Athaya memandangi lanyard yang baru saja diberikan oleh staff wanita divisi Human Resource. Dimana pada ID card miliknya terpampang foto dengan senyum secerah mentarinya—seperti saat ini.
Sebuah hal menggembirakan, karena hari ini dia telah melepas status pencari kerja dan beralih menjadi salah satu karyawan di perusahaan impiannya sedari dulu. Meski begitu, Athaya masih harus menjalani masa intern terlebih dahulu selama tiga bulan sebelum nanti resmi menjadi karyawan tetap.
Dan Athaya berharap; semoga dia bisa melewati masa awal ini sesuai dengan harapan.
“Mas Athaya, mari saya antar ke ruangan divisinya.”
Athaya tersenyum. Dia lalu mengikuti langkah staff HR yang saat ini menuntunnya menuju divisi Marketing and Corporate Communication; dimana dia ditempatkan. Degup jantung di balik dadanya pun kian membabi buta ketika mereka akhirnya tiba di depan pintu ruangan yang terbilang luas itu.
Tenang, Athaya.
Kamu harus ngasih kesan pertama yang baik, batinnya.
“Pagi, Mas Heri.”
“Pagi, Mba Lala.”
Sosok yang dipanggil Mas Heri oleh staff HR di depan Athaya tersenyum manis. Dia kemudian melirik ke arah Athaya sejenak, masih dengan senyum yang sama. Membuat Athaya juga ikut tersenyum.
“Ini Athaya, Mas.”
“Athaya yang kemarin lulus rekrutmen ya?”
“Iya, Mas.” jawab Lala, “Saya serahkan ke Mas Heri ya.”
Duh, udah kayak mas kawin aja yang diserah terimain.
Athaya mencoba menghibur dirinya sendiri meski nyatanya rasa gugup masih mendominasi.
“Baik, La. Terima kasih ya.”
Setelah wanita yang disapa Lala itu pergi—meninggalkan Athaya bersama Heri, rasa gugup Athaya kian menjadi.
“Selamat datang ya, Athaya. Silakan duduk dulu,” Heri mempersilakan.
Athaya pun menurut. Dia duduk pada kursi tepat di depan meja kerja Heri.
“Kemarin Mba Lala ngasih tau supaya kamu bawa CV gak?”
“Iya, Pak.”
Tawa Heri yang se-ringan kapas menggema. Membuat Athaya menelan ludahnya.
“Panggil Mas Heri aja. Saya masih muda tau,” candanya.
“Maaf, Mas.”
“Gak apa-apa. Santai aja.”
Athaya tersenyum kikuk.
“Boleh saya liat CV nya?”
Athaya pun menyodorkan map berisi CV yang diminta.
“Nama panggilannya siapa?”
“Saya biasa dipanggil Aya, Mas.”
Heri mengangguk, masih dengan tatapannya yang tertuju ke CV Athaya. Setelahnya, dia kemudian tersenyum lalu beralih memandangi wajah Athaya.
“Oke,” katanya, “Jadi, Aya...”
“Sebenarnya yang bertugas ngasih kamu arahan di sini itu kepala bagian internal divisi, namanya Bu Inggit.”
“Tapi karena beliau lagi ada dinas di Jogja, jadi saya yang menggantikan. Gak apa-apa?”
Athaya kembali tersenyum.
“Gak apa-apa, Mas.”
“Oke, kalo gitu saya jelasin dikit ya soal divisi kita ini.”
Athaya menyimak. Dia pun gak henti-henti menatap sambil mendengarkan penjelasan Heri yang begitu detail tapi mudah dimengerti. Gak bertele-tele, tapi cukup membantunya mengenal sedikit tentang divisi mereka.
Sampai ketika penjelasan Heri telah berakhir, Athaya lantas mengangguk paham.
“Sekarang saya temenin kamu buat kenalan sama temen-temen di sini ya.”
Dan ini lah saat yang paling mendebarkan bagi Athaya.
Dia kemudian berdiri, mengikuti Heri yang kini menuntunnya mengunjungi satu persatu sekat juga meja kerja. Mulai dari kepala divisi, kepala bagian, hingga staff.
Namun ketika mereka tiba di satu sekat terakhir—sekaligus tempat dimana meja kerja Athaya berada, Athaya lantas melotot. Pasalnya, di sana dia mendapati seseorang yang jelas tidak lagi asing baginya.
Seseorang yang tidak pernah Athaya harapkan untuk bertemu kembali dengannya.
Rayyan Naraputra, nama itu gak akan pernah dia lupakan.
Gak jauh berbeda dengan reaksi Athaya, sosok bernama Rayyan pun sama terkejutnya. Alhasil, mereka hanya saling berbagi pandangan sesaat dalam keheningan sebelum dipecahkan oleh suara Heri.
“Nah, Aya. Mereka berdua ini seumuran kamu,” ucapnya.
“Tapi mereka udah kerja di sini hampir empat tahun,” kata Heri, “Soalnya mereka berdua ikut rekrutmen pas lulus SMA dulu. Jadi abis itu mereka kuliah sambil kerja.”
Athaya memaksakan senyum lalu mengangguk kikuk.
“Yang disebelah kanan itu namanya Janu,” timpal Heri.
“Kalo yang disebelah kiri itu namanya Rayyan,” tuturnya.
“Kursi kosong di sebelah Janu juga ada orangnya, namanya Dina. Tapi dia lagi dampingin Bu Inggit di Jogja,” jelasnya.
