nomor rumah lu, Ya. Kalo kaga udah gue turunin lu di trotoar.”

Athaya melirik Rayyan yang masih duduk menghadap ke depan. Rekan kerjanya itu gak menoleh ke arahnya atau pun berbicara kepadanya.

“Makasih ya tumpangannya.”

“Mm. Masuk gih,” kata Janu, “Lu bisa nurunin koper lu kan, Ya? Apa masih oleng?”

“Bisa,” jawab Athaya, “Kalian pulangnya hati-hati ya.”

“Oke.”

Athaya kemudian turun dari mobil Janu. Mengangkat koper nya lalu hendak membuka pagar. Tapi dia lantas menepuk jidat ketika mengingat kalau dia gak membawa kunci saat ke Bali.

“Kenapa, Ya?” tanya Janu.

“Pagar rumah gue kekunci, tapi kalian pulang aja gih. Ini gue mau nelpon Mami kok.”

“Gak apa-apa, biar gue sama Ayyan nunggu lu masuk dulu.”

Athaya menelan ludah. Dia lalu melirik ke arah Rayyan yang justru sibuk sendiri dengan handphone nya.

Alhasil, Athaya pun bergegas menelpon sang Mami. Beruntung si wanita paruh baya memang telah menanti panggilan teleponnya. Jadi gak perlu waktu lama buat Athaya untuk menunggu Mami membuka pintu pagar.

Gak lama berselang, Mami akhirnya datang. Membuka pintu pagar lalu menyambut anak semata wayangnya dengan senyuman manis.

Namun ketika si wanita paruh baya melirik ke arah mobil yang terparkir di samping sang anak, senyum di bibirnya perlahan pudar. Sebab dia mendapati Rayyan ada di sana.

“Malam, Tante.”

Janu dengan sigap menyapa dari dalam mobilnya sambil cengar-cengir ke arah Mami.

“Mi, mereka teman kantor aku. Dia namanya Janu, terus yang di sebelahnya Rayyan.”

Si wanita memaksakan senyum lalu mengangguk.

“Mereka yang nganterin aku,” sambung Athaya yang diam-diam menahan rasa gugup.

“Makasih ya udah nganterin Athaya pulang,” ucap Mami.

“Sama-sama, Tante. Kalo gitu kami pamit dulu,” ucap Janu lagi dan dibalas anggukan oleh si wanita paruh baya.

Setelahnya, mobil Janu lantas melaju. Meninggalkan area rumah Athaya. Sementara si wanita paruh baya juga anak semata wayangnya masih berdiri di tempat semula.

“Kenapa kamu pulang bareng dia sih, kak?”

“Janu ngajak aku sama Ayyan, Mi.”

“Tadi katanya mau ngegocar.”

Athaya menghela napas.

“Mi, aku gak bisa terus-terusan menghindar dari dia.” katanya, “Aku masih anak baru, gak mau nyari masalah sama karyawan tetap.”

“Tapi Mami gak suka liat dia deket-deket sama kamu, kak.”

“Aku juga gak suka, Mi. Tapi aku harus bisa profesional.”

Suara Athaya telah bercampur dengan rasa frustasi. Dia kemudian mendegus lalu berdecak.

“Aku harus berurusan sama dia, karena kita temen kerja.”

“Dan Ayyan selama ini gak pernah macem-macem kok. Gak pernah bikin aku ada di posisi sulit juga. Jadi Mami gak usah khawatir lagi.”

“Udah ya, Mi? Aku lagi capek banget, pengen istirahat.”

Athaya menjatuhkan bahunya sebelum berlalu. Melewati si wanita paruh baya yang hanya mampu termangu. Sebab Athaya keliatan gak kayak biasanya; ketika membahas Rayyan.