jaesweats

Athaya memandangi lanyard yang baru saja diberikan oleh staff wanita divisi Human Resource. Dimana pada ID card miliknya terpampang foto dengan senyum secerah mentarinya—seperti saat ini.

Sebuah hal menggembirakan, karena hari ini dia telah melepas status pencari kerja dan beralih menjadi salah satu karyawan di perusahaan impiannya sedari dulu. Meski begitu, Athaya masih harus menjalani masa intern terlebih dahulu selama tiga bulan sebelum nanti resmi menjadi karyawan tetap.

Dan Athaya berharap; semoga dia bisa melewati masa awal ini sesuai dengan harapan.

“Mas Athaya, mari saya antar ke ruangan divisinya.”

Athaya tersenyum. Dia lalu mengikuti langkah staff HR yang saat ini menuntunnya menuju divisi Marketing and Corporate Communication; dimana dia ditempatkan. Degup jantung di balik dadanya pun kian membabi buta ketika mereka akhirnya tiba di depan pintu ruangan yang terbilang luas itu.

Tenang, Athaya.

Kamu harus ngasih kesan pertama yang baik, batinnya.

“Pagi, Mas Heri.”

“Pagi, Mba Lala.”

Sosok yang dipanggil Mas Heri oleh staff HR di depan Athaya tersenyum manis. Dia kemudian melirik ke arah Athaya sejenak, masih dengan senyum yang sama. Membuat Athaya juga ikut tersenyum.

“Ini Athaya, Mas.”

“Athaya yang kemarin lulus rekrutmen ya?”

“Iya, Mas.” jawab Lala, “Saya serahkan ke Mas Heri ya.”

Duh, udah kayak mas kawin aja yang diserah terimain.

Athaya mencoba menghibur dirinya sendiri meski nyatanya rasa gugup masih mendominasi.

“Baik, La. Terima kasih ya.”

Setelah wanita yang disapa Lala itu pergi—meninggalkan Athaya bersama Heri, rasa gugup Athaya kian menjadi.

“Selamat datang ya, Athaya. Silakan duduk dulu,” Heri mempersilakan.

Athaya pun menurut. Dia duduk pada kursi tepat di depan meja kerja Heri.

“Kemarin Mba Lala ngasih tau supaya kamu bawa CV gak?”

“Iya, Pak.”

Tawa Heri yang se-ringan kapas menggema. Membuat Athaya menelan ludahnya.

“Panggil Mas Heri aja. Saya masih muda tau,” candanya.

“Maaf, Mas.”

“Gak apa-apa. Santai aja.”

Athaya tersenyum kikuk.

“Boleh saya liat CV nya?”

Athaya pun menyodorkan map berisi CV yang diminta.

“Nama panggilannya siapa?”

“Saya biasa dipanggil Aya, Mas.”

Heri mengangguk, masih dengan tatapannya yang tertuju ke CV Athaya. Setelahnya, dia kemudian tersenyum lalu beralih memandangi wajah Athaya.

“Oke,” katanya, “Jadi, Aya...”

“Sebenarnya yang bertugas ngasih kamu arahan di sini itu kepala bagian internal divisi, namanya Bu Inggit.”

“Tapi karena beliau lagi ada dinas di Jogja, jadi saya yang menggantikan. Gak apa-apa?”

Athaya kembali tersenyum.

“Gak apa-apa, Mas.”

“Oke, kalo gitu saya jelasin dikit ya soal divisi kita ini.”

Athaya menyimak. Dia pun gak henti-henti menatap sambil mendengarkan penjelasan Heri yang begitu detail tapi mudah dimengerti. Gak bertele-tele, tapi cukup membantunya mengenal sedikit tentang divisi mereka.

Sampai ketika penjelasan Heri telah berakhir, Athaya lantas mengangguk paham.

“Sekarang saya temenin kamu buat kenalan sama temen-temen di sini ya.”

Dan ini lah saat yang paling mendebarkan bagi Athaya.

Dia kemudian berdiri, mengikuti Heri yang kini menuntunnya mengunjungi satu persatu sekat juga meja kerja. Mulai dari kepala divisi, kepala bagian, hingga staff.

Namun ketika mereka tiba di satu sekat terakhir—sekaligus tempat dimana meja kerja Athaya berada, Athaya lantas melotot. Pasalnya, di sana dia mendapati seseorang yang jelas tidak lagi asing baginya.

Seseorang yang tidak pernah Athaya harapkan untuk bertemu kembali dengannya.

Rayyan Naraputra, nama itu gak akan pernah dia lupakan.

Gak jauh berbeda dengan reaksi Athaya, sosok bernama Rayyan pun sama terkejutnya. Alhasil, mereka hanya saling berbagi pandangan sesaat dalam keheningan sebelum dipecahkan oleh suara Heri.

“Nah, Aya. Mereka berdua ini seumuran kamu,” ucapnya.

“Tapi mereka udah kerja di sini hampir empat tahun,” kata Heri, “Soalnya mereka berdua ikut rekrutmen pas lulus SMA dulu. Jadi abis itu mereka kuliah sambil kerja.”

Athaya memaksakan senyum lalu mengangguk kikuk.

“Yang disebelah kanan itu namanya Janu,” timpal Heri.

“Kalo yang disebelah kiri itu namanya Rayyan,” tuturnya.

“Kursi kosong di sebelah Janu juga ada orangnya, namanya Dina. Tapi dia lagi dampingin Bu Inggit di Jogja,” jelasnya.

“Nu, Yan, ini Athaya. Baik-baik ya kalian sama dia.”

“Siap, Mas. Tapi nanti kalau saya suruh dia push up dulu boleh kan?” canda Janu.

“Boleh, mau disuruh kayang juga gak apa-apa. Iya kan, Ya?”

Athaya cengar-cengir, tapi dengan tampang kecutnya.

“Kalo gitu saya balik ke meja saya dulu ya,” kata Heri, “Aya, entar saya ke sini lagi. Ada kerjaan pertama buat kamu.”

“Baik, Mas.”

Selepas kembalinya Heri ke meja kerjanya, Athaya lantas menghela napas panjang. Dia kemudian menatap kursi di samping Rayyan sejenak sembari merutuki nasibnya.

Masih awal masuk kerja udah ketiban sial, batin Athaya.

“Kok diem aja, Ya? Duduk,” kata Janu, “Apa pengen push up beneran?” candanya lagi.

Athaya menarik napasnya.

Mau gak mau dia harus duduk tepat di samping Rayyan.

“Nama panggilan lu Aya?”

“Iya,” jawab Athaya atas pertanyaan Janu yang duduk di seberangnya, “Lu juga mau bilang kalo nama panggilan gue kayak nama cewek ya?”

Janu ketawa ringan, “Gak lah. Aya kan nama unisex. Apalagi nama lengkap lu juga Athaya.”

Athaya senyum. Nampak kalau Janu ini orangnya asik.

“Tapi lucu ya, nama panggilan lu Aya terus nama panggilan makhluk tuhan paling sensi di samping lu itu Ayyan.”

“Lah terus kenapa?” sela Rayyan, “Apa hubungannya coba?”

Janu menatap Athaya dengan tampang lempeng, “Liat kan? Dia sensian banget. Jadi lu kudu hati-hati duduk di situ, Ya.”

Rayyan cuma menghela napas sebelum menoleh ke Athaya. Tapi lelaki di sebelahnya itu justru diam saja, seolah gak ingin bertemu pandang dengannya meski sebentar.

Alhasil, Rayyan kemudian menggeser kursinya hingga berdempetan dengan milik Athaya sebelum bergumam.

“Hai lagi, Athaya.”

Demi langit dan bumi beserta seluruh isinya, suara Rayyan bikin Athaya pengen ngamuk. Tapi dia berusaha buat tetap tenang. Athaya menyibukkan diri dengan mengatur meja; meletakkan barang-barang pribadinya yang dia bawa.

Sementara itu, Rayyan yang melihat respon Athaya lantas memicingkan kedua matanya.

“Yan, kalo video yang lagi gue render udah kelar langsung lu eksekusi aja yak. Gue disuruh ke ruangan Pak Wira nih.”

Janu lalu menunjuk komputer di mejanya, “Tuh, dikit lagi.”

“Mau ngapain lu di sana?”

“Mau minta sedekah,” ucap Janu malas lalu bangkit dari kursinya hingga berjalan meninggalkan sekat mereka.

Tapi ini kesempatan bagus. Sebab sekarang Rayyan bisa berbicara dengan Athaya...

Kalau Athaya mau.

“Kepisah empat tahun gak mungkin bikin lu lupa sama gue kan?” tanya Rayyan.

Tapi Athaya masih saja diam.

“Aya.”

Athaya mendesis lalu mengusap daun telinganya. Gak lupa pula memasang tampang seolah dia baru saja mendengar bisikan gaib.

“Lu congek apa gimana sih?”

Athaya menguap lebar. Bikin Rayyan seketika menganga.

“Aya,” panggil Heri yang menghampiri meja Athaya.

“Iya, Mas?”

Rayyan menipiskan bibirnya kesal. Giliran Mas Heri yang manggil, Athaya justru nyaut dengan suara yang lembut.

“Ya, agenda bulan ini tolong kamu pindahin ya, terus design kayak gini. Bisa?”

“Bisa, Mas.”

Heri lantas tersenyum lalu meletakkan kertas yang dibawanya di atas meja.

“Oke, kalau udah beres chat saya aja ya. Biar nanti saya kasih alamat email juga.”

“Maaf, Mas.”

Athaya berdeham, “Itu... Saya gak punya kontak Mas Heri.”

“Astaga, maaf. Saya kebiasaan kalo nyuruh Rayyan sama Janu langsung bilang gitu.”

Athaya lalu menyodorkan handphonenya. Setelahnya, Heri pun menulis kontaknya di sana.

“Makasih sebelumnya, Aya.”

“Iya, Mas.”

Athaya menarik napas dalam-dalam sebelum menyalakan komputer di hadapannya. Tapi baru saja layar persegi itu menyala, Rayyan justru dengan sigap mematikannya.

Alhasil, Athaya pun menoleh. Memandangi wajah Rayyan dengan tampang sinis, sementara lelaki itu justru menyeringai.

“Udah puas main-mainnya?”

Rayyan mendengus, “Gak salah? Seharusnya kan gue yang nanya gitu ke elu.”

“Lu kenapa sih gak pengen ngomong sama gue, Ya?”

“Karena gue gak mau.”

“Ya tapi alasannya apa?” tanya Rayyan, “Lu masih dendam sama gue gara-gara masalah yang dulu itu?”

Athaya menatap lurus ke dalam bola mata Rayyan.

“Lu mau tau alasannya?”

“Apa?”

Athaya lalu mencondongkan badannya ke arah Rayyan sebelum bergumam,

“Karena gue gak suka sama lu.”

“Jadi mulai besok lu udah tinggal di rumah lu lagi?”

“Mm.”

“Terus keadaan Ayah lu gimana sekarang?” tanya Sean lagi sambil menarik koper Daffa ke sudut kamar.

“Udah gak kesakitan lagi, Yan. Tadi pagi katanya dia udah bisa duduk, meeting online.”

Sean mengangguk.

“Keknya semua udah beres deh, Yan. Gimana? Barang-barang gue gak banyak kan?”

Sean menghela napas, “Iya, gak banyak. Tapi kita berdua ngos-ngosan beresinnya.”

Daffa terkekeh melihat wajah Sean yang dipenuhi peluh.

“Di kulkas masih ada kopi, mau gue ambilin gak?”

“Abis ini kita mau makan di luar kan?” balas Sean yang kemudian direspon dengan anggukan oleh Daffa.

“Ya udah, sekalian entar aja pas kita jalan sama makan di luar.”

“Please, jangan bilang kalo lu pengen nyari Chatime lagi.”

Sean ketawa.

“Enggak. Gue lagi berantem sama Chatime sekarang.”

Daffa refleks menautkan alisnya. Dia lalu meletakkan telapak tangannya di kening Sean sejenak lalu bergumam.

“Lu gak sakit kan?”

“Apaan sih. Kaga lah.”

“Terus kok tumben gak mau Chatime?” tanyanya.

“Gue lagi diet.”

Daffa decakin lidah. Dia lalu mencubit pipi kanan Sean sebelum berkata, “Gegayaan.”

“Serius, berat badan gue nambah tau. Liat nih pipi gue juga jadi chubby gini, Daf.”

“Chubby apaan? Kaga.”

Daffa yang semula lagi ngambil kotak tissue pun beralih nyamperin Sean yang udah duduk di sofa. Dia kemudian menggunakan satu helai tissue untuk mengusap peluh di kening sang dokter.

Sean pun cuma diam, sibuk merhatiin Daffa sambil nahan senyum dan membiarkannya melakukan apa yang dia mau.

“Lagian kalo naiknya masih normal kan gak apa-apa.”

“Maksudnya selama lu gak terbilang obesitas, that’s okay right?” timpal Daffa.

“Iya. Tapi gue kan mau jaga penampilan juga,” balas Sean.

“Jaga penampilan buat siapa?”

“Ya buat diri gue sendiri lah.”

“Kirain buat gue.”

Sean menahan senyumnya.

“Emang kenapa kalo buat lu?”

“Kalo buat gue ya lu harus berhenti diet sekarang,” jawab Daffa, “You’re beautiful just the way you are to me, Sean.”

Sean memicingkan mata sebelum menoyor kepala Daffa.

“Ngalus mulu lu.”

“Tapi serius, lu gak usah diet.”

Sean menggeleng pelan.

“Gue dietnya biar sehat kok. Emang lagi pengen ngurangin konsumsi gula aja,” jelasnya.

Daffa yang udah selesai menyeka keringat Sean pun lantas mengangguk paham.

“Jadi? Kita jalan sekarang?”

“Ayo.”

“Mau jalan ke mana dulu?”

“Nonton yuk. Abis itu baru nyari makan,” usul Sean.

“Nonton lagi?”

“Mm. Kenapa?”

Daffa terkekeh, “Emang lu pengen nonton film apa?”

Sean terlihat berpikir sejenak.

“Ada gak sih film yang lagi tayang terus ceritanya soal dua temen yang saling suka?”

Daffa senyum tipis. Dia lalu menyanggah kepalanya dengan tangan yang dia sandarkan di badan sofa.

“Kenapa lu pengen nonton film yang temanya kek gitu?”

“Soalnya kita belum pernah nonton yang kek gitu kan?”

“Pernah kok.”

“Kapan coba?” tanya Sean, “Lu doang kali yang pernah.”

“Beneran, pernah.”

Sean lalu menatap lurus ke dalam dua bola mata Daffa.

“Lu pernah liat scene dua orang yang temenan ciuman gak?”

“Gak pernah,” jawab Daffa, “Tapi bentar lagi gue bakal liat.”

Sean terdiam. Sementara Daffa lantas mengikis jarak antara wajah mereka. Ketika hidung Daffa menyentuh hidungnya, Sean pun refleks memejamkan kedua matanya.

Saat itu juga Daffa lantas mengecup lembut bibirnya selama beberapa saat.