“Nu, Yan, ini Athaya. Baik-baik ya kalian sama dia.”
“Siap, Mas. Tapi nanti kalau saya suruh dia push up dulu boleh kan?” canda Janu.
“Boleh, mau disuruh kayang juga gak apa-apa. Iya kan, Ya?”
Athaya cengar-cengir, tapi dengan tampang kecutnya.
“Kalo gitu saya balik ke meja saya dulu ya,” kata Heri, “Aya, entar saya ke sini lagi. Ada kerjaan pertama buat kamu.”
“Baik, Mas.”
Selepas kembalinya Heri ke meja kerjanya, Athaya lantas menghela napas panjang. Dia kemudian menatap kursi di samping Rayyan sejenak sembari merutuki nasibnya.
Masih awal masuk kerja udah ketiban sial, batin Athaya.
“Kok diem aja, Ya? Duduk,” kata Janu, “Apa pengen push up beneran?” candanya lagi.
Athaya menarik napasnya.
Mau gak mau dia harus duduk tepat di samping Rayyan.
“Nama panggilan lu Aya?”
“Iya,” jawab Athaya atas pertanyaan Janu yang duduk di seberangnya, “Lu juga mau bilang kalo nama panggilan gue kayak nama cewek ya?”
Janu ketawa ringan, “Gak lah. Aya kan nama unisex. Apalagi nama lengkap lu juga Athaya.”
Athaya senyum. Nampak kalau Janu ini orangnya asik.
“Tapi lucu ya, nama panggilan lu Aya terus nama panggilan makhluk tuhan paling sensi di samping lu itu Ayyan.”
“Lah terus kenapa?” sela Rayyan, “Apa hubungannya coba?”
Janu menatap Athaya dengan tampang lempeng, “Liat kan? Dia sensian banget. Jadi lu kudu hati-hati duduk di situ, Ya.”
Rayyan cuma menghela napas sebelum menoleh ke Athaya. Tapi lelaki di sebelahnya itu justru diam saja, seolah gak ingin bertemu pandang dengannya meski sebentar.
Alhasil, Rayyan kemudian menggeser kursinya hingga berdempetan dengan milik Athaya sebelum bergumam.
“Hai lagi, Athaya.”
Demi langit dan bumi beserta seluruh isinya, suara Rayyan bikin Athaya pengen ngamuk. Tapi dia berusaha buat tetap tenang. Athaya menyibukkan diri dengan mengatur meja; meletakkan barang-barang pribadinya yang dia bawa.
Sementara itu, Rayyan yang melihat respon Athaya lantas memicingkan kedua matanya.
“Yan, kalo video yang lagi gue render udah kelar langsung lu eksekusi aja yak. Gue disuruh ke ruangan Pak Wira nih.”
Janu lalu menunjuk komputer di mejanya, “Tuh, dikit lagi.”
“Mau ngapain lu di sana?”
“Mau minta sedekah,” ucap Janu malas lalu bangkit dari kursinya hingga berjalan meninggalkan sekat mereka.
Tapi ini kesempatan bagus. Sebab sekarang Rayyan bisa berbicara dengan Athaya...
Kalau Athaya mau.
“Kepisah empat tahun gak mungkin bikin lu lupa sama gue kan?” tanya Rayyan.
Tapi Athaya masih saja diam.
“Aya.”
Athaya mendesis lalu mengusap daun telinganya. Gak lupa pula memasang tampang seolah dia baru saja mendengar bisikan gaib.
“Lu congek apa gimana sih?”
Athaya menguap lebar. Bikin Rayyan seketika menganga.
“Aya,” panggil Heri yang menghampiri meja Athaya.
“Iya, Mas?”
Rayyan menipiskan bibirnya kesal. Giliran Mas Heri yang manggil, Athaya justru nyaut dengan suara yang lembut.
“Ya, agenda bulan ini tolong kamu pindahin ya, terus design kayak gini. Bisa?”
“Bisa, Mas.”
Heri lantas tersenyum lalu meletakkan kertas yang dibawanya di atas meja.
“Oke, kalau udah beres chat saya aja ya. Biar nanti saya kasih alamat email juga.”
“Maaf, Mas.”
Athaya berdeham, “Itu... Saya gak punya kontak Mas Heri.”
“Astaga, maaf. Saya kebiasaan kalo nyuruh Rayyan sama Janu langsung bilang gitu.”
Athaya lalu menyodorkan handphonenya. Setelahnya, Heri pun menulis kontaknya di sana.
“Makasih sebelumnya, Aya.”
“Iya, Mas.”
Athaya menarik napas dalam-dalam sebelum menyalakan komputer di hadapannya. Tapi baru saja layar persegi itu menyala, Rayyan justru dengan sigap mematikannya.
Alhasil, Athaya pun menoleh. Memandangi wajah Rayyan dengan tampang sinis, sementara lelaki itu justru menyeringai.
“Udah puas main-mainnya?”
Rayyan mendengus, “Gak salah? Seharusnya kan gue yang nanya gitu ke elu.”
“Lu kenapa sih gak pengen ngomong sama gue, Ya?”
“Karena gue gak mau.”
“Ya tapi alasannya apa?” tanya Rayyan, “Lu masih dendam sama gue gara-gara masalah yang dulu itu?”
Athaya menatap lurus ke dalam bola mata Rayyan.
“Lu mau tau alasannya?”
“Apa?”
Athaya lalu mencondongkan badannya ke arah Rayyan sebelum bergumam,
“Karena gue gak suka sama lu.”