jaesweats

“Halo?”

“Lu pergi ke mana sih, anjir?”

Daffa menjauhkan handphone dari telinganya sejenak. Suara melengking dari seberang sana bikin dia cuma ngehela napas lalu geleng-geleng.

“Disuruh ke tempat fotocopy aja lama bener,” sambungnya.

“Gue lagi di parkiran. Abis ngambil kenang-kenangan buat wali kelas gue,” jawab Daffa lalu nutup pintu mobil.

“Buset, dikasih kado. Ibu kos lu kira-kira dikasih juga gak?”

Daffa senyum, “Ibu kos gue, apa anaknya sih yang mau?”

“Gue sama Ibu gue lah.”

“Iya, entar gue traktir soto.”

“Setan, soto doang.” jawab cewek di seberang sana, “Gue sama Ibu gue udah sampe kek mata-mata yang jaga rahasia kalo lu nge-kos di tempat Ibu gue ya, Daf. Masa kenang-kenangannya soto doang?”

“Berarti lu pamrih, Sar.”

“Hahaha! Canda,” katanya. “Ya udah buruan ke ruang kepsek sini. Bawa fotocopy SKHU lu.”

“Mm,” gumam Daffa sebelum mematikan telpon dari Sarah.

Dia lalu berbalik. Hendak berjalan meninggalkan area parkir. Tapi baru aja beberapa langkah, Daffa lantas dibuat mematung. Sebab seseorang, atau lebih tepatnya pemilik dari mobil di sebelah mobilnya datang hingga kini berhadapan dengannya. Jarak mereka berdiri pun hanya terpaut beberapa jengkal saja.

Daffa gak tau kalau mobil yang terparkir di samping mobilnya adalah milik Sean. Bikin dia seketika menahan napas saat tatapan mereka bertemu pada satu poros.

Ini menjadi kali pertama mereka bertemu semenjak gak pernah lagi mencari tau kabar satu sama lain. Dan Daffa bisa merasakan betapa sedu atmosfer di antara mereka.

Waktu dan semesta ternyata belum puas mempermainkan dirinya dan Sean, pikir Daffa.

Tapi persekian detik berikutnya, Sean buru-buru menundukkan pandangan. Dia lalu melanjutkan langkah, melewati Daffa yang masih berdiri di tempat semula.

Ketika Sean hendak membuka pintu mobilnya, dia lantas menghela napas pelan. Dia gak mau mengingkari janjinya pada Mama, tapi dia juga merasa perlu mengatakan satu kalimat lagi ke Daffa.

Dan Sean rasa, ini adalah kesempatan paling terakhirnya. Sebelum mereka akhirnya harus terpisah; bukan hanya tentang tempat kuliah tapi juga tentang rasa.

“Daffa.”

Mendengar Sean memanggil, Daffa seketika menoleh. Dia pun mendapati Sean senyum tipis ke arahnya. Tapi hal itu justru bikin Daffa makin sesak. Sebab kini bibir Sean mengulas senyum, namun tatapannya sarat akan luka

“Makasih udah nepatin janji lu buat lulus di ITB,” ucap Sean.

Tungkai Daffa seakan dipukul dengan beban yang berat. Dia nyaris menyerah hingga ingin menjatuhkan tubuhnya saja. Tapi di saat yang bersamaan, dia juga ingin berlari ke arah Sean lalu memeluknya erat.

Tapi Daffa segera sadar, dia gak boleh ngelakuin itu. Dia gak boleh menghampiri Sean.

“Daffa!”

Sean lantas melirik ke arah sumber suara sejenak, dimana seseorang baru saja meneriakkan nama Daffa.

Dan Sean udah tau sejak tempo hari dari Nana—juga grup angkatan sekolah kalau sosok berambut hitam itu adalah Sarah; cewek yang sekarang ini disebut-sebut punya hubungan spesial dengan Daffa.

“Pacar lu udah nunggu,” ucap Sean, “Gue cabut duluan ya.”

Mata Daffa berkaca-kaca. Bahkan untuk mengatakan tidak kepada Sean—dia udah gak berhak. Sekujur tubuhnya pun seketika semakin terasa lemas. Terlebih ketika Sean akhirnya masuk ke dalam mobilnya lalu membuat kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan parkiran sekolah mereka. Juga meninggalkannya yang hanya mampu meneteskan air mata.

Sean duduk termenung di meja belajarnya, menatap ke arah kalender yang ada di sana lalu menghela napas.

Sudah sebulan lebih dia gak tau gimana kabar Daffa.

Sudah sebulan lebih juga dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, mendapat pengawasan hingga Sean harus selalu berusaha terlihat baik-baik saja—meski dirinya tidak lah demikian. Sebab semenjak Mama tau tentang seksualitasnya, wanita paruh baya itu kerap tumbang.

Dan gak sekali dua kali Mama membahas tentang kematian jika Sean gak segera berubah.

Sean gak mau hal itu terjadi. Sean gak mau Mama pergi.

Sejenak Sean mengulum bibirnya sebelum meraih paket yang sama sekali belum pernah dia buka. Paket yang dulu diantarkan oleh Mama ke kamarnya hingga si wanita paruh baya mendengar percakapannya dengan Daffa.

Sean lalu membuka paket itu. Tersenyum miring melihat tumbler custom dengan inisial “DS” yang sudah dia pesan jauh-jauh hari itu masih terbungkus rapi. Tumbler yang seharusnya dia berikan pada Daffa esok hari; saat pengumuman SBMPTN.

Tapi rencana itu kini sudah menjadi angan-angan belaka. Sebab dia gak akan bisa bertemu lagi dengan Daffa.

Sean menghela napas. Dia lalu kembali membungkus tumbler custom tadi sebelum membuangnya ke tempat sampah di bawah meja.

Gak ada lagi harapan.

Gak ada lagi yang bisa Sean lakukan selain mencoba untuk mengubur perasannya ke Daffa dalam-dalam.

Meski Sean gak pernah tau bagaimana sang waktu akan memperlakukannya kelak, tapi dia hanya ingin terbiasa.

Terbiasa tanpa Daffa.

Terbiasa untuk menunjukkan ke Mama dan Papanya kalau dia akhirnya udah berubah.

Juga terbiasa untuk bisa menyembunyikan segala kesedihannya.

“Sean.”

Sean lalu menoleh hingga mendapati Mama berdiri di ambang pintu kamarnya. Si wanita paruh baya membawa paper bag yang sudah jelas Sean tau isinya apa.

“Kamu lagi ngapain di situ?”

“Tadi abis baca buku, Ma.”

“Sini, Mama mau ngomong.”

Sean mengangguk patuh. Dia lalu menghampiri sang Mama yang duduk di tepi ranjang.

“Ini hp baru buat kamu.”

Sean lalu meraih paper bag yang disodorkan Mamanya.

Setelah sebulan lebih Sean cuma bisa ngeliat hp lamanya sesekali pas lagi ngecek info di grup fakultas—pun dengan pengawasan Mama, akhirnya kini Sean bisa pegang hp lagi.

“Di situ udah ada nomor baru kamu. Nanti minta ke temen biar nge-invite ulang ke grup fakultas di situ,” kata Mama.

“Makasih, Ma.”

“Tapi ingat janji kamu, Sean.”

Sean seketika mengerti arah pembicaraan Mamanya.

“Ketika Mama udah ngasih hp ini, berarti Mama juga ngasih kamu kepercayaan lagi.”

Si wanita paruh baya lalu menggenggam tangan Sean.

“Sekarang Mama mau lihat gimana hati nurani kamu...”

“Kalau emang kamu sayang sama Mama dan Papa, kamu gak akan pake hp itu buat hal yang gak seharusnya kamu lakukan.”

Dan yang Mama maksud adalah menghubungi Daffa.

Sean paham.

“Mama tau kamu kesulitan semenjak Mama nyita hp kamu. Mama juga kasian.”

“Tapi Mama ngelakuin semua ini buat kamu, Yan. Mama gak mau kamu terjerumus makin jauh dalam hal yang salah.”

“Jadi tolong, kali ini jangan bikin Mama kecewa lagi. Ya?”

“Mama udah cukup sakit. Mama gak pernah ngerasa baik-baik aja semenjak kejadian itu. Rasanya Mama mau mati kalo keinget lagi.”

Sean mengangguk lemah.

“Iya, Ma. Aku janji.”

“Mama pegang janji kamu.”

Sean memeluk tubuh Mama.

“Maafin aku, Ma.”

Si wanita paruh baya meneteskan air mata.

“Maafin Mama juga, Yan.”

Daffa bolos mengikuti les tambahan. Pertemuannya dengan Sean di sekolah tadi bikin dia bener-bener gak punya semangat belajar lagi.

Kini yang dia lakukan cuma duduk termenung di ruang tengah. Menatap kosong ke arah televisi yang menyala.

“Daf, udah pulang?”

Daffa seketika menoleh saat mendengar suara Bundanya. Saat itu juga dia mendapati sang Ayah juga telah datang. Nampak jika kedua orang tuanya itu pulang bersama; atau entah bertemu di mana.

“Tumben cepet. Biasanya pulang malem,” sambungnya.

“Kamu bolos kan?” sahut Ayah.

Daffa menghela napas. Dia ngerasa udah gak punya tenaga buat ngomong ke Bundanya atau bahkan mendengar omelan Ayahnya.

Alhasil, Daffa lantas berdiri dari sofa. Hendak berjalan ke kamarnya, tapi si pria paruh baya lantas menggertak.

“Dimana sopan santun kamu, Daffa?!”

Daffa memejamkan matanya sejenak lalu berbalik badan.

“Maaf.”

Hanya kata itu yang mampu terucap dari bibir Daffa. Sang Bunda yang melihat gelagat anaknya pun dibuat heran.

Sementara itu, si pria paruh baya mendengus kasar. Dia pun udah siap untuk kembali melanjutkan ucapannya buat Daffa, tapi sebelum membuka mulutnya, bel pintu berbunyi.

“Kamu tetep di sini. Ayah mau ngomong sama kamu.”

Ayah lalu menoleh ke Bunda.

“Bukain pintunya dulu, Nda. Kayaknya itu bawahan Ayah yang mau bawa berkas, yang ketinggalan di kantor tadi.”

Bunda mengangguk paham sebelum meninggalkan suami dan anak bungsunya di ruang tengah. Sementara si pria paruh baya lantas mendekati Daffa yang masih berdiri.

“Bunda kamu abis ngomong sama Ayah, katanya kamu pengen lanjut kuliah di ITB.”

Daffa mengangguk pelan.

“Ayah gak bisa ngasih izin.”

Daffa menatap Ayahnya dengan tampang gak percaya.

“Kamu pikir dunia perkuliahan itu gampang?” sambung Ayah.

“Ikut les tambahan aja kamu males-malesan kalo gak diawasin, apalagi kalo udah kuliah. Ayah gak bisa percaya sama kamu kayak Bunda.”

