Sean menatap handphone nya sejenak. Jam pun sudah menunjuk ke angka lima sore. Dimana artinya dia sudah boleh untuk bergegas pulang.

Tapi kini yang Sean lakukan justru duduk termenung di ruangan. Sesekali menatap nomor telepon yang semalam diberikan Ibra padanya.

Sean lalu menggeleng pelan. Sebelum meraih tasnya dan beranjak meninggalkan ruangan hingga dia keluar; meninggalkan rumah sakit.

Dalam perjalan pulang ke rumah, Sean tanpa sadar menitikkan air mata. Begitu banyak hal yang memenuhi benak dan kepalanya hingga Sean terkadang merasa sesak.

Satu-satunya cara agar dia kembali tenang hanyalah menangis dalam diam sepuasnya sebelum terlelap.

Sesampainya di depan rumah, Sean lantas menautkan alis. Sebab sebuah mobil terparkir gak jauh dari halamannya. Dia kemudian memasukkan mobil ke garasi sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah. Sean pun sudah siap dan sedikit mengantisipasi jika ada tamu.

Tapi Sean gak pernah berekspektasi kalau tamu yang datang adalah Daffa.

Bahkan dia gak nyangka kalau Daffa bisa menginjakkan kaki di rumahnya lagi hari ini.

Laki-laki yang pernah mengisi hati dan hari-harinya dahulu terlihat sedang berbincang dengan Papanya di ruang tengah. Sang Mama pun bahkan ada di sana.

“Yan, ini ada Daffa.” kata Papa, “Dia udah mau balik ke Bandung loh entar malem.”

Sean melirik ke arah Mamanya sejenak sebelum memaksakan senyumnya kepada Daffa. Dia lalu duduk di salah satu sofa tunggal yang berada di sisi kiri Papa.

“Kenapa buru-buru banget balik ke Bandungnya, Daf?”

Sean nyaris kehabisan napas ketika mencoba berbicara. Dadanya begitu sesak. Dia seketika merasa gak pantas buat bertemu dengan Daffa. Mengingat bahwa dirinya lah yang menjadi alasan dibalik diusirnya Daffa oleh Ayahnya.

“Besok gue udah harus masuk kantor lagi, Yan. Ada acara.”

Sean mengangguk paham.

“Lu betah di Bandung ya.”

Daffa senyum, “Iya.”

“Ya udah, kalian lanjut aja ya ngobrolnya. Papa mau mandi,” kata Papa, “Ma, masak gih. Biar entar Daffa sekalian makan di sini dulu.”

“Makasih, Om. Tapi abis ngobrol bentar sama Sean saya udah musti berangkat. Takut nyampenya subuh kalo udah macet banget.”

“Kalo gitu hati-hati ya, Daf.”

Daffa senyum tipis sebelum bangkit. Dia lalu menyalami Papa juga Mama Sean sejenak. Setelahnya, dia pun kembali duduk di sofa.

Selepas kepergian Mama dan Papa, ada keheningan yang menemani dua pria di ruang tengah itu. Hingga akhirnya Daffa mulai angkat bicara.

“Gimana rasanya jadi dokter?”

“Capek,” jawab Sean diikuti senyum tipis, “Lu gimana?”

“Kerjaan gue?”

“Mm.”

“Capek juga.”

Daffa terkekeh pelan lalu menundukkan kepala sesaat.

“Daf.”

“Mm?”

Daffa kembali menatap Sean.

“Maafin gue.”

“Maaf buat apa?”

“Buat semuanya.”

Daffa menggeleng pelan.

“Lu gak punya utang buat minta maaf sama gue, Yan.”

Sean memaksakan senyum.

Banyak hal yang ingin dia katakan. Tapi lidahnya kelu. Tenggorokannya pun sakit. Alhasil, yang Sean lakukan hanya diam sembari menatap wajah Daffa lekat-lekat.

“Oh iya, katanya lu mau tunangan pas beres KOAS.”

Dada Sean seakan ditusuk dengan ribuan jarum saat mendengar ucapan Daffa.

“Semoga lancar sampe lu nikah ya,” sambung Daffa, “Gue ikut bahagia ngeliat lu nemuin kebahagiaan lu.”

Sean tersenyum miring.

“Kalo lu kapan?”

“Kapan apanya?”

“Nikah.”

Daffa tertawa kecil.

“Gue gak ada rencana buat nikah.”

“Kenapa?”

Daffa menatap Sean lekat-lekat.

“Gue gak bisa, Yan.”

Sean gak ingin bertanya lebih jauh maksud dari jawab Daffa.

Dia takut pertahanannya runtuh.

“Yan, kalo gitu gue pamit ya.”

Sean mengangguk sebelum ikut bangkit dari sofa seperti Daffa. Dia lalu mengekori si pemilik lesung pipi hingga sampai di depan pintu utama.

Daffa lalu berbalik sejenak. Memandangi wajah Sean yang kini berdiri di hadapannya.

“Gue pergi, Yan.”

Sean menahan lengan Daffa.

“Gue pengen meluk lu, boleh?”