Sean pun kembali membuka mata kala Daffa sudah beralih menatap wajahnya begitu dalam sembari tersenyum.

Tapi persekian detik berikutnya, yang Sean lakukan adalah menarik pelan tengkuk Daffa hingga bibir mereka kembali berjumpa. Kali ini Sean yang mulai melumat lembut bibir manis Daffa hingga sang empu membalasnya. Bikin Sean ngerasa perutnya tergelitik, seolah ini adalah pengalaman ciuman pertama mereka.

Ketika ciuman mereka usai, kedua anak cucu Adam itu pun kembali saling menatap. Menyelami netra satu sama lain dalam hening sesaat.

“Lain kali kalo pengen dicium bilang aja. Gak usah muter-muter dulu,” canda Daffa.

“Gue gak bilang pengen dicium ya. Lu yang nyosor.”

“Tapi abis itu lu nyium gue.”

Sean mendengus sebelum memeluk Daffa. Dia lalu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher si pemilik lesung pipi sembari menghirup aroma tubuh yang selalu membuatnya merasa tenang.

“Daf.”

“Mhm?”

“Kita udah sampe di titik ini lagi ya sekarang,” kata Sean.

Titik dimana mereka masih harus bisa mengontrol dan menyembunyikan perasaan mereka dari orang lain.

“Tapi ada hal yang bikin gue bersyukur banget kali ini.”

Sean lalu mendongak. Memandangi wajah Daffa.

“Gue bersyukur karena tugas kita sekarang bukan bohong tentang perasaan kita sama orang tua—karena takut ditolak sama mereka.”

“Gue bersyukur karena orang-orang yang dulu kita kira bakal ninggalin kita ternyata masih nerima kita.”

“Dan gue bersyukur, karena lu masih mau ngelewatin ini semua bareng gue lagi.”

Daffa senyum. Dia membelai pipi Sean lalu mengangguk.

“Gue juga bersyukur banget karena sekarang lu kembali di samping gue,” tuturnya.

“Masa-masa kelam yang dulu pernah kita lalui itu udah jadi kenangan. Dan kita berdua bakal ngejalanin masa yang sekarang sama-sama.”

“Entah apa lagi yang udah direncanain sama semesta buat kita di masa depan...”

“Tapi gue yakin, sejahat apapun dunia sama kita, kita juga bakal bisa lewatin itu sama-sama. Kita udah banyak belajar dari yang lalu.”

Sean mengangguk setuju.

Keduanya pun kembali berbagi senyum sejenak sebelum Daffa berkata.

“Gue punya sesuatu buat lu.”

“Apa?”

“Tutup mata lu dulu.”

Sean pun menurut. Dia menutup matanya rapat-rapat. Tapi ketika merasa kalau sesuatu yang dingin melingkari jari manis kirinya, Sean lantas membuka mata.

Alhasil, dia mendapati Daffa memasangkan cincin di sana.

“Daf.”

Sean menatap Daffa heran.

“Gue pernah baca, katanya kalo masangin cincin di jari manis sebelah kiri itu simbol ikatan janji,” ucapnya sambil mengusap cincin yang sudah terpasang di jemari Sean.

“Terus kalau dalam mitologi Yunani, salah satu makna dari jari manis itu cinta sejati.”

Daffa lalu beralih menatap wajah Sean, dia tersenyum. Daffa kemudian menunjukkan jari manis kirinya yang juga telah dipasangi cincin serupa.

“Kita emang gak terikat dalam janji pernikahan.”

“Tapi gue pengen cincin ini jadi simbol janji dan perasaan cinta tulus gue ke elu, Yan.”

“Kalau pun nanti perasaan lu ke gue berubah atau justru sebaliknya, gue janji bakal nyimpan satu ruang di hati gue buat lu,” jelas Daffa.

Sean mengangguk sebelum memeluk erat tubuh Daffa.

“Gue sayang sama lu, Daf.”

“Gue juga sayang lu, Yan.”

Daffa menekan bel rumah Sean, sampai gak lama berselang seseorang lantas datang dan menghampirinya. Saat itu juga tubuh Daffa menegang. Sebab Mama Sean lah yang membuka pintu.

“Pagi, Tante.”

Si wanita paruh baya mengulas senyum tipis.

“Masuk, Daf. Sean ada di dalam, lagi sarapan sama Papanya.”

Daffa berdeham. Masih ada kecanggungan juga rasa takut ketika dia berbincang dengan Mama Sean seperti sekarang.

“Saya gak usah masuk, Tante. Saya cuma mau balikin ini,” katanya sambil menyodorkan airpod Sean, “Ketinggalan di apartemen saya semalem. Kali aja Sean udah mau make.”

“Kalau gitu saya permisi. Maaf udah ganggu waktu sarapannya,” pamit Daffa.

Tapi sebelum dia berbalik, si wanita paruh baya berkata.

“Daf, sarapan bareng di sini ya?” Mama menahan lengan Daffa, “Saya yang minta.”

Alhasil, Daffa cuma bisa menuruti. Dia mengangguk pelan sebelum mengikuti langkah kaki Mama hingga sampai di ruang makan.

“Eh, Daf. Sini, ikut sarapan.”

Papa Sean menyambut Daffa dengan senyum dan sapaan ramahnya. Sekarang Daffa pun semakin paham kenapa dahulu Sean selalu dihantui rasa bersalah hingga depresi. Sebab kedua orang tuanya se-hangat ini. Tapi Sean—juga dirinya justru membuat kedua orang tua itu terluka.

“Daffa balikin ini,” kata Mama sambil meletakkan airpod di hadapan Sean, “Punya kamu.”

“Astaga. Buru-buru amat lu bawain ini, Daf?” kata Sean.

Daffa senyum tipis.

“Lu gak bisa jauh-jauh dari airpod soalnya,” katanya.

“Ayo duduk, Daf.”

Daffa kemudian duduk pada kursi kosong di sebelah Sean.

“Ibra gak di rumah?” tanyanya.

“Ada kok di kamarnya,” jawab Sean, “Semalem tu anak abis begadang keknya. Tadi gue bangunin gak gerak-gerak.”

“Biarin aja. Nanti dia juga bakal bangun,” kata Papa, “Ibra masih culture shock semenjak masuk dunia kerja.”

Si pria paruh baya lalu memandangi Daffa.

“Daf.”

“Iya, Om?”

“Ayah kamu gimana kabarnya?”

Dari tatapan Papa Sean, Daffa paham kalau si pria paruh baya mencoba menanyakan apa hubungannya dengan sang Ayah sudah membaik.

“Terakhir kali saya nanyain kabarnya ke Bang David Minggu lalu, Om. Katanya Ayah sempet sakit tipes.”

Papa mengangguk paham.

“Daf, jangan pernah berhenti datang ke Ayah kamu terus minta maaf ya, nak.”

Daffa juga Sean menyimak.

“Mungkin perlakuan dia dulu ada yang bikin kamu terluka dan merasa gak diberi kasih sayang,” sambungnya.

“Tapi kamu harus paham, gak ada orang tua yang benar-benar benci sama anaknya. Kalau pun ada, itu artinya mereka bukan orang tua.”

“Apalagi Ayah kamu juga orang yang berpendidikan, dibalik sikapnya pasti dia selalu punya alasan.”

“Dan Om yakin, dia mikirin yang terbaik buat kamu.”

Daffa tersenyum lalu mengangguk paham.

“Makasih banyak, Om.”

“Daf,” kini Mama Sean yang bersuara sambil natap Daffa.

“Iya, Tante?”

“Makasih ya udah bantu saya sama Papanya Sean buat ngembaliin Sean yang dulu.”

Sean memandangi Mamanya dengan tatapan sedu.

“Saya bener-bener takut kehilangan Sean,” katanya.

“Tolong jaga Sean ya, Daf?”

“Mama kok ngomong gitu? Kan ada Mama yang jagain aku,” ucap Sean. Sebab dia tiba-tiba teringat dengan mendiang Bunda Daffa.

“Ada hal yang bisa Daffa jangkau tentang diri kamu, sedangkan Mama sama Papa enggak.” ucap si wanita paruh baya, “Jadi Mama, Papa, sama Daffa punya peran tersendiri.”

“Gak cuma Sean, tapi Daffa juga gitu.” ucap Papa, “Kalian berdua harus selalu saling menjaga ya?”

Daffa dan Sean pun saling bertukar pandang sejenak sebelum mengangguk pelan. Mereka kemudian kembali melanjutkan sarapan dengan tenang, sesekali berbincang.

“Tuh, orang yang tadi kalian omongin udah dateng.”

Celetuk Mama saat melihat Ibra berjalan ke meja makan.

“Pagi,” sapa Ibra, “Kak Daffa, lama banget baru ke sini lagi.”

Sean natap adiknya sejenak lalu geleng-geleng kepala. Sebab Ibra masih aja pura-pura gak tau segalanya.

“Udah. Kamu juga sarapan.”

“Makasih, Ma.” ucap Ibra saat sang Mama menyodorkan satu piring untuknya.

“Oh iya, kalian hari ini mau jalan ke mana?” tanya Papa.

“Maksudnya aku sama Daffa, Pa?”

“Mm. Kamu, Daffa sama Ibra.”

“Aku gak ada rencana mau jalan, Pa. Gak tau kalo Daffa.”

“Saya juga gak ada, Om. Abis dari sini langsung balik ke apartemen lagi,” kata Daffa.

“Kalo aku mau ngedate,” ucap Ibra, dia senyum mengejek.

“Nge-date sama siapa lu?”

“Sama pacar gue lah. Emang lu doang apa yang bisa?”

Sean decakin lidah, “Ngejek gue lu? Orang gue gak punya pacar,” katanya, “Bawa pacar lu ke sini. Gue mau liat dia bentukannya kek gimana.”

“Lu posesif banget sih, kak?”

“Bukan posesif, tapi gue mau mastiin lu milih orang yang bener apa kagak.” balas Sean, “You’re too good to be pacar orang gak jelas, Ra. Gue gak rela.”

Ibra hampir menyemburkan makanan yang masih ada di dalam mulutnya. Dia ketawa.

“Canda. Gue mau ketemu sama temen SMA gue, kak.”

“Kalian pengen nonton gak?” tanya Papa lagi, “Kalo mau, biar Papa yang beliin tiket.”

“Widih! Dalam rangka apa nih, Pa?” Ibra bersemangat.

Si pria paruh baya tersenyum. Dia lalu mengusap puncak kepala istrinya—hingga Mama Sean berdecak sambil nahan rasa malunya. Setelahnya, Papa kemudian berucap.

“Hari ini kan anniversary pernikahan Mama Papa.”

“Cieee!” “Cieee!”

“Entar Papa kasih uang jajan.”

“Asik! Makasih, Pa.” ucap Ibra.

“Papa sama Mama gak mau ngerayain apa?” tanya Sean.

“Mau, tapi in private.”

Baik itu Sean, Daffa, maupun Ibra seketika mengulum bibir mendengar penuturan Papa.

“Papa sama Mama abis ini mau staycation. Ya kan, Ma?”

“Mhm.”

“Loh? Berarti uang jajan buat aku sama Ibra sogokan dong, Pa? Abis ini kan ditinggal berdua di rumah,” sela Sean.

“Kamu kayak anak kecil aja.”

Daffa tersenyum. Sebab dia nyatanya bisa kembali merasakan betapa hangat interaksi penghuni rumah tempatnya berada kini.

Daffa pun hanya mampu berandai-andai; jika saja Ayahnya juga bisa berbesar hati seperti orang tua Sean.

***

“Abis ini kita ke mana lagi?”

“Langsung pulang aja deh, Daf. Besok lu kerja, gue juga mau ke RS pagi-pagi banget.”

Daffa pun mengangguk paham sebelum mencancap gas mobilnya hingga meninggalkan area parkir pusat perbelanjaan—sekaligus tempat dimana dia dan Sean baru saja selesai menonton film di bioskop.

Seharian ini keduanya sudah menghabiskan waktu bersama; sejak siang hingga kini sudah pukul sepuluh malam. Daffa dan Sean mengunjungi banyak tempat, gak terkecuali tempat yang dulunya juga pernah menjadi saksi bisu dari kisah mereka.

Sesampainya di depan rumah Sean, Daffa lantas mematikan mesin mobilnya. Dia beralih menatap lamat wajah Sean.

“Lu seneng gak hari ini?”

“Mm,” gumam Sean, “Seneng banget.”

Daffa lantas tersenyum lega. Perlahan, dia meraih jemari Sean. Menggenggamnya erat.

“Lu ngerasa gak kalau waktu bisa ngubah seseorang?”

“Iya,” jawab Sean. “Bukan ngubah seseorang sih, Daf.”

“Tapi lebih kek... Mengubah point of view seseorang?”

Daffa mengangguk setuju.

“Tapi kenapa ya waktu gak bisa ngubah perasaan kita, Yan?” tanya Daffa, “Padahal waktu udah nyembuhin luka kita dikit dengan bikin Mama, Papa, Sean sama Radeya bisa nerima keadaan kita berdua.”

Sean senyum tipis.

“Mungkin karena waktu pengen nunjukin siapa yang bener-bener cinta sama kita.”

“Beberapa tahun lalu, gue sama lu udah berusaha buat saling ngelupain dan nyari orang lain yang mungkin bisa lebih sayang sama kita...”

“Tapi akhirnya apa? Gak ada yang bisa nerima kekurangan sama kelebihan gue kayak lu. Dan lu juga bilang kalo gak ada orang yang bisa nguatin dan dengerin lu kayak gue.”

“Gue yang paling sayang banget sama lu. Lu juga yang paling sayang gue,” katanya, “Waktu akhirnya ngasih jawaban itu.”

Mata Daffa berkaca-kaca. Dia mengusap lembut pipi Sean.

“Yan, lu baik-baik aja kan sama status kita yang sekarang?”

Sean mengangguk.

“Kenapa gue harus gak baik-baik aja?” katanya, “Fakta kalo lu bisa ada di samping gue lagi udah bikin gue bahagia kok.”

“Manusia gak boleh serakah kan?” timpalnya, “Jadi gue rasa ini semua udah cukup.”

Sean lalu memandangi jemarinya yang saling bertautan dengan Daffa.

“Tapi kalo suatu saat nanti waktu juga ngubah perasaan lu ke gue... Gak apa-apa, Daf.”

“Kan kata lu dulu, kita gak usah mikirin masa depan. Kita fokus dan jalanin aja yang sekarang,” tuturnya.

“Jadi mulai sekarang gue bakal bikin kenangan indah sebanyak-banyak sama lu.”

“Supaya pas perasaan lu ke gue udah gak sama, gue bisa hidup sama kenangan itu tanpa ada rasa penyesalan.”

“Dan pada akhirnya kita semua emang harus berdamai sama keadaan kan, Daf?”

Daffa membungkuk sembari menciumi punggung tangan Sean. Bersamaan dengan bahunya yang bergetar hebat.

“Heh? Kok lu nangis?”

Sean membantu Daffa untuk kembali menegakkan badan. Dia kemudian menyeka air mata di kedua pipi Daffa.