“Pas UTBK nanti kamu gak usah milih ITB,” sambungnya, “Kamu harus tetep kuliah di kampus yang sama dengan Bunda. Seperti yang udah pernah Ayah bilang dulu.”

“Yah—”

Baru saja Daffa hendak menyela ucapan sang Ayah, dia justru tiba-tiba gak bisa bersuara. Sebab dia melihat Bunda berjalan ke ruang tengah bersama Mama Sean.

“Yah, ada Mamanya Sean. Katanya mau ngomong sama kita berdua,” ucap Bunda.

“Oh, mari silakan duduk—”

“Saya gak usah duduk,” Mama Sean memotong ucapan Ayah.

Dia lalu menatap sejenak ke arah Daffa sebelum bersuara.

“Saya gak bisa lagi nutupin ini dari Bapak dan Ibu,” katanya.

“Ini demi kebaikan Daffa, anak Bapak dan Ibu. Juga buat Sean, anak saya.”

“Maksudnya apa ya, Bu?” tanya Bunda. Dia bingung.

“Daffa dan Sean... Mereka...”

Napas Mama Sean memburu.

“Kemarin saya memergoki mereka berdua melakukan hal yang gak sepantasnya dilakukan oleh dua orang laki-laki di dalam kamar.”

Bunda bungkam. Sementara Ayah seketika menatap Daffa dengan mata berapi-api.

“Saya bahkan merasa sangat malu buat ngomong ini. Tapi saya juga udah gak tau lagi harus berbuat apa supaya anak saya bisa berhenti dari hal yang salah seperti ini.”

“Jadi saya mohon supaya Bapak sama Ibu juga berusaha membuat Daffa berhenti. Tolong awasi Daffa supaya gak lagi berada di sekitar anak saya,” pinta Mama Sean.

“Ini semua salah. Mereka udah ada di jalan yang salah.”

Mama lalu menatap Daffa. Dia kemudian berjalan mendekati pemuda berlesung pipi itu.

“Dan kamu...”

“Kamu bisa bikin anak saya suka sama kamu, jadi kamu juga pasti bisa kan bikin Sean gak suka lagi sama kamu?”

“Buat Sean benci sama kamu. Buat dia melupakan kamu.”

Mama mulai meneteskan air mata diikuti isakan pelan.

“Tolong jangan hubungi Sean lagi atau bahkan Ibra. Saya mohon.”

Daffa menunduk.

Dia gak mampu melihat air mata dari si wanita paruh baya yang selama ini selalu peduli dan memberikan perhatian padanya. Daffa seketika merasa bersalah.

Sementara itu, Mama Sean pun berbalik dan berucap.

“Saya permisi,” tuturnya sebelum berjalan tergesa meninggalkan kediaman itu.

“Daffa,” panggil Ayah, “Apa semua yang dibilang sama Mamanya Sean tadi benar?”

Daffa menelan ludah sebelum menatap Ayahnya yang kini udah berdiri di hadapannya.

“Iya,” jawabnya lirih.

Satu tamparan keras seketika mengenai pipinya. Pelakunya pun gak lain adalah Ayahnya.

“Belum puas kamu bikin Ayah malu?!”

“Ayah! Udah!”

Bunda berteriak saat sang suami kembali memberikan tamparan lain di pipi Daffa.

“Kamu bener-bener anak yang gak berguna!”

Bunda dengan sigap memeluk Daffa saat suaminya itu lagi-lagi hendak menamparnya.

“Ayah, cukup.” pinta Bunda, “Daffa salah, tapi semuanya gak bakal selesai kalau Ayah main tangan kayak gini.”

Napas Ayah tersengal-sengal.

“Pergi kamu dari sini.”

“Yah,” panggil Bunda lirih.

“Sekarang kamu bebas mau ngelakuin apa aja yang kamu mau,” sambung Ayah, “Pergi jauh dari sini dan jangan pernah berani untuk kembali.”

“Kamu bukan anak saya lagi.”

Si pria paruh baya kemudian melenggang pergi menuju kamarnya. Meninggalkan Bunda juga Daffa yang masih berdiri di tempat semula.

Daffa kemudian menatap Bundanya lekat-lekat. Nampak raut kecewa di wajah si wanita paruh baya. Dengan sekuat tenaga, Daffa pun bergumam lirih, “Maaf, Nda.”

Perlahan Daffa menuntun lengan Bunda agar pelukan si wanita paruh baya terlepas. Setelahnya, Daffa lalu bergegas ke kamar. Mengambil koper dan memasukkan beberapa lembar pakaiannya ke sana—meski dia sendiri belum tau akan pergi ke mana nantinya.

“Daffa.”

Daffa menoleh saat mendengar suara lirih Bundanya. Wanita paruh baya itu berdiri di ambang pintu, menatapnya sejenak sebelum menghampirinya di depan lemari.

“Biar Bunda bantu.”

Daffa mengulum bibirnya yang bergetar hebat, sebab dia melihat Bundanya meneteskan air mata dalam diam sembari memasukkan pakaian ke dalam kopernya.

“Bunda juga udah gak mau nganggap aku anak Bunda lagi?” tanya Daffa lirih.

Bunda mengusap kasar kedua pipinya. Dia lalu kembali menatap Daffa, membingkai wajah putra bungsunya sebelum berkata.

“Kamu tetep anak Bunda.”

Daffa menunduk, “Maaf, Nda.”

Bunda menggeleng.

“Seharusnya Bunda yang minta maaf,” kata si wanita paruh baya.

“Selama ini Bunda gak pernah mencurahkan kasih sayang ke kamu. Sampai akhirnya Sean yang justru bikin kamu merasa disayangi. Bunda salah, Daf.”

Dada Daffa semakin terasa sesak mendengar penuturan Bundanya.

“Kamu udah masukin semua barang-barang yang pengen kamu bawa ke koper?”

Daffa mengangguk lemah.

Bunda lalu meraih satu tangan Daffa. Meletakkan buku tabungan beserta kartu ATM di telapak tangan putra bungsunya.

“Kamu bawa ini,” katanya, “Ini tabungan Bunda buat kamu sejak kamu masih kecil.”

Air mata Daffa menetes.

Wanita paruh baya itu kemudian dengan sigap menyeka pipi sembab Daffa.

“Jangan nangis. Anak Bunda jelek kalo lagi cengeng.”

“Kamu pake itu aja dulu buat nyari kos-an sementara, buat makan, buat jajan sama buat keperluan yang lain.”

“Bunda pengen aku pergi?”

Bunda mengangguk.

“Ini kesempatan kamu,” kata si wanita paruh baya, “Bunda udah berusaha ngomong ke Ayah kalo kamu pengen kuliah di luar kota, di ITB, tapi Ayah tetep gak setuju.”

“Dan mungkin ini jalan supaya kamu bisa mewujudkan keinginan kamu itu.”

Bunda menangkup wajah Daffa.

“Kurang lebih dua Minggu lagi udah UTBK kan?” tanya Bunda, Daffa pun mengangguk.

“Belajar yang bener. Kamu harus bisa lulus di ITB. Ya?” tutur Bunda, “Bunda bakal biayain kamu sampe lulus. Bunda juga bakal nyamperin kamu ke sana sesekali nanti.”

Daffa semakin gak bisa membendung tangisnya. Dia lalu memeluk erat sang Bunda, bikin wanita paruh baya itu juga ikut menangis sembari mengusap punggungnya.

“Jaga diri kamu baik-baik.”

Daffa mengangguk.

“Kabarin Bunda tiap hari.”

Daffa menenggelamkan wajahnya di pundak sang Bunda. Dia menangis tersedu-sedu.

“Udah, udah. Kamu harus pergi sekarang,” kata Bunda lalu melepaskan dekapan Daffa, “Entar Ayah kamu keluar dari kamar.”

Wanita paruh baya itu lalu merogoh saku cardigannya, mengeluarkan kunci mobil lalu menyodorkannya ke Daffa.

“Kamu bawa mobil Bunda.”

“Tapi, Nda... Kalo Ayah marah sama Bunda gimana?”

“Bunda bisa ngatasin itu sendiri. Kamu gak usah ikutan mikir,” katanya sembari menghapus jejak air mata di pipi Daffa.

“Cari kos-an yang bagus. Makan apapun yang pengen kamu makan. Jaga kesehatan.”

Bunda lalu mengecup kedua pipi Daffa bergantian, “Ayo, Bunda anterin ke depan.”

Daffa menahan lengan Bundanya. Dia pun kembali mendekap erat wanita paruh baya itu, masih dengan isak tangis pilunya.

Selama ini dia selalu menganggap bahwa sang Bunda tidak pernah memikirkannya. Bunda tidak pernah mengajaknya berbicara dan terkesan tidak memedulikannya. Bunda hanya mementingkan urusan pekerjaan hingga waktu untuknya nyaris tidak ada.

Tapi kini, justru Bundanya lah yang menjadi malaikat pelindungnya. Bunda selalu memikirkannya. Bunda peduli tentangnya.

“Daffa...”

Bunda berbisik di samping telinga Daffa.

“Maafin Bunda karena belum bisa jadi orang tua yang sempurna buat kamu ya, sayang.”

Daffa menggeleng dalam pelukan Bunda.

“Bunda sayang kamu.”

Daffa duduk termenung di meja sambil gak henti-henti menatap ke arah pintu kelas. Berharap Sean akan datang ke sekolah meski semua ujian dan proses pembelajaran di kelas dua belas udah usai.

Terlebih, Sean telah berhasil mengantongi status sebagai calon mahasiswa baru di perguruan tinggi setelah dinyatakan lulus kemarin. Dia akan mulai sibuk mengurus persiapan masuk universitas.

Ketika ingatan tentang kejadian dimana Mama Sean memergoki mereka kembali terbayang, dada Daffa pun digerogoti rasa sesak yang menyiksa. Dia merasa buruk bagi Sean. Dia nyaris gak tidur semalaman memikirkan nasib pujaan hatinya. Tapi Daffa sendiri gak tau harus berbuat apa. Dia hilang arah.

Tanpa sadar air mata Daffa pun menetes, hingga Radeya yang sedari tadi diam-diam memerhatikan tingkah gak biasa dari sahabatnya lantas menepuk keras pundak Daffa.

“Daf! Woi! Kesambet lu?”

Gibran ikut nyamperin Daffa.

“Lah? Ni bocah kenapa?” tanyanya ke Radeya, “Lu kenapa, Daf? Kok nangis?”

Daffa menggeleng. Dia lalu mengusap kasar pipinya yang nyatanya memang basah.

“Gue mau ke toilet.”

Baik itu Radeya maupun Gibran cuma bisa melongo melihat tingkah Daffa. Sebab sejak datang ke sekolah tadi, cowok berlesung pipi itu udah kelihatan murung.

