Daffa melenguh ketika gendang telinganya menangkap bunyi nyaring dari handphone nya. Setelahnya dia lantas terbangun, membuka mata lalu meraih benda persegi itu.
Mata Daffa pun refleks menyipit saat mendapati nama Sean terpampang di sana. Dia lalu mencoba mengumpulkan kesadaran nya, tapi Daffa justru semakin dibuat heran sebab jam pada handphone nya menunjukkan angka dua belas malam.
Sayangnya, baru saja Daffa hendak menjawab panggilan dari Sean, handphone nya sudah lebih dahulu berhenti berdering. Tapi setelah itu, Daffa seketika melotot. Pasalnya di sana, ia bisa melihat pesan Sean beberapa menit silam. Juga panggilan-panggilan tidak terjawabnya.
Buru-buru Daffa bangun, bangkit dari tempat tidur lalu meraih hoodie nya. Sambil memasang hoodie, dia lantas menelpon nomor Sean. Tapi pacarnya itu justru tidak menjawab panggilannya.
Daffa panik.
Detak jantungnya pun seketika bergemuruh.
Apa yang terjadi? Pikir Daffa sebelum berlari ke luar dari kamar hingga akhirnya sampai di teras depan rumah. Dia berjalan tergesa ke garasi, mengeluarkan motornya sejenak sebelum kembali bergegas ke arah pagar lalu membuka pintunya.
“Happy birthday, Daffa.”
Helm yang tanpa sadar Daffa pegang sedari tadi—ketika mengeluarkan motor dari garasi lantas terjatuh. Menimbulkan bunyi yang cukup keras. Dia lemas. Sementara Sean yang saat ini sedang berdiri di hadapannya sembari memegangi kue tart lengkap dengan lilin lantas tertawa kecil melihatnya.
“Yan, lu mau bikin gue mati?”
Napas Daffa memburu. Dadanya terasa berat setelah tadi berlari kencang dari kamar hingga di depan pagar.
“Gue udah mikir yang enggak-enggak. Gue takut lu kenapa-kenapa.”
“Ish! Kalo mau ngomel entar aja, tiup lilin dulu. Keburu abis nih lilinnya,” kata Sean.
Daffa geleng-geleng kepala. Setelahnya dia lantas meniup lilin dari kue yang dipegang Sean hingga padam. Bikin pacarnya itu lantas senyum.
“Masuk dulu,” Daffa memberi jalan supaya Sean segera masuk ke halaman rumahnya.
“Helm jangan lupa.”
“Iya.”
Sean nahan dirinya buat gak ketawa pas liat Daffa kembali masukin motor ke garasi.
“Lecet gak helmnya?”
“Gak kok.”
Daffa kemudian membuka pintu utama untuk Sean.
“Nih liat, gue sampe lupa ngunci pintu rumah lagi saking paniknya tadi.”
Sean yang kini mengekor di belakang Daffa pun terkekeh. Sampai saat mereka tiba di ruang tengah, Sean lalu meletakkan kue tart yang dibawanya di atas meja.
Dua anak manusia itu pun sama-sama mendaratkan bokongnya di atas sofa. Saling bertukar tatapan sejenak sebelum Daffa akhirnya menarik lengan Sean, membawanya ke dalam pelukan erat nan hangat.
“Panjang umur ya, Daf.”
Sean bergumam sambil mengusap punggung Daffa.
“Mm,” Daffa lalu terkekeh, “Makasih loh udah bikin gue hampir mati mendadak.”
Sean senyum, mendorong pelan dada Daffa sampai dia bisa ngeliat wajah pacarnya.
“Gue orang pertama gak nih yang ngucapin happy birthday ke lu?” tanyanya.
“Iya. Emang siapa lagi coba? Cuma lu doang yang selalu inget ulang tahun gue, Yan.”
Daffa mengusap kepala Sean.
“Lu bela-belain dateng ke sini jam dua belas malem cuma karena pengen jadi orang pertama yang ngucapin?”
“Mm.”
“Kan nelpon atau chat bisa.”
“Tapi gue sekalian mau ngasih lu surprise, Daf.”
Daffa decakin lidah, “Terus lu ke sini bareng siapa tadi? Gue gak liat lu bawa motor.”
“Naik ojek online,” Sean cengar-cengir, “Gue gak bisa bawa motor. Takut kuenya penyok duluan di jalan.”
“Lama gak nunggu gue keluar terus buka pintu pagar tadi?”
Sean menggeleng, “Gak juga. Lima belas menit ada kali?”
“Tapi tadi gue udah panik duluan sih. Kirain lu nyalain mode do not disturb handphone lu tau gak?”
“Apalagi lu lama banget jawab telpon gue,” jelas Sean diikuti tawanya. Sementara Daffa refleks nyubit kedua pipinya.
“Untung gue kebangun. Kalo gak, lu mau gimana coba?”
“Ya gue pulang,” jawab Sean.
“Dasar,” Daffa lagi-lagi nyubit pipi pacarnya, “Terus Mama sama Papa lu bilang apa pas lu izin keluar rumah jam segini?”
“Gue terpaksa boong kalo mau ke rumah lu bareng temen-temen yang lain.”
Sean menjatuhkan pundak, “Kalo gue bilang mau ke sini sendirian kan entar...”
Daffa mengangguk paham. Dia lalu menangkup wajah Sean, membelainya dengan ibu jari sejenak lalu berkata.
“Maaf ya, Yan. Gara-gara pacaran sama gue, lu jadi sering boong ke orang tua lu.”
Daffa senyum hambar.
