“Ngapain lu bawa notebook sama pulpen?”
Rayyan bertanya sembari memerhatikan Athaya. Kini mereka bersiap-siap untuk pergi ke gedung serbaguna lalu menghadiri seminar.
“Buat nyatet lah, kan lu yang nyuruh gue ngerangkum.”
Rayyan geleng-geleng kepala.
“Pake handphone aja,” katanya, “Entar kalo pembicaranya udah mau ngomong, lu taroh tu hp di atas mejanya. Direkam.”
“Gak sopan.”
“Gak sopan apanya? Orang biasanya juga gitu,” balas Rayyan, “Makanya, lu kudu denger informasi dari gue.”
Athaya menghela napasnya pasrah. Setelahnya, dia lalu meletakkan buku catatan juga pulpennya di atas meja sebelum bangkit dari kursi. Begitu juga dengan Rayyan.
“Mba Din, Nu, gue sama Aya ke gedung serbaguna dulu.”
“Okeee.”
“Makan yang banyak ya di sana,” canda Janu.
Athaya dan Rayyan pun bergegas ke tempat tujuan. Berjalan beriringan tanpa satu kata terucap dari bibir mereka. Bahkan ketika sampai di dalam gedung serbaguna pun keduanya masih saja terjebak dalam keheningan.
Ketika Athaya akhirnya memilih tempat duduk yang gak jauh dari panggung, dia kemudian segera duduk di sana. Namun saat Rayyan ikut duduk di sebelahnya, Athaya lantas pindah ke kursi lain; hingga ada kursi kosong di tengah-tengah keduanya.
Rayyan yang melihat hal itu hanya tersenyum mengejek sembari mengatur kamera. Setelah selesai, dia lalu berdiri dan menengadahkan tangannya di depan Athaya.
“Mana sini hp lu.”
“Kenapa lu minta-minta hp gue?” balas Athaya ketus.
“Gue ngomong baik-baik loh,” kata Rayyan, “Sini deh buru, mumpung gue mau ke depan.”
Athaya berdeham. Dengan tampang yang seolah enggan, dia kemudian menyodorkan handphonenya ke Rayyan.
“Aplikasi perekamnya udah dibuka?” tanya Rayyan.
“Udah.”
Rayyan mengangguk, handphone Athaya pun sudah ada di tangannya. Tapi bukannya berjalan ke arah panggung, dia justru senyum usil lalu mengambil ancang-ancang seolah dia akan melempar handphone Athaya.
“Ayyan!”
Tanpa sadar Athaya memekik. Cukup keras hingga membuat beberapa orang menoleh ke arahnya juga Rayyan.
“Gak boleh ribut, Aya.”
Athaya mengeraskan rahang mendengar penuturan Rayyan. Tangannya lantas mengepal. Tapi dia hanya mampu menghela napas gusar saat Rayyan akhirnya pergi dari hadapannya.
Gak lama berselang setelah itu, acara kemudian dimulai.
***
Acara seminar usai tepat pada pukul dua belas siang. Para peserta seminar pun mulai dipersilakan untuk mencicipi berbagai macam wejangan yang disediakan pada meja panjang di pojok belakang ruang serba guna. Rayyan yang telah selesai melakukan dokumentasi acara pun menghampiri Athaya lalu mengembalikan handphone rekannya itu.
“Makasih,” ucap Athaya.
“Itu gak gratis tau.”
Athaya menarik napasnya dalam-dalam. Seharusnya dia memang sudah bisa menebak ini. Sebab Athaya cukup tau, Rayyan gak akan pernah berhenti mengganggunya.
“Tapi gue gak minta. Lu yang menawarkan diri,” balasnya.
“Tapi lu gak nolak.”
Athaya menipiskan bibirnya kesal. Sementara Rayyan lantas menyeringai puas.
“Sana, ambilin gue makan.”
“Ogah.”
“Ya udah, entar gue bilang ke Mba Dina sama Mas Heri kalo lu gak ngapa-ngapain di sini.”
“Anjing lu ya,” kata Athaya.
Rayyan menghela napas.
“Aya, tangan gue pegel tau megang kamera mulu tadi. Giliran lu yang bantuin kek.”
Athaya memutar bola mata lalu bangkit dari kursinya.
“Lu pengen makan apa?”
“Apa hayo? Coba tebak.”
“Mending lu ngambil makan sendiri deh,” Athaya lelah.
Rayyan pun buru-buru menahan pergelangan tangan Athaya ketika rekan kerjanya itu hendak berlalu darinya.
“Ish! Apaan sih lu?”
Athaya menghempaskan genggaman tangan Rayyan.
“Samain aja kayak makanan yang pengen lu makan, Ya.”
“Siomay?”
“Mm, gak apa-apa. Sama tolong ambilin kopi ya.”
Athaya cuma ngasih tatapan sinisnya sebelum berlalu ke pojok belakang ruangan.
Sementara Athaya sibuk mengambil makanan, Rayyan lantas kembali memeriksa hasil foto juga video dalam kameranya. Sampai gak lama berselang, dia lantas dibuat mendongak sebab seseorang yang dia duga adalah Athaya menyodorkan piring berisi siomay juga satu cup kopi.
“Makasih,” ucap Rayyan.
Athaya gak menjawab. Dia hanya mengangguk sekali sebelum kembali ke meja panjang guna mengambil makanan untuk dirinya sendiri.
Sementara itu, Rayyan justru hanya meletakkan piringnya di atas meja. Dia perlahan menyeruput kopi sambil sesekali menoleh ke Athaya.