Sementara itu, Daffa yang udah berjalan ke luar dari kelas lantas menghentikan langkah di koridor ketika dia berpapasan dengan Sean.

Napas Daffa tertahan. Sebab Raut wajah dan tatapan Sean menyiratkan luka mendalam.

“Yan...”

“Gue udah janji sama Mama buat gak ngomong atau pun ketemu lagi sama lu, Daf.”

Sean melirik sejenak ke arah lain. Memastikan kalau gak ada yang mendengarkan dia.

“Tapi kali ini bakal jadi yang terakhir. Karena gue pengen lu tau kalo gue ngelakuin itu buat lu. Buat kebaikan kita.”

Suara Sean begitu lirih.

“Gue datang ke sekolah hari ini cuma buat balikin buku ke perpus,” sambungnya, “Mama juga ada di depan, nungguin.”

Tungkai Daffa semakin lemas mendengar penuturan Sean. Sebab Sean bahkan harus diawasi dan tidak dipercayai lagi oleh Mama karenanya.

“Abis ini gue juga mungkin gak bisa natap wajah lu lebih lama dari hari ini meski pun kita berdua bakal gak sengaja dipertemukan lagi nanti.”

“Jadi karena sekarang lu ada di sini, gue cuma mau bilang lu gak perlu mikirin masalah yang kemarin. Lu harus tetep fokus sama UTBK lu nanti.”

“Yan—”

“Daf, tolong dengerin gue ya? Waktu gue udah gak banyak.”

Daffa mengulum bibirnya yang sudah bergetar hebat.

“Gue mungkin gak bisa nge-chat lu dan nyemangatin lu kek yang udah lu lakuin...”

“Mama nyita HP sama laptop gue. Dan mungkin udah ganti nomor gue atau nge-hapus sosmed gue. Gue gak boleh buka HP di luar kepentingan persiapan masuk kampus.”

“Tapi inget, doa gue bakal selalu tercurah buat lu, Daf.”

“Entah Tuhan masih sudi nerima doa gue atau enggak, tapi gue bakal selalu berdoa dan berharap yang terbaik buat lu dari kejauhan.”

“Tepatin janji lu. Lu harus lulus buat gue,” jelas Sean, “Gue cuma minta itu. Itu aja.”

Daffa kembali meneteskan air matanya, begitu juga Sean.

“Gue bakal ngomong ke Ayah sama Bunda gue,” kata Daffa, “Ini gak adil buat lu, Sean.”

“Daf, apa ucapan gue di awal tadi belum jelas hah? Gue rela ngelakuin ini semua buat lu. Gue gak pengen Ayah sama Bunda lu tau.”

“Ini adil buat kita berdua, kita sama-sama terluka di sini.” tambah Sean, “Tapi cukup Mama Papa gue aja yang tau. Orang tua lu gak usah, Daf.”

“Tapi pergerakan lu sampe dibatasi kek gini karena gue.”

Sean menghela napas kasar.

“Lu sayang sama gue kan?”

Daffa gak bersuara. Jelas, Sean sudah tau jawabannya.

“Kalo lu beneran sayang sama gue, tolong lakuin apa yang udah gue bilang tadi. Tutup mulut lu. Biarin semuanya berjalan begitu aja. Ya, Daf?”

“Terus gimana sama hubungan kita, Yan?”

Sean menelan ludahnya sekuat tenaga. Sebab rasa sakit di tenggorokan semakin menyiksanya. Dia tercekat.

“Gue sayang sama lu, Daf.”

Daffa tau, kalimat itu adalah awal dari perpisahan mereka.

Terlebih ketika Sean akhirnya perlahan melangkahkan kaki, meninggalkannya yang masih berdiri di tempat semula.

***

Sejak pulang dari sekolah tadi, yang Sean lakukan hanya mengurung diri. Dia duduk di atas tempat tidur, memeluk lututnya sembari menatap ke arah lukisan yang masih terpajang di kamarnya.

Tapi gak lama berselang, Sean lantas dibuat tersentak saat mendengar pintu kamarnya dibuka. Dia lalu menoleh—mendapati sang Mama berdiri di ambang pintu, memberinya tatapan tajam lalu menggeleng pelan.

Baik itu Sean maupun si wanita paruh baya terdiam sejenak. Sampai ketika Mama tiba-tiba berjalan ke arah lukisan lalu mengambilnya, Sean akhirnya bersuara.

“Ma, lukisannya mau dibawa ke mana?” tanya Sean lirih.

“Seharusnya Mama udah buang lukisan ini sejak kemarin,” jawabnya.

“Ma, jangan dibuang.”

Si wanita paruh baya lantas menjatuhkan lukisan yang dipegangnya. Jemarinya lemas mendengar Sean.

Dia lalu menghampiri sang anak, membingkai wajah Sean sembari menatapnya sedu.

“Mama harus ngapain supaya kamu gak kayak gini lagi?”

“Aku udah gak ngobrol atau pun ketemu sama Daffa, Ma.”

“Tapi kamu masih mikirin dia,” Mama lagi-lagi menangis sembari natap Sean, “Kamu masih suka sama laki-laki.”

“Ma.”

Si wanita paruh baya lalu bersimpuh di depan kaki Sean yang masih duduk di atas tempat tidur. Dia menggenggam tangan Sean.

“Sean, pikirin Mama juga...”

“Kalo kamu pengen tetep kayak gini lebih baik Mama mati, Yan.” sambungnya.

Sean lantas menggeleng pelan. Dia lalu ikut duduk melantai sebelum memeluk tubuh Mamanya erat-erat.

“Aku bakal berhenti, Ma.”

Mama beralih membingkai wajah Sean lalu bergumam.

“Lupain dia.”

Sean mengangguk.

“Mama mohon, buang semua barang dari dia yang ada di kamar kamu,” pinta Mama.

Dan lagi, Sean hanya bisa mengangguk lemah.

Tapi dari mata Sean, si wanita paruh baya tau kalau anaknya itu masih menyimpan dusta.

Daffa harap-harap cemas sambil menunggu di depan pintu utama rumah Sean. Hingga gak lama berselang, Mama pacarnya itu datang. Membuka pintu untuknya, tapi dengan raut wajah heran.

“Oh, Daffa. Bareng siapa?”

“Sendiri, Tante.” Daffa lalu menelan ludah, “Sean ada?”

“Ada di kamarnya.”

Si wanita paruh baya kemudian memberi jalan untuk Daffa. Saat itu juga Daffa lantas bergegas memasuki rumah pacarnya. Dengan si wanita paruh baya berjalan di sisi kanannya.

“Om sama Ibra ke mana, Tante?”

“Mereka main tennis di luar,” jawab si wanita paruh baya, “Abis nemenin Sean ngeliat pengumuman SNM tadi langsung berangkat mereka.”

Sesampainya di ruang tengah, Mama pun menoleh ke Daffa. Menatap wajah pemuda berlesung pipi itu sejenak sebelum bersuara.

“Saya ke dapur dulu ya.”

“Silakan, Tante. Kalo gitu saya mau nyamperin Sean.”

Mama mengangguk pelan lalu melenggang meninggalkan Daffa yang seketika menautkan alis. Entah, dia merasa ada yang berbeda dari Mama pacarnya itu. Bukan hanya sekarang, tapi juga beberapa waktu terakhir saat Daffa menyempatkan waktu untuk mampir ke rumah ini.

Mama Sean kelihatan gak terlalu sehat. Bahkan Daffa bisa mendengar betapa lemas suara si wanita paruh baya. Tapi Sean juga gak pernah bercerita tentang Mamanya.

Dia akan bertanya pada Sean nanti, pikir Daffa. Sebab kini, dia juga belum tau bagaimana keadaan sang pujaan hati.

Tapi dari pesan Sean tadi, Daffa lantas khawatir jika sesuatu yang gak Sean harapkan justru telah terjadi.

Buru-buru Daffa menaiki tangga menuju kamar Sean hingga sampai di depan pintu. Dia lalu mengetuknya sejenak, tapi gak ada sahutan dari dalam kamar. Bikin Daffa berinisiatif memutar kenop.

Ketika pintu terbuka, Daffa justru gak mendapati Sean di dalam kamarnya. Tapi Daffa bisa melihat laptop Sean di meja belajar masih menyala.

Daffa kemudian buru-buru menutup pintu sebelum melangkah ke arah meja belajar; duduk di kursi dengan jantung berdegup kencang. Dia lalu melihat tampilan web di sana. Dimana hasil pendaftaran SNMPTN Sean terpampang jelas.

Daffa lalu tersentak saat Sean tiba-tiba datang—setelah bersembunyi—tanpa sepengetahuannya dari arah balkon. Pacarnya itu lantas memeluk lehernya dari belakang sembari berbisik.

“Aku lulus.”

Daffa menoleh. Tersenyum bangga melihat pacarnya.

“Aku tau kamu bakal lulus. Tapi chat kamu tadi ambigu banget tau gak?” katanya.

“Sengaja, biar kamu dateng.”

Sean terkekeh, sementara Daffa lalu berdiri dari kursi. Merentangkan tangannya lebar-lebar hingga Sean dengan sigap menyambutnya.

“Selamat ya, sayang.”

“Daf, aku masih gak nyangka.”

“Aku kan udah bilang kamu pasti bakal lulus, Yan.”

Daffa kemudian mengecup puncak kepala Sean sejenak.

“Pacar aku calon dokter.”

Sean tersenyum, mendorong pelan tubuh Daffa hingga mereka kembali saling bertatapan. Setelahnya, Sean lalu mengecup bibir Daffa sekilas hingga sang empu tersenyum tipis dibuatnya.

“Katanya pengen dipeluk, tapi kok malah nyium?”

“Kapan lagi kan aku bisa cium kamu kayak gini,” kata Sean.

Dia lalu membelai pipi Daffa sembari tersenyum hambar.

“Aku seneng banget bisa keterima di jurusan sama kampus impian aku, Daf.”

“Tapi di saat yang bersamaan, aku juga sedih karena sadar kalo waktu kita buat bareng kayak gini udah gak lama lagi. Abis ini kita bakal sibuk ngejar impian masing-masing.”

Sean menghela napas.

“Dulu aku selalu bilang pengen cepet-cepet lulus, tapi hari ini aku justru masih pengen dikasih waktu buat tetep di SMA.”

“Semuanya kayak terlalu cepat, Daf. Aku belum siap buat pisah sama kamu.”

Daffa gak merespon dengan kata-kata, tapi dia lantas mempertemukan belahan bibirnya dengan milik Sean. Seolah di sana pula dia bisa menyampaikan rasa bahagia sekaligus rasa sedihnya.

Keduanya saling memagut; melumat lembut bibir satu sama lain hingga Sean terbuai. Dia pun perlahan memundurkan langkah hingga berakhir terduduk di atas ranjang. Dan dengan dorongan pelan dari Daffa, Sean lantas berbaring terlentang setelahnya. Bersamaan dengan Daffa yang mengungkungnya.

