Daffa duduk termenung di meja sambil gak henti-henti menatap ke arah pintu kelas. Berharap Sean akan datang ke sekolah meski semua ujian dan proses pembelajaran di kelas dua belas udah usai.

Terlebih, Sean telah berhasil mengantongi status sebagai calon mahasiswa baru di perguruan tinggi setelah dinyatakan lulus kemarin. Dia akan mulai sibuk mengurus persiapan masuk universitas.

Ketika ingatan tentang kejadian dimana Mama Sean memergoki mereka kembali terbayang, dada Daffa pun digerogoti rasa sesak yang menyiksa. Dia merasa buruk bagi Sean. Dia nyaris gak tidur semalaman memikirkan nasib pujaan hatinya. Tapi Daffa sendiri gak tau harus berbuat apa. Dia hilang arah.

Tanpa sadar air mata Daffa pun menetes, hingga Radeya yang sedari tadi diam-diam memerhatikan tingkah gak biasa dari sahabatnya lantas menepuk keras pundak Daffa.

“Daf! Woi! Kesambet lu?”

Gibran ikut nyamperin Daffa.

“Lah? Ni bocah kenapa?” tanyanya ke Radeya, “Lu kenapa, Daf? Kok nangis?”

Daffa menggeleng. Dia lalu mengusap kasar pipinya yang nyatanya memang basah.

“Gue mau ke toilet.”

Baik itu Radeya maupun Gibran cuma bisa melongo melihat tingkah Daffa. Sebab sejak datang ke sekolah tadi, cowok berlesung pipi itu udah kelihatan murung.

Sementara itu, Daffa yang udah berjalan ke luar dari kelas lantas menghentikan langkah di koridor ketika dia berpapasan dengan Sean.

Napas Daffa tertahan. Sebab Raut wajah dan tatapan Sean menyiratkan luka mendalam.

“Yan...”

“Gue udah janji sama Mama buat gak ngomong atau pun ketemu lagi sama lu, Daf.”

Sean melirik sejenak ke arah lain. Memastikan kalau gak ada yang mendengarkan dia.

“Tapi kali ini bakal jadi yang terakhir. Karena gue pengen lu tau kalo gue ngelakuin itu buat lu. Buat kebaikan kita.”

Suara Sean begitu lirih.

“Gue datang ke sekolah hari ini cuma buat balikin buku ke perpus,” sambungnya, “Mama juga ada di depan, nungguin.”

Tungkai Daffa semakin lemas mendengar penuturan Sean. Sebab Sean bahkan harus diawasi dan tidak dipercayai lagi oleh Mama karenanya.

“Abis ini gue juga mungkin gak bisa natap wajah lu lebih lama dari hari ini meski pun kita berdua bakal gak sengaja dipertemukan lagi nanti.”

“Jadi karena sekarang lu ada di sini, gue cuma mau bilang lu gak perlu mikirin masalah yang kemarin. Lu harus tetep fokus sama UTBK lu nanti.”

“Yan—”

“Daf, tolong dengerin gue ya? Waktu gue udah gak banyak.”

Daffa mengulum bibirnya yang sudah bergetar hebat.

“Gue mungkin gak bisa nge-chat lu dan nyemangatin lu kek yang udah lu lakuin...”

“Mama nyita HP sama laptop gue. Dan mungkin udah ganti nomor gue atau nge-hapus sosmed gue. Gue gak boleh buka HP di luar kepentingan persiapan masuk kampus.”

“Tapi inget, doa gue bakal selalu tercurah buat lu, Daf.”

“Entah Tuhan masih sudi nerima doa gue atau enggak, tapi gue bakal selalu berdoa dan berharap yang terbaik buat lu dari kejauhan.”

“Tepatin janji lu. Lu harus lulus buat gue,” jelas Sean, “Gue cuma minta itu. Itu aja.”

Daffa kembali meneteskan air matanya, begitu juga Sean.

“Gue bakal ngomong ke Ayah sama Bunda gue,” kata Daffa, “Ini gak adil buat lu, Sean.”

“Daf, apa ucapan gue di awal tadi belum jelas hah? Gue rela ngelakuin ini semua buat lu. Gue gak pengen Ayah sama Bunda lu tau.”

“Ini adil buat kita berdua, kita sama-sama terluka di sini.” tambah Sean, “Tapi cukup Mama Papa gue aja yang tau. Orang tua lu gak usah, Daf.”

“Tapi pergerakan lu sampe dibatasi kek gini karena gue.”

Sean menghela napas kasar.

“Lu sayang sama gue kan?”

Daffa gak bersuara. Jelas, Sean sudah tau jawabannya.

“Kalo lu beneran sayang sama gue, tolong lakuin apa yang udah gue bilang tadi. Tutup mulut lu. Biarin semuanya berjalan begitu aja. Ya, Daf?”

“Terus gimana sama hubungan kita, Yan?”

Sean menelan ludahnya sekuat tenaga. Sebab rasa sakit di tenggorokan semakin menyiksanya. Dia tercekat.

“Gue sayang sama lu, Daf.”

Daffa tau, kalimat itu adalah awal dari perpisahan mereka.

Terlebih ketika Sean akhirnya perlahan melangkahkan kaki, meninggalkannya yang masih berdiri di tempat semula.

***

Sejak pulang dari sekolah tadi, yang Sean lakukan hanya mengurung diri. Dia duduk di atas tempat tidur, memeluk lututnya sembari menatap ke arah lukisan yang masih terpajang di kamarnya.

Tapi gak lama berselang, Sean lantas dibuat tersentak saat mendengar pintu kamarnya dibuka. Dia lalu menoleh—mendapati sang Mama berdiri di ambang pintu, memberinya tatapan tajam lalu menggeleng pelan.

Baik itu Sean maupun si wanita paruh baya terdiam sejenak. Sampai ketika Mama tiba-tiba berjalan ke arah lukisan lalu mengambilnya, Sean akhirnya bersuara.

“Ma, lukisannya mau dibawa ke mana?” tanya Sean lirih.

“Seharusnya Mama udah buang lukisan ini sejak kemarin,” jawabnya.

“Ma, jangan dibuang.”

Si wanita paruh baya lantas menjatuhkan lukisan yang dipegangnya. Jemarinya lemas mendengar Sean.

Dia lalu menghampiri sang anak, membingkai wajah Sean sembari menatapnya sedu.

“Mama harus ngapain supaya kamu gak kayak gini lagi?”

“Aku udah gak ngobrol atau pun ketemu sama Daffa, Ma.”

“Tapi kamu masih mikirin dia,” Mama lagi-lagi menangis sembari natap Sean, “Kamu masih suka sama laki-laki.”

“Ma.”

Si wanita paruh baya lalu bersimpuh di depan kaki Sean yang masih duduk di atas tempat tidur. Dia menggenggam tangan Sean.

“Sean, pikirin Mama juga...”

“Kalo kamu pengen tetep kayak gini lebih baik Mama mati, Yan.” sambungnya.

Sean lantas menggeleng pelan. Dia lalu ikut duduk melantai sebelum memeluk tubuh Mamanya erat-erat.

“Aku bakal berhenti, Ma.”

Mama beralih membingkai wajah Sean lalu bergumam.

“Lupain dia.”

Sean mengangguk.

“Mama mohon, buang semua barang dari dia yang ada di kamar kamu,” pinta Mama.

Dan lagi, Sean hanya bisa mengangguk lemah.

Tapi dari mata Sean, si wanita paruh baya tau kalau anaknya itu masih menyimpan dusta.