“Kalo aja waktu itu gue tetep diem dan gak jujur tentang perasaan gue, mungkin kita gak bakal sampai sejauh ini.”
Penuturan Daffa bikin Sean menepis tangan pacarnya.
“Maksud lu ngomong gini apa sih, Daf? Lu nyesel pacaran sama gue?”
“Gak, Yan. Tapi gue tiba-tiba ngerasa bersalah aja.”
Sean mendengus. Sementara Daffa refleks menunduk.
“Daf, gue datang ke sini buat ngerayain hari ulang tahun lu. Buat liat lu seneng,” kata Sean lalu membelai pipi pacarnya.
“Bukan malah murung kayak gini,” jelasnya. “Kalo lu sedih, gue bakal lebih sedih lagi.”
Daffa tersenyum haru. Berbagai kata yang menggambarkan kebahagiaannya saat ini justru gak bisa dia ungkapkan lagi dengan kata-kata. Alhasil, dia dan Sean hanya kembali berbagi kehangatan melalui pelukan. Seolah dari sana pula mereka menyampaikan secara tersirat bahwa keduanya hanya ingin tetap bersama. Seperti saat ini.
“Yan.”
“Mm?”
“Gue gak tau apa jadinya kalau bukan lu yang ada di samping gue sampai hari ini.”
Sean menyimak.
“Hidup gue udah berantakan dan menyedihkan banget sejak awal.”
Daffa menunduk. Mengecup pundak Sean beberapa saat.
“Tuhan kayaknya nitipin lu ke gue supaya gue jadi orang yang lebih baik.”
“Tapi rasanya gue malah gak pengen ngelepasin lu, Yan.”
Sean semakin mengeratkan pelukannya, begitu pun dengan Daffa yang menenggelamkan wajah di pundaknya.
“Gue juga gak mau,” balas Sean, “Jangan lepasin gue, Daf.”
Daffa mengangguk selagi mereka masih berbagi dekapan selama beberapa saat, sebelum akhirnya melepaskan pelukan itu.
“Lu mau langsung bobo lagi, apa mau makan kue dulu?”
“Mau makan kue dulu,” jawab Daffa, “Pacar gue udah bela-belain bawa kue. Masa gak langsung gue makan sih?”
Sean berdecih. Setelahnya dia lantas meraih pisau plastik yang ada dalam kotak kue lalu menyodorkannya ke Daffa.
“Potong kuenya. Gue ke dapur dulu, ngambil piring.”
“Gak usah, Yan.”
“Lah? Terus?”
Sean semakin dibuat heran ketika Daffa justru meletakkan pisau kue tadi di atas meja. Tapi setelahnya dia lantas tersentak pas pacarnya itu tiba-tiba mencolek krim kue sebelum mengoleskannya di wajahnya.
“Ih, Daffa!”
Sean gak mau kalah. Dia pun melakukan hal yang sama. Mengoleskan krim kue di pipi Daffa, sambil ketawa kecil.
“Udah ah, jadi belepotan gini. Kalau gak mau dimakan dulu, biar gue masukin ke kulkas.”
“Mau, Yan.”
“Ya udah, biar gue ambilin piring sama sendok.”
“Dibilang gak usah.”
Daffa pun memotong kuenya sebelum memegang potongan kue itu dengan tangan lalu melahapnya. Bikin Sean cuma bisa geleng-geleng kepala sambil senyum. Terlebih saat dia ngeliat Daffa begitu lahap.
Padahal pacarnya itu gak terlalu suka dengan kue yang pada dasarnya manis.
“Pelan-pelan, Daffa.”
“Enak banget, Yan. Mama lu yang bikin ya?” tanya Daffa.
“Iya, gue mesen sama Mama.”
“Pantes rasanya pas. Gak terlalu manis. Gue suka.”
Daffa lalu menahan senyum.
“Apalagi dibawain sama pacar, keknya itu deh yang bikin kuenya makin enak.”
“Ngalus mulu lu,” cibir Sean, “Makan buru, besok sekolah. Gue juga gak pernah tidur di rumah sebelum ke sini tau.”
“Ya udah, lu ke kamar duluan gih. Gue beresin ini dulu.”
“Makan aja, Daf. Gue nungguin elu kok.”
“Ya udah, satu kali suap lagi.”
Sean terkekeh melihat Daffa melahap satu lagi potongan kue yang cukup besar. Sampai-sampai sudut bibirnya belepotan.
“Daf.”
“Hm?”
Daffa lantas membeku selama beberapa saat. Sebab Sean tiba-tiba menarik pelan tengkuknya sebelum menyapu permukaan bibirnya dengan lidah sejenak lalu diakhiri kecupan lembut.
Sementara itu, Sean yang kini kembali menatap wajah Daffa lantas mengulum senyum. Tersipu sendiri ketika menyadari apa yang sudah dia lakukan ke pacarnya tadi.
“Segitu doang?”
“Apanya?”
“Ciumannya.”
“Ciuman apaan,” kata Sean lalu melirik ke arah lain, masih sambil menahan senyum nya, “Orang gue cuma bersihin bibir lu. Belepotan tadi. Ada krim.”
Mata Daffa memicing. Setelahnya, dia kemudian mengoleskan krim di permukaan bibirnya lalu menunjukkannya ke Sean.
“Bersihin, Yan.”
“Gak,” balas Sean lalu bangkit dari sofa, “Gue mau ke kamar duluan. Masukin kue lu ke kulkas entar, jangan lupa.”
“Tapi bibir gue belum dibersihin lagi, Sean.”
“Bersihin sendiri,” ucap Sean sebelum berlari ke arah tangga menuju kamar Daffa.