“Daffa,” bisik Sean pelan di depan bibir pacarnya, “Kita bakal baik-baik aja kan?”

Daffa mengangguk pelan sebelum kembali melumat lembut bibir Sean. Sementara Sean yang berada di bawah tubuh Daffa lantas meremas pelan bahu pacarnya.

Tapi persekian detik berikutnya, baik itu Daffa maupun Sean lantas terkejut saat pintu kamar tiba-tiba dibuka dari luar. Keduanya pun menahan napas saat melihat Mama berdiri sana. Menatap mereka dengan dua bola mata melebar sempurna.

Daffa pun buru-buru bangkit dari posisinya. Begitu juga dengan Sean yang seketika ikut berdiri di samping Daffa. Sementara Mamanya masih terdiam, namun nampak raut kecewa dan amarah di wajah pucat si wanita paruh baya.

“Ma...”

Panggil Sean lirih, sebab Mamanya tak kunjung bersuara. Dia semakin takut.

“Seharusnya Mama emang udah ngomong sama kamu jauh-jauh hari,” kata si wanita paruh baya, “Tapi Mama baru bisa memberanikan diri hari ini. Karena Mama selalu yakin kalo kecurigaan Mama salah.”

Sean menahan napasnya.

“Mama ngerasa aneh pas tau Daffa abis ngelukis kamu.”

“Mama ngerasa aneh pas kamu mesen kue buat dia.”

“Mama juga ngerasa makin aneh pas dengerin kamu sama dia ngomong pake ‘aku-kamu’ dari luar kamar waktu Mama abis bawain paket tempo hari.”

“Dan Mama selalu ngerasa aneh tiap kali kamu ngasih perhatian ke dia. Kamu tau semua tentang dia, meski pun itu hal kecil.”

“Mama cuma diam, karena Mama percaya sama kamu. Meski Mama tau, pertemanan di antara dua laki-laki gak sewajarnya se-intim itu.”

Bibir si wanita paruh baya bergetar hebat. Kedua bola matanya lantas memerah.

“Tapi yang Mama lihat hari ini justru membuktikan kalau firasat Mama beberapa waktu terakhir nyatanya benar. Firasat seorang Ibu gak pernah salah. Kamu sama dia lebih dari sekedar teman.”

“Kenapa, Sean? Kenapa kamu ngelakuin ini sama Mama?”

“Tante, saya yang salah. Bukan Sean,” ucap Daffa.

“Saya belum ngizinin kamu buat ngomong, Daffa.”

Mata si wanita paruh baya masih tertuju ke anaknya.

“Jawab Mama. Kenapa kamu kayak gini?”

Sean meneteskan air mata. Tenggorokannya sakit, hingga satu-satunya kalimat yang mampu dia ucapkan hanya,

“Aku sayang Daffa, Ma.”

“Sayang?” Mama melirik ke Daffa sejenak, “Kamu sayang sama laki-laki?”

Sean mengulum bibirnya. Dia lalu memberanikan diri untuk mendekat dengan Mamanya.

“Ma, maafin aku.”

“Kenapa baru sekarang kamu minta maaf?” sela sang Mama.

“Selama ini kamu bohong sama Mama. Kamu selalu pergi sama dia dan entah udah ngelakuin apa aja—tapi kamu gak pernah ngerasa bersalah sama Mama?”

“Kamu gak pernah mikirin perasaan Mama yang udah ngelahirin dan ngebesarin kamu karena laki-laki itu?”

Dada Sean sakit.

“Sean, kurangnya Mama apa?”

Sean lantas menunduk. Air mata masih mengalir deras di kedua pipinya. Dia bungkam.

“Mama selalu berusaha ngasih kamu yang terbaik. Mama juga udah berusaha jadi orang tua yang baik. Dan Mama gak pernah meminta balasan untuk itu, tapi kamu justru bikin Mama kecewa.”

“Mama udah nyekolahin kamu sampe kayak sekarang. Jadi seharusnya kamu juga udah paham gimana kodrat kamu dan aturan agama kamu.”

Sean kembali menatap Mama.

“Ma, aku sama Daffa juga gak mau kayak gini.” balas Sean, “Aku sama Daffa gak pernah sekali pun minta ke Tuhan supaya suka sama laki-laki.”

Satu tamparan keras seketika mendarat di pipi kanan Sean. Daffa yang melihat pacarnya ditampar oleh si wanita paruh baya lantas hendak menghampiri Sean, tapi sang Mama lebih dahulu bersuara.

“Jangan dekati anak saya.”

Hati Daffa hancur.

“Tolong pergi dan jangan pernah menginjakkan kaki kamu di rumah ini lagi, Daffa.”

Dan Daffa semakin merasa hancur sebab Mama Sean menyuruhnya pergi dengan begitu tenang. Tapi dia tau, wanita itu kecewa padanya.

“Maaf, Tante. Saya yang salah. Saya yang pertama kali jujur tentang perasaan saya.”

Daffa kemudian bersimpuh di depan kaki Mama Sean.

“Tampar saya. Jangan Sean.”

“Kalau dengan ditampar bisa bikin kamu sadar dan menghilang dari kehidupan anak saya, biarkan itu jadi tugas kedua orang tua kamu.”

Sean menggeleng tegas.

“Ma, jangan bilang ke Ayah sama Bundanya Daffa.”

Dia lalu ikut berlutut di depan kaki Mamanya sembari mendongak dan menangis.

“Mama gak pengen aku deket sama Daffa lagi kan? Aku bakal nurutin itu, Ma. Aku bakal nyudahin semuanya. Tapi tolong, jangan bilang ini ke Ayah sama Bundanya.”

“Sean—”

“Pergi, Daf.” Sean memotong ucapan Daffa, “Tolong.”

Dari tatapan Sean tersirat luka. Daffa bisa membacanya.

Daffa pun sudah berusaha menahan tangisnya sedari tadi, tapi kali ini dia gagal. Air matanya mengalir deras setelah mendengar ucapan Sean.

Dan Daffa tau, Sean melakukan ini untuknya. Tapi dia justru tidak melakukan apa-apa untuk pujaan hatinya, pikir Daffa.

“Pergi,” ucap Mama Sean lirih, “Saya mohon. Pergi dari sini.”

Daffa lantas berdiri sekuat tenaga, sebab kedua kakinya telah melemas. Dia lalu melirik sekilas ke arah Sean yang masih bersimpuh, tapi pacarnya lantas menunduk.

Apa ini adalah akhir dari semua yang telah mereka lewati bersama? Pikir Daffa.

Tapi kenapa harus se-menyedihkan ini? Batinnya.

Bahkan dia tidak sempat mengucap kalimat selamat tinggal kepada sang pujaan hati sebelum si wanita paruh baya menutup pintu kamar—sekaligus menutup kesempatannya untuk bertemu kembali dengan Sean.

“Aku mau mampir ke rumah Sean dulu, Nda.” kata Daffa kepada sang Bunda yang duduk di bangku sebelahnya.

“Katanya dia juga mau makan di luar, jadi sekalian berangkat bareng. Boleh?”

“Gak apa-apa. Entar sekalian makan bareng kita aja, Daf.”

Daffa mengangguk kecil. Dia kemudian kembali terdiam seperti sejak meninggalkan rumah tadi. Gak ada percakapan berarti di antara dia dan Bundanya. Begitu seterusnya sampai laju mobil terhenti di depan rumah Sean.

Daffa pun dengan sigap mengirimkan pesan singkat ke pacarnya. Ngasih tau kalo dia sama Bunda udah di depan. Hingga gak lama berselang Sean lantas keluar dari rumah. Tersenyum sumringah setelah membuka pintu mobil di jok belakang.

“Tante, maaf nih saya jadi numpang. Daffa sih, pake ngajak supaya bareng segala.”

Daffa geleng-geleng kepala. Sementara si wanita paruh baya lantas ketawa pelan.

“Gak apa-apa, Yan. Entar kamu makan bareng Tante sama Daffa sekalian yuk.”

“Makasih, Tante.”

Sean senyum tipis lalu melirik pacarnya melalui kaca spion tengah. Daffa pun melakukan hal serupa—meliriknya lalu kembali menancap gas mobil.

Dan lagi, gak ada percakapan antara Daffa bersama sang Bunda. Bikin Sean jadi ikutan bingung sekaligus memutar otak supaya kedua orang di bangku depan bersuara.

“Sean daftar SNM kan ya?”

Sean diam-diam menghela napas lega saat Bunda Daffa tiba-tiba bertanya padanya.

“Iya, Tante.” jawab Sean, “Tapi gak yakin banget bisa lulus.”

“Kamu milih jurusan apa?”

“Kedokteran, Tante.”

“Di kampus mana?”

Sean cengar-cengir.

“Di kampus tempat Tante ngajar, beda fakultas doang.”

Bunda Daffa terkekeh.

“Mm, Sean nanti kuliahnya di luar kota dong ya.”

“Di luar kota sih, Tan. Tapi luar kotanya juga deket dari rumah. Tetanggaan kota.”

“Tapi katanya lu mau dibeliin apartemen kan kalo lulus SNM di sana?” tanya Daffa.

“Kata Mama gue gitu,” jawab Sean, “Tapi gue pengen minta dibeliin mobil aja tau, Daf. Mending bolak-balik rumah.”

Bunda yang sedari tadi menyimak percakapan sang anak juga Sean lantas menoleh ke Daffa. Putra bungsunya itu masih fokus menatap jalan di depannya.

“Entar kalo kamu lulus SBM, mau minta apa sama Bunda?”

Daffa lantas terkejut mendengar pertanyaan yang terucap dari bibir si wanita paruh baya. Bahkan Daffa sendiri gak ingat kapan terakhir kali sang Bunda bertanya tentang apa yang akan dia minta atau inginkan.

“Biar aku pikirin dulu, Nda.”

Daffa lalu ngelirik Sean di kaca spion tengah. Pacarnya itu lantas senyum sebelum mengangguk pelan.

***

“Kenapa gak dimakan?”

Sean ngelirik ke arah Bunda Daffa sejenak ketika pacarnya itu nyodorin dia daun selada. Mereka udah duduk di salah satu meja dalam restoran Shabu-Shabu.

“Mm, taroh di situ aja.” jawab Sean sebelum menendang kaki Daffa di bawah meja.

Sean lalu ngode Daffa supaya merhatiin Bundanya juga.

“Bunda mau nambah saus?”

“Entar aja, ini masih banyak.”

Daffa pun terdiam sejenak, mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk mulai berbicara dengan Bundanya.

“Bunda.”

“Mhm?”

Si wanita paruh baya lantas menoleh ke anak bungsunya.

“Aku udah boleh bilang pengen minta apa kalo bisa lulus SBM nanti gak?”