“Udah. Sekarang kan kita udah bareng lagi. Gak usah nangis,” ucap Sean lembut.

Daffa gak mengatakan apa-apa sebelum mendekap erat tubuh Sean. Dengan sigap Sean pun membalasnya, dia memeluk Daffa gak kalah erat. Seolah menyampaikan pesan tersirat jika Daffa masih bersamanya, Daffa masih memilikinya; meski harus dipendam keduanya.

Sean memandangi gedung di hadapannya tepat setelah dia turun dari taksi online. Sean kemudian merogoh saku celananya, mengeluarkan handphonenya sebelum menelpon kontak seseorang.

“Halo.”

Sean tersenyum mendengar suara sosok di seberang sana.

“Masih di kantor?”

“Iya, tapi ini udah mau pulang. Kenapa, Yan?”

“Mm, liat chat gue dulu. Gue mau ngirim sesuatu,” katanya sebelum mengirimkan foto gedung di hadapannya.

“Yan?! Lu ada di depan kantor gue?!” pekik lawan bicaranya.

Sean pun terkekeh.

“Iya, cepetan ke sini. Gue diliatin satpam dari tadi.”

“Lu masuk aja dulu ke lobby.”

“Gak, gue nunggu di sini aja.”

“Ya udah bentar. Gue bakal lari, gak lama kok. Oke?”

Sean ketawa kecil, “Iyaaa.”

Setelah sambungan telepon terputus, Sean pun kembali memandangi gedung di hadapannya. Hingga gak lama berselang, sosok yang sedari tadi dia tunggu pun datang. Berlari ke arahnya dengan tatapan heran.

Tapi bukannya langsung menyapa Sean, pria yang mengenakan setelan kemeja berwarna putih itu seketika menoyor kepala sang dokter.

“Ish, Daffa!”

“Kok balik ke Jakarta gak bilang-bilang?” tanya Daffa.

“Kan biar surprise.”

“Internship lu udah beres?”

“Udah. Sejak tiga hari yang lalu malah kelarnya, tapi gue baru balik rumah tadi pagi.”

“Ck! Bener-bener ya, padahal semalem bilangnya besok harus ke puskesmas pagi banget.” Daffa geleng-geleng, “Terus mobil lu mana?”

“Gue gak bawa mobil.”

Daffa mengulum senyum.

“Terus lu pulangnya gimana?”

Sean menghela napas sambil nunjukin tatapan datarnya. Bikin Daffa seketika ketawa.

“Mobil gue ada di sana, yuk.”

Daffa kemudian menuntun Sean menuju parkiran hingga sampai di samping mobilnya. Tapi sebelum dia ngasih tau Sean supaya segera masuk, seseorang tiba-tiba bersuara.

“Daffa!”

“Eh, Bel.”

Daffa senyum ke arah sang rekan kerja yang nyamperin dia.

“Lu ceroboh bener ya. Nih, tab lu ketinggalan di meja.”

“Astaga,” Daffa ngetawain dirinya sendiri, “Makasih ya.”

“Lagian tadi buru-buru amat kek dikejar setan. Lu kenapa sih?” tanya wanita bernama Bella itu. Setelahnya, dia pun ngelirik ke arah Sean yang berdiri di belakang Daffa.

“Nih, ada temen gue dateng. Dia nunggu di depan tadi, makanya gue buru-buru.”

Daffa lalu menatap Sean.

“Yan, kenalin. Ini Bella, temen satu divisi gue. Dia juga satu almamater loh sama lu dulu.”

Sean mengulas senyum sebelum berkata, “Sean.”

Bella membalas senyumnya.

“Jadi lu mau langsung pulang ke apartemen lu nih, Daf?”

“Gak, Bel. Gue mau jalan dulu sama Sean,” jawabnya, “Eh, mobil lu masih di bengkel?”

“Iya nih.”

“Jadi lu pulangnya naik ojol?”

“Gak, gue mau dianterin sama Lia. Dia kebetulan mau lewat daerah rumah gue,” katanya.

“Ya udah. Kalo gitu gue duluan ya, Bel.”

“Sip, hati-hati ya.”

Daffa pun mengangguk pelan sebelum menuntun Sean—yang sedari tadi cuma diam dan dengerin mereka ngobrol buat segera masuk ke mobil.

“Bella udah punya pacar,” ucap Daffa tepat setelah dia duduk di belakang kemudi.

Sean yang mendengarnya pun nautin alisnya heran.

“Terus?”

“Siapa tau lu lagi mikir yang kaga-kaga,” ucap Daffa.

“Ngapain juga gue musti mikir yang kaga-kaga?”

Daffa terkekeh.

“Abisnya lu diem aja tadi,” katanya lalu bersandar sejenak di jok, “Kali aja lu cemburu sama Bella gitu?”

“Siapa yang cemburu.”

Sean lantas ikut bersandar.

“Kita juga cuma temenan.”

“Tapi gue kan temen spesial lu,” kata Daffa yang bikin Sean lantas nonjok bahunya.

“Kenapa? Kok wajah lu jadi merah gini?” timpal Daffa.

“Daf, sekali lagi lu ngomong gue turun dari mobil lu ya.”

Daffa pun ketawa kencang.

“Ya udah,” katanya, “Jadi kita mau jalan ke mana nih?”

Sean cengar-cengir.

“Nyari Chatime.”

Daffa cuma decakin lidah, dia lalu geleng-geleng kepala. Setelahnya Daffa lantas menyalakan mesin mobilnya. Tapi bukannya langsung menancap gas, Daffa justru kembali natap wajah Sean.

“Lu udah bilang ke Mama lu gak kalo mau ketemu gue?”

“Udah,” jawab Sean, “Gue juga udah izin sampe jam sembilan malem doang kok. Gak lama.”

“Kalo gitu sekalian temenin gue belanja bulanan ya?”

“Boleh,” Sean bersemangat, “Sekalian makan malem di apartemen lu juga gimana?”

Sean mendesis, “Gue pengen nyobain masakan lu yang selalu lu bangga-banggain itu.”

“Boleh, tapi izin ke Mama sama Papa lu dulu ya. Bilang kalo kita mau masak bareng.”

“Oke, abis ini gue telpon.”

Daffa pun tersenyum tipis sejenak sebelum mulai menancap gas mobil hingga meninggalkan kantornya.

***

“Sini, biar gue bantu.”

Sean hendak merebut satu kantongan belanja yang dikeluarkan Daffa dari jok belakang. Tapi pemilik lesung pipi itu justru menggeleng.

“Gak usah, lu kan tamu gue.”

“Apaan sih lu, lebay banget.” Sean ketawa kecil, “Sini satu.”

Daffa pun cuma bisa pasrah ketika Sean mengambil satu kantong dan menentengnya. Alhasil, mereka berdua lantas bergegas melanjutkan langkah. Ninggalin basement apartemen menuju lift.

“Entar kalo kita udah nyampe di apartemen VC Mama sama Papa lu ya,” ucap Daffa setelah menekan angka lantai yang akan dituju pada lift.

“Biar Mama Papa lu tau aja kalo kita beneran mau masak terus makan bareng. Gak ngelakuin yang aneh-aneh,” sambungnya, “Abis itu lu langsung gue anterin pulang.”

Sean mengangguk.

“Tapi Mama gak bilang apa-apa kok pas gue ngasih tau kalo mau ke apartemen lu.”

“Kalo Papa cuma mesen satu sih. Katanya pengen dibawain makanan. Papa juga mau nyobain masakan lu katanya.”

“Iya, cuman takutnya Mama lu jadi overthinking. Apalagi kalo keinget kejadian dulu.”

Daffa menatap lurus ke dalam mata Sean, “Kan kasian, Yan.”

“Iya, entar gue VC mereka.”

Pintu lift kemudian terbuka. Daffa dan Sean pun lantas berjalan keluar beriringan.

Dalam perjalanannya menuju unit apartemen Daffa, Sean sesekali menoleh, menatap sedu wajah si pemilik lesung pipi. Setelahnya, Sean perlahan meraih jemari Daffa. Menggenggamnya, hingga sang empu menatapnya. Daffa pun tersenyum hambar lalu membalas genggaman tangan Sean gak kalah erat.

Sayangnya, ketika Daffa dan Sean nyaris sampai tepat di depan unit apartemen si lelaki berlesung pipi, mereka berdua seketika mematung. Sebab Radeya juga Gibran ada di sana. Berdiri sembari menatap ke arah mereka yang masih saling berpegangan.

***

Hening menyelimuti ruang tengah apartemen Daffa. Tatapan Radeya juga Gibran mengintimidasinya dan Sean.

Sampai gak lama berselang, Radeya lantas menghela napas panjang lalu bersuara.

“Sebenernya hubungan apa sih yang lagi kalian jalanin?”

“Dey, gue sama Daffa cuma temenan.” jawab Sean lirih.

“Yan, kita udah bukan anak belasan tahun lagi. Lu pikir gue sama Gibran gampang diboongin?” sela Radeya.

“Gak ada dua cowok yang cuma temenan tapi malah pegangan tangan kayak tadi.”

Daffa memejamkan matanya sejenak sebelum bersuara.

“Sean gak bohong kalo sekarang gue sama dia cuma temenan,” katanya sambil natap mata Radeya, “Tapi kalo lu emang pengen tau... Bener, gue sama Sean saling sayang.”

Radeya menganga. Sementara Gibran mengusap wajahnya.

“Gue pernah pacaran sama Sean waktu masih SMA...”

“Mendiang Bunda gue, Ayah, Mama sama Papanya Sean juga udah tau itu dari dulu.”

Sean menatap wajah Daffa. Jelas kalau lelaki di sebelahnya itu merasa berat buat nyeritain kenangan pahit mereka ke Radeya dan Gibran.

“Dan gue diusir dari rumah karena itu. Karena seksualitas gue ketahuan,” jelasnya lirih.

“Gue juga pergi ke Bandung terus mengasingkan diri dari kalian waktu itu karena gue tau, kalian mungkin bakalan malu temenan sama gue.”

“Apalagi pas SMA dulu kalian keliatan jijik sama homo.”

Mata Daffa memanas.

“Gue udah berusaha banget, Dey, Gib. Sean juga sama.”

“Enam tahun, se-lama itu gue gak ada komunikasi sama Sean dan mencoba berubah.”

“Tapi waktu enam tahun itu ternyata gak nyembuhin gue.”

“Sekarang kalian udah tau gimana gue sama Sean yang sebenarnya,” kata Daffa, “Kalian boleh marah, benci, atau pergi. Gue tau ini salah.”

“Tapi gue mohon, cukup kalian aja yang tau. Dunia gak boleh tau kalo gue sayang sama Sean,” sambungnya.

“Karena ada hati dari orang tua yang harus gue sama Sean jaga,” jelas Daffa, “Gue sama Sean emang terluka, tapi orang tua gue sama Sean pasti jauh lebih terlukanya.”

“Gue sama Sean bisa ketemu lagi kayak sekarang pun buat nyembuhin luka satu sama lain,” tuturnya, “Gue sakit karena kehilangan Bunda; satu-satunya orang yang masih peduli sama gue selain Sean. Dan Sean sakit karena dulu dia harus ngelawan depresi sendirian, sebelum akhirnya Mama sama Papa dia tau dan mentingin kesehatannya.”

“Gue sama Sean sekarang juga lagi berusaha banget memendam dan nyembunyiin perasaan satu sama lain dari mereka. Makanya kita berdua mutusin buat temenan aja.”

“Meskipun gue sama Sean tau, kalo kita berdua masih saling sayang kayak dulu.”

Daffa menghela napas panjang.

“Maaf,” ucap Daffa, “Kalian pasti jijik dengerin gue ngomong gini.”

Gibran kemudian beranjak dari sofa. Sementara Radeya, Sean dan Daffa menatapnya.

“Lu abis belanja apa tadi? Gue laper,” ucap Gibran sebelum berjalan ke arah dapur Daffa.

Baik itu Daffa maupun Sean seketika saling bertukar pandang. Mereka heran.

“Gue bisa nerima kalian,” kata Radeya, “Gue yakin Gibran juga gitu. Noh, dia gak pergi kan?”

Radeya lalu menarik napas.

“Tapi gue gak membenarkan perasaan lu berdua. Itu salah.”

Daffa dan Sean menunduk.

“Dan di negara kita, gak ada keadilan buat orang-orang kek kalian. Kedengeran jahat emang, tapi itu fakta yang harus diterima.”

“Jadi kalo kalian masih pengen tetep ngejalanin ini, silakan. Cuman kalian juga harus selalu siap sama risikonya,” jelas Radeya.

“Apalagi kalo kalian tiba-tiba ketangkep basah kek tadi.”

“Terlebih elu, Yan. Sekarang lu udah jadi dokter,” timpalnya, “Lu musti hati-hati. Jangan bikin apa yang udah susah payah lu capai jadi hancur.”

Sean mengangguk.

“Lu juga sama, Daf.”

“Mm,” Daffa bergumam paham, “Makasih, Dey.”

“Makasih juga udah coming out sama gue, sama Gibran.”

Radeya kemudian menatap sahabatnya bergantian, “Maaf kalau waktu SMA dulu sudut pandang gue masih sempit dan mungkin ngelukain perasaan kalian.”

“Tapi gue pernah bilang ke elu kan, Yan? Kalo lu salah, ya gue bakal nyalahin elu...”

“Cuman gimana pun juga, lu bakal tetep jadi temen gue.”

Radeya beralih natap Daffa, “Dan itu juga berlaku buat lu.”

“Woy! Kok gak ada makanan?”

Teriakan Gibran bikin Radeya, Daffa juga Sean refleks tersenyum. Ketiganya kemudian bangkit lalu menyusul ke dapur.

“Makasih ya, dok.”

“Sama-sama, Ibu.”

Sean mengulas senyum ke arah pasien wanita yang baru saja dia periksa. Setelah sang pasien keluar dari ruangan, Sean lantas memeriksa jam di handphone nya sejenak.

Sudah hampir jam makan siang. Tapi masih cukup banyak calon pasien yang menunggu di luar. Sean pun seketika paham, sebab saat ini sedang musim pancaroba.

Gak lama berselang, ketukan di pintu ruangannya lantas bikin Sean lantas menoleh ke sumber suara. Tapi saat itu juga jantung Sean seakan berhenti berdetak selama beberapa detik. Sebab dia mendapati sosok Daffa berdiri di ambang pintu.

Tapi Daffa gak datang sendiri, terlihat seorang wanita mendampinginya.

Berdeham pelan, Sean lalu mengulas senyum ramah seperti biasa dan berkata,

“Silakan.”

Daffa juga wanita berambut cokelat gelap sebahu yang bersamanya pun duduk pada kursi di depan Sean.

“Siapa yang sakit?” tanya Sean dengan nada ramah.

“Saya, dok.”

Sean memaksakan senyum saat mendengar jawaban Daffa. Nampak jika pemilik lesung pipi itu gak pengen nunjukin ke wanitanya kalau mereka berdua saling kenal.

“Dia sakit perut, dok. Udah sejak semalem,” ucap wanita di samping Daffa, “Dia juga sampe mual, panas dingin.”

