“Yan, gak sarapan dulu?”

Sean yang baru aja sampai di ruang makan buat pamitan ke Mama juga Papanya lantas menggeleng pelan.

“Udah hampir jam enam, Ma. Entar aku telat,” jawabnya.

“Entar kamu jaga malem lagi?” tanya sang Papa.

“Iya, Pa.”

“Berarti pulangnya besok sore ya?” timpal Mama.

Sean pun cuma mengangguk.

“Berarti kalo Mama ngatur janji sama Mamanya Jihan lusa siang, kamu bisa kan?”

Sean menghela napas. Dia menggeleng pelan setelah mendengar ucapan Mamanya.

Sean sangat paham akan ke mana arah pembicaraan mereka. Dan hal seperti ini udah sering banget dia dan Mamanya perdebatkan.

Terhitung sejak satu tahun lebih berlalu setelah Sean resmi menjalani masa KOAS.

“Ma, aku lagi gak ada tenaga banget buat debat soal ini.”

“Yan, Mama cuma pengen kamu ketemu sama Jihan.”

Sean tersenyum miring.

“Kenapa sih Mama pengen banget aku cepet-cepet nikah?” tanyanya lirih, “Aku kan udah bilang, Ma. Aku mau nikah kalo udah siap lahir dan batin. Gak diburu-buruin kayak gini.”

“Mama gak nyuruh kamu cepet nikah, Sean. Mama cuma pengen kamu makin kenal sama Jihan.”

“Supaya nanti kalo kamu udah beres internship, kamu bisa mikir mau nikahin dia atau gak tunangan dulu.”

“Sekarang kamu masih KOAS, kamu masih punya waktu setahun lebih bahkan dua tahun buat mikir,” katanya.

Sean kembali menggeleng lemah. Senyum miris pun terlukis di bibirnya. Dia gak mampu lagi berkata-berkata. Alhasil, Sean dengan sigap meraih jemari sang Mama. Menyalaminya sejenak, lalu melakukan hal serupa pada sang Papa yang sedari tadi diam. Memerhatikan mereka.

“Aku berangkat dulu.”

***

Cekcok kecil antara dirinya dengan sang Mama kemarin pagi nyatanya amat berimbas terhadap suasana hati Sean. Dia gak bisa makan dengan baik sejak datang ke rumah sakit kemarin, jaga malam, sampai kini dia udah hampir pulang dari rumah sakit lagi.

Beruntung saat ini Sean bertugas di departemen kardiologi. Semalam pun dia berjaga di ICVCU, tepatnya ruang rawat intensif khusus pasien dengan masalah jantung. Dimana pasien yang dihadapi gak seramai dengan departemen tempat Sean bertugas sebelumnya.

Alhasil, tenaga Sean tidak begitu terkuras hingga habis.

Sean benar-benar lelah. Gak cuma fisik, namun batin.

Tapi Sean cuma nyimpan semua itu sendiri. Dia gak mau menunjukkan ke siapa pun kalau ada kesedihan yang dipendamnya seorang diri.

“KOAAAS!”

“ANGKAT TELEPONNYA!”

Sean mengusap dadanya sejenak. Dia kaget. Pasalnya teriakan dari perawat justru lebih nyaring ketimbang deringan dari telepon.

Dia lalu menoleh ke rekannya yang bernama Bimo. Sebab kini jadwal Bimo lah yang bertugas membantu perawat juga dokter di ruang ICVCU.

“Sean, belum pulang?”

Sean senyum tipis ke arah seorang perawat wanita yang semalam jaga bareng dia.

“Ini udah mau pulang sih, kak. Tapi tadi ngobrol bentar dulu sama Bimo,” jawabnya.

“Kalo gitu aku duluan ya.”

“Hati-hati, kak.”

Sean kembali mengulas senyum ke perawat wanita tadi sebelum bangkit dari kursi. Dia lalu mengambil tasnya sebelum keluar dari ruangan dan hendak lewat di koridor dimana ICVCU berada.

Tapi saat itu juga napas Sean lantas tertahan saat melihat pasien wanita dibawa dengan brankar menuju ICVCU. Isak tangis pun mengiringinya.

Namun yang membuat lutut Sean semakin lemas adalah ketika dia menyadari bahwa sosok itu adalah Bunda Daffa.

Tanpa berpikir panjang, Sean lantas berlari. Ikut mengejar kerumunan yang mengantar Bunda Daffa tadi ke ICVCU.

“Bim, gue boleh masuk?”

Bimo yang menyambut dua residen kardiologi beserta pasien lantas menganga.

“Yan, jam jaga lu udah abis. Pulang,” bisik Bimo sebelum mengekori dua dokter yang membawa Bunda Daffa serta suami yang mendampinginya masuk ke dalam ruangan itu.