“Boleh. Kamu pengen apa?”

Daffa menelan ludah.

“Aku pengen Bunda ngasih izin supaya aku kuliah di ITB.”

Sean menahan napas melihat Bunda Daffa terdiam sejenak sembari natap wajah anaknya.

“Daf, tapi Ayah sama Bunda pengen kamu kuliah di—”

“Nda, selama ini aku emang gak bisa jadi anak yang baik dan membanggakan di mata kalian. Gak kayak Kak Disty sama Bang David.”

Daffa lantas memotong ucapan si wanita paruh baya. Dia bahkan udah hapal kalimat apa yang bakal diucapin sama Bundanya.

“Tapi aku janji bakal ngelakuin yang terbaik kalo bisa lulus di sana nanti.”

“Aku gak bisa ngikutin mau Ayah sama Bunda yang pengen aku tetep gak jauh dari rumah dan milih jurusan Sastra Inggris.”

“Aku emang bisa Bahasa Inggris karena selalu diajarin sama Bunda sejak kecil.”

“Tapi aku punya ketertarikan sendiri sama seni, Nda. Aku pengen ngembangin bakat dan passion di DKV nanti.”

“Daf...”

Satu tangan si wanita paruh baya mengusap paha Daffa.

“Bunda gak pengen kamu jauh-jauh karena bakal sulit bagi Bunda sama Ayah buat ngawasin kamu,” katanya.

“Kalo kamu kenapa-kenapa di tempat orang gimana? Kamu paham maksud Bunda kan?”

Daffa tersenyum hambar.

“Bunda emang gak pernah percaya sama aku.”

Sean melotot pas ngeliat Daffa tiba-tiba berdiri.

“Kamu mau ke mana? Bunda belum selesai ngomong.”

“Ke toilet bentar,” ucap Daffa sebelum ninggalin si wanita paruh baya juga Sean di meja.

“Sean, maaf ya. Tante sama Daffa jadi bikin kamu gak nyaman,” ucap Bunda Daffa.

“Gak kok, Tante.”

Sean tersenyum kikuk. Sementara si wanita paruh baya menghela napas pelan.

“Sean, Daffa udah cerita ke kamu ya kalo mau ke ITB?”

“Iya, Tante. Semenjak di kelas dua belas, Daffa jadi ambis banget. Soalnya dia pengen ke ITB katanya,” jelas Sean.

“Pas try out UTBK nilai Daffa juga tinggi,” tambah Sean, “Kayaknya dia bener-bener serius pengen kuliah di sana.”

Si wanita paruh baya mengangguk lemah. Dia lalu menatap kosong ke meja.

“Daffa anak bungsu saya,” si wanita paruh baya kembali bersuara, “Saya kadang masih nganggap dia anak kecil saya.”

“Saya pun masih belum ngasih dia kebebasan yang sama dengan dua kakaknya. Apalagi Ayahnya, dia masih selalu mengontrol apa yang harusnya dilakukan Daffa.”

Bunda memaksakan senyum.

“Karena kami takut dia salah langkah, Sean. Saya gak mau dia kenapa-kenapa,” katanya.

“Meski saya dan Ayah Daffa mencoba mendidik Daffa supaya tumbuh menjadi anak bungsu yang gak manja, tapi kami berdua tetep gak mau membebaskan Daffa untuk melakukan semua hal yang dia suka begitu saja...”

“Kami mikirin masa depan dia. Kalo nanti sikapnya di SMA keterusan pas kuliah, Daffa bakal makin menyia-nyiakan masa mudanya.”

Sean mengangguk. Mungkin memang ada hal yang belum dia pahami dari sisi orang tua. Tapi sebagai anak, dia pun ingin supaya orang tua memahami anaknya, pikirnya.

“Kalo Tante gak keberatan, saya boleh ngomong sedikit tentang Daffa gak?”

“Boleh.”

“Saya gak tau indikator Tante sama Om tentang mendidik Daffa udah berhasil atau belum bagaimana,” katanya.

“Tapi kalo dari saya pribadi, Tante sama Om udah berhasil kok mendidik Daffa menjadi anak mandiri seperti yang Tante sama Om inginkan.”

“Dia tumbuh jadi anak yang gak manja,” tutur Sean, “Dia kalo pengen beli sesuatu—di luar keperluan sekolah gak minta uang ke Tante, ke Om.”

“Daffa udah pinter cari uang sendiri sejak masih sekolah. Menurut saya, itu mandiri.”

“Maksudnya?”

Bunda Daffa menautkan alis.

“Semenjak masuk SMA, Daffa ngajar les bahasa Inggris buat anak SMP sama SD tiap hari Minggu. Pas SMP dulu Daffa juga suka dagang ini itu.”

“Uang jajan dari Tante sama Om hampir gak pernah Daffa pakai,” tambahnya lagi, “Dia nyimpen itu semua buat keperluan sekolah yang lain.”

“Daffa gak pernah ngomong sama saya tentang ini, Yan.”

Sean mengangguk kecil.

“Saya tau, Tante. Daffa juga bilang ke saya dulu supaya gak ngomong ke Tante atau Om. Tapi kayaknya ini waktu yang tepat buat ngomong.”

“Daffa juga gak nakal kok, Tante. Dia anaknya baik,” kata Sean, “Saya bilang gini bukan buat melindungi dia karena kami temenan. Tapi saya rasa Tante harus tau semuanya.”

“Daffa terlalu mandiri. Bahkan saking mandirinya Daffa selalu ngerasa gak punya siapa-siapa yang bisa merhatiin dia,” ucapnya, “Dia ngerasa gak punya satu pun tempat bergantung lagi.”

“Dulu, saya juga heran kenapa Daffa tiba-tiba suka males di kelas pas udah masuk SMA...”

Ada rasa takut di dalam benak Sean saat hendak melanjutkan ucapannya.

Dia takut si wanita paruh baya akan tersinggung atau justru menganggap dia ikut campur tanpa paham bagaimana posisi orang tua.

“Tapi setelah saya tanya, Daffa ngelakuin itu semua supaya dapet perhatian dari Tante sama Om aja.”

“Daffa mikir, kalo dia bikin onar terus diomelin sama Tante atau Om, dia bakal ngerasa diperhatiin.”

Mata Bunda berkaca-kaca mendengar penuturan Sean.

“Jujur aja saya juga gak ngerti jalan pikiran Daffa, Tante. Tapi saya tau dia itu rapuh, dia juga butuh sandaran.”

“Jadi yang bisa saya lakukan selama ini cuma dengerin, ngawasin dan nemenin dia.”

“Dan Daffa enggak pernah ngelakuin yang aneh-aneh. Kalo dia keluar malem, Daffa cuma main ke tempat futsal abis itu ke rumah saya, kadang nginep.”

Bunda Daffa mengangguk. Dia lalu meraih tangan Sean di atas meja. Menggenggam nya sambil mengulas senyum.

“Sean, makasih ya udah jadi temen Daffa. Makasih udah jagain anak Tante sama Om.”

Bunda mengulum bibir sejenak. Tapi sebelumnya, Sean melihat jika bibir wanita paruh baya itu bergetar.

“Saya akui, waktu saya dan suami saya untuk Daffa memang gak begitu banyak.”

“Kami mengandalkan kedua kakak Daffa supaya menjaga dan membantu adiknya. Saya dan suami saya berpikir, itu bisa membuat Daffa gak akan tumbuh menjadi anak manja.”

“Cara kami mendidik Daffa juga gak sama seperti Disty sama David, karena karakter mereka pun jauh berbeda.”

“Tapi saya sama suami saya mungkin udah salah langkah. Kami justru terlalu keras sama Daffa. Kami gak ngasih Daffa waktu buat bicara tentang perasaannya.”

Sejenak, Bunda Daffa lantas menunduk. Bersamaan dengan setetes air mata yang jatuh membasahi pipinya. Setelahnya dia kembali menatap wajah Sean.

“Tapi Tante sama Om masih beruntung karena Daffa bisa temenan sama kamu, Sean.”

Bunda lalu tersenyum seraya mengusap punggung tangan Sean dengan ibu jarinya.

“Kalo nanti kamu sama Daffa akhirnya harus pisah karena beda tempat kuliah, tetep jadi temennya Daffa ya, sayang?”

Sean terdiam.

Di satu sisi dia ngerasa si wanita paruh baya udah ngasih lampu hijau kalau Daffa akhirnya dapet izin. Tapi di sisi lain, Sean harus nerima fakta; perpisahannya dengan Daffa benar-benar udah ada di depan mata.

Sean akan turut berbahagia untuk Daffa. Tapi Sean juga gak bisa menyembunyikan kesedihannya. Sebab pada akhirnya mereka memang harus mengejar mimpi di tempat yang berbeda.

“Sean?”

“Eh?” Sean tersadar dari lamunannya, “I-iya, Tante.”

Bunda senyum tipis.

“Saya titip Daffa.”

Sean yang semula lagi sibuk ngerjain contoh soal di meja belajar seketika noleh ketika pintu kamarnya diketuk.

“Iya!” sahutnya.

Gak lama berselang, pintu kamarnya pun dibuka dari luar. Saat itu juga Sean lantas tersenyum sumringah. Sebab Daffa udah berdiri di sana, mengangkat satu tangannya yang menenteng kantong kresek Indomaret.

“Aku bawain cemilan.”

Sean selalu berbunga-bunga ketika Daffa menggunakan sapaan aku-kamu, terlebih secara langsung kayak gini.

“Kan aku udah bilang gak usah bawa apa-apa, Daf.”

Daffa nyamperin Sean. Dia lalu meletakkan kantongan itu di atas meja belajar.

“Tapi aku pengen liat kamu ngemil, Yan.” balas Daffa.

“Aku udah kenyang, Daf.”

“Buat besok kan bisa.”

Sean pun cuma bisa senyum dan terkekeh pas pacarnya itu membungkuk lalu meluk lehernya dari belakang. Daffa kemudian mengecup sebelum nguyel-nguyel pipi kirinya.

“Kamu kok suka banget sih sama pipi aku?” tanya Sean.

“Soalnya kek squishy,” jawab Daffa, “Pengen aku gigit.”

Daffa melepaskan pelukannya di leher Sean. Dia lalu natap buku di atas meja belajarnya sejenak diikuti senyum tipis.

“Deg-degan gak buat besok?”

Sean menggeleng, “Gak sih.”

“Berarti kamu bakal lulus.”

“Dih, tau darimana coba?”

“Waktu mau tes olimpiade dulu kamu juga gak deg-degan kan? Terus kamu lolos.”

“Itu kebetulan doang.”

Daffa ketawa kecil. Dia lalu memijat pelan pundak Sean.

“Aku yakin kamu bakal lulus.”

Sean senyum, “Makasih ya.”

“Mm, sekarang kamu istirahat ya? Besok musti bangun pagi.”