Sean menghela napas pelan.

“Masnya abis makan sambel berapa sendok?” tanya Sean.

“Daf? Emang kemarin kamu abis makan sambel ya?”

Daffa mengangguk pelan.

“Iya, pas aku makan siang sendiri di resto depan villa.”

Sean memerhatikan Daffa juga wanita di sampingnya. Mendengar keduanya berbicara menggunakan sapaan ‘aku–kamu’ bikin Sean yakin kalau sosok itu adalah pacar atau bahkan istri Daffa.

Daffa kemudian kembali menatap wajah Sean sejenak.

“Saya gak makan sambel terlalu banyak kok, dok.”

“Mm,” Sean mengangguk, “Makan siangnya telat gak?”

“Iya.”

“Kalo gitu Mas boleh ke sana ya, biar saya periksa dulu.”

Daffa mengangguk paham saat Sean menunjuk ke arah ranjang rawat yang ada di sana. Dia lalu beranjak hingga berakhir merebahkan tubuh.

“Dok, maaf. Saya mau nanya, toiletnya di mana ya?” tanya wanita yang masih duduk di hadapan Sean.

“Dari ruangan ini lurus aja ke belakang, abis itu belok kiri.”

“Makasih, dok. Saya izin mau buang air dulu,” kata wanita itu lalu menoleh ke Daffa.

“Daf, aku ke toilet dulu ya. Kebelet banget dari tadi.”

Daffa pun membalasnya dengan anggukan pelan.

Sementara itu, Sean seketika menghampiri Daffa yang udah berbaring di ranjang. Memeriksanya sejenak, sebelum menatap Daffa.

“Pola makannya diatur ya, kurangin makan pedes juga, sama kelola stress biar asam lambungnya gak kambuh.”

Daffa gak merespon ucapan Sean selama beberapa saat. Tapi setelahnya, dia bersuara.

“Lu kerja di sini, Yan?”

“Iya, gue lagi internship.”

“Bisa kebetulan gini ya,” ucap Daffa, “Pas lu sakit dulu, gue bawa lu ke puskesmas ini.”

“Sekarang malah elu yang jadi dokter di sini, meriksa gue.”

Sean tersenyum tipis diikuti anggukan pelan. Ya, bahkan dia pun awalnya benar-benar gak nyangka kalau puskesmas yang ditunjuk sebagai tempat internship nya saat ini adalah puskesmas yang pernah dia datangi pas sakit ketika liburan bareng Daffa dahulu.

Dan lagi, seolah semesta kembali mengujinya atau justru menghukumnya—kini Daffa lantas datang ke tempat yang menyimpan satu lembar kenangan masa lalu mereka.

“Kalo lu sendiri ngapain di sini, Daf?”

“Gue lagi liburan.”

“Gak kerja?”

“Kemarin gue abis dinas ke luar kota, jadi dikasih cuti sehari. Ya udah gue ke sini, mumpung weekend juga.”

“Mm,” Sean bergumam.

“Istri lu ikut ke sini, Yan?”

“Ha? Istri?” Sean kemudian terkekeh pelan, “Emang gue keliatan udah punya istri ya?”

“Bukannya lu udah tunangan pas beres KOAS kemarin?”

Sean menggeleng, “Enggak.”

Keheningan pun tiba-tiba menghampiri dua anak cucu Adam itu. Baik Sean maupun Daffa hanya menunduk, natap jemari mereka yang bertaut.

Tapi gak lama berselang, Sean lantas memberanikan diri untuk kembali bersuara.

“Keknya baru setahun yang lalu deh lu bilang gak ada rencana buat nikah,” katanya.

“Tapi hari ini lu udah bareng cewek cantik,” sambung Sean, “Cewek yang tadi istri lu ya?”

Daffa yang masih berbaring di atas ranjang rawat lantas menatap wajah Sean lekat-lekat. Sementara sang dokter yang melihat gak ada respon dari Daffa seketika berdeham.

“Lu udah boleh bangun, Daf.”

Sean kemudian berjalan ke arah mejanya, disusul Daffa. Selagi Sean menuliskan resep obat untuk Daffa, perempuan yang tadinya minta izin ke toilet sejenak pun datang.

“Udah, Daf?”

“Iya.”

Sean mengulas senyum ke arah wanita di hadapannya sebelum menyodorkan secarik kertas berisi resep.

“Ini resep obatnya ya.”

“Makasih, dok.”

“Makannya cukup dijaga aja biar gak kambuh lagi. Jangan konsumsi makanan pedes atau yang asem dulu,” jelas Sean, “Tekanan darahnya juga rendah, jadi banyak istirahat. Jangan keseringan begadang.”

“Denger tuh, Daf. Itu semua kebiasaan kamu,” kata wanita itu kepada Daffa yang cuma diam mendengarkan Sean.

“Dok, kalau gitu saya permisi. Sekali lagi terima kasih ya.”

Sean mengangguk.

“Sama-sama.”

“Yuk, Daf.”

Daffa melirik Sean sejenak sebelum beranjak dari kursi.

“Makasih, dok.”

“Sama-sama,” Sean kemudian memaksakan senyumnya.

Daffa hanya mengangguk pelan sebelum meninggalkan ruangan—juga Sean yang seketika memijat keningnya.

***

Seperti saran Ibra, hari ini Sean sudah berada di villa. Tepatnya sejak jam dua belas siang tadi. Tapi karena hari sudah mulai sore, Sean akhirnya memutuskan untuk gak terus-terusan di kamar.

Kini Sean berjalan menuju tempat yang gak asing lagi baginya. Sebab tempat itu pernah menjadi saksi bisu bagaimana masa lalunya dengan Daffa dimulai.

Sejak bertemu dengan Daffa kemarin pagi di puskesmas, Sean tiba-tiba saja ingin mengunjungi semua tempat yang pernah mereka datangi ketika liburan bersama di puncak semasa SMA dulu.

Bukan untuk menggali luka, namun Sean hanya ingin sesuatu di dalam benaknya bisa terlepas dengan bebas.

Sean ingin menuruti kata hatinya yang entah akan menuntunnya ke mana.

Bahkan Sean memilih villa yang sama—meski berbeda kamar. Sebab room yang pernah mereka sewa dahulu telah diisi oleh tamu lain.

Dan di sini lah Sean sekarang. Berdiri menghadap ke arah pegunungan, dimana sesaat lagi dia akan menyaksikan bagaimana senja ditelan malam.

Sejenak Sean termenung. Kenangan indahnya bersama Daffa dahulu pun seketika terbayang. Dia tersenyum.

Mungkin ini saatnya.

Mungkin ini maksud dari kata hatinya yang membawanya ke tempat ini, pikir Sean.

Hatinya hanya ingin sembuh.

Hatinya hanya ingin berdamai dengan waktu.

Melihat Daffa akhirnya telah membuka hati untuk orang lain dan menjalani kehidupan dengan baik—sebagaimana mestinya membuat Sean merasa sedikit lega. Meski dia juga gak bisa menampik fakta kalau ada sebuah ruang di hatinya yang menjadi kosong setelah melihat Daffa telah menemukan bahagianya, tapi Sean yakin—waktu gak akan selamanya menghukumnya.

Menit demi menit pun lantas berlalu, sang surya kini telah bersembunyi dan digantikan oleh rembulan. Sean yang sedari tadi menatap kosong ke arah pegunungan seketika menghela napas panjang.

Sean lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam hoodie sebelum berbalik. Hendak meninggalkan tempat itu.

Dan lagi, waktu serta semesta seolah gak pernah bosan memberi kejutan kepada Sean. Sebab kini, dia justru melihat Daffa sedang berdiri seorang diri gak jauh darinya.

Daffa pun tengah menatap kosong ke arah pegunungan, sama seperti Sean tadi.

Sean lalu menelan ludah ketika Daffa berbalik hingga pandangan mata mereka lantas bertemu di satu titik. Nampak kalau Daffa sama kagetnya dengan dirinya.

Mereka sama-sama terdiam sejenak. Hanya saling menyelami netra satu sama lain sebelum Sean akhirnya memberanikan diri untuk menghampiri Daffa.

“Lu nginep di villa sini, Daf?”

“Iya, Yan.”

“Mm,” Sean mengangguk, “Gimana perut lu? Masih sakit gak?” tanyanya lagi.

“Udah gak kok,” jawab Daffa, “Makasih banyak ya.”

Sean senyum tipis.

“Ya udah. Gue balik ke room duluan ya,” pamitnya.

Sean lalu berjalan melewati Daffa yang masih berdiri di tempatnya. Tapi ketika Sean telah turun dari tempat yang berada di atas bukti itu, dia lantas menautkan alis. Sebab Daffa justru mengekorinya.

“Oh? Lu juga udah mau balik ke room lu?” tanya Sean saat Daffa menyamai langkahnya.

“Iya,” jawab Daffa, “Lu nginep di room mana, Yan?”

“Di room unit Magnolia. Kalo lu sendiri di mana, Daf?”

“Di room tempat kita nginep pas liburan dulu,” jawabnya.

“Oh.”

Sean hanya mengangguk pelan lalu menipiskan bibir. Entah apa alasan Daffa untuk menginap di tempat yang sama, namun Sean paham kalau saat ini Daffa mungkin hanya ingin melukis kisah baru bersama wanitanya.

Tapi Sean justru gak mendapati wanita itu bersama Daffa saat ini. Sean pun gak berani bertanya, dia masih teringat dengan respon Daffa di puskesmas.

Mereka berdua pun berakhir sama-sama terdiam. Seperti dua orang yang baru saling kenal dan canggung. Sampai saat mereka udah ada di depan gedung dimana room Daffa berada, Sean diam-diam menghela napas lega.

Setidaknya kecanggungan mereka berakhir setelah ini.

Sayangnya, pemikiran Sean itu justru dipatahkan dengan kenyataan kalau Daffa justru masih jalan di sampingnya. Langkah Daffa gak berhenti di depan gedung roomnya.

“Daf, ini gedung room lu.” Sean mengingatkan, takut Daffa gak menyadarinya.

“Gue masih pengen jalan.”

Sean pun cuma mengiyakan. Dan kecanggungan itu terus berlanjut sampai Sean tiba di depan unit villanya.

“Gue duluan ya.”

Sean udah bersiap-siap buat masuk ke roomnya. Tapi niat hatinya itu harus terhenti pas lengannya dijegal oleh Daffa.

“Kenapa, Daf?”

Daffa menelan ludah.

“Cewek yang di puskesmas kemarin bukan istri gue.”

Tubuh Sean menegang.

“Dia kating gue di kampus dulu, satu tahun di atas kita. Tapi sekarang dia lagi pacaran sama Bang David.”

Sean mengangguk paham, “Maaf, gue udah sok tau.”

Daffa kemudian menatap sejenak jemarinya yang masih mencengkeram lengan Sean.

“Apa yang udah gue bilang ke lu setahun lalu gak bakal berubah,” tutur Daffa, “Gue gak ada rencana buat nikah.”

Sean natap mata Daffa.

“Kenapa lu bilang ini ke gue?”

“Gue gak mau lu nganggap gue pembohong, Yan.”

Sean menuntun jemari Daffa agar terlepas dari lengannya.

“Dan kenapa lu peduli soal pandangan gue?” timpalnya, “Kita udah jauh kek gini, jadi seharusnya lu gak khawatir.”

Daffa diam. Sementara Sean lantas mengikis jarak antara dirinya dengan Daffa. Satu langkah kakinya membuat dia dan Daffa kini berdiri hanya terpaut beberapa senti saja.

“Daf, apa perasaan lu yang dulu ke gue masih ada?”

Mata Daffa memanas.

“Perasaan gue gak pernah hilang sejak awal, Sean.”

“Kenapa?” tanya Sean lirih, “Seharusnya lu benci sama gue, Daf. Gue yang udah bikin lu diusir dari rumah dulu.”

“Gue juga yang bikin lu kepisah sama Bunda yang udah perhatian sama lu.”

Daffa menggeleng.

“Gue gak pernah menganggap semua itu terjadi karena lu.”

“Apa yang gue lewatin dulu emang jalan yang harus gue tempuh supaya gue bisa jadi lebih kuat,” sambung Daffa.

“Jangan bikin gue makin ngerasa bersalah, Daf.”

Setetes air mata tiba-tiba membasahi pipi kiri Sean.

“Gue gak pantes dicintai sama lu,” Sean melanjutkan.

“Perasaan di antara kita juga udah salah. Temuin bahagia lu yang lain. Lupain perasaan lu ke gue. Ya?” pinta Sean.

“Gue udah berusaha, Yan.”

Tenggorokan Daffa sakit.

“Tapi kenangan waktu bareng lu gak ada yang bisa bikin gue ngelupain perasaan ini,” Daffa melanjutkan, “Andai aja waktu itu lu pernah jahatin gue, gue bakal nginget itu mulu sampe akhirnya gue bisa benci sama lu.”

“Tapi gak ada, Yan. Lu selalu baik sama gue, lu selalu bikin setiap momen di hidup gue jadi lebih manis meskipun dulu kehidupan gue pahit.”

Air mata Daffa mengalir deras, begitu pun dengan Sean.

“Waktu gue dikasih tau kalo lu bakal tunangan pas beres koas, gue udah mikir itu bakal jadi akhir dari perasaan gue...”

“Sekaligus akhir dari hidup gue,” sambung Daffa lirih, sementara Sean terbelalak.

“Gue pengen nyusul Bunda hari itu. Hari dimana gue abis dateng ke rumah lu,” jelasnya.

“Tapi lu tau apa yang bikin gue masih bertahan sampai hari ini, Yan?” Daffa lantas mengulum bibirnya sejenak.

“Gue masih bisa ngeliat wajah lu hari ini karena satu kalimat yang lu ucapin. Lu bilang kalo gue masih punya lu,” katanya.

“Daf...”

“Maaf karena gue masih sayang sama lu, Yan.” tutur Daffa, “Tapi gue gak bakal gangguin hidup lu. Gak akan.”

“Lu juga udah terlalu banyak ngelewatin masa sulit karena gue,” Daffa sesenggukan, “Jadi biarin gue nyimpen semua ini sendiri ya. Lu harus bahagia.”

Daffa kemudian menyeka air mata di kedua pipinya lalu memaksakan senyumnya.

“Gue balik ke room sekarang,” kata Daffa, “Lu masuk gih.”

Tanpa membiarkan Daffa berbalik dan meninggalkan nya, Sean seketika memeluk pemilik lesung pipi itu. Dia masih menangis, namun di sela isakannya Sean berbisik.

“Gue juga gak pernah berhenti sayang sama lu, Daf.”

“Nyenyak amat gue liat-liat.”

Baru saja Sean membuka mata, tapi figur Radeya dan Gibran lantas menjadi hal pertama yang dia lihat. Sean lalu menoleh sejenak ke sisi lain hingga mendapati sang Mama juga Papa ada di sana.

Sean gak begitu ingat kenapa dan kapan dia bisa ada di kamar. Sebab yang terakhir kali dia ingat adalah ketika penglihatannya menggelap tepat di depan anak tangga.