Daffa menatap lurus ke dalam sepasang netra legam Sean. Setelahnya, dia menggeleng.

Sean pun hanya mampu menipiskan bibirnya lalu mengangguk paham. Dia harus menghargai jawaban Daffa.

“Lu masih punya gue, Daf.”

Bisikan lirih Sean bikin Daffa menunduk. Satu kalimat itu seketika membuatnya lupa apa tujuan awal mengapa dirinya memberanikan diri meminta izin untuk bertemu Sean—yang terakhir kalinya.

“Tolong jaga diri lu.”

“Gue mungkin gak bisa ada di samping lu, nyemangatin lu, atau dengerin lu kayak dulu.”

“Tapi gue masih sama kok. Selalu ada nama lu di dalam doa gue, Daf.” tutur Sean.

“Sama kayak lu, bahagia lu itu bahagia gue juga, Daf. Gue cuma pengen lu bahagia. Gue pengen lu ngejalanin hidup lu dengan baik di sana,” katanya.

Daffa mengulum bibirnya. Takut jika tangisnya lepas.

“Ada pada posisi ditinggalin emang nyakitin. Gue tau dan paham lu sakit banget karena Bunda pergi,” sambungnya.

“Tapi jangan liat kepergian Bunda sebagai akhir ya, Daf.”

Sean lalu meraih jemari Daffa dan menggenggamnya erat.

“Bunda dipanggil sama Tuhan karena kehidupan sama tugas dia buat jagain lu udah selesai.”

“Tuhan mungkin ngeliat lu udah cukup kuat sekarang.”

“Jadi tetep bertahan ya, Daf.”

“Kehilangan emang bikin kita kenal sama yang namanya rasa sakit mendalam, tapi dari kehilangan juga kita belajar buat mengikhlaskan.”

Daffa mengangguk.

“Makasih banyak, Yan.”

Sean kemudian melepaskan genggamannya dengan Daffa.

“Hati-hati di jalan.”

“Mm.”

Dan tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, pemilik lesung pipi itu lantas berbalik meninggalkan Sean yang masih berdiri di tempatnya.

Air mata yang mengalir deras di kedua pipinya mengiringi langkah Daffa menuju mobil.

Benar kata Sean, pikirnya.

Sean masih sama.

Sean masih lah menjadi alasannya untuk tetap hidup di dunia.

***

Aktivitas Sean masih berjalan seperti biasa. Dia masih harus melewati stase demi stase hingga nanti KOAS nya usai.

Tapi yang berbeda dari Sean adalah sikapnya. Terlebih saat dia telah sampai di rumah. Sean lebih banyak diam sambil menyibukkan diri dengan tugas dan laporannya. Jika memiliki waktu luang pun Sean hanya termenung.

Tidak hanya berhenti di situ. Tiap kali sang Mama meminta agar Sean bertemu atau sekedar menelpon Jihan, Sean lantas gak pernah nolak. Gak kayak biasanya, dimana Sean akan berdebat dahulu.

Hal itu lantas gak luput dari perhatian Papa juga Mama. Keduanya paham kalau ada yang berbeda dari anak sulungnya itu sejak seminggu belakangan. Tepatnya setelah Bunda Daffa meninggal dunia.

“Yan, kamu udah makan?”

Seperti biasa, Mama yang dengan sigap nyamperin dan nyambut Sean ketika pulang dari rumah sakit bertanya.

“Udah, Ma.”

“Muka kamu pucet,” Mama natap Sean khawatir, “Kamu sakit?”

Sean menggeleng.

“Aku pengen istirahat, Ma.”

Sean kemudian melenggang pergi, meninggalkan sang Mama yang masih berdiri di tempat semula. Sean berjalan pelan menuju tangga, namun sebelum kakinya menginjak anak tangga pertama, tubuh dokter muda itu tumbang.

Kesadaran Sean hilang.

Teriakan panik Mama pun seketika menggema. Dia lalu berlari ke arah anaknya yang sudah terkulai lemas di sana.

“Pa! Papaaa! Sean, Pa!”

“Ada apa, Ma?”

Si pria paruh baya yang baru saja keluar dari kamar lantas melebarkan mata. Papa pun dengan sigap menghampiri istri juga anak sulungnya itu. Dia lalu mengangkat tubuh Sean menuju sofa, sesekali menepuk pelan pipinya agar Sean segera sadar. Tapi nihil.

Sean masih menutup mata.

“Ma, cepet telpon Papanya Farrah buat meriksa Sean.”

Mama mengangguk. Dengan tangannya yang bergetar, dia menelpon adik suaminya itu.

Gak lama setelah Mama nelpon Om Sean, pria paruh baya itu pun akhirnya datang. Masih dengan jas dokternya.

“Kenapa Sean bisa gini?”

Papa Farrah bertanya sambil memeriksa denyut nadi Sean.

“Tadi Sean tiba-tiba pingsan pas mau jalan ke tangga, Jim.”

Setelah melakukan pemeriksaan awal, Papa Farrah menggeleng.

“Ponakan kamu baik-baik aja kan?” tanya Papa Sean lirih.