Sean mengangguk patuh. Dia lalu berdiri, membereskan buku-bukunya, sementara Daffa udah lebih dulu duduk di tempat tidur sambil bersandar di kepala ranjang.

“Papa kamu masih di luar kota, Yan?” tanya Daffa.

Sean yang kini duduk di tepi ranjang pun mengangguk.

“Iya, katanya besok siang baru nyampe di sini.”

“Padahal besok tanggal merah ya, tapi Papa kamu malah ga bisa istirahat full.”

Sean mengangguk setuju. Setelahnya dia lantas mengikis jarak dengan Daffa, membungkuk lalu menyandarkan kepala di dada pacarnya itu.

“Daf.”

“Hm?”

“Kamu bener-bener udah yakin mau kuliah di ITB?”

“Iya,” jawab Daffa, “Tapi kek mustahil gak sih kalo aku bisa lulus, Yan?” dia ketawa kecil.

“Kamu bisa kok,” kata Sean lalu mendongak, “Kemarin pas ikut try out UTBK nilai kamu tinggi tau, Daf.”

Sean kemudian memeluk erat pinggang Daffa. Masih dengan tatapan yang terarah ke wajah pacarnya itu.

“Tapi kalo kamu lulus, aku bakal gimana ya nanti?”

Daffa gak merespon dengan kata-kata, tapi dia mengusap lembut puncak kepala Sean.

“Aku belum bisa bayangin gimana hari aku tanpa kamu.”

“Aku setia kok,” kata Daffa yang bikin Sean mendengus.

“Aku gak bahas masalah kamu bisa setia atau enggak, Daf.”

Sean menghela napas, “Tapi keknya aku bakal kesepian banget kalo gak ada kamu.”

“Kita udah terbiasa apa-apa selalu bareng. Jadi pas pisah nanti, pasti rasanya aneh.”

Daffa menipiskan bibirnya. Dia lalu membelai pipi Sean dan menatapnya lekat-lekat.

“Kamu gak mau aku pergi?”

Sean menelan ludah.

Jelas Sean gak mau ngeliat Daffa pergi. Tapi dia lebih gak mau lagi kalau Daffa terus aja dikekang oleh orang tuanya sendiri.

“Aku gak bilang gitu.”

“Tapi kalo aku nyuruh kamu milih, kamu mau aku pergi atau gak?” tanya Daffa.

Sean terdiam sejenak. Dia lalu beralih memeluk leher Daffa, menghirup wangi parfum di tubuh pacarnya sejenak sambil menutup matanya.

“Aku mau kamu pergi...”

“Aku mau kamu bisa ngelakuin hal yang kamu suka kali ini, Daf.”

“Mungkin bakal berat buat aku, buat kamu juga. Tapi emang gini kan siklus kehidupan? Mau gak mau kita emang harus bisa terbiasa.”

Daffa mengulum bibirnya saat mendengar penuturan Sean. Bersamaan dengan kedua lengannya yang memeluk erat pinggang Sean.

Tapi gak lama berselang, ketukan pintu kamar dari luar bikin dua anak manusia itu seketika melepas tautannya. Setelahnya, Sean pun bergegas ke sumber suara, membuka pintunya hingga mendapati sang Mama.

“Ada kiriman paket.”

“Oh? Makasih, Ma.” ucap Sean, “Tapi kok aku gak denger kurir manggil tadi? Aku juga gak dichat tumben.”

“Soalnya pas kurir tadi baru buka hp, Mama lagi di depan juga, ketemu sama Bu Ayana. Jadi sekalian aja Mama minta paket kamu.”

Sean mengangguk paham. Tapi setelahnya, dia lantas menahan napas ketika mendapati si Mama melirik ke dalam kamarnya sejenak.

“Ya udah, Mama ke bawah sekarang. Inget, jangan tidur kemaleman, Yan.”

“Iya, Ma.”

Sean baru bisa bernapas lega setelah melihat wanita paruh baya itu berbalik. Dia pun langsung menutup pintu sebelum menatap pacarnya.

“Abis beli apa?” tanya Daffa.

“Kepo deh.”

Sean berucap jenaka sebelum memasukkan paket yang dibawanya ke dalam lemari.

“Emang isinya apa sih? Kok gak dibuka paketnya?”

“Ih, suka-suka aku lah mau buka paketnya kapan.”

Daffa menipiskan bibir sambil melipat lengan di depan dada. Sementara Sean justru ketawa kecil ngeliat Daffa.

“Aku nanya baik-baik loh.”

“Aku juga jawabnya baik-baik kan?” balas Sean sebelum kembali duduk di samping pacarnya, “Penasaran yaaa?”

“Gak sih, biasa aja.”

Sean mendesis. Dia kemudian menggelitik pinggang Daffa sampai empunya ketawa.

“Yan, udah. Entar Mama kamu denger aku ketawa.”

“Biarin. Biar kamu diomelin.”

Sean masih menggelitik pinggang Daffa. Tapi gak lama berselang, Daffa pun menahan lengannya, dengan sigap mengungkungnya. Begitu cepat, bikin Sean gak sempat untuk berontak.

“Mau ngapain?” tanya Sean.

Daffa senyum usil, “Emang enaknya ngapain, Yan?”

“Enaknya bobo.”

“Kamu bobo abis ini. Gosok gigi sama cuci kaki dulu gih.”

“Aku udah gosok gigi.”

“Ya udah, sekarang cuci kaki.”

“Ish!”

“Kok malah bilang ish?”

Sean merentangkan kedua lengannya ke arah Daffa.

“Cium dulu,” ucap Sean setengah berbisik.

Daffa yang melihat tingkah pacarnya pun senyum gemas. Dia membungkuk, sementara Sean memeluk tengkuknya.

“Mau dicium aja apa mau dicium banget?” bisik Daffa.

Sean mengulum senyum.

“Mau dicium banget.”

Mendengar jawaban Sean, Daffa lantas mengikis jarak wajah mereka. Tapi sebelum apa yang mereka inginkan terealisasikan, handphone Sean tiba-tiba berdenting.

“Siapa?”

Daffa bertanya dengan nada rendah saat Sean meraih handphonenya, guna melihat siapa yang mengirim pesan.

“Ibra.”

“Gue nunggu di sini aja ya.”

Sean yang baru turun dari motor Daffa merenggut.

“Gak, kita musti sarapan bareng. Ayo masuk buru. Gue belum pake seragam nih.”

“Gue masih kenyang, Yan.”

“Kenyang gimana? Orang di rumah lu tadi lu cuma minum air putih,” Sean lalu menarik lengan pacarnya, “Ayo, Daf.”

Si cowok berlesung pipi cuma bisa pasrah. Pada akhirnya dia pun menurut, mengikuti langkah Sean masuk ke dalam rumah. Hingga sesampainya di ruang tengah, mereka pun mendapati Papa Sean di sana. Duduk pada sofa sambil menatap handphone nya.

“Serius amat, Pa.”

“Eh? Udah dateng, Yan.”

Papa Sean kemudian menyunggingkan senyum ke arah sang anak juga Daffa.

“Daf, selamat ulang tahun ya.”

Daffa ikut tersenyum. Dia lalu Mengangguk pelan sebelum berucap, “Terima kasih, Om.”

“Daf, lu tunggu di sini ya. Gue mau ke kamar, pake seragam.”

“Semalem kan Papa udah bilangin, kenapa gak sekalian aja bawa seragam sama tas ke rumah Daffa kalo emang mau nginep,” kata si pria paruh baya, “Kan jadi repot sendiri.”

“Gak kok, Pa. Lagian baru jam segini, masih pagi banget.”

Papa Sean cuma bisa geleng-geleng kepala ngeliat anaknya lantas berlari menaiki tangga. Setelahnya, dia pun menoleh ke arah Daffa lalu berkata.

“Sini, Daf. Duduk di sofa dulu, nungguin si Abang rempong.”

Daffa terkekeh. Dia pun ikut duduk pada sofa yang berada di sisi kiri si pria paruh baya.

“Gimana kelas dua belas, Daf?”

Seperti biasa. Daffa selalu dibuat kaget ketika orang tua Sean mulai menanyakan tentang sekolah atau bahkan hal kecil tentang dirinya. Sebuah kebiasaan yang justru gak pernah Daffa rasakan dari Ayah ataupun Bunda nya.

“Gak jauh beda sama kelas sebelas, Om. Banyak tugas,” kata Daffa, “Tapi bebannya nambah dikit, soalnya udah mikirin persiapan UTBK juga.”

Papa Sean ketawa kecil lalu mengangguk paham akan keluh kesah Daffa barusan.

“Emang berat rasanya kalo udah ada di tingkat akhir, Daf. Tapi biasanya waktu gak bakal kerasa. Tau-tau besok udah ujian nasional aja.”

Daffa senyum sambil mengangguk setuju.

“Jadi udah ada rencana mau lanjut kuliah di mana, Daf?”

“Iya, Om. Rencananya saya mau di ITB,” jawab Daffa.

“Bagus. Kalo nanti kamu lulus di sana, kita satu almamater,” kata Papa Sean, “Mau ngambil jurusan apa, Daf? Teknik?”

Daffa menelan ludah. Sedikit ragu buat ngasih tau jawaban atas pertanyaan Papa Sean. Sebab dia justru teringat dengan respon dari Ayahnya yang sangat menentang itu.

“Saya mau ngambil jurusan Desain Komunikasi Visual, Om.”

“DKV ya?”

“Iya, Om.”

“Keren tuh, Daf. Apalagi jaman sekarang industri kreatif makin banyak,” katanya, “Orang-orang DKV di kantor Om isinya juga kebanyakan anak muda.”

Daffa terenyuh. Respon Papa Sean benar-benar berbanding terbalik dengan sang Ayah.

“Kalo Om boleh tau, kenapa kamu mau masuk jurusan itu, Daf?” tanya Papa Sean lagi.

“Karena saya ngerasa passion saya ada di sana, Om. Saya tertarik sama dunia design, saya suka seni dan gambar.”

“Awalnya mau Arsitek, tapi setelah baca-baca literatur lagi, saya ngerasa lebih condong ke DKV,” jelasnya.

Papa Sean kembali tersenyum sambil mengangguk. Dia lalu mengacungi jempol ke Daffa.

“Bagus, emang harus gitu.” katanya, “Soalnya Om sering liat banyak kasus, ada yang salah masuk jurusan—karena pas milih mereka ikut-ikutan doang. Atau gak karena disuruh sama orang tuanya.”

“Padahal dunia perkuliahan itu gak mudah loh. Masuknya aja susah, apalagi keluarnya. Jadi kalo pas dijalanin aja gak sesuai sama passion, entar rasanya bakal lebih berat.”

“Hm, Papa, Papa. Masih pagi gini udah ceramah aja.”