“Kok lu berdua ada di sini?”

“Gue sama Gibran tadinya mau ngajak lu makan bareng. Udah lama kita gak malam mingguan,” kata Radeya.

“Tapi pas dateng ke sini lu ternyata lagi pingsan. Bikin kaget aja tau gak?” jelasnya.

Papa yang sedari terdiam sambil natap wajah Sean lekat-lekat lantas meraih jemari anak sulungnya itu.

“Mana yang sakit? Bilang sama Papa,” ucapnya lirih.

“Gak ada kok, Pa. Kayaknya aku cuma kecapean banget.”

Si pria paruh baya menghela napas pelan lalu menoleh ke istrinya sebelum berkata,

“Mama ke dapur gih. Siapin makanan buat Sean. Biar abis ini dia bisa minum obatnya.”

“Gibran sama Radeya juga sekalian makan di sini ya.”

“Eh makasih, Om. Tapi abis ini saya sama Gibran balik aja. Biar Sean juga bisa istirahat.”

“Makan di sini aja, Dey. Kalian berdua udah di sini dua jam. Belum makan malem kan?”

Kini Mama Sean yang lantas bersuara. Wanita paruh baya itu kemudian beranjak dari tempat tidur anak sulungnya.

“Tapi tadi kita udah minum teh sama makan kue, Tante. Udah kenyang banget.”

Kata Gibran lalu melirik Sean.

“Tante siapin makanan Sean aja. Entar dia pingsan lagi,” dia meledek sahabatnya.

“Oke, Tante ke dapur ya.”

“Iya, Tante.”

Radeya kemudian beralih menatap dalam wajah Sean.

“Baik-baik lu. Bentar lagi lu udah resmi jadi dokter loh, Yan. Masa lu yang bilang ke orang supaya jaga kesehatan tapi lu sendiri enggak bisa?”

“Bawel,” canda Sean.

“Gue perhatian sama lu tau.”

Sean senyum tipis.

“Makasih ya, Dey.”

“Sama gue kagak?” sela Gibran.

“Kagak, lu bikin emosi doang.”

Gibran manyun, “Ya udah deh, gue pulang sekarang.”

“Gue sama Gibran pulang dulu ya,” timpal Radeya lalu mengusap pelan bahu Sean.

“Hati-hati, Dey, Gib.”

Setelah Radeya dan Gibran berpamitan—meninggalkan kamar Sean, kini yang tersisa di sana hanya lah sang empu kamar bersama Ayahnya. Ada keheningan selama beberapa saat. Sebab baik itu Sean maupun sang Ayah seolah sibuk dengan pikiran mereka.

“Yan.”

“Iya, Pa?”

Sean menatap si pria paruh baya yang duduk di sebelah kirinya lekat-lekat.

“Cerita sama Papa apa yang akhir-akhir ini kamu pikirin.”

“Banyak, Pa.” Sean senyum tipis, “Tugas, laporan, Papa mau denger yang mana?”

“Kata Papanya Farrah kamu kalau lagi di rumah sakit suka telat makan, bahkan bisa gak makan sama sekali.” tuturnya.

“Kamu juga kalau lagi jaga malem terus gak ada pasien masuk suka diem sambil ngelamun sendiri.”

“Om Jimmy tau dari mana?” tanya Sean, “Aku aja belum tugas di departemen dia. Dia juga gak di RS sampe malem.”

“Dia denger dari perawat RS. Dikasih tau, katanya ponakan dia jarang makan. Di ruangan mulu kalo lagi jam istirahat.”

Sean menghela napas.

“Aku diem aja digibahin.”

“Kamu gak digibahin. Emang Om kamu yang minta supaya perawat sama temen dokter di sana ngeliat kamu gimana.”

“Kasih tau Papa, Yan. Papa gak mau besok-besok kamu kayak gini lagi, bahkan sampe sakit.”

“Pa, aku baik-baik aja. Papa gak usah khawatir,” kata Sean.

Si pria paruh baya menghela napas panjang. Dia kemudian menyandarkan punggungnya di kepala ranjang sebelum kembali menatap wajah Sean yang masih terbaring lemah.

“Sean.”

“Iya, Pa.”

“Sejak kapan kamu minum anti-depresan?”

Detak jantung Sean seketika memacu lebih cepat saat mendengar ucapan Ayahnya.

“Tadi Mama nunjukin botol obat yang dia dapetin Minggu lalu di tempat sampah kamar kamu ke Om Jimmy.”

“Katanya, selama ini kamu mungkin gak bisa mengelola emosi kamu terus memilih buat memendam. Dan hal itu bisa jadi bom sewaktu-waktu buat kesehatan kamu.”

“Pa, itu udah lama.”

“Kenapa kamu gak pernah cerita sama Papa Mama?”

“Aku gak pengen Papa sama Mama sedih,” jawab Sean.

“Yan, Papa jauh lebih sedih pas tau kalau keadaan kamu yang sebenarnya kayak gini.”

Suara Papa bergetar hebat.

“Papa selalu takut kehilangan kamu,” ucapnya, “Tapi makin ke sini, Papa justru ngerasa kalau Papa sebenernya udah kehilangan anak sulung Papa.”

Sean terdiam.

“Sean yang dulu ceria, suka senyum manis, yang apa-apa diceritain udah lama pergi.”

“Dan sekarang terbukti, kamu lagi gak baik-baik aja tapi kamu gak pernah bilang ke Papa atau Mama. Bahkan kamu berobat sendiri.”

“Pa, usia aku udah nambah. Jadi aku gak mungkin bisa sama persis kayak dulu. Pasti ada hal yang bakal berubah.”

“Tapi usia gak akan pernah mengubah penglihatan orang tua terhadap anaknya, Sean.”

“Selama ini Papa mungkin cuma lebih banyak diam, gak kayak Mama kamu yang dikit-dikit ceramah kalo khawatir. Tapi Papa selalu ngawasin dan merhatiin kamu.”

“Papa tau kamu lagi nyimpan sesuatu—yang entah apa.”

“Bilang sama Papa, Yan.”

Sean lantas meremas selimut yang menutupi tubuhnya.

“Apa ada kaitannya sama Daffa?” tanya sang Papa.

“Enggak, Pa.”

Si pria paruh baya kemudian menghela napas lalu menoleh ke arah balkon sesaat.

“Kamu masih suka Daffa?”

Pertanyaan Papa bikin Sean lantas meraih jemari si pria paruh baya hingga sosok itu kembali menoleh ke arahnya.

“Pa... Enggak...”

Air mata Sean menetes. Dia seketika mengingat saat-saat dimana Papa mengetahui seksualitasnya untuk pertama kali. Tepatnya lima tahun lalu.

Si pria paruh baya terlihat amat terpukul. Papanya pun lebih banyak diam sejak hari itu. Jauh berbeda dengan sang Mama yang hampir tiap hari selalu mengingatkannya agar dia segera berubah.

Papa juga gak pernah sekali pun menghakiminya atau bertanya mengapa dia dan Daffa bisa berakhir saling menyukai. Tapi sangat jelas kalau pria paruh baya itu menyimpan kesedihannya.

Dan hal itu menjadi tamparan keras bagi Sean. Dia takut sang Ayah memendamnya hingga berubah menjadi sakit.

Alhasil, Sean lah yang lantas memilih jalan itu. Dia memilih untuk menyembunyikan semua kesedihannya sendiri.

Asal Mama Papanya gak pergi.

“Papa gak akan pernah bisa membenarkan hubungan sesama jenis,” katanya.

Napas Sean tertahan.

“Tapi Papa juga gak mau kehilangan kamu. Papa gak sanggup lagi ngeliat kamu kayak gini terus-terusan.”

“Awalnya, Papa kira waktu akan menyembuhkan luka kamu. Tapi sampai hari ini, Papa justru masih gak bisa ngeliat Sean Papa yang dulu.”

Sean lalu berusaha bangkit. Dia kemudian memeluk erat tubuh Papanya.

“Pa, aku gak bakal bikin Papa kecewa lagi. Maafin aku, Pa.”

“Aku udah berubah, Pa.”

Si pria paruh baya mengusap pelan belakang kepala Sean.

“Papa gak pernah kecewa karena seksualitas kamu.”

“Tapi Papa sama Mama cuma gak mau kalau sampe kamu kenapa-kenapa,” kata Papa.

“Lingkungan kita gak ramah sama hubungan sesama jenis.”

“Dan akan lebih menyakitkan bagi Mama sama Papa kalau ngeliat kamu dihakimi sama orang-orang di luar sana.”

Papa lalu beralih menangkup wajah Sean dengan tangan.

“Sekarang kebahagiaan dan kesehatan kamu jadi yang terpenting buat Papa, Yan.”

“Kamu juga udah gede. Kamu pasti udah tau gimana cara menghindari hal yang buruk.”

“Kejar kebahagian kamu.”

“Ini kehidupan kamu. Pilihan kamu. Papa gak akan ngatur.”

“Pa...”

“Papa udah ikhlas.”

Sean menggeleng lemah.

“Meskipun dunia gak nerima kamu, tapi Papa akan selalu ada di samping kamu, Yan.”

Dan di detik itu juga tangis pilu Sean seketika pecah.

***

“Yan, malam ini Mama bobo di samping kamu ya?”

Sean cuma bisa mengangguk setuju. Sebab jelas kalau sang Mama masih begitu khawatir.

Keduanya pun sama-sama berbaring terlentang. Sampai gak lama berselang, Sean lalu melirik Mamanya sejenak dan mendapati wanita paruh baya itu telah menutup matanya.

Sean kemudian kembali menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Ucapan sang Papa padanya beberapa saat lalu pun seketika terngiang.

Entah Papanya sudah pasrah atau mungkin menyerah, tapi Sean bisa merasakan sebuah ketulusan dari tutur katanya.

Ketulusan itu pun semakin menyakitinya. Sebab Sean telah meruntuhkan harap dari sosok pria yang selalu memikirkan kebahagiannya.

“Yan.”

Sean melirik Mamanya.

“Mama belum bobo?”

“Mm,” gumam Mama.

Wanita paruh baya itu lalu menarik napas dalam-dalam.

“Kamu pengen ngomong sesuatu sama Mama?”

“Gak ada kok, Ma.”

“Selama ini Mama nyakitin kamu ya?” ucap Mama lirih.

“Gak, Ma. Mama gak pernah nyakitin aku,” jawab Sean.

Wanita paruh baya itu kemudian menoleh ke Sean.

“Kamu masih sayang Daffa?”

Sean terdiam. Keheningan pun seketika menghampiri keduanya sebelum si wanita paruh baya kembali bersuara.

“Mama tetep gak bisa terima kalau kamu suka laki-laki.”

Sean mengulum bibirnya saat sang Mama meraih jemarinya.

“Tapi Mama bakal nyoba buat berdamai sama diri sendiri demi kebahagiaan kamu, Yan.”

“Mama gak pengen kamu pergi.”

Sean menggeleng lemah.

“Aku yang harus berdamai sama diri aku sendiri, Ma.”

Ibu jari Sean mengusap pelan punggung tangan Mamanya.

“Tapi aku boleh minta satu hal gak, Ma?” timpal Sean.

“Apa?”

“Biarin aku mutusin sendiri mau nikah kapan dan sama siapa ya, Ma?” pintanya.

“Aku gak bisa maksa hati aku buat nerima orang baru yang gak sama sekali aku suka.”

“Iya, Yan. Mama salah karena udah maksa kamu buat selalu deketin Jihan selama ini.”

Suara Mama semakin lirih.

“Mama gak nanyain gimana perasaan kamu. Mama gak nanyain kamu baik-baik aja atau enggak. Mama juga gak mikir kamu bakal tertekan karena hal itu atau enggak.”

“Tapi Mama selalu mikirin cara supaya nanti dunia gak jahat sama kamu, Sean. Mama gak mau kamu diperlakukan berbeda sama orang-orang.”

Sean mengangguk paham. Dia tau, Mamanya hanya ingin yang terbaik untuk dirinya. Selama ini pun Sean gak pernah berpikir kalau si wanita paruh baya egois.

Tapi Sean ditempatkan pada posisi yang berat. Sebab dia pun gak pengen ngecewain kedua orang tuanya. Alhasil, seribu sakit harus dipendam.

“Ma.”

“Apa, sayang?”

“Kalo ternyata nanti aku gak mau nikah, gak apa-apa?”

Sean meneteskan air mata saat Mamanya mengangguk.

“Kamu gak perlu mikirin standar yang ada di sekitar kita. Mama juga akan mulai belajar buat gak mikirin itu.”

“Mama gak bakal peduli apa kata orang,” katanya, “Karena kalau kamu pergi, Mama sama Papa yang kehilangan dan sedih. Bukan mereka.”

Mama lalu membelai wajah Sean.

“Sekarang, yang terpenting bagi Mama itu kesehatan kamu dan hal yang bisa bikin Sean yang dulu kembali lagi.”

Sean terisak pelan. Mama pun lantas menarik tubuhnya ke dalam dekapan dan berbisik,

“Jangan tinggalin Mama ya.”

Sean menatap handphone nya sejenak. Jam pun sudah menunjuk ke angka lima sore. Dimana artinya dia sudah boleh untuk bergegas pulang.

Tapi kini yang Sean lakukan justru duduk termenung di ruangan. Sesekali menatap nomor telepon yang semalam diberikan Ibra padanya.

Sean lalu menggeleng pelan. Sebelum meraih tasnya dan beranjak meninggalkan ruangan hingga dia keluar; meninggalkan rumah sakit.

Dalam perjalan pulang ke rumah, Sean tanpa sadar menitikkan air mata. Begitu banyak hal yang memenuhi benak dan kepalanya hingga Sean terkadang merasa sesak.

Satu-satunya cara agar dia kembali tenang hanyalah menangis dalam diam sepuasnya sebelum terlelap.

Sesampainya di depan rumah, Sean lantas menautkan alis. Sebab sebuah mobil terparkir gak jauh dari halamannya. Dia kemudian memasukkan mobil ke garasi sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah. Sean pun sudah siap dan sedikit mengantisipasi jika ada tamu.

Tapi Sean gak pernah berekspektasi kalau tamu yang datang adalah Daffa.

Bahkan dia gak nyangka kalau Daffa bisa menginjakkan kaki di rumahnya lagi hari ini.

Laki-laki yang pernah mengisi hati dan hari-harinya dahulu terlihat sedang berbincang dengan Papanya di ruang tengah. Sang Mama pun bahkan ada di sana.

“Yan, ini ada Daffa.” kata Papa, “Dia udah mau balik ke Bandung loh entar malem.”

Sean melirik ke arah Mamanya sejenak sebelum memaksakan senyumnya kepada Daffa. Dia lalu duduk di salah satu sofa tunggal yang berada di sisi kiri Papa.

“Kenapa buru-buru banget balik ke Bandungnya, Daf?”

Sean nyaris kehabisan napas ketika mencoba berbicara. Dadanya begitu sesak. Dia seketika merasa gak pantas buat bertemu dengan Daffa. Mengingat bahwa dirinya lah yang menjadi alasan dibalik diusirnya Daffa oleh Ayahnya.