Nampak jika saat ini Athaya hendak kembali tapi terlihat kebingungan mencari kursi lain yang gak berdekatan dengan milik Rayyan. Namun apa boleh buat, hanya satu kursi kosong yang tersisa.
Kursi di samping Rayyan.
Ketika Athaya lantas duduk di sebelah kirinya, Rayyan pun mengulum senyum. Dia lalu meraih garpu miliknya sebelum mencuri satu buah siomay dari piring Athaya.
Dan lagi, Athaya hanya mampu menghela napas lalu memberi tatapan sinis kepada Rayyan. Setelahnya, dia lalu hendak melakukan hal yang sama; mengambil satu siomay di piring Rayyan.
Namun, Rayyan justru refleks menepis tangan Athaya. Membuat garpu yang dipegangnya seketika jatuh ke lantai. Menimbulkan bunyi yang cukup keras hingga lagi dan lagi pandangan peserta seminar yang lain tertuju ke arah Athaya seperti pagi tadi.
Athaya sudah benar-benar lelah. Dia lantas menyerah.
Alhasil, dia pun membungkuk. Hendak memungut garpu di bawah mejanya. Tapi sebelum jemarinya meraih garpu itu, Rayyan telah mendahuluinya.
“Bentar, biar gue yang ngambilin lu garpu baru.”
Rayyan berdiri lalu bergegas menuju pojok belakang ruangan dan mengambil garpu baru untuk Athaya. Tapi saat dia kembali ke tempat duduk mereka, Rayyan justru dibuat heran. Sebab Athaya sudah tidak ada di sana.
Rayyan pun mengedarkan pandangannya sejenak hingga mendapati Athaya telah berada di ambang pintu keluar gedung serba guna. Alhasil, dia pun buru-buru meletakkan garpu tadi lalu mengambil kameranya sebelum mengejar Athaya.
“Aya!”
Athaya mendengar teriakan Rayyan dari arah belakang, tapi dia gak menggubris sama sekali. Sampai saat Rayyan akhirnya berhasil menyamai langkahnya lalu menghadang jalan dengan berdiri tepat di hadapannya, Athaya lantas gak bisa lagi buat tetap diam.
Dengan kesabarannya yang sudah habis, Athaya lantas meraih kerah kemeja Rayyan lalu menariknya dengan kuat.
“Lu sebenernya pengen apa sih dari gue, Yan? Hah?”
Rayyan tetap tenang meski raut wajah Athaya telah diselimuti dengan amarah.
“Lu sengaja mau bikin gue risih terus males kerja di sini supaya gue cepet resign?”
“Apa lagi yang pengen lu rebut dari gue kali ini?” timpal Athaya, “Impian gue?”
Rayyan melirik ke arah lain sejenak sebelum bersuara.
“Banyak orang lewat, lepasin dulu. Entar kita digibahin.”
Athaya pun membuang napasnya kasar lalu melepas cengkeramannya dari kerah kemeja Rayyan. Sementara matanya menatap tajam ke dalam bola mata lelaki itu.
“Gue gak nyaman,” ucap Rayyan yang membuat Athaya seketika menautkan alisnya.
“Gak nyaman karena gue kerja di sini?” sela Athaya lalu tersenyum miring, “Iya?”
Rayyan menggeleng pelan.
“Gue gak nyaman karena sikap lu kayak gini ke gue.”
“Lu tau gak sih, Ya? Cepat atau lambat orang-orang divisi juga bakal notice itu. Mereka bakal tau kalau ada yang salah di antara kita.”
“Dan gue gak mau kita jadi diomongin gara-gara itu.”
“Gue cuma pengen kelarin urusan kita. Gue pengen ngobrolin semuanya sama lu.”
“Tapi lu gak pernah mau ngasih gue kesempatan buat ngomong baik-baik sama lu. Lu cuma mau ngomong kalo lagi berantem sama gue.”
Athaya diam.
“Lu kayak gini masih karena masalah di SMA dulu kan?” tanyanya, “Gue paham posisi lu waktu itu. Wajar kok kalau lu marah, sedih, kecewa. Tapi bisa gak sekali aja lu dengerin dari sisi gue juga, Ya?”
“Gue ngerasa terbebani. Gue ngerasa jadi orang yang jahat banget sama lu,” tuturnya, “Padahal semuanya juga bukan karena kemauan gue.”
Athaya tersenyum miring.
“Lu gak perlu lagi ngerasa terbebani,” katanya, “Gue gak mau ada urusan sama lu bukan karena beef kita dulu.”
“Tapi gue kayak gini karena gue emang gak suka sama lu,” jelas Athaya, “Jadi sekarang urusan kita udah kelar kan?”
Athaya kemudian berlalu. Dia melewati Rayyan yang masih berdiri di tempatnya semula.
Tapi saat Athaya sampai di lobby dan berdiri tepat di depan lift, dia justru dibuat kaget sebab seseorang tiba-tiba menabrak bahunya.
Ketika menoleh, Athaya pun dibuat menganga kala melihat Rayyan lah yang berdiri di sampingnya. Menyeringai, lalu masuk ke dalam lift.
“Gue juga gak suka sama lu, Athaya.” ucap Rayyan lalu menjulurkan lidahnya.
Setelahnya, Rayyan lantas menutup pintu lift tanpa membiarkan Athaya masuk. Membuat Athaya refleks menendang udara kosong bahkan sesekali melakukan gerakan meninju; dia kesal.
Namun tanpa Athaya sadari, dua orang karyawan lain yang sedang berjalan ke arah lift lantas melihat tingkahnya itu. Alhasil, saat mereka bertemu pandang, Athaya cuma bisa cengar-cengir kaku sembari menahan rasa malu.