Athaya membuka bilik toilet setelah selesai dengan urusan panggilan alamnya. Namun ketika dia baru saja hendak berjalan ke arah wastafel, Athaya lantas mendengus.
Bukan tanpa sebab. Kini dia justru bertemu pandang dengan Rayyan—yang sedang mencuci tangan di sana— melalui cermin. Athaya pun seketika berasumsi bahwa acara di aula telah selesai. Terlebih, saat ini sudah hampir jam makan siang.
Menghela napasnya pelan, Athaya kemudian berdiri di samping Rayyan. Mencuci tangannya, tanpa menoleh sedikit pun ke arah lelaki itu.
“Lu mau makan siang di mana?”
Pertanyaan tiba-tiba Rayyan bikin Athaya semakin ngerasa aneh sekaligus risih dengan tingkah rekan kerjanya itu.
“Bukan urusan lu,” jawabnya.
“Ya emang bukan urusan gue. Tapi gue pengen tau lu mau makan di mana, biar kita gak ketemu di tempat yang sama.”
Athaya tersenyum mengejek sebelum menoleh ke Rayyan.
“Kalo gitu gue juga pengen tau, kenapa lu beliin gue siomay pagi tadi ha?”
“Mhm?” Rayyan menautkan kedua alisnya, “Siomay?”
“Iya,” jawab Athaya, “Siomay yang gue kasih ke Janu, itu dari lu kan?”
Rayyan memicingkan mata. Setelahnya dia lantas meletakkan tangannya yang masih basah di atas kening Athaya. Membuat empunya seketika berdecak kesal sembari menepisnya kasar.
“Apa-apaan sih lu?”
“Lu yang apa-apaan,” kata Rayyan, “Lagi sakit lu?”
“Elu yang sakit, Rayyan.”
“Dih? Kok jadi gue? Orang lu yang aneh,” Rayyan geleng-geleng kepala, “Gue gak pernah beliin lu siomay, Aya.”
“Lagian kalau gue beliin pun, lu gak bakal mau makan tu siomay. Gue yakin lu bakal mikir kalo gue nyimpen racun di sana. Iya kan?”
“Tapi cuma lu yang tau kalau kemarin gue pengen makan siomay,” sela Athaya.
“Tapi bukan gue yang beliin lu siomay tadi pagi, Athaya.”
Rayyan kemudian menganga sejenak lalu menatap Athaya dengan raut wajah jenaka.
“Oh, atau lu ngarep dibeliin siomay sama gue nih? Iya?”
“Najis!” ucap Athaya sembari memercikkan air ke wajah Rayyan.
Gak mau kalah, Rayyan pun melakukan hal serupa. Dia kembali menyalakan wastafel guna membasahi tangannya hingga memercikkan air tepat ke arah wajah Athaya.
Aksi keduanya itu pun tetap berlanjut. Mereka seperti kembali menjadi anak kecil yang berkelahi dengan air.
Namun ketika Rayyan merasa jika bajunya perlahan basah, dia lantas menahan tangan Athaya agar segera berhenti.
“Lu curang!” katanya, “Lu bikin baju gue basah, Aya!”
Athaya mendengus.
“Lepasin tangan gue.”
“Gak mau,” kata Rayyan.
“Lu pengen gue pukul?”
“Pukul aja kalo bisa.”
Rayyan pun seketika melotot saat Athaya menghempaskan tangannya dengan keras sebelum mendaratkan satu pukulan di bahu kanannya.
“Eh, lu tuh gak bisa diajak bercanda ya?” protes Rayyan.
“Gue masih punya hati nurani karena gak nonjok muka lu.”
Athaya kemudian menatap wajah Rayyan lekat-lekat.
“Lu kalau mau bercanda jangan sama gue, Rayyan.” sambungnya, “Kita gak sedekat itu buat bercanda.”
Athaya menghela napas kasar.
“Urusan kita udah kelar kan kemarin?” katanya, “Jadi lu gak usah gangguin gue lagi.”
“Kita gak perlu ngobrol di luar urusan pekerjaan,” tegas Athaya sebelum bergegas keluar dari toilet.