“Besok gue udah harus masuk kantor lagi, Yan. Ada acara.”

Sean mengangguk paham.

“Lu betah di Bandung ya.”

Daffa senyum, “Iya.”

“Ya udah, kalian lanjut aja ya ngobrolnya. Papa mau mandi,” kata Papa, “Ma, masak gih. Biar entar Daffa sekalian makan di sini dulu.”

“Makasih, Om. Tapi abis ngobrol bentar sama Sean saya udah musti berangkat. Takut nyampenya subuh kalo udah macet banget.”

“Kalo gitu hati-hati ya, Daf.”

Daffa senyum tipis sebelum bangkit. Dia lalu menyalami Papa juga Mama Sean sejenak. Setelahnya, dia pun kembali duduk di sofa.

Selepas kepergian Mama dan Papa, ada keheningan yang menemani dua pria di ruang tengah itu. Hingga akhirnya Daffa mulai angkat bicara.

“Gimana rasanya jadi dokter?”

“Capek,” jawab Sean diikuti senyum tipis, “Lu gimana?”

“Kerjaan gue?”

“Mm.”

“Capek juga.”

Daffa terkekeh pelan lalu menundukkan kepala sesaat.

“Daf.”

“Mm?”

Daffa kembali menatap Sean.

“Maafin gue.”

“Maaf buat apa?”

“Buat semuanya.”

Daffa menggeleng pelan.

“Lu gak punya utang buat minta maaf sama gue, Yan.”

Sean memaksakan senyum.

Banyak hal yang ingin dia katakan. Tapi lidahnya kelu. Tenggorokannya pun sakit. Alhasil, yang Sean lakukan hanya diam sembari menatap wajah Daffa lekat-lekat.

“Oh iya, katanya lu mau tunangan pas beres KOAS.”

Dada Sean seakan ditusuk dengan ribuan jarum saat mendengar ucapan Daffa.

“Semoga lancar sampe lu nikah ya,” sambung Daffa, “Gue ikut bahagia ngeliat lu nemuin kebahagiaan lu.”

Sean tersenyum miring.

“Kalo lu kapan?”

“Kapan apanya?”

“Nikah.”

Daffa tertawa kecil.

“Gue gak ada rencana buat nikah.”

“Kenapa?”

Daffa menatap Sean lekat-lekat.

“Gue gak bisa, Yan.”

Sean gak ingin bertanya lebih jauh maksud dari jawab Daffa.

Dia takut pertahanannya runtuh.

“Yan, kalo gitu gue pamit ya.”

Sean mengangguk sebelum ikut bangkit dari sofa seperti Daffa. Dia lalu mengekori si pemilik lesung pipi hingga sampai di depan pintu utama.

Daffa lalu berbalik sejenak. Memandangi wajah Sean yang kini berdiri di hadapannya.

“Gue pergi, Yan.”

Sean menahan lengan Daffa.

“Gue pengen meluk lu, boleh?”

Daffa menatap lurus ke dalam sepasang netra legam Sean. Setelahnya, dia menggeleng.

Sean pun hanya mampu menipiskan bibirnya lalu mengangguk paham. Dia harus menghargai jawaban Daffa.

“Lu masih punya gue, Daf.”

Bisikan lirih Sean bikin Daffa menunduk. Satu kalimat itu seketika membuatnya lupa apa tujuan awal mengapa dirinya memberanikan diri meminta izin untuk bertemu Sean—yang terakhir kalinya.

“Tolong jaga diri lu.”

“Gue mungkin gak bisa ada di samping lu, nyemangatin lu, atau dengerin lu kayak dulu.”

“Tapi gue masih sama kok. Selalu ada nama lu di dalam doa gue, Daf.” tutur Sean.

“Sama kayak lu, bahagia lu itu bahagia gue juga, Daf. Gue cuma pengen lu bahagia. Gue pengen lu ngejalanin hidup lu dengan baik di sana,” katanya.

Daffa mengulum bibirnya. Takut jika tangisnya lepas.

“Ada pada posisi ditinggalin emang nyakitin. Gue tau dan paham lu sakit banget karena Bunda pergi,” sambungnya.

“Tapi jangan liat kepergian Bunda sebagai akhir ya, Daf.”

Sean lalu meraih jemari Daffa dan menggenggamnya erat.

“Bunda dipanggil sama Tuhan karena kehidupan sama tugas dia buat jagain lu udah selesai.”

“Tuhan mungkin ngeliat lu udah cukup kuat sekarang.”

“Jadi tetep bertahan ya, Daf.”

“Kehilangan emang bikin kita kenal sama yang namanya rasa sakit mendalam, tapi dari kehilangan juga kita belajar buat mengikhlaskan.”

Daffa mengangguk.

“Makasih banyak, Yan.”

Sean kemudian melepaskan genggamannya dengan Daffa.

“Hati-hati di jalan.”

“Mm.”

Dan tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, pemilik lesung pipi itu lantas berbalik meninggalkan Sean yang masih berdiri di tempatnya.

Air mata yang mengalir deras di kedua pipinya mengiringi langkah Daffa menuju mobil.

Benar kata Sean, pikirnya.

Sean masih sama.

Sean masih lah menjadi alasannya untuk tetap hidup di dunia.

***

Aktivitas Sean masih berjalan seperti biasa. Dia masih harus melewati stase demi stase hingga nanti KOAS nya usai.

Tapi yang berbeda dari Sean adalah sikapnya. Terlebih saat dia telah sampai di rumah. Sean lebih banyak diam sambil menyibukkan diri dengan tugas dan laporannya. Jika memiliki waktu luang pun Sean hanya termenung.

Tidak hanya berhenti di situ. Tiap kali sang Mama meminta agar Sean bertemu atau sekedar menelpon Jihan, Sean lantas gak pernah nolak. Gak kayak biasanya, dimana Sean akan berdebat dahulu.

Hal itu lantas gak luput dari perhatian Papa juga Mama. Keduanya paham kalau ada yang berbeda dari anak sulungnya itu sejak seminggu belakangan. Tepatnya setelah Bunda Daffa meninggal dunia.

“Yan, kamu udah makan?”

Seperti biasa, Mama yang dengan sigap nyamperin dan nyambut Sean ketika pulang dari rumah sakit bertanya.

“Udah, Ma.”

“Muka kamu pucet,” Mama natap Sean khawatir, “Kamu sakit?”

Sean menggeleng.

“Aku pengen istirahat, Ma.”

Sean kemudian melenggang pergi, meninggalkan sang Mama yang masih berdiri di tempat semula. Sean berjalan pelan menuju tangga, namun sebelum kakinya menginjak anak tangga pertama, tubuh dokter muda itu tumbang.

Kesadaran Sean hilang.

Teriakan panik Mama pun seketika menggema. Dia lalu berlari ke arah anaknya yang sudah terkulai lemas di sana.

“Pa! Papaaa! Sean, Pa!”

“Ada apa, Ma?”

Si pria paruh baya yang baru saja keluar dari kamar lantas melebarkan mata. Papa pun dengan sigap menghampiri istri juga anak sulungnya itu. Dia lalu mengangkat tubuh Sean menuju sofa, sesekali menepuk pelan pipinya agar Sean segera sadar. Tapi nihil.

Sean masih menutup mata.

“Ma, cepet telpon Papanya Farrah buat meriksa Sean.”

Mama mengangguk. Dengan tangannya yang bergetar, dia menelpon adik suaminya itu.

Gak lama setelah Mama nelpon Om Sean, pria paruh baya itu pun akhirnya datang. Masih dengan jas dokternya.

“Kenapa Sean bisa gini?”

Papa Farrah bertanya sambil memeriksa denyut nadi Sean.

“Tadi Sean tiba-tiba pingsan pas mau jalan ke tangga, Jim.”

Setelah melakukan pemeriksaan awal, Papa Farrah menggeleng.

“Ponakan kamu baik-baik aja kan?” tanya Papa Sean lirih.

Daffa dan Sean kini sama-sama duduk di bangku panjang. Tapi gak ada percakapan yang tercipta di antara keduanya. Terhitung semenjak Daffa sampai di sana sepuluh menit silam.

Sean lalu menoleh sejenak. Memandangi bagaimana raut khawatir Daffa yang menatap kosong ke arah lantai.

Sejujurnya Sean sangat ingin bertanya kenapa Daffa gak ikut masuk ke ruangan. Tapi di saat yang bersamaan, suara Sean justru tercekat.

Bahkan untuk sekedar membuka mulutnya Sean merasa gak bisa. Sebab ada isak dan tangis yang sedang dia tahan agar gak terbebas.

Sampai gak lama berselang, atensi Sean pun beralih ke arah koridor. Dimana dua residen yang menangani Bunda Daffa berjalan tergesa ke arah ICVCU, diikuti dengan satu orang perawat.

Firasat Sean pun semakin gak enak ketika Bimo tiba-tiba membuka ruang ICVCU lalu mempersilakan kedua residen tadi untuk segera masuk. Sementara David juga Disty dan sang tunangan yang tadinya berada di dalam ruangan justru segera keluar.

“Bim,” Sean berdiri lalu menghampiri Bimo.

Seakan telah paham dengan maksud tatapan Sean, Bimo lantas menggeleng pelan.

“Doain pasien ya, Yan.”

Mendengar respon Bimo membuat kedua tungkai Sean semakin lemas.

“Bim, gue mau masuk.”

“Jangan, entar lu kena omel.”

Bimo lalu menepuk pundak Sean sebelum kembali masuk ke dalam ruangan ICVCU.

Sean pun seketika menunduk. Air matanya jatuh begitu saja. Sebab dia bahkan gak bisa merawat si wanita paruh baya seperti yang diinginkannya. Kini Sean hanya bisa terus berdiri di depan pintu ICVCU sembari berdoa semoga keajaiban akan segera datang.

Sayangnya, harapan Sean lantas pupus saat pintu ICVCU kembali terbuka hanya dua puluh menit setelah Bimo menutupnya tadi. Rekannya itu berdiri di hadapannya, memberinya tatapan yang telah Sean tau maknanya.

Bimo kemudian melewati Sean lalu menghampiri Disty sebelum menyampaikan berita kematian sang Bunda.

Saat itu juga Sean lantas bersandar di tembok. Dia merasa gak mampu lagi menopang tubuhnya.

Sean lalu melirik sejenak ke arah Daffa yang masih duduk termenung di bangku panjang. Tatapannya semakin kosong. Daffa gak menangis atau bersuara sedikit pun.

Tapi Sean tau, dari mata Daffa tersirat luka yang begitu dalam setelah dia mendengar kabar kematian malaikat pelindungnya.

***

“Yan, kok kamu baru pulang?”

Mama menyambut Sean dengan pertanyaan saat dia baru saja masuk ke rumah.

“Mama sama Papa nelpon, tapi nomor kamu gak aktif.”

“Yan, kamu dari mana aja?”

Papa menimpali. Nampak raut khawatir di wajah si pria paruh baya yang tadinya duduk di sofa ruang tengah.

Sean gak heran kalau kedua orang tuanya khawatir. Sebab dia yang harusnya pulang sore tadi justru baru sampai di rumah pada malam hari.

“Tadi Bundanya Daffa masuk ICVCU,” jawab Sean, “Jadi aku nungguin perkembangannya.”

Mama lantas diam. Sementara Papa kembali bersuara.

“Terus gimana keadaannya?”

Sean menelan ludah.

“Bundanya Daffa meninggal, Pa.”

“Innalillahi wainnailaihi rojioun,” ucap Papa lalu menghela napasnya pelan.

“Kamu udah makan, Yan?”

Sean melirik Mamanya. Dia lantas mengangguk lemah. Meski sebenarnya Sean hanya makan pada siang hari tadi.

“Ya udah, kamu istirahat sana. Muka kamu udah keliatan capek banget.”

Tanpa mengatakan apa-apa Sean pun melangkah, meninggalkan sang Papa dan Mama yang gak henti-henti memandanginya sampai dia menaiki semua anak tangga.

Dan tepat saat Sean telah masuk ke dalam kamarnya lalu duduk di tepi ranjang, tangis yang sudah Sean tahan sejak di rumah sakit tadi lantas terbebas. Dia terisak pelan sembari menutupi wajahnya dengan dua tangan.

Merasa jika rasa sesak kian mencekiknya, Sean lantas beranjak. Dia berjalan tergesa ke arah lemari lalu meraih botol obat yang ada di sana.

Beruntung masih ada dua kaplet yang tersisa. Alhasil, Sean kemudian meminumnya lalu membuang botolnya ke tempat sampah sebelum kembali merebahkan tubuh di atas tempat tidurnya.

Malam yang tersisa pun seketika Sean habiskan dengan menangis sepuasnya. Meski selama ini tiada malam yang Sean habiskan tanpa meneteskan air mata dalam kesunyian, namun kali ini berbeda. Malamnya kelabu. Jiwanya dirundung sedu.

Sean merasa bersalah dengan Daffa juga kepada Bundanya.

***

“Yan, bangun.”

Sean melenguh saat suara sang Mama menyentuh gendang telinganya. Dia lalu membuka mata, mendapati si wanita paruh baya kini duduk di tepi ranjang sembari memberinya tatapan dalam.

“Sarapan dulu yuk. Papa udah nungguin di bawah,” katanya.

Sean pun bangkit. Dia duduk di atas ranjang, selagi kedua matanya menatap Mamanya.

“Mama tunggu di bawah ya.”

Si wanita paruh baya pun berdiri. Tapi sebelum Mama melangkah meninggalkan kamar Sean, pergelangan tangannya sudah lebih dahulu digenggam oleh sang anak.

“Kenapa, Yan?”

“Seharusnya aku yang nanya kenapa, Ma.”

Mama Sean menautkan alis.

“Kenapa Mama ngomong ke Bunda sama Ayahnya Daffa?”

“Mama ngomong apa?”

“Ngomong soal hubungan aku sama Daffa dulu,” kata Sean.

Mata Sean berkaca-kaca.

“Padahal dulu aku udah nurut buat gak ngobrol atau pun ketemu lagi sama Daffa. Aku juga udah berusaha buat berubah. Tapi kenapa Mama ke rumahnya dan ngasih tau semuanya ke mereka?”

Mama menelan ludah. Dia lalu menghela napas pelan.

“Karena Mama mikirin kamu.”

“Tapi Mama gak mikirin Daffa,” ucap Sean lirih.

“Mama juga mikirin Daffa. Justru Mama ngasih tau Bunda sama Ayahnya supaya dia juga diawasi, Sean.”

Sean menggeleng lemah.

“Ma, orang tua Daffa gak kayak Mama sama Papa.”

“Hubungan dia sama orang tuanya gak baik,” sambung Sean, “Dulu Daffa selalu ngerasa gak punya siapa-siapa karena Ayah sama Bundanya seolah gak pernah merhatiin dan meduliin dia.”

“Ayah sama Bundanya gak kek Mama sama Papa yang tiap hari ngajak aku ngobrol.”

“Daffa gak baik-baik aja sejak awal,” suara Sean bergetar, “Bahkan dia hampir bunuh diri dulu, pas kelas tiga SMP.”