Ketika pintu ruangan ICVCU tertutup, mata Sean lantas memanas. Tatapannya lalu berubah menjadi nanar.

Apa dosa yang diperbuatnya di masa lalu begitu besar dan tidak termaafkan lagi hingga Tuhan melakukan semua ini padanya?

Padahal baru satu tahun lebih berlalu sejak si wanita paruh baya mengiriminya bucket bunga beserta hadiah. Gak lupa pula sepucuk surat dimana di sana Bunda Daffa menuliskan bahwa ketika dia sakit, dia akan mencari Sean.

Tapi kini, si wanita paruh baya sudah terlihat tidak berdaya. Hanya rintihan penuh kesakitan yang tadi keluar dari celah bibirnya.

Sean lalu menoleh pelan. Mendapati David juga Disty bersama dengan seorang pria asing yang berusaha bikin dia tenang. Sebab kakak tertua Daffa itu terus saja terisak.

Tapi Sean justru gak mendapati sosok Daffa.

Ketika pandangan Sean lantas bertemu dengan David, dia kemudian menghampiri kakak kedua Daffa itu.

“Bunda Bang David emang udah lama sakit?” tanyanya.

David menggeleng lemah.

“Gak, Yan. Waktu pulang dari kampus tadi Bunda tiba-tiba jatuh di kamar, katanya dada Bunda sakit,” jelas David.

Sekujur tubuh Sean semakin lemas. Tas yang ditentengnya pun seketika Sean letakkan pada bangku panjang yang ada di sana sebelum duduk tepat di samping David.

“Bunda gue bakal baik-baik aja kan, Yan?” tanya David.

Sean menelan ludah. Napasnya pun tercekat.

“Kita doain Bunda bareng-bareng ya, Bang.”

Hanya kalimat itu yang mampu Sean ucapkan. Dia gak mau ngasih harapan. Sebab hanya Tuhan yang tau alur dari kehidupan setiap manusia bakal kayak gimana.

David lalu menunduk. Dia memijat keningnya sambil sesekali menyeka air mata yang menetes di pipinya.

Sementara itu, Sean yang sedari tadi menimbang untuk bertanya perihal Daffa pun lantas memberanikan diri.

“Daffa gak ikut nganterin Bunda, Bang?” tanya Sean.

David akhirnya mendongak. Dia kemudian menoleh ke Sean lalu menggeleng pelan.

“Daffa masih di jalan pulang dari Bandung, Yan.”

Sean mengangguk paham.

“Gue sebenernya mikir gak mau ngabarin Daffa tadi, supaya dia gak khawatir. Tapi dia bakal lebih sakit lagi kalo gak ada di samping Bunda pas lagi sakit kayak sekarang.”

Sean menyimak.

“Kalo sesuatu yang gak kita harapkan terjadi sama Bunda gue, Daffa bakal jadi anak Bunda yang paling terluka.”

David mengulum bibirnya sejenak. Dia mati-matian membendung tangisnya.

“Apalagi mereka terakhir ketemu pas lebaran kemarin, pas Bunda nyamperin dia.”

Sean menautkan alis.

“Lebaran kemarin Daffa gak pulang ke Jakarta, Bang?”

Lagi, David menggeleng.

“Gak cuma lebaran kemarin, Yan. Tapi semenjak Daffa diusir sama Ayah gue, dia gak pernah lagi pulang ke rumah.”

David tersenyum miring. Air matanya lagi-lagi menetes. Sementara Sean seketika melebarkan bola matanya.

Sean lalu mengusap pelan bahu kakak kedua Daffa itu. Meski berbagai pertanyaan telah bersarang di kepalanya, tapi Sean membiarkan David untuk mengeluarkan semua hal yang terpendam di balik dadanya; agar David lega.

“Yan.”

“Iya, Bang?”

Baik itu Sean maupun David lantas terdiam sejenak. Hanya saling memandang sebelum yang lebih tua pun bersuara.

“Gue tau, gak cuma Daffa yang ngelewatin hal-hal sulit semenjak hari itu. Pasti lu juga sama menderitanya.”

Sean menelan ludah. Dia masih gak menangkap apa yang sedang David katakan.

“Tapi yang udah terjadi biarin terjadi ya?” kata David, “Biar semua itu jadi pelajaran berharga buat lu sama Daffa. Apalagi kalian berdua dulu masih terlalu muda. Masih penasaran sama banyak hal.”

“Sekarang kalian udah paham batasan,” sambungnya, “Jadi kalau aja nanti sesuatu yang buruk terjadi sama Bunda gue, tolong bantu Daffa buat tetep bertahan ya, Yan?”

“Gue ini kakaknya, tapi gue justru gak ngertiin adek gue sendiri. Gue udah gagal jadi kakak buat Daffa,” tutur David lirih, “Cuma lu sama Bunda orang yang paling bisa nguatin dia dan didengerin sama dia.”