Baik itu Daffa mau pun si pria paruh baya lantas menoleh ke sumber suara. Keduanya pun tersenyum melihat Mama Sean baru aja nyamperin mereka di ruang tengah.

“Daf, selamat ulang tahun ya.”

“Makasih banyak, Tante. Kue bikinan Tante enak banget.”

“Diabisin sama temen-temen kamu juga gak, Daf? Kalo iya, entar Tante bikinin lagi.”

Daffa memaksakan senyum. Dia lagi-lagi ngerasa bersalah karena mengingat fakta kalau Sean bohong ke Mama nya.

“Ma, sarapan udah siap gak?”

Belum sempat Daffa menjawab, atensinya juga Mama dan Papa Sean seketika beralih ke arah tangga. Dimana Sean berada di sana. Merapikan kerah seragamnya.

“Udah, Yan. Ini Mama tadi mau manggil Papa terus ngeliat Daffa,” jawabnya.

Mama Sean lalu beralih natap suaminya juga Daffa sejenak.

“Pa, Daffa, ayo.”

“Ibra udah dipanggil, Ma?”

“Udah, Pa. Anaknya masih nyisir rambut tadi di kamar.”

“Ayo,” ajak Sean yang kini berdiri di samping Daffa.

Mereka semua pun berjalan beriringan ke ruang makan. Begitu juga dengan Ibra yang menyusul di belakang. Gak lupa pula ngucapin selamat ulang tahun ke Daffa.

Sampai saat semuanya sudah duduk pada kursi masing-masing, Sean lantas senyum sumringah melihat menu sarapan yang disiapkan Mamanya.

“Daf, hampir aja lu nyesel kalo tadi cuma nungguin gue di depan pager. Liat Mama abis masak apa,” kata Sean lalu menunjuk makanan di atas meja.

“Nasi uduk kesukaan lu nih, lengkap sama sambelnya.”

Daffa cuma tersenyum tipis lalu menyikut lengan Sean. Dia kemudian melirik Mama pacarnya hingga mendapati wanita paruh baya itu natap dia sama Sean bergantian.

“Makan yang banyak, Daf. Anggap aja ini buat ngerayain ulang tahun kamu, dari Om sama Tante,” kata Papa Sean.

“Makasih banyak, Om.”

“Gak usah malu-malu,” cibir Sean yang bikin Daffa cuma bisa geleng-geleng kepala.

“Daf, ini sambelnya.”

Daffa mengangguk kecil saat Mama Sean menyodorkan wadah berisi sambel padanya.

“Makasih, Tante.”

“Pelan-pelan,” ucap Sean refleks saat melihat Daffa mengambil satu sendok penuh sambal ke piringnya.

Daffa pun seketika menatap wajah Sean sebelum melirik ke arah Mama juga Papa pacarnya itu sekilas.

“Kok Daffa malah disuruh pelan-pelan? Anaknya gak lagi ngebut kok itu,” canda Papa Sean.

“Gak, Pa. Maksudnya supaya dia pelan-pelan makan sambel. Mules tau rasa dah.”

Sadar jika Mama Sean masih memperhatikannya, Daffa lantas berdeham pelan.

“Gue kan jago, emang elu. Makan bubuk cabe Indomie aja gak bisa,” tutur Daffa.

“Sialan lu, Daf.”

“Mm. Udah, udah. Malah berantem di depan makanan,” tegur Mama Sean, “Makan gih, entar telat ke sekolah.”

Daffa tersenyum kikuk sebelum mulai menyantap nasi uduk di hadapannya. Tapi entah kenapa, dari ekor matanya dia justru ngerasa kalau si wanita paruh baya masih natap dia juga Sean.

Atau dia justru cuma overthinking karena takut Mama Sean curiga? Pikirnya.

Daffa melenguh ketika gendang telinganya menangkap bunyi nyaring dari handphone nya. Setelahnya dia lantas terbangun, membuka mata lalu meraih benda persegi itu.

Mata Daffa pun refleks menyipit saat mendapati nama Sean terpampang di sana. Dia lalu mencoba mengumpulkan kesadaran nya, tapi Daffa justru semakin dibuat heran sebab jam pada handphone nya menunjukkan angka dua belas malam.

Sayangnya, baru saja Daffa hendak menjawab panggilan dari Sean, handphone nya sudah lebih dahulu berhenti berdering. Tapi setelah itu, Daffa seketika melotot. Pasalnya di sana, ia bisa melihat pesan Sean beberapa menit silam. Juga panggilan-panggilan tidak terjawabnya.

Buru-buru Daffa bangun, bangkit dari tempat tidur lalu meraih hoodie nya. Sambil memasang hoodie, dia lantas menelpon nomor Sean. Tapi pacarnya itu justru tidak menjawab panggilannya.

Daffa panik.

Detak jantungnya pun seketika bergemuruh.

Apa yang terjadi? Pikir Daffa sebelum berlari ke luar dari kamar hingga akhirnya sampai di teras depan rumah. Dia berjalan tergesa ke garasi, mengeluarkan motornya sejenak sebelum kembali bergegas ke arah pagar lalu membuka pintunya.

“Happy birthday, Daffa.”

Helm yang tanpa sadar Daffa pegang sedari tadi—ketika mengeluarkan motor dari garasi lantas terjatuh. Menimbulkan bunyi yang cukup keras. Dia lemas. Sementara Sean yang saat ini sedang berdiri di hadapannya sembari memegangi kue tart lengkap dengan lilin lantas tertawa kecil melihatnya.

“Yan, lu mau bikin gue mati?”

Napas Daffa memburu. Dadanya terasa berat setelah tadi berlari kencang dari kamar hingga di depan pagar.

“Gue udah mikir yang enggak-enggak. Gue takut lu kenapa-kenapa.”

“Ish! Kalo mau ngomel entar aja, tiup lilin dulu. Keburu abis nih lilinnya,” kata Sean.

Daffa geleng-geleng kepala. Setelahnya dia lantas meniup lilin dari kue yang dipegang Sean hingga padam. Bikin pacarnya itu lantas senyum.

“Masuk dulu,” Daffa memberi jalan supaya Sean segera masuk ke halaman rumahnya.

“Helm jangan lupa.”

“Iya.”

Sean nahan dirinya buat gak ketawa pas liat Daffa kembali masukin motor ke garasi.

“Lecet gak helmnya?”

“Gak kok.”

Daffa kemudian membuka pintu utama untuk Sean.

“Nih liat, gue sampe lupa ngunci pintu rumah lagi saking paniknya tadi.”

Sean yang kini mengekor di belakang Daffa pun terkekeh. Sampai saat mereka tiba di ruang tengah, Sean lalu meletakkan kue tart yang dibawanya di atas meja.

Dua anak manusia itu pun sama-sama mendaratkan bokongnya di atas sofa. Saling bertukar tatapan sejenak sebelum Daffa akhirnya menarik lengan Sean, membawanya ke dalam pelukan erat nan hangat.

“Panjang umur ya, Daf.”

Sean bergumam sambil mengusap punggung Daffa.

“Mm,” Daffa lalu terkekeh, “Makasih loh udah bikin gue hampir mati mendadak.”

Sean senyum, mendorong pelan dada Daffa sampai dia bisa ngeliat wajah pacarnya.

“Gue orang pertama gak nih yang ngucapin happy birthday ke lu?” tanyanya.

“Iya. Emang siapa lagi coba? Cuma lu doang yang selalu inget ulang tahun gue, Yan.”

Daffa mengusap kepala Sean.

“Lu bela-belain dateng ke sini jam dua belas malem cuma karena pengen jadi orang pertama yang ngucapin?”

“Mm.”

“Kan nelpon atau chat bisa.”

“Tapi gue sekalian mau ngasih lu surprise, Daf.”

Daffa decakin lidah, “Terus lu ke sini bareng siapa tadi? Gue gak liat lu bawa motor.”

“Naik ojek online,” Sean cengar-cengir, “Gue gak bisa bawa motor. Takut kuenya penyok duluan di jalan.”

“Lama gak nunggu gue keluar terus buka pintu pagar tadi?”

Sean menggeleng, “Gak juga. Lima belas menit ada kali?”

“Tapi tadi gue udah panik duluan sih. Kirain lu nyalain mode do not disturb handphone lu tau gak?”

“Apalagi lu lama banget jawab telpon gue,” jelas Sean diikuti tawanya. Sementara Daffa refleks nyubit kedua pipinya.

“Untung gue kebangun. Kalo gak, lu mau gimana coba?”

“Ya gue pulang,” jawab Sean.

“Dasar,” Daffa lagi-lagi nyubit pipi pacarnya, “Terus Mama sama Papa lu bilang apa pas lu izin keluar rumah jam segini?”

“Gue terpaksa boong kalo mau ke rumah lu bareng temen-temen yang lain.”

Sean menjatuhkan pundak, “Kalo gue bilang mau ke sini sendirian kan entar...”

Daffa mengangguk paham. Dia lalu menangkup wajah Sean, membelainya dengan ibu jari sejenak lalu berkata.

“Maaf ya, Yan. Gara-gara pacaran sama gue, lu jadi sering boong ke orang tua lu.”

Daffa senyum hambar.

“Kalo aja waktu itu gue tetep diem dan gak jujur tentang perasaan gue, mungkin kita gak bakal sampai sejauh ini.”

Penuturan Daffa bikin Sean menepis tangan pacarnya.

“Maksud lu ngomong gini apa sih, Daf? Lu nyesel pacaran sama gue?”

“Gak, Yan. Tapi gue tiba-tiba ngerasa bersalah aja.”

Sean mendengus. Sementara Daffa refleks menunduk.

“Daf, gue datang ke sini buat ngerayain hari ulang tahun lu. Buat liat lu seneng,” kata Sean lalu membelai pipi pacarnya.

“Bukan malah murung kayak gini,” jelasnya. “Kalo lu sedih, gue bakal lebih sedih lagi.”

Daffa tersenyum haru. Berbagai kata yang menggambarkan kebahagiaannya saat ini justru gak bisa dia ungkapkan lagi dengan kata-kata. Alhasil, dia dan Sean hanya kembali berbagi kehangatan melalui pelukan. Seolah dari sana pula mereka menyampaikan secara tersirat bahwa keduanya hanya ingin tetap bersama. Seperti saat ini.

“Yan.”

“Mm?”

“Gue gak tau apa jadinya kalau bukan lu yang ada di samping gue sampai hari ini.”

Sean menyimak.

“Hidup gue udah berantakan dan menyedihkan banget sejak awal.”

Daffa menunduk. Mengecup pundak Sean beberapa saat.

“Tuhan kayaknya nitipin lu ke gue supaya gue jadi orang yang lebih baik.”

“Tapi rasanya gue malah gak pengen ngelepasin lu, Yan.”

Sean semakin mengeratkan pelukannya, begitu pun dengan Daffa yang menenggelamkan wajah di pundaknya.