“Tapi dia gak pernah cerita ke orang lain kalau dia lagi ada masalah kecuali sama aku, itu pun karena aku yang awalnya nyuruh dia buat jujur ke aku.”

Sean menunduk sejenak.

“Daffa gak mau dikasihani,” tutur Sean, “Makanya aku juga gak pernah cerita sama Papa atau Mama tentang dia.”

Sean meneteskan air mata.

“Dan Mama tau? Setelah Mama datang ke rumahnya, Daffa diusir sama Ayahnya.”

“Dia harus pisah sama Bundanya yang udah mulai belajar buat mencurahkan perhatiannya ke Daffa.”

Sean terisak pelan. Sementara Mama terdiam.

“Aku gak mencoba nyalahin Mama atas semuanya. Aku tau niat Mama baik,” katanya.

“Aku juga yakin Mama gak mungkin sebegitu bencinya sama Daffa.”

“Tapi aku sedih banget, Ma. Aku sedih karena Mama gak bilang dulu ke aku waktu itu.”

“Mama bohongin aku selama ini,” sambung Sean lirih.

“Kalo aja Mama bilang, aku pasti bakal ngasih tau. Aku bakal cerita tentang Daffa supaya orang tuanya gak perlu dikasih tau,” jelas Sean.

“Sekarang aku yang ngerasa bersalah, Ma. Bukan cuma ke Daffa, tapi juga ke mendiang Bundanya. Pasti di sisa-sisa hidupnya dia sedih karena Daffa gak dibolehin pulang ke rumah, bahkan pas lebaran.”

Sean menatap wajah Mama.

“Ma, aku mohon. Tolong datang ke pemakaman Bundanya Daffa hari ini ya?”

“Tolong peluk Daffa,” pinta Sean, “Dia udah gak punya siapa-siapa.”

Sean menarik napasnya.

“Aku pengen Mama ngelakuin ini bukan karena aku masih sayang sama Daffa sebagai laki-laki,” katanya. “Tapi aku peduli sebagai manusia, Ma.”

“Bagaimana pun juga, dulu dia itu sahabat aku sebelum aku mulai suka sama dia.”

Mama masih terdiam. Tapi sesaat setelahnya dia lantas mengangguk pelan.

“Tapi Mama juga pengen kamu buktiin kalo perhatian kamu ini bukan karena kamu masih suka sama Daffa, Yan.”

Kini Sean yang terdiam.

“Mama pengen kamu nerima pertunangan sama Jihan kalo KOAS kamu udah beres.”

***

Daffa gak henti-hentinya menatap gundukan tanah yang telah dihiasi dengan kelopak bunga. Berbeda dengan kedua kakaknya; Disty dan David—yang sejak prosesi pemakaman tadi terus-terusan terisak, Daffa justru terdiam. Namun sorot matanya memancarkan luka.

Satu persatu pelayat pun kemudian meninggalkan area pemakaman. Ayah, David, Disty bersama dengan tunangannya pun mulai bangkit. Tapi tidak dengan Daffa. Dia masih terduduk di samping nisan Bundanya.

“Daf, ayo pulang.”

David mengajak adiknya.

“Duluan aja, Bang.”

“Biarin dia di situ, Vid.” Ayah bersuara, “Biarin dia mikir sampe nyesel karena udah bikin Bunda kamu kayak gini.”

“Yah,” Disty natap Ayahnya gak percaya, “Kenapa Ayah selalu nyalahin Daffa sih?”

“Karena dia yang udah bikin Bunda kamu sakit, Dis. Kalo aja dia gak keras kepala dan gak melakukan hal yang salah, Bunda kamu gak bakal stress mikirin dia mulu.”

“Ayah, udah.”

David menghela napas gusar.

“Ayo, Daf. Bentar lagi ujan.”

Daffa gak beranjak. Tapi dia lantas mendongak dan natap sang Ayah yang sedari tadi juga lagi natap wajahnya.

“Saya minta maaf.”

Penuturan Daffa seketika bikin semua orang yang berdiri di sana terdiam, gak terkecuali dengan sang Ayah.

Si pria paruh baya kemudian berbalik, meninggalkan area pemakaman istrinya. David pun kembali mengajak Daffa agar segera beranjak, tapi lagi-lagi adiknya itu menolak.

“Ya udah, gue sama Kak Disty duluan kalo gitu. Tapi jangan kelamaan di sini,” kata David sebelum ikut meninggalkan Daffa juga makam Bundanya.

Setelah Ayah dan kedua kakaknya pergi, Daffa lantas memeluk nisan Bundanya. Tangisnya yang sejak kemarin telah dia tahan pun terbebas.

Andai saja dia bisa menukar nyawanya agar sang Bunda kembali, Daffa sangat rela.

Kini satu-satunya tempat bersandarnya telah pergi.

Dia benar-benar telah sendiri.

“Daffa.”

Daffa tersentak saat mendengar suara pria dari arah belakangnya. Dia pun buru-buru menyeka air matanya sebelum menoleh hingga mendapati Papa dan Mama Sean berdiri di sana.

“Om, Tante.”

Daffa dengan sigap berlutut di depan kaki Papa Sean. Dia bahkan hendak bersujud, tapi si pria paruh baya lebih dulu membungkuk; mencegatnya.

“Saya minta maaf, Om.”

“Kenapa kamu minta maaf? Ayo bangun,” tutur Papa.

Daffa menggeleng lemah. Masih dengan tangisnya.

“Saya udah bikin Bunda saya pergi,” katanya, “Saya takut kalo sampe Om sama Tante juga sakit karena kepikiran sama perbuatan salah saya.”

Papa Sean menggeleng.

“Daf, setiap nyawa manusia itu milik Tuhan. Kalau Tuhan mengambil nyawa seseorang, itu artinya Tuhan udah pengen ciptaannya kembali sama dia,” jelas si paruh baya.

“Bunda kamu kembali ke sisi Tuhan bukan karena kamu,” katanya, “Tapi karena Tuhan udah pengen beliau pindah ke tempat yang jauh lebih indah daripada dunia yang fana.”

Papa Sean kemudian mengusap punggung Daffa.

“Saya sudah ikhlas atas semua yang terjadi, Daffa. Saya baik-baik saja,” katanya.

Daffa pun mengulum bibirnya saat si pria paruh baya lantas membantunya untuk berdiri. Dia kemudian menoleh ke arah Mama Sean, menatapnya sejenak lalu menghampirinya.

“Tante, saya—”

Ucapan Daffa lantas terhenti sebelum diselesaikan. Sebab si wanita paruh baya dengan sigap memeluk tubuhnya.

“Yan, gak sarapan dulu?”

Sean yang baru aja sampai di ruang makan buat pamitan ke Mama juga Papanya lantas menggeleng pelan.

“Udah hampir jam enam, Ma. Entar aku telat,” jawabnya.

“Entar kamu jaga malem lagi?” tanya sang Papa.

“Iya, Pa.”

“Berarti pulangnya besok sore ya?” timpal Mama.

Sean pun cuma mengangguk.

“Berarti kalo Mama ngatur janji sama Mamanya Jihan lusa siang, kamu bisa kan?”

Sean menghela napas. Dia menggeleng pelan setelah mendengar ucapan Mamanya.

Sean sangat paham akan ke mana arah pembicaraan mereka. Dan hal seperti ini udah sering banget dia dan Mamanya perdebatkan.

Terhitung sejak satu tahun lebih berlalu setelah Sean resmi menjalani masa KOAS.

“Ma, aku lagi gak ada tenaga banget buat debat soal ini.”

“Yan, Mama cuma pengen kamu ketemu sama Jihan.”

Sean tersenyum miring.

“Kenapa sih Mama pengen banget aku cepet-cepet nikah?” tanyanya lirih, “Aku kan udah bilang, Ma. Aku mau nikah kalo udah siap lahir dan batin. Gak diburu-buruin kayak gini.”

“Mama gak nyuruh kamu cepet nikah, Sean. Mama cuma pengen kamu makin kenal sama Jihan.”

“Supaya nanti kalo kamu udah beres internship, kamu bisa mikir mau nikahin dia atau gak tunangan dulu.”

“Sekarang kamu masih KOAS, kamu masih punya waktu setahun lebih bahkan dua tahun buat mikir,” katanya.

Sean kembali menggeleng lemah. Senyum miris pun terlukis di bibirnya. Dia gak mampu lagi berkata-berkata. Alhasil, Sean dengan sigap meraih jemari sang Mama. Menyalaminya sejenak, lalu melakukan hal serupa pada sang Papa yang sedari tadi diam. Memerhatikan mereka.

“Aku berangkat dulu.”

***

Cekcok kecil antara dirinya dengan sang Mama kemarin pagi nyatanya amat berimbas terhadap suasana hati Sean. Dia gak bisa makan dengan baik sejak datang ke rumah sakit kemarin, jaga malam, sampai kini dia udah hampir pulang dari rumah sakit lagi.

Beruntung saat ini Sean bertugas di departemen kardiologi. Semalam pun dia berjaga di ICVCU, tepatnya ruang rawat intensif khusus pasien dengan masalah jantung. Dimana pasien yang dihadapi gak seramai dengan departemen tempat Sean bertugas sebelumnya.

Alhasil, tenaga Sean tidak begitu terkuras hingga habis.

Sean benar-benar lelah. Gak cuma fisik, namun batin.

Tapi Sean cuma nyimpan semua itu sendiri. Dia gak mau menunjukkan ke siapa pun kalau ada kesedihan yang dipendamnya seorang diri.

“KOAAAS!”

“ANGKAT TELEPONNYA!”

Sean mengusap dadanya sejenak. Dia kaget. Pasalnya teriakan dari perawat justru lebih nyaring ketimbang deringan dari telepon.

Dia lalu menoleh ke rekannya yang bernama Bimo. Sebab kini jadwal Bimo lah yang bertugas membantu perawat juga dokter di ruang ICVCU.

“Sean, belum pulang?”

Sean senyum tipis ke arah seorang perawat wanita yang semalam jaga bareng dia.

“Ini udah mau pulang sih, kak. Tapi tadi ngobrol bentar dulu sama Bimo,” jawabnya.

“Kalo gitu aku duluan ya.”

“Hati-hati, kak.”

Sean kembali mengulas senyum ke perawat wanita tadi sebelum bangkit dari kursi. Dia lalu mengambil tasnya sebelum keluar dari ruangan dan hendak lewat di koridor dimana ICVCU berada.

Tapi saat itu juga napas Sean lantas tertahan saat melihat pasien wanita dibawa dengan brankar menuju ICVCU. Isak tangis pun mengiringinya.

Namun yang membuat lutut Sean semakin lemas adalah ketika dia menyadari bahwa sosok itu adalah Bunda Daffa.

Tanpa berpikir panjang, Sean lantas berlari. Ikut mengejar kerumunan yang mengantar Bunda Daffa tadi ke ICVCU.

“Bim, gue boleh masuk?”

Bimo yang menyambut dua residen kardiologi beserta pasien lantas menganga.

“Yan, jam jaga lu udah abis. Pulang,” bisik Bimo sebelum mengekori dua dokter yang membawa Bunda Daffa serta suami yang mendampinginya masuk ke dalam ruangan itu.

Ketika pintu ruangan ICVCU tertutup, mata Sean lantas memanas. Tatapannya lalu berubah menjadi nanar.

Apa dosa yang diperbuatnya di masa lalu begitu besar dan tidak termaafkan lagi hingga Tuhan melakukan semua ini padanya?

Padahal baru satu tahun lebih berlalu sejak si wanita paruh baya mengiriminya bucket bunga beserta hadiah. Gak lupa pula sepucuk surat dimana di sana Bunda Daffa menuliskan bahwa ketika dia sakit, dia akan mencari Sean.

Tapi kini, si wanita paruh baya sudah terlihat tidak berdaya. Hanya rintihan penuh kesakitan yang tadi keluar dari celah bibirnya.

Sean lalu menoleh pelan. Mendapati David juga Disty bersama dengan seorang pria asing yang berusaha bikin dia tenang. Sebab kakak tertua Daffa itu terus saja terisak.

Tapi Sean justru gak mendapati sosok Daffa.

Ketika pandangan Sean lantas bertemu dengan David, dia kemudian menghampiri kakak kedua Daffa itu.

“Bunda Bang David emang udah lama sakit?” tanyanya.

David menggeleng lemah.

“Gak, Yan. Waktu pulang dari kampus tadi Bunda tiba-tiba jatuh di kamar, katanya dada Bunda sakit,” jelas David.

Sekujur tubuh Sean semakin lemas. Tas yang ditentengnya pun seketika Sean letakkan pada bangku panjang yang ada di sana sebelum duduk tepat di samping David.

“Bunda gue bakal baik-baik aja kan, Yan?” tanya David.

Sean menelan ludah. Napasnya pun tercekat.

“Kita doain Bunda bareng-bareng ya, Bang.”

Hanya kalimat itu yang mampu Sean ucapkan. Dia gak mau ngasih harapan. Sebab hanya Tuhan yang tau alur dari kehidupan setiap manusia bakal kayak gimana.

David lalu menunduk. Dia memijat keningnya sambil sesekali menyeka air mata yang menetes di pipinya.

Sementara itu, Sean yang sedari tadi menimbang untuk bertanya perihal Daffa pun lantas memberanikan diri.

“Daffa gak ikut nganterin Bunda, Bang?” tanya Sean.

David akhirnya mendongak. Dia kemudian menoleh ke Sean lalu menggeleng pelan.

“Daffa masih di jalan pulang dari Bandung, Yan.”

Sean mengangguk paham.

“Gue sebenernya mikir gak mau ngabarin Daffa tadi, supaya dia gak khawatir. Tapi dia bakal lebih sakit lagi kalo gak ada di samping Bunda pas lagi sakit kayak sekarang.”

Sean menyimak.

“Kalo sesuatu yang gak kita harapkan terjadi sama Bunda gue, Daffa bakal jadi anak Bunda yang paling terluka.”

David mengulum bibirnya sejenak. Dia mati-matian membendung tangisnya.

“Apalagi mereka terakhir ketemu pas lebaran kemarin, pas Bunda nyamperin dia.”

Sean menautkan alis.

“Lebaran kemarin Daffa gak pulang ke Jakarta, Bang?”

Lagi, David menggeleng.

“Gak cuma lebaran kemarin, Yan. Tapi semenjak Daffa diusir sama Ayah gue, dia gak pernah lagi pulang ke rumah.”

David tersenyum miring. Air matanya lagi-lagi menetes. Sementara Sean seketika melebarkan bola matanya.

Sean lalu mengusap pelan bahu kakak kedua Daffa itu. Meski berbagai pertanyaan telah bersarang di kepalanya, tapi Sean membiarkan David untuk mengeluarkan semua hal yang terpendam di balik dadanya; agar David lega.

“Yan.”

“Iya, Bang?”

Baik itu Sean maupun David lantas terdiam sejenak. Hanya saling memandang sebelum yang lebih tua pun bersuara.

“Gue tau, gak cuma Daffa yang ngelewatin hal-hal sulit semenjak hari itu. Pasti lu juga sama menderitanya.”