“Kalo Bunda gue pergi, Daffa mau ke mana lagi?” katanya, “Dia cuma punya elu, Yan.”

Sean menahan napas.

Kenapa David berbicara seolah tau kalau dia sama Daffa pernah saling suka dan menjalin hubungan hingga akhirnya ketahuan? Pikirnya.

“Bang, lu tau?”

“Soal lu sama Daffa dulu?”

Sean mengangguk pelan.

“Mm,” David bergumam pelan, “Bunda gue yang cerita waktu itu—kalo Mama lu abis ke rumah terus ngasih tau ke Bunda sama Ayah soal kalian yang kepergok di kamar lu.”

Dada Sean seakan ditimpa dengan beban yang amat berat setelah mendengar penuturan David. Dia sesak.

Sebab Sean benar-benar gak tau kalau Mamanya pernah ke rumah Daffa; menceritakan tentang semua yang terjadi.

Seluruh tubuh Sean pun semakin teras lemas. Bukan hanya karena dia gak bisa makan sejak kemarin, tapi juga karena pikirannya yang seketika berlabuh ke Daffa.

“Jadi Daffa diusir sama Ayah lu karena masalah itu, Bang?”

“Iya.”

Napas Sean kian tercekat.

“Terus waktu itu Daffa tinggal di mana?”

“Daffa nge-kos kok, Yan.”

“Waktu itu ada temen les Daffa sekaligus temen satu sekolahan kalian yang namanya Sarah, dia yang bantuin Daffa supaya bisa tinggal di kos-an Ibunya tanpa ketahuan Ayah gue.”

Dan jawaban David membuat Sean seakan ingin hilang dari dunia saja. Dia merasa sakit.

***

Empat jam telah berlalu semenjak Bunda masuk ke ruang ICVCU, namun belum juga ada tanda-tanda kalau wanita paruh baya itu akan segera sadar. Bunda tiba-tiba gak sadarkan diri saat akan diberi perawatan intensif tadi, bikin Sean makin cemas.

Pikiran Sean lantas terbagi.

Di satu sisi dia memikirkan Bunda Daffa dan gak henti berharap semoga si wanita paruh baya segera sadar.

Dan di sisi lain, Sean juga memikirkan Daffa yang belum juga sampai di rumah sakit.

“Yan, kok lu belum pulang?”

Bimo yang hendak masuk dan melakukan check up ke ruangan Bunda Daffa pun menghampiri Sean. Dia duduk sendirian di bangku. Sebab David, Disty dan pria yang ternyata tunangannya telah masuk ke ruang ICVCU.

“Gue mau nunggu sampe pasien di dalam sadar dulu.”

“Lu kenal sama pasien?”

“Iya, Bim. Dia Bundanya temen SMA gue,” jawab Sean.

“Lu pulang aja deh dulu, Yan. Liat tuh muka lu, udah pucet.”

Bimo lalu menepuk pundak Sean, “Entar gue kabarin lu soal perkembangan pasien.”

Sean menggeleng lemah.

“Gue nunggu aja, Bim. Besok juga gue gak masuk pagi.”

“Tapi tadi lu bilang kudu ngerjain laporan kan?”

“Gue bisa ngerjain besok siang,” kata Sean, “Lu masuk gih, mau ngecek pasien kan?”

“Ya udah. Gue masuk dulu.”

Sean kemudian tersenyum tipis ke arah Bimo sebelum rekannya itu masuk ke ruang ICVCU. Setelahnya, Sean kembali termenung. Jiwanya seakan hilang ketika Sean mengingat kembali ucapan David beberapa saat lalu.

Daffa diusir dari rumah.

Daffa bahkan harus tinggal di kos-an sebelum lulus SMA.

Daffa sendirian.

Sean sangat ingin meremat kuat dadanya agar rasa sakit di sana bisa sedikit reda. Tapi percuma. Pikirannya tentang apa yang telah dilalui Daffa kurang lebih lima tahun belakangan ini bikin dia benar-benar sakit.

Gak lama berselang, suara langkah kaki yang terkesan buru-buru lantas mencuri atensi Sean. Dia lalu menoleh, dan saat itu juga denting jam seakan berhenti. Sebab gak jauh dari tempatnya duduk, Sean bisa melihat figur Daffa melangkah, napasnya pendek.

Terlihat raut khawatir juga kebingungan di wajah Daffa. Nampak kalau dia mencari ruang ICVCU, dimana sang Bunda tengah dirawat.

Ketika pandangan mereka akhirnya berjumpa hingga terkunci, Daffa yang hanya berdiri beberapa jengkal dari Sean pun seketika mematung.

Di saat Daffa berharap satu-satunya dunia yang dia punya gak pergi, dunia yang pernah dia tinggali justru kembali. Meski kembalinya gak untuk menawarkan rasa cinta lagi.