“Gue juga gak mau,” balas Sean, “Jangan lepasin gue, Daf.”

Daffa mengangguk selagi mereka masih berbagi dekapan selama beberapa saat, sebelum akhirnya melepaskan pelukan itu.

“Lu mau langsung bobo lagi, apa mau makan kue dulu?”

“Mau makan kue dulu,” jawab Daffa, “Pacar gue udah bela-belain bawa kue. Masa gak langsung gue makan sih?”

Sean berdecih. Setelahnya dia lantas meraih pisau plastik yang ada dalam kotak kue lalu menyodorkannya ke Daffa.

“Potong kuenya. Gue ke dapur dulu, ngambil piring.”

“Gak usah, Yan.”

“Lah? Terus?”

Sean semakin dibuat heran ketika Daffa justru meletakkan pisau kue tadi di atas meja. Tapi setelahnya dia lantas tersentak pas pacarnya itu tiba-tiba mencolek krim kue sebelum mengoleskannya di wajahnya.

“Ih, Daffa!”

Sean gak mau kalah. Dia pun melakukan hal yang sama. Mengoleskan krim kue di pipi Daffa, sambil ketawa kecil.

“Udah ah, jadi belepotan gini. Kalau gak mau dimakan dulu, biar gue masukin ke kulkas.”

“Mau, Yan.”

“Ya udah, biar gue ambilin piring sama sendok.”

“Dibilang gak usah.”

Daffa pun memotong kuenya sebelum memegang potongan kue itu dengan tangan lalu melahapnya. Bikin Sean cuma bisa geleng-geleng kepala sambil senyum. Terlebih saat dia ngeliat Daffa begitu lahap.

Padahal pacarnya itu gak terlalu suka dengan kue yang pada dasarnya manis.

“Pelan-pelan, Daffa.”

“Enak banget, Yan. Mama lu yang bikin ya?” tanya Daffa.

“Iya, gue mesen sama Mama.”

“Pantes rasanya pas. Gak terlalu manis. Gue suka.”

Daffa lalu menahan senyum.

“Apalagi dibawain sama pacar, keknya itu deh yang bikin kuenya makin enak.”

“Ngalus mulu lu,” cibir Sean, “Makan buru, besok sekolah. Gue juga gak pernah tidur di rumah sebelum ke sini tau.”

“Ya udah, lu ke kamar duluan gih. Gue beresin ini dulu.”

“Makan aja, Daf. Gue nungguin elu kok.”

“Ya udah, satu kali suap lagi.”

Sean terkekeh melihat Daffa melahap satu lagi potongan kue yang cukup besar. Sampai-sampai sudut bibirnya belepotan.

“Daf.”

“Hm?”

Daffa lantas membeku selama beberapa saat. Sebab Sean tiba-tiba menarik pelan tengkuknya sebelum menyapu permukaan bibirnya dengan lidah sejenak lalu diakhiri kecupan lembut.

Sementara itu, Sean yang kini kembali menatap wajah Daffa lantas mengulum senyum. Tersipu sendiri ketika menyadari apa yang sudah dia lakukan ke pacarnya tadi.

“Segitu doang?”

“Apanya?”

“Ciumannya.”

“Ciuman apaan,” kata Sean lalu melirik ke arah lain, masih sambil menahan senyum nya, “Orang gue cuma bersihin bibir lu. Belepotan tadi. Ada krim.”

Mata Daffa memicing. Setelahnya, dia kemudian mengoleskan krim di permukaan bibirnya lalu menunjukkannya ke Sean.

“Bersihin, Yan.”

“Gak,” balas Sean lalu bangkit dari sofa, “Gue mau ke kamar duluan. Masukin kue lu ke kulkas entar, jangan lupa.”

“Tapi bibir gue belum dibersihin lagi, Sean.”

“Bersihin sendiri,” ucap Sean sebelum berlari ke arah tangga menuju kamar Daffa.

“Ma, aku mau nginep di rumah Daffa ya? Sekalian nemenin dia jaga rumah.”

Sean meminta izin.

Si wanita paruh baya yang semula membantu salah satu karyawannya untuk menghias kue lantas menoleh.

“Emang orang rumah Daffa ke mana, Yan?” tanyanya.

“Ke luar kota, besok Abang nya ada acara wisudaan.”

“Terus kenapa dia gak ikut?”

“Abang sama orang tuanya bakal stay tiga hari di luar kota, Ma. Daffa gak mau izin gak masuk sekolah selama itu. Udah kelas dua belas.”

“Mm,” Mama Sean bergumam pelan sambil mengangguk.

Setelahnya, wanita paruh baya itu pun melepas sarung tangannya. Dia lalu berjalan ke arah Sean yang duduk di depan meja, gak jauh darinya.

“Tapi inget, jangan kelayapan.”

“Enggak kok, Ma. Aku sama Daffa juga mau belajar.”

“Yan, Mama boleh ngomong sesuatu gak?” tanya Mama.

Sean yang mendengar itu pun seketika memusatkan atensi ke wanita paruh baya. Mama nya udah duduk di sebelah nya—natap wajah dia serius.

“Ngomong apa, Ma?”

“Kamu sama Daffa kan udah waktunya fokus belajar buat UTBK, apa dengan belajar bareng gak bikin kalian saling mengganggu gitu?” tanyanya.

Si Mama lalu menarik napas.

“Maksud Mama, kali aja salah satu di antara kalian ada yang gak bisa konsen belajar kalau ada temennya. Kan sayang...”

“Aku bisa konsentrasi kalo ada temen kok, Ma. Justru kalo ada temen jadi lebih semangat, gak bosen juga.”

“Terus Daffa?” sela si Mama.

“Aku liat Daffa juga gitu, Ma. Kita kalo belajar sama-sama fokus, gak banyak ngobrol. Jadi gak saling ganggu kok.”

Mama Sean mengangguk paham seraya menepuk pundak anaknya pelan.

“Ya udah. Gak apa-apa. Mama cuma khawatir tadi,” katanya.

Sementara itu, Sean seketika meremas jemarinya di bawah meja. Dia ingin berkata, tapi justru dihampiri rasa ragu.

“Ng... Ma?”

“Mm?”

“Aku mau pesen kue ulang tahun satu. Buat besok lusa.”

“Siapa yang ulang tahun?”

“Daffa, Ma.”

Sean menelan ludah ketika Mamanya terdiam sambil natap wajah dia lekat-lekat. Ini emang pertama kalinya dia minta dibikinin kue buat temennya. Sebelumnya dia sendiri bahkan ragu buat bilang ke Mama nya. Takut kalau si wanita paruh baya justru menyimpan curiga.

“Aku sama temen-temen yang lain mau ngasih dia kejutan,” terpaksa Sean harus bohong.

“Jadi gak usah cantik-cantik banget kuenya, Ma. Entar juga bakal dipake buat muka dia,” jelasnya yang bikin si Mama menggeleng heran.

“Anak-anak sekarang kenapa sih suka banget mubazir kue ulang tahun? Mama sedih.”

Sean ketawa pelan.

“Buat seru-seruan, Ma.”

“Tapi tetep aja loh. Itu kue dibikin pake tenaga, pake kreasi, kok dibuang-buang.”

“Ya udah, aku gak bakal pake kue buatan Mama buat nampol wajah Daffa. Janji.”

Mama Sean memicingkan mata sebelum tersenyum. Bikin Sean diam-diam menghela napas lega. Sebab gak ada pertanyaan lebih lanjut dari Mama nya.

“Mau diambil jam berapa?”

“Malem aja, Ma. Sebelum store tutup gak apa-apa.”

“Oke.”

“Ya udah, aku pulang ke rumah sekarang ya, Ma.”

“Mm, pulang sana. Kamu sama Ibra jangan lupa makan.”

“Iyaaa. Dah, Mama!”

“Hati-hati ya, sayang.”

Si wanita paruh baya gak henti-henti memandangi Sean yang perlahan melangkah, meninggalkan dapur store nya. Setelahnya dia lantas menghela napas sebelum berdiri. Kembali nyamperin karyawannya dan membantu seperti semula.

***

“Nih, udah gue siapin pocky dan kawan-kawan dari tadi.”

Sean terkekeh sebelum duduk di sofa ruang tengah rumah Daffa. Sementara di meja udah ada satu kantong cemilan yang Daffa bilang.

“Kak Disty ikut?”

“Iya, ikut. Dibilang gue sendirian di sini,” kata Daffa.

“Kenapa lu gak ikut aja sih, Daf? Sayang banget loh kalo Bang David foto kelulusan tapi adiknya malah gak ada.”

“Padahal bagus kalo ada foto anggota keluarga lengkap.”

“Anggota keluarga mereka udah lengkap kok,” jawab Daffa seraya menyandarkan punggung di badan sofa.

“Ada atau gak ada gue juga sama aja,” sambungnya.

“Jangan bilang gitu, Daf.”

“Kenapa?” Daffa ketawa ringan, “Gue gak apa-apa.”

“Kan gue punya lu, Yan.”

Sean menghela napas. Dia lalu menyandarkan kepala di bahu Daffa sambil natap ke layar telivisi di depan mereka.

“Kalo nanti gue yang wisudaan, lu harus dateng pokoknya. Gak mau tau.”

Daffa senyum. Mengacak-acak rambut Sean sebelum mengecup lembut puncak kepala pacarnya itu.

“Gue pasti dateng buat lu.”

Sean mendongak, “Janji?”

“Janji,” jawab Daffa.

Keduanya refleks saling melemparkan senyum manis sebelum Daffa tiba-tiba menyeringai usil. Dia lalu mendorong pelan tubuh Sean, mengungkungnya sampai pacarnya itu berbaring dengan lengan sofa berada di bawah kepalanya.

“Daf! Lu mau ngapain?”

“Mau nguyel-nguyel pipi lu.”

“Gak mau!”

Sekuat apapun Sean berteriak dan mendorong dada Daffa, dia tetap kalah. Alhasil, Sean cuma bisa pasrah. Sesekali ketawa karena sentuhan Daffa.

Sampai saat pacarnya itu menyejajarkan wajah mereka, Sean mati-matian menahan senyumnya. Matanya lantas tertuju ke bibir Daffa yang bikin dia refleks mengangkat sedikit kepalanya—berniat melumat bibir manis itu.

“Mau apa?” tanya Daffa.

Senyum jenaka pun terlukis di bibir penuh si cowok pemilik lesung pipi itu. Bikin Sean kembali menyandarkan kepala di lengan sofa sambil natap Daffa dengan datar.

“Mau nanem ubi.”

“Nanem ubi di mulut gue?”

Sean mendengus, “Mau nyium lu lah, beg—”

Sean gak perlu melanjutkan ucapannya. Sebab Daffa udah lebih dahulu nyium bibirnya. Dia lalu melingkarkan kedua lengannya di tengkuk Daffa selagi bibir mereka saling melumat dengan lembut.