Sean menelan ludah. Dia masih gak menangkap apa yang sedang David katakan.

“Tapi yang udah terjadi biarin terjadi ya?” kata David, “Biar semua itu jadi pelajaran berharga buat lu sama Daffa. Apalagi kalian berdua dulu masih terlalu muda. Masih penasaran sama banyak hal.”

“Sekarang kalian udah paham batasan,” sambungnya, “Jadi kalau aja nanti sesuatu yang buruk terjadi sama Bunda gue, tolong bantu Daffa buat tetep bertahan ya, Yan?”

“Gue ini kakaknya, tapi gue justru gak ngertiin adek gue sendiri. Gue udah gagal jadi kakak buat Daffa,” tutur David lirih, “Cuma lu sama Bunda orang yang paling bisa nguatin dia dan didengerin sama dia.”

“Kalo Bunda gue pergi, Daffa mau ke mana lagi?” katanya, “Dia cuma punya elu, Yan.”

Sean menahan napas.

Kenapa David berbicara seolah tau kalau dia sama Daffa pernah saling suka dan menjalin hubungan hingga akhirnya ketahuan? Pikirnya.

“Bang, lu tau?”

“Soal lu sama Daffa dulu?”

Sean mengangguk pelan.

“Mm,” David bergumam pelan, “Bunda gue yang cerita waktu itu—kalo Mama lu abis ke rumah terus ngasih tau ke Bunda sama Ayah soal kalian yang kepergok di kamar lu.”

Dada Sean seakan ditimpa dengan beban yang amat berat setelah mendengar penuturan David. Dia sesak.

Sebab Sean benar-benar gak tau kalau Mamanya pernah ke rumah Daffa; menceritakan tentang semua yang terjadi.

Seluruh tubuh Sean pun semakin teras lemas. Bukan hanya karena dia gak bisa makan sejak kemarin, tapi juga karena pikirannya yang seketika berlabuh ke Daffa.

“Jadi Daffa diusir sama Ayah lu karena masalah itu, Bang?”

“Iya.”

Napas Sean kian tercekat.

“Terus waktu itu Daffa tinggal di mana?”

“Daffa nge-kos kok, Yan.”

“Waktu itu ada temen les Daffa sekaligus temen satu sekolahan kalian yang namanya Sarah, dia yang bantuin Daffa supaya bisa tinggal di kos-an Ibunya tanpa ketahuan Ayah gue.”

Dan jawaban David membuat Sean seakan ingin hilang dari dunia saja. Dia merasa sakit.

***

Empat jam telah berlalu semenjak Bunda masuk ke ruang ICVCU, namun belum juga ada tanda-tanda kalau wanita paruh baya itu akan segera sadar. Bunda tiba-tiba gak sadarkan diri saat akan diberi perawatan intensif tadi, bikin Sean makin cemas.

Pikiran Sean lantas terbagi.

Di satu sisi dia memikirkan Bunda Daffa dan gak henti berharap semoga si wanita paruh baya segera sadar.

Dan di sisi lain, Sean juga memikirkan Daffa yang belum juga sampai di rumah sakit.

“Yan, kok lu belum pulang?”

Bimo yang hendak masuk dan melakukan check up ke ruangan Bunda Daffa pun menghampiri Sean. Dia duduk sendirian di bangku. Sebab David, Disty dan pria yang ternyata tunangannya telah masuk ke ruang ICVCU.

“Gue mau nunggu sampe pasien di dalam sadar dulu.”

“Lu kenal sama pasien?”

“Iya, Bim. Dia Bundanya temen SMA gue,” jawab Sean.

“Lu pulang aja deh dulu, Yan. Liat tuh muka lu, udah pucet.”

Bimo lalu menepuk pundak Sean, “Entar gue kabarin lu soal perkembangan pasien.”

Sean menggeleng lemah.

“Gue nunggu aja, Bim. Besok juga gue gak masuk pagi.”

“Tapi tadi lu bilang kudu ngerjain laporan kan?”

“Gue bisa ngerjain besok siang,” kata Sean, “Lu masuk gih, mau ngecek pasien kan?”

“Ya udah. Gue masuk dulu.”

Sean kemudian tersenyum tipis ke arah Bimo sebelum rekannya itu masuk ke ruang ICVCU. Setelahnya, Sean kembali termenung. Jiwanya seakan hilang ketika Sean mengingat kembali ucapan David beberapa saat lalu.

Daffa diusir dari rumah.

Daffa bahkan harus tinggal di kos-an sebelum lulus SMA.

Daffa sendirian.

Sean sangat ingin meremat kuat dadanya agar rasa sakit di sana bisa sedikit reda. Tapi percuma. Pikirannya tentang apa yang telah dilalui Daffa kurang lebih lima tahun belakangan ini bikin dia benar-benar sakit.

Gak lama berselang, suara langkah kaki yang terkesan buru-buru lantas mencuri atensi Sean. Dia lalu menoleh, dan saat itu juga denting jam seakan berhenti. Sebab gak jauh dari tempatnya duduk, Sean bisa melihat figur Daffa melangkah, napasnya pendek.

Terlihat raut khawatir juga kebingungan di wajah Daffa. Nampak kalau dia mencari ruang ICVCU, dimana sang Bunda tengah dirawat.

Ketika pandangan mereka akhirnya berjumpa hingga terkunci, Daffa yang hanya berdiri beberapa jengkal dari Sean pun seketika mematung.

Di saat Daffa berharap satu-satunya dunia yang dia punya gak pergi, dunia yang pernah dia tinggali justru kembali. Meski kembalinya gak untuk menawarkan rasa cinta lagi.

Daffa menghentikan langkah sejenak ketika handphonenya tiba-tiba berdenting. Dia lalu merogoh saku jaket denimnya hingga nama kontak Galih terpampang di sana.

Galih; dia pemuda asli kota Bandung yang beberapa bulan belakangan ini telah menjadi teman dekatnya. Terhitung semenjak berstatus sebagai mahasiswa ITB.

Daffa kemudian menautkan alis saat membaca pesan singkat temannya itu. Dimana Galih berkata ingin menitip minuman dingin dari kantin. Pasalnya, Galih udah bilang hal yang sama sebelumnya.

Temannya ini emang sedikit unik nyerempet aneh.

Setelah membalas pesan Galih itu, Daffa pun hendak melanjutkan langkahnya. Tapi kemudian, kedua kakinya lagi-lagi gak Daffa angkat ketika mendengar seseorang meneriakkan namanya.

Dan saat Daffa mencari sumber suara itu, dia lantas melotot. Terlebih saat sosok yang tadi meneriakkan namanya berlari ke arahnya.

“Astagaaa! Padahal gue baru aja mau nge-DM lu kalo gue lagi di FSRD tau, Daf.”

Daffa senyum tipis.

“Lu apa kabar?”

Daffa menghela napas.

“Gue masih idup kok, Na. Tapi udah rada gak waras.”

Nana yang kini berdiri di depan Daffa lantas ketawa.

“Lu ngapain di fakultas gue?”

Daffa pun kembali bertanya ke teman SMA nya itu. Meski sebelumnya mereka terbilang kurang akrab, namun kini dia justru ngerasa lagi ketemu sama teman karib lamanya.

“Kenapa? Emang gue gak boleh ke sini?” canda Nana.

“Ya kaga. Tapi maksudnya lu ada kepentingan apa gitu. Kali aja gue bisa bantu.”

Nana terkekeh lembut.

“Gue mau ketemu sama pacar gue, Daf. Dia anak FSRD juga.”

Daffa melongo sesaat.

“Lu bisa pacaran?”

Lagi-lagi Nana ketawa. Dia paham maksud Daffa. Sebab dengan menjadi mahasiswa di ITB, mereka sudah seperti mengabdikan hidup untuk kuliah. Waktu untuk pacaran dan leha-leha nyaris gak ada.

“Iya bisa, tapi kek orang yang gak pacaran. Ketemunya dua Minggu sekali doang keknya.”

Daffa geleng-geleng kepala. Sesaat setelahnya dia lantas berdeham lalu bertanya,

“Gue kira lu suka sama Sean,” katanya, “Kok lu gak pacaran sama dia? Calon dokter loh.”

Nana mendengus. Dia lalu melirik ke kenan dan ke kiri sejenak—mengantisipasi jika ada yang mendengar mereka.

Nana pun memajukan satu langkahnya, mendekatkan wajah dengan Daffa sebelum berbisik dengan nada rendah.

“Iya, tapi Sean suka sama lu.”

Nana lalu kembali berdiri tegak sambil melipat lengan.

“Makanya gue move on terus buka hati buat orang lain.”

Daffa seketika terdiam dalam keterkejutannya. Sementara Nana gak henti-henti natap wajah Daffa sambil senyum.

“Seharusnya gue yang nanya, lu kenapa sama Sean hah?”

“Lu ngomong apa sih, Na?”

Daffa mencoba mengelak sembari menahan napas. Jemarinya panas dingin.

“Loh kenapa? Yang gue bilang gak salah kan?” balas Nana.

“Gue udah tau dari dulu, Daf. Lagian keliatan banget kalo perasaan di antara lu berdua itu gak cuma sekedar temen.”

Nana lalu menepuk bahu Daffa pelan sambil senyum.

“Tenang aja. Gue gak pernah dan gak bakal ngomong ke siapa pun. Gak usah takut,” kata Nana, “Gue gak mau kalo sampe nasib kalian berdua kek anak IPS dulu. Inget?”

Daffa menunduk sembari merenung. Wajar jika Mama Sean menaruh curiga hingga akhirnya memergoki dia dan Sean. Sebab Nana—yang notabennya adalah orang lain saja bisa dengan mudah membaca tingkah mereka.

“Awalnya gue juga ragu tau,” timpal Nana, “Pertama kali gue liat lu jalan sama Sean itu pas kalian nonton bareng.”

“Gue gak sengaja ngeliat lu natap Sean dalem banget. Sampe gue ngerasa kenapa kek ada yang aneh ya di sini?”

“Lambat laun gue jadi makin sadar kalo emang ada yang aneh dan beda dari kalian, apalagi pas gue deketin Sean.”

“Gue ngeliat waktu lu abis beliin dia buku olimpiade, terus waktu kita belajar bareng di rumah lu...”

“Sampe tiap kali Sean ngasih perhatian ke lu sama cara dia natap lu juga, banyak. Tapi gue cuma diem sambil nyari tau dan nyimpen sendiri.”

Nana menghela napas.

“Bahkan pas gue ngerasa kalo hubungan lu sama Sean gak baik-baik aja gue bisa nebak.”

“Gue kaget karena lu tiba-tiba digosipin sama Sarah. Terus Sean juga ngilang sampe sebulan.”

“Sampe akhirnya gue ngeh kalo lu gak follow akun Twitter Sean lagi. Gue juga pake alibi tentang lu sama Sarah waktu nanya ke Sean, terus dia bilang kalo kalian emang udah lost contact.”

Mata Daffa memicing.

“Jadi yang waktu itu dibilang Gibran mata-mata dia... Elu?”

“Hah? Mata-mata apaan?”

“Iya, soalnya Gibran ngirim foto gue sama Sean pas di bioskop. Terus dia bilang dari mata-matanya,” jelas Daffa.

“Sekarang gue gak heran sih kalo lu dipanggil mata-mata.”

Nana ketawa, “Sialan tu anak.”

“Tapi iya, gue emang ngasih tau Gibran kalo abis ngeliat kalian nonton berdua di situ.”

Daffa mengangguk pelan.

“Gue sama Sean se-jelas itu ya dulu?” tanyanya lirih.

“Kalo buat orang yang gak begitu merhatiin banget sih sebenernya enggak,” kata Nana, “Tapi karena gue yang emang penasaran banget dan selalu ngeliat gerak-gerik lu berdua, makanya gue notice.”

“Terus gue anaknya juga emang pekaan sih, Daf.”

Daffa mendengus sebelum geleng-gelengin kepalanya.

“Kalo lu pekaan, kenapa lu gak tau si Gibran suka lu?”

“Dih? Siapa bilang gue gak tau,” balas Nana, “Gue tau. Tapi gue gak bilang dan gak pernah ngasih dia kesempatan.”

“Kenapa?” tanya Daffa.

Nana memaksakan senyum.

“Pacaran sama temen sendiri itu punya resiko krusial, Daf.”

Daffa menyimak.

“Bagus sih kalo endingnya gue sama dia berjodoh, kita udah tau satu sama lain...”

“Tapi kalo gak?”

Nana mengangkat pundak.

“Semuanya gak bakal sama lagi,” sambungnya, “Gue sama dia pasti bakal jadi canggung.”

“Dan gue gak mau itu terjadi. Gue gak mau kehilangan satu temen terbaik gue.”

Tatapan Daffa seketika berubah menjadi kosong setelah mendengar penuturan Nana. Dia lantas teringat dengan Sean.

Benar kata Nana, pikirnya.

Jika saja waktu itu dia tetap menyimpan perasaannya sendiri, mungkin hari ini dia dan Sean akan baik-baik saja.

Tapi nasi telah menjadi bubur.

Daffa kini telah kehilangan sosok yang amat dicintainya sekaligus teman terbaik dalam hidupnya.

“Daf?”

Daffa tersadar dari lamunannya ketika Nana menepuk pelan pundaknya.

“Mm?”

“Lu kenapa sama Sean?”

Daffa menggeleng lemah.

“Emang udah waktunya gue ngilangin perasaan gue sama Sean, Na. Apa yang udah gue rasain sama Sean itu salah.”

“Tapi kalian ngomongin nya baik-baik kan?” tanyanya lagi.

Daffa diam. Nana pun berdeham.

“Maksud gue, kalian gak ada masalah sampe mutusin buat kek sekarang kan?” timpalnya.

“Sayaaang!”

Baik itu Nana maupun Daffa lantas menoleh ke sumber suara. Dan saat itu juga sosok yang baru saja berteriak lantas melotot, seolah kedua bola matanya akan melompat.

“Sayang?” ejek Daffa lalu menyemburkan tawa, “Jadi elu pacarnya Nana, Gal?”

“Lu kenal sama Galih, Daf?”

Daffa kembali natap Nana.

“Bukan kenal lagi. Dia tiap hari nempel sama gue tau.”

“Kamu kenal Daffa, Na?”

“Kenal lah. Orang aku satu sekolahan sama dia dulu.”

Galih menggaruk pipinya. Dia salah tingkah, sebab Daffa terus-terusan natap dia dengan senyum mengejek.

“Ya udah deh, gue mau ke kantin sekarang. Kalian pacaran aja sok.”

“Eh! Tunggu!”

Nana nahan lengan Daffa. Dia lalu nyodorin handphonenya.

“Gue minta nomor lu.”

“Minta aja sama pacar lu.”

“Ck! Lu aja, Daffa.”

Daffa cuma terkekeh sebelum meraih handphone Nana lalu menuliskan nomornya disana.

“Nih, udah.”

“Oke.”

Nana memberi jalan untuk Daffa.

“Ya udah, pergi sono.”

“Kurang ajar.”